• L3
  • Email :
  • Search :

31 Maret 2006

ITB 1985, ITB 2005

Drop out dari ITB, bagi masyarakat awam, adalah hal aneh dan sesuatu yang luar biasa. Asumsi bahwa semua mahasiswa ITB pandai-pandai menjadi sebab utama. Masyarakat sudah dicetak untuk percaya semua mahasiswa ITB pasti di “atas angin” otaknya. Cair dan encer semua. Namun fakta baru-baru ini, yaitu ratusan mahasiswa dari perguruan tinggi berlambang Ganesha itu dipecat membuat separo masyarakat terperangah dan berpikir ulang. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2005/08/19/brk,20050819-65460,id.html

Betulkah sebodoh itu mahasiswa ITB sekarang? Kenapa mereka bisa di-DO padahal mereka pandai-pandai? Jawaban pastinya tentu hanya yang bersangkutan yang tahu dan juga kalangan ITB yang langsung menangani mereka. Peristiwa DO bukanlah tindakan serta-merta melainkan proses tahap demi tahap. Ketua jurusan, dosen wali, biro konseling, orang tua/wali dan mahasiswa sangat berpengaruh atau berperan dalam pen-DO-an itu.

ITB 1985
DO bukanlah hal baru di ITB. Sudah sejak dulu ada yang di-DO. Ada yang di-DO pada tahun pertama bersama (TPB), ada yang terpaksa meninggalkan kampus itu pada tahun kedua. Lolos dari tahun kedua bukan berarti jalan lebar terpapar panjang. Kerikil DO masih saja mengintai di tahap sarjana muda. Maksimum waktu tempuhnya lima tahun. Lebih dari angka itu, silakan ucapkan selamat tinggal kepada Ganesha 10. Lewat sarjana muda, yaitu masa sarjana pun tak bisa dibilang aman. Kalau tak selesai tujuh setengah tahun, silakan “wisuda” lewat Jl. Tamansari 64, bukan lewat GSG (Gedung Serba Guna, tempat wisuda sebelum ada Sabuga).

Dulu pada periode 1980-an orang yang di-DO betul-betul sudah melewati tahap konseling intensif. Paling tidak, ini dialami oleh teman saya. Pada tahun pertama ada seorang teman yang langsung tak boleh menginjak tahun kedua. Nilainya memang sangat-sangat buruk. Namun, kami, rekan-rekannya ketika itu sebetulnya sudah tahu gelagat bahwa kawan ini akan kena DO. Pasalnya, dia sering tidak kuliah dan kalau ujian selalu tak semangat. Tampak kurang mampu bersosialisasi dan relatif soliter alias penyendiri.

Maka, ketika palu DO berdentang kami sudah tidak kaget lagi. Dia pun tak muncul lagi ke kampus; mungkin sudah tahu atau sudah menduga sebelumnya. Bersamaan dengan kawan yang di-DO ini, ada satu lagi kawan yang masih boleh kuliah pada tahun kedua. Kami, teman-temannya, berupaya selalu membantunya dalam belajar. Dia kuliah seperti biasa dan entah kenapa, nilainya tetap buruk. Jurusan, setahu saya, pada waktu itu sudah berupaya menolongnya. Namun, dan ini saya tak tahu apa gentlemen aggreement-nya di Jl. Tamansari 64, akhirnya rekan ini terpaksa angkat kaki juga dari bumi Ganesha, tepat dua tahun setelah ditatar P4.

Yang DO alias tak sempat meraih gelar sarjananya juga ada. Tapi yang satu ini tidak seangkatan dengan saya. Dia di atas saya dua tahun. Gelagat DO memang sudah tampak sejak tahap sarjana muda. Kuliahnya banyak dengan kami dan bahkan dengan adik angkatan kami. Dengan beragam pertimbangan dia masih boleh kuliah di tingkat sarjana. Namun akhirnya tak bisa tuntas juga dan terpaksa keluar dari Tamansari 64 di bilangan Balubur.

Secara umum kasus DO memang selalu saja ada di setiap jurusan atau departemen di ITB. Boleh dikatakan, nyaris tak ada jurusan yang mahasiwanya lulus terus-menerus 100% dari lubang jarum dan mampu meraih gelar sarjananya. Juga dapat diyakini, kebanyakan mereka yang di-DO sudah mendapatkan konseling. Hanya saja, apakah konseling itu serius dalam membantu mahasiswa bermasalah ataukah cuma formalitas belaka, ini yang menjadi pertanyaan. Namun tetap saja yang paling utama terpulang lagi kepada sang mahasiswa bersangkutan.

Selain DO normal, pada masa itu juga ada yang DO lantaran kasus politik. Yang paling ramai masa 1980-an itu adalah peristiwa Rudini, Mendagri saat itu. Peristiwa yang dikenal dengan nama “Kasus 88” itu telah men-DO-kan sejumlah pentolan gerakan mahasiswa. Sidang di Pengadilan Negeri di jalan Riau selalu ramai dipadati mahasiswa. Kalau tak salah, ada lima atau tujuh orang pentolan demo saat itu yang di-DO. Tapi sekarang, rekan yang di-DO itu sudah ada yang menjadi orang terkenal di pentas nasional.

ITB 2005
ITB dulu dan ITB kini sudah jauh berbeda. Tak hanya gedungnya yang berubah total, tapi karakter mahasiswanya dan tata cara penerimaan mahasiswa baru pun berubah. Biaya kuliahnya juga. Dulu saya hanya membayar, kalau tak salah, Rp 24.000 per semester. Sekarang harus merogoh kantong jauh lebih dalam lagi. Berlipat-lipat. Dan ini tak usah saya ungkap lagi. Sudah rahasia umum, apalagi yang jalur “jutawan’.

Yang ingin saya ungkap adalah peristiwa DO sekarang. Kenapa begitu banyak yang tak layak meneruskan kuliahnya di ITB? Betulkah mereka tak mampu ataukah ada yang salah pada sistem pembinaan mahasiswa sekarang? Bagaimana peran konseling dalam menangani kasus mahasiswa bermasalah secara akademis? Adakah surat teguran satu dan dua dalam rentang waktu tertentu yang ditujukan kepada mahasiswa dan orang tua atau walinya? Adakah bina-mandiri yang dilaksanakan?

DO seperti yang saya tulis di atas adalah hal biasa di ITB. Tapi akan menjadi tidak biasa jika jumlahnya berombongan dan menimbulkan tanda tanya besar perihal proses perkuliahan di ITB. Bayangkan, dengan biaya yang sangat mahal mereka akhirnya melepas statusnya di ITB. Yang perlu dievaluasi adalah apakah yang DO tersebut dari kelompok yang bayar di atas 45 juta rupiah? Bagaimana persentase dan komposisi kaum DO-wan/wati ini? Hal ini akan bisa menjadi tolok ukur apakah program itu laik diteruskan ataukah tidak.

Spirit yang perlu diingat adalah jangan sampai kekuatan uang atas dasar BHMN (Badan Hukum Milik Negara) terlalu dikedepankan. Jangan sampai diprioritaskan agar tidak menjadi bumerang bagi ITB. Sebuah kampus terkenal yang banyak men-DO-kan mahasiswanya dapat menurunkan citra kualitas belajar-mengajarnya. Orang bakal mengira-ngira apakah proses pembelajarannya sudah betul ataukah salah. Apakah dosen-dosennya sudah mengajar dengan betul dan tidak sering mendelegasikan kuliahnya kepada asistennya? Dan banyak lagi dugaan yang dapat muncul di masyarakat dan boleh jadi makin menerpurukkan kampus.

Selain itu, waktu pengumuman DO hendaklah tidak mepet dengan penerimaan mahasiswa baru di PTS. Ini untuk memberikan alternatif solusi kepada mahasiswa apakah mau pindah ke perguruan tinggi swasta. Hal ini akan mudah dilakukan jika masa DO dan masa penerimaan mahasiswa di PTS bertepatan. Sebab, bagaimana pun, orang yang tidak cocok kuliah di ITB belum tentu tidak cocok juga kuliah di lain tempat. Pasti tidak semuanya tidak berbakat menjadi sarjana. Di PTS lain mereka boleh jadi dapat meraih predikat sarjana kalau mereka mencoba dan mau belajar dari pengalamannya di ITB.

Jadi, tetaplah diberikan peluang agar mereka tidak terlalu sia-sia belajar sekian tahun di ITB. Nilai yang memang sudah lulus bisa dikonversikan di PTS lain. Dan ini tidak akan mematikan keinginan mereka menjadi sarjana dan menurunkan jumlah orang yang mungkin sakit jiwa akibat kasus ini. Begitu pun orang tuanya akan sedikit terobati karena anaknya masih bisa kuliah dan punya peluang menjadi sarjana. Tentang apa pekerjaannya nanti, itu soal lain. Kita bisa belajar dari Robert T. Kiyosaki dalam serial buku-buku motivasinya, bukan? Dan jangan kaget, ada alumni DO dari ITB yang justru sukses karirnya sekarang.

Itu sebabnya, janganlah apriori pada mereka yang terkena DO. Mungkin mereka tidak tepat di jurusan itu dan boleh jadi akan tepat berada di PTS dan jurusan lain. Sangat boleh jadi mereka akan sukses di masa depan. Malah bisa jauh lebih sukses ketimbang yang lulusan ITB. Boleh jadi, bukan?*
ReadMore »

Profesor Doktor Anune M.Sc

Dosen saya yang begitu berjasa pada pengembangan departemen / jurusan tak pernah meraih gelar jabatan fungsional profesor lantaran belum doktor. Beliau telat mengurusnya di samping karena tak terlalu peduli pada karirnya dan dulu pernah di-pending nyaris sepuluh tahun oleh rekan yang menjadi atasannya. Malah dosen saya ini rela dan tidak protes ketika karya tulisnya digunakan oleh orang lain untuk meraih jabatan fungsional yang lebih tinggi. Itu semua lantaran sifat kedosenannya yang selalu ingin memberi dan membagi ilmu. Adakah itu lantaran beliau buah dari didikan profesor doktor Belanda sehingga lebih mengutamakan kerja nyata yang kaya manfaat ketimbang label-label semu?

Lain dulu, lain sekarang. Gelar profesor, doktor dll begitu mudah diraih sekarang. Tak perlu waktu lama, tak perlu mengumpulkan kum, tak perlu menulis karya semacam tesis, disertasi dan riset post-doctoral. Tak perlu menulis di jurnal nasional apalagi internasional. Semuanya mudah diraih asalkan punya uang lima sampai sepuluh juta rupiah. Relatif murah dibandingkan dengan kuliah normal. Wisuda pun bisa dipilih kapan waktunya dan di mana tempatnya. Mau di hotel bintang lima, silakan. Mau di villa di Puncak, oke-oke saja. Yang penting, kalau membayar sesuai tarif silakan masuk ke ruang wisuda. Ada uang abang bergelar, tak ada uang abang di luar! Itu saja prinsipnya.

Lebih dari itu, dan ini justru paling menyakitkan dunia pendidikan kita adalah para penyandangnya. Sejak awal krisis 1997, gelar-gelaran itu ternyata sudah disandang oleh 50.000-an orang mulai dari lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, pejabat publik di pemda, aparat penegak hukum, pebisnis, artis hingga kyai dan tabib pengobatan alternatif termasuk tabib porno atau terkait dengan kepornoan. Kita yakin mereka bukanlah orang-orang bodoh dalam arti idiot sehingga tak mampu berpikir normal. Mustahil mereka tertipu untuk urusan gelar ini. Justru mereka ingin ditipu sebagai alibi kalau kasus ini terbuka dan disidik aparat berwenang. Mereka sungguh mengerti bahwa cara itu tidak alamiah dan menyalahi aturan tetapi tetap saja mereka tergiur gelar mentereng tanpa mau capek-capek belajar. Bisa untuk gagah-gagahan sekaligus naik pangkat dan penghasilan. Pasti itu alasannya.

Sedihnya lagi, banyak di antara mereka justru menjadi guru besar, menjadi anggota senat terhormat di sejumlah perguruan tinggi swasta. Foto-foto bertoganya digantung di tembok-tembok kampus lengkap dengan nama, jabatan dan deretan gelarnya. Mereka duduk anggun di podium ketika acara wisuda sambil memakai toga dengan segenap pernak-pernik mengkilapnya. Mereka memakai kaca mata yang sedikit dipelorotkan sambil membuka-buka buku yang tak dibacanya. Mereka menyalami wisudawan/wati sambil mengucapkan selamat dengan mimik diwibawa-wibawakan. Mereka masuk koran lewat iklan perguruan tinggi atau advertorial sambil bicara idealisme pendidikan yang merupakan kalimat-kalimat normatif yang stereotip.

Jika demikian, apa yang bisa diperoleh oleh wisudawannya? Gelar, ini sudah pasti. Hanya saja masih dipertanyakan kualitasnya. Sebagai dosen yang tak pernah kuliah, Prof. Dr. Anune M.Sc, hanya memberikan ilmu yang antah-berantah dari textbook alam rimba yang tak jelas asal-usulnya. Kalau pun textbook-nya betul-betul sesuai dengan yang baku digunakan di perguruan tinggi, dia pun sekadar mengupas kulit-kulitnya. Selebihnya mahasiswa disuruh membaca sendiri. Parahnya lagi, tak ada mahasiswanya yang boleh bertanya ini-itu apalagi mendebatnya. Kalau sampai terjadi, alamat tidak lulus. Dan yang ingin nilai bagus bisa bernegosiasi dengan memakai fulus. Tawar-menawar seperti di kaki-lima atau di pasar loak seribu tiga.

Karena ilmunya adalah ilmu-ilmuan dan statusnya adalah dosen-dosenan maka mahasiswanya pun adalah mahasiswa-mahasiswaan. Serupa dengan anak-anak TK yang main guru-guruan dan bonekanya sebagai murid-muridan. Si boneka mau diapakan saja, dicekoki apa saja, entah betul entah salah, dia tidak protes. Diam saja dan melempem seribu basa. Kalau boneka tadi adalah mahasiswa generasi penerus bangsa, dapatkah mereka diandalkan sebagai tulang punggung negara di masa depan? Adakah ini konspirasi jahat untuk meluluhlantakkan daya pikir dan daya juang muda-mudi kita oleh anasir asing atau domestik? Siapa yang harus waspada?

Yang wajib waspada tentulah kalangan Departemen Pendidikan Nasional khususnya Ditjen Dikti. Lebih khusus lagi adalah para pejabat di Kopertis sebagai pembina dan pengayom yang langsung berinteraksi dengan perguruan tinggi. Semua perguruan tinggi swasta berada dalam kewenangannya. Makanya, besar harapan masyarakat agar kalangan birokrat pendidikan ini tidak berpikir administratif belaka tanpa upaya membantu agar sebuah perguruan tinggi bisa eksis. Tidak seperti perguruan tinggi “gelap” penjual gelar, PTS legal sekecil apapun pasti ada kontribusi positifnya pada dunia kependidikan kita. Dan dunia pendidikan perlu orang-orang yang berkarakter membina, telaten memantau dan sigap melihat perubahan, baik kemajuan maupun kemunduran di dunia perguruan tinggi.

Lebih jauh lagi, dunia pendidikan perlu orang-orang yang proaktif dalam membantu eksistensi perguruan tinggi agar tidak digerus oleh perguruan tinggi penjual gelar-gelaran yang alamatnya pun tak jelas. Apalagi mafia gelar palsu di perguruan tinggi bohongan ini begitu banyak membuka cabang di daerah-daerah dan rutin memasang iklan dirinya di koran-koran? Mereka tampak sangat “membuka” diri. Inilah yang menjadi sebab mengapa ada keraguan bahwa pejabat berwenang tak tahu ada perguruan tinggi bohong-bohongan ini. Logika mengatakan, tak mungkin kalangan Dikti dan Kopertis tidak tahu hal ini. Mustahil bagi akal.

Oleh sebab itu, Ditjen Dikti wabil khusus Kopertis janganlah melihat perguruan tinggi dari jauh. Perlu dilihat dari dekat atau berkunjung ke perguruan tinggi tersebut agar kondisi riilnya bisa diketahui sehingga kejanggalan yang terjadi bisa cepat dibenahi. Cek-ricek perlu dilakukan agar tidak menilai berdasarkan hitam di atas putih yang dilaporkan oleh pejabat perguruan tinggi yang boleh jadi tak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Juga jangan sekadar menindak perguruan tinggi kecil lantaran orang-orang di dalamnya adalah orang-orang kecil dan sebaliknya sangat tak berdaya di depan perguruan tinggi yang di dalamnya bertebaran mantan pejabat negara atau malah sedang menjabat sekarang. Ada yang ketua yayasan menjadi rektor sekaligus anak menantunya menjadi wakil rektor plus mengajar lagi. Mau dibawa ke mana dunia pendidikan tinggi kita kalau pejabat kependidikan seperti itu?

Akhir kata, marilah kita dukung Dikti dan Kopertis dalam memberantas perusak akhlak bangsa, penjual mimpi dan peleceh intelektualitas. Marilah kita jalani proses alami dalam meraih gelar dan semua ini terpulang lagi kepada pejabat kependidikan, pemimpin perguruan tinggi, dosen, mahasiswa dan orang tuanya. Hendaklah kita jangan silau pada gelar tanpa karya apapun. Tanpa gelar pun peluang sukses masih terbuka lebar. Bahkan bisa jauh lebih sukses ketimbang yang bergelar. Contohnya adalah Andre Wongso, seorang motivator bisnis yang gelarnya eksklusif, yaitu SDTT: Sekolah Dasar Tidak Tamat.*
ReadMore »

Inilah Sebab Dosen Sulit Menulis

“Diktator” banyak ada di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Kata yang sering berkonotasi negatif ini merujuk pada dosen yang menulis diktat (“yang melulu mengacu pada satu textbook”). Yang bagus adalah dosen merujuk ke sejumlah textbook lalu meramunya menjadi satu “buku baru” berujud diktat. Ini jauh lebih bagus ketimbang bersumberkan satu textbook dan hanya mencomot atau dalam tata-tulis memakai komputer disebut “copy-paste” saja. Apalagi kalau textbook yang diacunya sudah tua sekali, misalnya terbitan tahun 1980-an atau lebih lama lagi. Yang lebih dari lima tahun saja, terutama dalam ilmu-ilmu yang pesat perkembangannya, bisa jauh ketinggalan. Lain halnya dalam bidang ilmu yang lamban pertumbuhannya, terbitan lawas boleh jadi masih relevan. Jadi, tak bisa dipukul rata dalam menilai suatu partisi keilmuan.

Dalam ilmu teknik misalnya, entah karena banyak berisi gambar-gambar rekayasa, entah karena tak bisa atau malas menggambar lagi, entah karena gambarnya rumit, kebanyakan diktat nyaris merupakan ambil sana ambil sini dari textbook. Kalimat yang dibuat pun nyaris terjemahan murni tanpa polesan dari sang dosen atau jangan-jangan dari penterjemah komersial yang dibayarnya. Setiap paragraf disalin (diterjemahkan) begitu saja tanpa memasukkan pandangan atau pendapat sang dosen atas apa yang diambilnya itu. Yang elok adalah sang dosen punya pandangan sendiri atas apa yang diambilnya dari textbook, sesedikit apapun pendapatnya itu. Ini semacam sumbangan (kontribusi) pemikiran dalam khazanah saintek.

Namun, bagaimanapun, dosen yang mau menulis diktat jauh lebih baik ketimbang dosen yang tidak menulis diktat. Bayangkan kalau seumur-umur sampai pensiun dosen tidak menulis diktat, bagaimana kira-kira mutu alumni perguruan tinggi terutama kalau budaya baca dari sang mahasiswa tidak tumbuh. Otomatis ilmu yang dimiliki sang mahasiswa atau alumninya akan sangat rendah, sebatas apa yang diucapkan dosen ketika kuliah. Belum lagi kalau mereka lupa semua apa yang pernah diterima di bangku kuliah setelah sekian tahun. Yang tersisa hanya selembar kertas bernama ijazah dan transkrip akademik serta gelar sarjananya.

Kalau menulis diktat saja sudah demikian bermasalah, bagaimana dengan menulis textbook yang khusus untuk kalangan mahasiswa (dan juga dosen)? Bagaimana dengan menulis buku yang bukan textbook, katakanlah buku ilmiah populer yang ditujukan bagi pembaca umum? Bagaimana dengan menulis artikel ilmiah yang dimuat di jurnal untuk masyarakat khas dalam saintek yang bersangkutan? Yang dimuat di media massa cetak dan internet bagi masyarakat umum bagaimana? Bagaimana pula dengan makalah seminar dalam berbagai temu-ilmiah, semi-ilmiah dengan pemerintah, atau populer dengan suatu populasi masyarakat tertentu?

Menulis buku yang bukan textbook tentu jauh lebih mudah apalagi kalau data dalam textbook itu tidak perlu riset yang berbiaya besar dan waktu lama. Beda halnya dengan textbook yang harus mencantumkan data akurat terbaru dalam khazanah ilmunya. Untuk dapat mencantumkan data terbaru ini seorang dosen harus riset dulu. Waktunya bisa bulanan atau bahkan tahunan. Ini idealnya. Kalau risetnya sudah kelar, dia boleh (wajib) mempublikasikannya di jurnal ilmiah agar bisa dibahas dan dievaluasi oleh rekan sejawatnya di seluruh dunia (Indonesia). Di tahap ini pun, yaitu penulisan artikel ilmiah sudah merupakan kendala tersendiri. Tak banyak dosen yang mampu menuliskan apa yang telah dirisetnya. Banyak dosen yang piawai meriset namun lemah dalam menulis. Tapi banyak juga (atau malah terbanyak) dosen yang tak mampu meriset sekaligus tak bisa menulis. Kelompok inilah yang terbanyak di Indonesia, baik di PTN paling top maupun PTS.

Lantas bagaimana kalau dosen tak mampu riset sendiri dengan alasan, misalnya biaya, apakah peluang menulis textbook pupus begitu saja? Tentu saja tidak. Dosen bisa mencari dan dia harus rajin mencari bermacam-macam jurnal ilmiah terbitan teranyar dari dalam maupun luar negeri. Bisa lewat Perpustakaan Nasional di Jakarta atau di ITB, di UI, atau lewat internet. Peluang selalu ada asalkan sang dosen mau meluangkan waktu dan berupaya maksimal. Semua data yang diperolehnya dari jurnal ilmiah terakreditasi dan berkaliber internasional itu dapatlah dijadikan data dalam rancangan textbook-nya. Andaikata tidak demikian, yaitu tidak mencari data terbaru dari berbagai jurnal atau buku teks terbaru, maka buku teks buatannya akan terasa kering dan out of date. Apalagi kalau datanya itu hanya mengacu ke buku teks yang sudah tua, jadilah buku teksnya sekumpulan informasi usang dan tak punya nilai jual. Penerbit mana yang rela “berjudi” dengan menerbitkan draft buku teks demikian?

Data dari jurnal yang disalin di dalam textbook inilah yang dapat memperbarui dan menambah wawasan ilmu pembaca bukunya, terutama mahasiswa dan dosen lainnya. Kalau draft textbook-nya sudah selesai, muncul lagi problem berikutnya. Adakah penerbit yang mau menerbitkannya? Ini tentu menyangkut banyak hal seperti kualitas atau kredibilitas sang dosen (deretan gelarnya juga berpengaruh), mutu tulisannya: pola nalar, pola papar, dan juga pola bayar (royalti). Di pihak penerbit juga ada tolokukurnya, yaitu pola pasar dan pola bayar (laba). Kalau keduanya sepakat pada pola benar (saling setuju), maka terbitlah textbook itu. Berarti dosen sudah mem-publish (terbit, layak menjadi dosen). Kalau tidak jadi terbit, tak adalah textbook itu dan dosen dianggap belum menulis textbook dan dia boleh jadi di-perish (binasa, celaka: tak layak berlabel dosen). Itulah publish or perish.

Kembali ke soal riset yang sangat penting dalam penulisan textbook. Budaya riset memang belum tumbuh bagus di kalangan dosen kita. Ini melanda mayoritas dosen. Walau demikian, dalam kasus orang per orang, banyak juga yang tuman meriset. Namun sayangnya, riset dosen itu masih dalam taraf pemula. Jangankan di PTS (perguruan tinggi swasta), apalagi PTS kecil, di PTN (perguruan tinggi negeri)yang terkenal saja budaya riset ini belum berkembang dengan baik. Jumlah riset memang relatif banyak secara aritmetika tetapi kecil sekali persentasenya. Apalagi kalau parameter mutu dimasukkan dalam evaluasinya, sangat-sangat kecil. Kebanyakan risetnya hanya modifikasi kecil-kecilan dari riset yang telah dilaksanakan di luar negeri, biasanya dari tempat mereka meraih gelar master, doktor atau riset post-doctoralnya. Risetnya hanya seputar itu ke itu saja, seolah-olah hanya bertujuan meraih nilai kum dan uang. Selain itu, sang dosen pun jarang terjun langsung dalam riset itu dan hanya menerima laporan apa adanya dari sang mahasiswa S1, S2 dan S3. Kalau demikian, bagaimana dengan standar kualitas riset tersebut kalau sang dosen tidak terjun langsung, minimal secara berkala, ke laboratorium atau ke lapangan? Inilah yang banyak terjadi di perguruan tinggi kita. Di semua perguruan tinggi kita, tanpa kecuali.

Berikut ini sekadar informasi. Pada hari Rabu, 24 Agustus 2005 lalu saya sempat menghadiri seminar Riset Unggulan di Aula Barat ITB. ITB membagi riset menjadi dua grup, yaitu grup riset fundamental dan grup riset pengembangan teknologi. Riset fundamental diharapkan menghasilkan temuan baru dalam ilmu dasar sedangkan riset satunya lagi diharapkan mampu menyelesaikan masalah pembangunan, tenaga kerja (pengangguran) dll. Dalam sejumlah paparan dan rilis yang dibuat tampak bahwa mayoritas riset yang dilaksanakan adalah riset fundamental tetapi tidak mampu “berbicara” banyak dalam menambah khazanah ilmu. Tidak signifikan. Malah masih banyak perdebatan soal kata “unggulan”. Ketaksepahaman ini muncul lantaran setiap orang, baik itu grup periset (skolar) maupun penyandang dana (ITB), dan juga pemakai hasil riset (LAPI ITB, lembaga bisnis milik ITB) punya anggapan sendiri atas kata “unggulan” itu. Unggul menurut geografiskah: unggul di ITB saja, unggul di Jawa Barat, unggul di Indonesia, ataukah unggul di dunia? Unggul secara saintifik: apakah riset itu mayoritas hal baru, atau betul-betul 100% baru alias temuan anyar terkini, ataukah sekadar utak-atik buat kum menggapai profesor (guru besar) belaka dan uang? Adakah ini utopia bagi world class university atau research university yang dicita-citakan kalangan ITB?


Dalam seminar itu pun terungkap bahwa banyak riset yang menyimpang dari tujuan awal ketika penandatanganan kontrak riset. Ada yang tujuannya menghasilkan prototipe tetapi yang dilaporkan sekadar “temuan” yang mengarah ke riset fundamental. Artinya, tak bisa langsung diterapkan sesuai janji semula. Memang ada juga riset pengembangan teknologi tapi itu pun belum siap disadap oleh masyarakat, khususnya kalangan industri/pebisnis. Malah muncul pendapat bahwa hasil riset itu bukanlah inovasi melainkan baru dalam tahap invensi (invention), baru rekaan saja. Masih sangat mentah, masih prototipe awal sehingga perlu diriset lebih lanjut. Namun demikian, bagaimanapun hasilnya, kita wajib memberikan apresiasi kepada periset ini karena mereka sudah lebih baik daripada dosen lain di PTN dan PTS yang tidak pernah meriset. Lebih dari itu, kita memang wajib mengkritiknya agar upaya memajukan ilmu dan pendidikan berada di jalur yang betul. Dan pandanglah kritik sebagai sahabat yang peduli pada periset agar bisa lebih maju lagi.

Jadi kian jelaslah bagi kita bahwa menulis buku teks yang betul-betul serius memerlukan jalan panjang riset mandiri dan studi pustaka (textbook dan jurnal). Dan riset adalah salah satu kendalanya. Risetnya pun memunculkan banyak kendala lagi seperti biaya, materi riset, metodologi, analisis, dukungan jurnal terbaru, dan kerjasama antarperiset. Lantas, setelah riset selesai dan andaikata diperoleh data yang absah dan dipublikasikan di jurnal (diakui oleh rekan sejawat di dalam dan luar negeri) barulah bisa dimasukkan ke dalam buku teks. Artinya, sang dosen baru memulai menulis perihal temuannya itu dalam buku teksnya, selain mengutip data dari buku teks lainnya atau mengutip data dari jurnal ilmiah absah yang berkualitas tinggi. Inilah yang disebut dukungan data yang absah pada setiap penulisan buku, baik buku ilmiah populer maupun textbook. Syahdan, novel pun yang mengarah ke fiksi sainstek (sciencetech fiction) wajib didukung oleh riset yang absah agar tidak menjadi bumerang bagi si penulis dan mutu novelnya.

Akhirnya, bolehlah dikatakan bahwa dosen sulit menulis buku teks lantaran ada banyak hal yang mesti disiapkannya sebelum kegiatan penulisan itu bisa dimulai. Ada prolog yang bisa jadi sama panjang atau bahkan lebih panjang ketimbang penulisan buku teksnya. Begitu pun ketika dosen hendak menulis buku ilmiah populer, dia pun harus mengumpulkan data yang mendukung paparan dan pendapatnya. Sumber data tidak hanya dari buku teks, tapi juga dari berbagai jurnal ilmiah, semi-ilmiah, koran, radio, televisi dan bahkan wawancara langsung dengan masyarakat atau bahkan direktur perusahaan, politisi, pemerintah, atau tokoh masyarakat.

Sebagai penutup perlu ditulis di sini bahwa ilmu selalu berkembang, siang malam mengalami pembaruan. Ada yang cepat berubah, ada yang lambat. Yang penting adalah tersedia data yang bisa diasumsikan absah. Apalagi ada dogma bahwa semua riset tidak ada yang salah sejauh ada alasan yang diberikan dan masuk ke dalam logika sains. Istilahnya, tak ada riset yang final. Semuanya masih perlu diuji dan diuji terus sepanjang zaman. Last but not least adalah dana. Dana riset, seperti ITB yang mengalokasikan Rp 50 juta sampai Rp 300 juta per judul riset, adalah kendala besar di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.

Akhirulkalam, entah sampai kapan dosen-dosen kita tak mampu meriset dan tak mampu menulis textbook yang diakui dunia akademik internasional, dirujuk oleh jurusan dan program studi di seluruh dunia. Atau dalam skala kecil, menjadi rujukan di tingkat nasional. (Coba direka-reka para profesor kita, sudah berapa banyak yang minimal menulis satu buku teks yang betul-betul berkualitas, tak sekadar buku teks. Akan ada temuan yang mengejutkan. Sebab, mayoritas profesor kita tak punya buku teks dalam kualitas terendah sekalipun. Menulis buku ilmiah populer pun tak banyak yang melakoninya. Begitu pun artikel pendek populer di media massa).

Kembali ke buku teks. Jika buku teks yang dirancang dosen itu tak mampu “bicara” dalam skala nasional, yakinlah tak ada penerbit yang akan mau menerbitkannya karena pola pasarnya tak layak. Bakal menumpuk di gudang, dimakan rayap dan kutu buku yang sesungguhnya. Ini pasti dihindari oleh setiap penerbit. Atau, adakah penerbit yang tidak demikian, yang melawan arus?

Tanyalah pada rumput yang bergoyang. Tulisan ini hanyalah berita kepada kawan.
ReadMore »

J u r n a l, Di Mana Kamu?

Menurut sejarahnya, pionir dari kata yang akrab di kalangan dosen ini adalah Roman Acta Diurna, semacam kabar dari kerajaan yang ditempelkan di tempat umum seperti teater, pasar dan gimnasium. Diurna yang artinya hari lantas bermetamorfosis menjadi jurnal dan menyebar ke seantero dunia.


Namun demikian, ada realitas lain. Akrab-kata rupanya bukan jaminan semua dosen pernah menulis di jurnal. Seperti juga tidak semuanya menulis diktat atau buku ajar yang tipis sekalipun lantaran karakter baca-tulisnya belum tumbuh. Mayoritas hasratnya condong pada omong, rumpi dan tonton. Padahal jurnal, diktat, buku dan artikel di media cetak itu semacam bahan bakar yang tanpanya mesin takkan hidup. Eksistensi orang, khususnya adalah dosen akan “hidup” jika ia menuangkan ide, merangkai rajut percikan ilmunya menjadi tulisan. Apa pun ujudnya, artikel primer hasil riset ataukah artikel telaah (review) yang menganalisis temuan artikel primer. Karenanya, ia takkan dihempas oleh dentuman saintek (sciencetech big bang, meminjam istilah dalam kosmologi).

Jurnal memang tak tertera eksplisit di dalam Tridharma yang terdiri atas pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Ia hanyalah salah satu konstituen dharma kedua, yaitu penelitian. Hanya saja, tak banyak hasil penelitian yang bermuara di jurnal dan sedikit sekali yang aplikatif sehingga tak bisa dipatenkan, apalagi dikomersialkan. Oleh sebab itu, dulu ada usulan Prof. Teuku Jacob perihal dharma keempat. Mantan rektor Universitas Gadjah Mada ini menyebutnya Caturdharma yaitu pengajaran, penelitian, penerapan (aplikasi) dan pelestarian (penulisan). Dharma ketiga dihapus karena, menurutnya, semua dharma adalah pengabdian pada masyarakat. Yang perlu dicermati adalah dharma keempat, pelestarian. Dharma ini akan mewajibkan dosen (guru) menulis buku, jurnal atau apapun jenisnya yang bisa diakses publik. Minimal menulis artikel yang berguna bagi masyarakat.

Adapun harapan dharma ketiga ialah ada temuan implementatif bagi dunia industri agar riset tak sebatas pada kum dan honor saja. Kalau sebatas itu, hasilnya pun takkan lebih daripada sekadar tumpukan laporan bisu di rak berdebu di pojok ruang. Ada tapi tiada. Ironisnya, mayoritas riset dosen, syahdan di PTN-PTS ternama ya untuk sekadar kum dan uang itu. Ujung-ujungnya adalah kenaikan jabatan fungsional atau bahkan untuk meraih sebutan profesor.

Selanjutnya, bukan budaya tulis-menulis saja yang diprihatinkan tapi juga kemauan membaca (jurnal). Banyak yang sepakat, aktivitas membaca jauh lebih mudah daripada menulis artikel misalnya. Kalau yang mudah saja jarang digiatkan apatah lagi yang lebih sulit. Degradasi mutu mahasiswa menjadi keniscayaan karena subjek saintek usang pun masih dikuliahkan di S1 maupun di S2. Bukan sebagai tinjauan historis yang memang perlu, tetapi sebagai substansi. Padahal temuan teranyar telah ada di jurnal atau ditulispopulerkan di koran, majalah, dan internet. Jadi, wajarlah ranking perguruan tinggi yang top di Indonesia apalagi yang gurem, melata di bawah negara-negara jiran.

Juga patut disayangkan, tidak semua perguruan tinggi, fakultas, jurusan, himpunan profesi, lembaga atau pusat tudi telah menerbitkan jurnal. Syahdan, yang “gado-gado” atau bunga rampai sekalipun. Apalagi yang terakreditasi, jumlahnya tidak mencapai 200 unit dari semua disiplin ilmu. Lalu, hadirlah kompetisi sengit dan banyak yang frustrasi karena tak satu jurnal pun mau memuat artikelnya, setelah direvisi berkali-kali. Itu karena dosen wajib menulis artikel di jurnal terakreditasi sebagai penulis utama, minimal 25% dari kum minimum dharma penelitiannya, jika ingin naik pangkat. Selain itu, egoisme pun berperan karena kalangan tertentu saja atau dosen “dalam” atau peneliti “domestik” saja yang artikelnya dimuat.

Mutu jurnal yang menyangkut kualifikasi editornya juga masalah krusial. Tim pakar ini kerapkali hanyalah pajangan atau tidak sesuai dengan partisi ilmu yang dibutuhkan. Itu terjadi karena memaksakan diri memenuhi kualifikasi doktor atau profesor sehingga tak jarang pakar pertanian menilai artikel dari dosen arsitektur! Bahkan ada yang gap ilmunya jauh sekali. Kelangkaan pakarlah salah satu alasannya yang sebenarnya bisa dipecahkan. Berilah kemudahan pada dewan redaksi yang tidak mesti doktor apalagi guru besar sehubungan dengan akreditasi karena tidak semua disiplin ilmu dan perguruan tinggi memiliki dosen dengan kualifikasi tersebut. Mereka, khususnya yang berbobot dan concern memang sangat langka.

Selain kendali mutu, keajegan, pelanggan dan harga jual juga masalah. Ada jurnal bernasib seperti koran dan tabloid pada awal reformasi dulu yang sekali jadi lalu mati. Kehabisan naskah dan kurang peminat karena mahal adalah penyebabnya. Perihal naskah, bisa dicari dari skripsi, tesis, disertasi atau riset dosen. Untuk itu perlu peraturan agar morfologinya siap terbit sesuai kelaziman jurnal. Juga tidak peduli apakah berupa riset laboratorium dan lapangan ataukah desain. Sementara ini seolah-olah yang desain tidak layak terbit.

Selanjutnya adalah idealisme penerbit (pencetak). Padanyalah letak “keabadian” khazanah intelektual bangsa. Bangunlah wahai penerbit, berilah rabat, insentif yang apresiatif pada penerbitan jurnal. Juga, cetaklah semua order dengan sesedikit mungkin kalkulasi untung semata dan tidak hanya berburu paket-paket pemerintah. Idealisme pedagang pun demikian. Yang besar yang kecil, dari toko, kaki lima hingga asongan. Salahkah jika jurnal diasongkan di simpang jalan? Yang pasti, ada pengayaan wawasan pengasong dengan saintek yang sedang tumbuh selain kabar populer di majalah, tabloid dan koran jajaannya. Mereka ikut memasyarakatkan jurnal, menjadikannya tidak ekslusif lagi. Membuatnya kosmopolitan, dijual di mal hingga kios emperan gerimis tutup. Tiras pun bertambah yang otomatis menurunkan biaya cetaknya.

Untuk konsumen, para dosen dan warga umum terdidik apik, para kelas menengah, mesti dipacu cinta baca-tulisnya. Caranya? Selain Bulan Buku, adakan juga Bulan Jurnal untuk memilih, misalnya, jurnal terbaik skala nasional atau lomba menulis di jurnal. The last but not least adalah dana. Maukah pemerintah menyisihkan 25% APBN-nya yang bersumber dari pajak rakyat untuk pendidikan dan subsidi jurnalisasi masyarakat? Kalau semua itu tercapai, bujur sangkar literasi yaitu interaksi penerbit (pencetak), pelanggan, penulis dan pedagang akan segera terujud.

Semoga realisasi masyarakat sainstek yang didamba, terjadi pada abad ke-21 ini. Izinkan waktu untuk menjawabnya. *
ReadMore »

Textbook, Revisi dan Impor

Textbook ada yang menerjemahkannya menjadi buku-ajar, buku-induk atau buku-teks. Semua terjemahan itu bisa diterima dan bisa dipilih yang mana saja sesuai selera. Yang pasti maksudnya sama, yaitu sebuah buku yang menjadi acuan kuliah di perguruan tinggi. Biasanya tebal atau sangat tebal setebal bantal sehingga sering dijadikan bahan kelakar. Buku kok dijadikan bantal tidur, begitu yang sering kita dengar. Lalu galaulah hati ini.

Kenapa galau? Ternyata tidak semua mahasiswa Indonesia akrab dengan textbook. Tidak semua mahasiswa punya textbook. Jangankan membeli, meminjam dari perpustakaan kampusnya saja enggan. Jangan-jangan ada mahasiswa yang tak pernah membaca textbook selama kuliah tapi tetap meraih gelar sarjana. Selama kuliah dia hanya mengandalkan catatan kuliah. Parahnya lagi, catatan itu hasil fotokopian dari catatan temannya dan dengan itulah dia menjawab soal ujian lalu lulus dengan C, misalnya. Masih mending dapat C. Yang menjadi masalah besar kalau dia dapat B apalagi A. Ini alamat “kiamat”, cepat atau lambat, bagi dunia pendidikan kita. Namun, dia masih jauh lebih baik ketimbang yang meraih gelar sarjana dari hasil membeli, gelar aspal, asli tapi palsu. Tak pernah kuliah, tak pernah ujian, tanpa skripsi lalu langsung bertitel.

Kembali ke soal buku teks. Apa yang perlu diupayakan agar buku teks kian akrab di kalangan mahasiswa (dan juga dosen)? Tentu banyak jalan yang bisa ditempuh untuk meluaskan pengaruh buku teks kepada masyarakat. Sebelum buku teks, masyarakat hendaklah sadar bahwa mereka perlu banyak membaca. Inilah yang kerapkali disebut membentuk budaya baca yang masih rendah di negara kita. Agar upaya meliterasikan mahasiswa (sebagai bagian dari masyarakat) tercapai, perlu dirintis minimal dua hal berikut ini.

Kesatu, revisi buku teks. Pemerintah hendaklah membuat program pengadaan buku teks yang betul-betul layak dan sesuai dengan perkembangan saintek terkini. Buku ini hendaklah disusun oleh sebuah tim dalam bidang ilmu tertentu. Setiap tim menulis buku teksnya masing-masing dengan tetap mengindahkan masukan dari berbagai kalangan yang memang terkait dengan keilmuan tersebut.

Revisi ini sangat penting agar wawasan ilmu mahasiswa dan dosen juga bertambah. Jangan sampai kita mempelajari buku teks yang isinya sudah ketinggalan zaman. Di pasar loak, buku teks “kuno” ini bisa dibeli dengan harga sangat murah. Malah ada yang digunakan sebagai bungkus kacang atau kue serabi. Memang ada buku kuno dan langka yang harganya selangit dan diburu orang dalam setiap acara lelang. Ini, saya yakin, bukan isinya yang bernilai tinggi apalagi dilihat dari sisi perkembangan saintek, melainkan sisi historisnya.

Ide revisi buku teks ini tentu saja tak mudah diwujudkan. Sebuah tim perevisi harus dibentuk dulu yang beranggotakan orang-orang yang pakar di bidang itu. Setelah tim ini terbentuk barulah beranjak ke soal pemilihan buku teks. Adapun dananya, pemerintahlah yang wajib menyediakannya atau dengan mancari sponsor yang namanya dimasukkan ke dalam buku sebagai ucapan terima kasih.

Kedua, impor buku. Cara ini lebih cepat ketimbang cara kesatu. Asalkan ada dana, pemerintah bisa langsung membelinya dan dihibahkan ke perguruan tinggi. Hanya saja, kendalanya itu tadi, mahasiswa kita enggan membaca buku teks berbahasa Inggris. Walau demikian, mari belajar dari Jepang. Pada masa Meiji (1868-1912) negara sakura ini banyak mengadopsi buku dari Eropa. Mereka berupaya belajar sendiri, percaya diri dan akhirnya berhasil menjadi salah satu pionir dalam saintek.

Kita juga bisa belajar dari India. Negara di Asia Selatan ini banyak mengimpor buku dan sekaligus memupuk penulisan buku teks. Di India banyak sekali beredar buku karya terjemahan dan karya asli orang negeri Sungai Gangga itu. Malah buku-buku teksnya sudah menyebar di Asia Tenggara. Risetnya juga sudah primer, menjadi rujukan internasional di berbagai jurnal ilmiah papan atas.

Demikianlah dua hal besar dunia pendidikan tinggi kita yang terkait dengan buku teks, yaitu revisi buku teks (Ini dapat dilakukan kalau sudah ada buku teksnya. Tapi kalau belum ada, pemerintah wajib mengupayakan penulisan buku teks yang juga diselenggarakan oleh sejumlah pakar dalam lingkup ilmunya), dan impor buku sebagai alternatif yang juga penting (kalau ada dana, bisa juga diusulkan kegiatan penterjemahan textbook yang juga dikerjakan oleh pakar di bidangnya).*
ReadMore »

Berkawan Buku, Berbilang Ilmu

Pintu ilmu, jendela dunia, itulah buku. Membaca buku sama dengan membuka tirai dunia dan membawa dunia lebih dekat dengan kita. Malah ia ada di tangan kita, dalam lembaran kertas berisi tulisan bermakna, kalimatnya tertata dengan struktur tertentu yang bervariasi. Mengecillah dunia, menjadi bumi-mini dalam genggaman pencinta buku. Itulah mereka, para penikmat buku, yang seolah-olah telah merajakan dirinya di dunia (literasi).

Gudang ilmu atau yang lebih tepat ialah ladang ilmu, itulah buku. Ladang tempat pesemaian benih-benih unggul yang bagus hasilnya sehingga menjadi ladang kebaikan, menggiring orang pada kebenaran, dan menjadi hiburan bagi kalbu. Banyaklah buku yang berakhir di skenario film dan laris bukan main. Memang, tak dapat dimungkiri, ada juga benih-benih buruk yang disemai sehingga ada buku yang menjadi ladang maksiat atau mengubah pikiran menjadi marxis dan melekatkan ateisme di selaput kelabu otaknya.

Berkawan Buku
Lewat buku, kita menjadi makin tahu. Orang yang belum pernah ke kutub menjadi tahu kondisi di sana lewat koran, majalah, tabloid atau buku. Buku-buku tentang kedigjayaan bangsa dan budaya Mesopotamia di Persia (Irak) zaman dahulu bisa diketahui lewat buku. Yang belum pernah mendaki pegunungan Himalaya di India, menjadi tahu cerita tentang makhluk Yeti yang misterius itu, juga dari buku. Tentang jagat raya atau makrokosmos seperti planet, bintang-gemintang, asteroid, komet, matahari hingga galaksi atau alam renik semisal bakteri atau kuman, juga bisa didapat di buku. Sejarah tentang kertas atau papirus dan riwayat mesin cetak Gutenberg juga dapat ditelusuri di buku-buku.

Pendeknya, semua ilmu dan teknologi mulai dari ajaran agama, sekte kepercayaan, teknologi lama dan baru, sejarah dan situs purbakala hingga zaman dinosaurus bisa diretas lewat buku. Tak berlebihan jika buku disebut penyambung lidah sejarah. Ia meniti dan melintasi zaman sambil mendata pernak-pernik adat dan budaya di setiap daerah. Sebagai penyambung kebudayaan, buku begitu penting bagi masyarakat beradab yang selalu berpikir maju. Catatan ilmu dan teknologi dari sejumlah buku dipelajari oleh ilmuwan dan teknolog, lalu diuji coba di laboratorium kemudian hasilnya dituangkan dalam buku juga. Bagaimanapun, buku adalah salah satu alat komunikasi antar ilmuwan lintas agama, lintas budaya, lintas negara, dan lintas masa.

Itulah kekuatan buku. Banyak yang percaya pada kemampuan buku untuk menyebarkan sainstek di tengah perkembangan radio, televisi, komputer, internet atau apa saja pada masa depan. Kehadiran ponsel dengan SMS-nya (servis madah singkat) makin membiasakan orang menulis catatan singkat. Ini pun bisa menjadi cikal-bakal munculnya penulis-penulis buku di kalangan remaja. Terlepas dari SMS itu yang?kata pakar bahasa, para munsyi?merusak bahasa kita.

Walaupun demikian, polemik itu usahlah diangkat di sini. Yang pasti, baik SMS, e-mail atau e-mail grup (millis) maupun surat-surat biasa lewat pos adalah sarana pembiasaan menulis dan mengemukakan pendapat secara tertulis yang tertata. Pasti ada sisi positifnya. Untuk tahap awal, amat prematur kalau kita langsung bicara soal mutu tulisan. Artinya, semua orang silakan saja menulis: mau cerita fakta, silakan. Mau fiksi, boleh-boleh saja. Mau novel pop, ingin novel picisan, atau novel sastra, semuanya sah-sah saja. Nanti masyarakatlah yang menilai.

Kembali ke soal buku. Buku adalah kawan yang nyaman dijinjing ke mana saja. Praktis dan mudah diakses. Kapan mau dibuka, saat itu juga bisa dilakukan. Tak perlu listrik, tanpa baterei, dan ringan. Sambil santai di kursi, sembari berbaring atau lesehan, waktu berjemur di pantai, mudah dilakoni. Bahkan, untuk mengirim surat ke pacar zaman cinta monyet di SMP-SMA dulu banyak yang diselipkan di dalam buku-buku cerita seperti Lima Sekawan, Sapta Siaga, novel pop, atau buku-buku paket mafikibi (matematika, fisika, kimia, biologi). Tidak aneh kalau buku-buku yang “bersejarah” tadi disimpan sampai sekarang. Kenang-kenangan, katanya. Malah ada yang dijadikan dokumen otentik dalam penulisan otobiografi.

Berbilang Ilmu
Separuh tajuk Pameran Buku Bandung (PBB) kali ini adalah Berbilang Ilmu alias kaya pengetahuan. Siapa yang tak ingin pintar? Hanya orang gila yang tak hendak pandai. Itu sebabnya, walaupun ada Inpres No. 10/2005 tentang Hemat Energi yang resmi berlaku pada Minggu, 10/7, maka khusus untuk buku, maaf Pak Presiden, aturan itu tidak berlaku dan tak boleh berlaku. Boros membeli buku (asalkan dibaca) tentu tidak apa-apa. Ini investasi, bukan konsumtif. Sebab, andaikata harus hemat pada buku, dengan kata lain mereduksi pembelian buku, bisa-bisa negara ini jatuh pailit pada masa depan, baik dalam sainsteks (sains, teknologi, dan seni) maupun bisnis. Tanpa disuruh hemat saja masyarakat kita enggan dan tidak antusias membaca buku (ingat, bukan membeli buku melainkan membaca, misalnya di perpustakaan). Sekali-duakali saya coba-coba menghitung jumlah pengunjung Perpustakaan Daerah di jalan Soekarno-Hatta, ternyata tak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki, baik di ruang buku anak-anak, di ruang majalah-koran, maupun di bagian lainnya. Ruang audio-visualnya pun sering nganggur.

Jadi, khusus untuk buku, prinsip hemat tidak berlaku agar pada masa depan kita bisa berbilang ilmu seperti masyarakat di negara maju. Sebab, dari sekian kali Pameran Buku Bandung (PBB), arena diskon yang digelar pada awal tahun akademik ini kerapkali tidak mencerminkan antusiasme warga Bandung secara umum. Tolokukurnya ialah kecilnya rasio jumlah pengunjung PBB terhadap warga Bandung yang mencapai 2,5 juta orang. Apalagi kalau dibandingkan dengan orang yang berkunjung lantas membeli satu, dua atau tiga buku pasti sangat-sangat kecil. Berapa orang yang datang ke PBB tahun-tahun yang lalu? Angka itu mesti dikoreksi lagi lantaran ada banyak pengunjung yang datang ke PBB berkali-kali. Mungkin ada yang datang setiap hari. Orangnya ya itu-itu juga.

Apa pasal? Kecilnya minat berkunjung ke PBB dibandingkan dengan ke tempat hiburan lain semisal mal, supermarket, show musik, olah raga, dll. adalah cermin kualitas manusia Indonesia. Sejauh ini kita tergolong negara yang miskin pembaca buku dan otomatis tak berbilang ilmu. Suatu kali seorang penyair memvonis bangsa ini sebagai bangsa yang tak haus membaca tetapi haus rakus pada harta (haram) dan “tahta” sehingga gontok-gontokan terus seperti pilkada sekarang. Jangankan menjadi penulis seperti harapan di atas dengan memulainya lewat SMS, menulis surat atau e-mail, untuk membaca sehalaman-dua saja banyak yang malas. Adakah ini terjadi lantaran tingkat ekonomi mayoritas kita berada di level menengah-bawah dan memosisikan buku sebagai barang mewah alias kebutuhan tersier? Saya yakin bukan ini sebabnya melainkan rasa ingin tahu yang masih rendah atau tak mau tahu, acuh tak acuh.

Kendati demikian, ada data unik, lebih tepat aneh, yang perlu disampaikan. Ini ironis. Buku ternyata belum populer di sebagian kaum menengah-atas, kaum kaya dan berharta lebih dari cukup untuk takaran umum rakyat Indonesia. Bukan lantaran harganya, apalagi kalau dibandingkan dengan harga seporsi makanan di restoran fastfood, atau tiket nonton film, sewa CD dan game, atau sepuluh liter bensin, melainkan karena minat bacanya yang tidak ada. Menyedihkan sekali ada kepala daerah, kepala dinas, direktur perusahaan, dan anggota dewan yang tidak senang membaca. Tidak beruangkah mereka? Tidak juga! Uangnya banyak dan kabarnya ingin naik gaji lagi. Lihat saja baju dan setelannya necis semua; mobilnya banyak dan luks, rumahnya megah-megah. Jadi, apa masalahnya? Satu jawabnya, mereka tak hendak berkawan buku, tak ingin berbilang ilmu dan merasa cukup dengan ilmunya yang ada sekarang. Inikah alamat “kiamat” bagi dunia literasi kita?
ReadMore »

Laksmidewi

Laksmidewi
Oleh Gede H. Cahyana


Malam itu kali ketiga air matanya mengalir. Dua hari lalu yang kedua dan yang pertama terjadi ketika ia baru saja sampai di puri. Itu enam hari lalu. Libur semester tinggal lima hari lagi. Bukan apa-apa, dosen pembimbing skripsinya akan ke Filipina, ke tempat magangnya dulu di IRRI. Apalagi tekadnya sudah bulat, sebelum dosennya pergi ia sudah harus mendiskusikan metode pembenihan padi yang paling anyar dirintis di International Rice Research Institute itu. Ia menganggap inilah subbab kritis selama delapan bulan skripsinya. Jika dapat lampu hijau dari dosennya berarti cepat pula ia sidang dan, harapannya, segera pula menikah.

Rencana tinggal rencana, tak terjadi seperti hasratnya. Kalutlah kini hatinya. Bentakan bapaknya mendenyut-denyutkan kepalanya. Disela-sela tetesan air matanya, lamat-lamat suara disimaknya. “Anak apa itu? Apa lupa garis darahnya? Ditaruh di mana muka ini? Seumur-umur keturunan Anak Agung Ngurah Winaya selalu kawin dengan menak. Ini harga diri!” Benturan keras di meja menggema.... lalu hening.

Menggigil hatinya, berkunang-kunang matanya, berbintang-bintang kepalanya. Gemuruh. Lemah sudah tubuhnya. Bagi gadis 23 tahun yang terpapar kampus biru di Yogyakarta, trah menak justru beban berat. Anak Agung Ayu Laksmidewi, nama yang diberikan bapaknya lewat semedi tiga hari tiga malam, ini kata ibunya, begitu berat di pundaknya. Sebagai perempuan Bali ia tahu sangat mustahil diizinkan menikah dengan sembarang orang, sembarang garis genetis. Kakak perempuannya sudah menikah dengan Ida Bagus Made Wisastra Manuaba, seorang dokter yang kini tinggal di Kupang, NTT. Sepupu sebayanya setahun lalu menikah dengan seorang Ajun Komisaris Polisi dari Puri Mlanting yang masih kerabat raja Tabanan masa prakemerdekaan: Anak Agung Putu Lanang Oka. Dan kakak pertamanya, Anak Agung Ngurah Anom Pemayun telah menyunting “melati” dari garis raja-raja Karangasem di Bali Timur. Semuanya menak.

Ia tahu, satu risiko yang pasti didapatnya jika menikah dengan orang bukan menak adalah degradasi statusnya sebagai orang puri. Apalagi kalau menikah dengan orang dari kasta rendah, kasta Sudra, hatta bergelar sarjana, magister ataupun doktor. Gelar akademis apapun tak mampu melawan galur gelar tradisional yang dianut keluarga besarnya. Lebih buruk lagi kalau menikah dengan orang yang beda agama. Sudah hilang menaknya, hak waris pun lenyap. Jangan-jangan putus pula kekerabatan.

“Aku tak mampu lagi. Sudah lima kali bicara tapi bapak yang sesekali didukung ibu sudah bulat. Tak setuju. Maafkan aku Mas,” bisikan hatinya bergetar mengingat Bambang, pacarnya asal Sragen. Keluarga Bambang memiliki sejumlah toko dan galeri batik di Semarang, Solo dan Yogya. Galeri batik terkenal dekat stasiun Solo Balapan adalah milik ayahnya, Raden Mas Sosrojoyo Prawirokusumo, salah satu cicit dari garwo ampil patih Reksodipuro. Di Delanggu apalagi, keluarganya memiliki berhektar-hektar sawah yang diurus oleh abdi dalemnya.

Apakah Laksmi tertarik lantaran pria berkumis rapi itu anak orang kaya dan ningrat? Tak sengaja ia bertemu Bambang. Waktu itu, delapan bulan lalu, ia kerja praktik di Wonogiri dan Sukoharjo. Ia terjun langsung meneliti padi yang biasa ditanam di Sukoharjo yang airnya dari waduk Gajahmungkur Wonogiri. Jenis risetnya mengharuskannya ke desa-desa, mencari data ke para petani dan rela belepotan lumpur. Saat itulah ada lelaki tegap berambut ikal yang belakangan diketahuinya anak Fakultas Ekonomi, juga sedang riset di pabrik tekstil besar di Sukoharjo. Di pabrik milik mantan pejabat masa Orde Baru itulah dia merajut benih kasih sambil belajar benih padi. Laksmi ditolongnya mengumpulkan data.

“Makan yuk,” ajak Bambang di terminal Krisak setelah sempat ke “proyek”, sebutan salah kaprah untuk waduk Gajahmungkur. Berkaos dan celana jins, Bambang tampak atletis dan guratan wajahnya menapak menak Jawa. Sepatunya kets hitam. Tasnya berbahan batik buatan pabrik ayahnya. Pertemuan selama dua minggu itulah yang lekat di hatinya, bahkan sampai ia kembali ke Bulaksumur.

“Laksmi, aku serius. Bapak ingin aku segera menikah.” Mata elangnya menatap Laksmi, tangannya menggenggam sebotol air minum kemasan.

“Aku usahakan, Mas. Mudah-mudahan lancar. Doakan ya!”

Laksmi bukan tak tahu masalah besar yang bakal kukuh menghadangnya. Masih ada ragu di hatinya, terutama pandangan bapaknya. Ibunya selalu ikut apa kata bapaknya. Sepuluh hari setelah Bambang mengutarakan ingin menikahinya, Laksmi diundang orang tua Bambang. Terkejut ia. Tak tahu ia bahwa pemuda itu masih dari kalangan ningrat. Rumah besarnya di Sragen membuatnya terhenyak. “Mas Bambang kaya tapi sederhana,” getar hatinya. “Ya Tuhan, bantu aku. Kalau ia tepat buatku, tolong izinkan.” Baru saja menapak ruang tamu, terdengar sambutan.

“Ndoro sampun rawuh!” seru perempuan berkulit keriput coklat dengan rambut diikat ke belakang mirip sanggul. Ditatapnya lukisan di tembok kanan-kiri. Keluarga raja Jawa, batinnya. Di atas meja jati di sudut ruang tampak sederet foto. Satu yang menariknya, pria berpakaian Jawa lengkap. Seuntai kata dibacanya: Raden Mas Bambang Pamuji Joyoprawiro. Selama ini ia hanya tahu Bambang Pamuji saja.

Pertemuan dengan keluarga besar Bambang itulah yang membulatkan tekadnya untuk ke Bali dan mengutarakan niatnya. Karena itu pulalah ia terisak-isak di kamarnya. Dan kini, bulat sudah hatinya untuk pergi lagi, berangkat ke Sragen. Ia nekad. Hanya dengan ibunya ia pamitan yang telah lelah membujuknya agar jangan pergi. Laksmi ternyata bisa sekeras itu. Sekeras bapaknya. Ia naik bis. Estafet. Naik turun di sejumlah terminal sampai Surabaya lalu naik bis lagi menuju Solo, ke rumah eyang pacarnya. Bambang diminta menjemputnya di Tirtonadi Solo.

***

Hajatan sederhana, jauh dari kesan pesta anak pejabat, berlangsung di Sasono Prawiropuspito. Keluarga Bambang saja yang hadir pada tanggal 2 Maret itu. Bertindak selaku wali mempelai perempuan adalah wali hakim yang masih kerabat mempelai pria. “Saya terima nikahnya Anak Agung Ayu Laksmidewi dengan mas kawin 23 gram emas perhiasan, tunai!”*
ReadMore »

Valentinologi

Valentinologi 
Oleh Gede H. Cahyana

Judul tulisan ini adalah cabang baru ilmu humaniora yang berakar pada kata valentinus dan logos. Sudah jamak diketahui, logos berarti ilmu. Adapun valentinus merujuk pada nama seorang rahib kelahiran Roma, yaitu Valentin. Ada juga yang meyakini berasal dari nama seorang pendeta yang sebelum menjadi martir menitipkan secarik surat untuk perempuannya bertuliskan From Your Valentine pada masa kaisar Claudius II. Ini terjadi tahun 269/270 M. 

Versi lain pun ada, misalnya kalangan Prancis Normandia percaya kata itu terkait dengan galentine, dari kata galant atau cinta. Jika di-othak-athik gathuk akan didapat sederet lagi hal serupa. Beragamnya asal-usul Hari Valentin (HV) kian menguatkan pendapat bahwa itu mitos-legenda belaka. Garis historisnya tak bisa diruntut sampai ke “perawi” primernya alias tidak “mutawatir”.



Namun demikian, lepas dari kekacauan asal-usulnya itu, valentinologi tetap bisa dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari seluk-beluk, ekspresi, dan karakter budaya perihal kasih sayang antarmanusia. Maknanya bukan hanya internal agama masing-masing, melainkan juga lintas agama lintas budaya lantaran kasih sayang bersifat universal, dibutuhkan semua orang. Hanya saja, dan ini masalahnya, arti kasih sayang itu dipersempit oleh kalangan remaja sehingga seolah-olah merekalah pemiliknya. 

Terbukti memang, HV selalu digandrungi kaum muda SMP, SMU, dan mahasiswa. Mereka mengadopsi budaya barat yang titik beratnya berupa hadiah dari lelaki kepada wanita dan imbalannya tak lain daripada virginitas. Boleh jadi juga wanitanya sudah tak perawan karena penganut seks bebas sehingga hadiah bagi lelakinya bukanlah hadiah utama, melainkan sekadar pengisi malam dingin saat HV. Yang paling parah adalah tukar-menukar pasangan dalam ujud orgy party, pesta seks rame-rame.

Bagaimana dengan orang tua, adakah yang merayakannya? Ada! Mereka umumnya orang tua yang usianya masih likuran (duapuluhan) dengan satu-dua anak balita. Biasanya sang suami memberikan hadiah berupa ikon-ikon HV seperti boneka, cincin, gelang, kalung, bross, jepit rambut berbahan emas atau bertahtakan berlian. Bungkus kadonya merah, pink atau coklat. Sebaliknya sang istri menyampaikan peluk cium mesranya dan selanjutnya mereka berdua saja yang tahu. Hal ini positif dan baik-baik saja. 

Masalahnya muncul jika hal serupa dilakoni oleh remaja belasan dan likuran yang pranikah. Justru kelompok inilah yang terbanyak dan ekspresif merayakannya dengan dansa-dansi berpakaian ketat terbuka. Inilah yang ditakutkan orangtua. Memang, tak sedikit orang tua yang tenang-tenang saja karena mereka pun ketika remaja menganut gaul bebas dan tetap begitu sampai berumah tangga. Orang tua seperti ini biasanya tak mau menasihati anaknya sebab mereka pun berbuat serupa.

Islamic Valentine
Fakta berkata, HV kian luas. Tak hanya di kota besar di Jawa, tapi juga sudah merambah ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara. Sebabnya hanya satu, lahan bisnis produk HV seperti boneka, bantal, cincin, gelang, kalung, kartu, coklat dengan warna merah atau pink kian besar. Meskipun harganya berlipat-lipat, tetap saja produk valentis diburu kaum muda apalagi hanya sekali per tahun. Bisnis. Sekali lagi, bisnis! Inilah alasan utama kenapa HV takkan bisa lenyap dari bumi, malah kian direspon saja. Pebisnis akan menempuh segala upaya demi kelarisan produknya, baik lewat propaganda di koran, radio, televisi maupun internet. Apalagi begitu banyak majalah dan tabloid “porno” yang berkepentingan akan oplahnya dan siap bersaing “berdarah-darah”.

Tak heran kelompok tersebut ikut masuk ke dalam arus-induk (main stream) yang menentang UU Antipornografi-pornoaksi. Jika UUAPP disahkan bisa dipastikan mereka akan bangkrut atau paling tidak berurusan dengan pengadilan. Segala upaya lantas dikerahkan, termasuk lewat publikasi dan menggembar-gemborkannya di televisi. Jika demikian, akankah pihak yang kontra-HV berpangku tangan dan cuma teriak bahwa HV itu bid’ah, tak ada contohnya dalam Islam, dan tak sesuai dengan budaya Indonesia? Apabila hanya ini yang dilakukan, dampak HV pasti meluas dan mendapat simpati dari muda-mudi yang tak matang spiritualnya. Sebaliknya, pihak pengecam HV malah dimusuhi dan disebut kuno bin kolot, tak tahu perkembangan zaman. Maukah da’i, ustadz, dan penceramah serta penyeru kebenaran lainnya dikata-katai seperti itu?

Jika tak setuju, harus dicarikan “kompromi” agar HV justru menjadi perayaan positif, minimal sebagai tandingan HV konvensional selama ini. Kalangan kontra-HV mesti berupaya “menunggangi” HV konvensional dengan HV modern, misalnya dengan cara “setuju” pada perayaan HV dimodifikasi, yaitu Islamic Valentine atau Hari Valentin Islami (HVI). Nama Valentin tetap digunakan tapi hanya sekadar masker agar tak ditolak mentah-mentah oleh kawula muda pegiat HV konvensional. Sebab, perubahan drastis di kalangan remaja biasanya tak disukai, malah dijauhi sehingga tujuan HVI takkan tercapai.

Bagaimana ujud gagasan HVI itu? Tak jauh beda dengan HV konvensional. Bedanya, HVI menjurus pada perilaku islami, akhlak mulia, misalnya dengan cara menolong kaum miskin dan jompo. Semua ikon dan produk HV konvensional dimodifikasi menjadi ikon dan produk HVI. Boleh saja tetap berboneka ria tapi ujudnya adalah boneka yang mengingatkan kawula muda akan akhlak mulia. Gambar dan kartu juga diisi kalimat yang mendekatkan diri kepada Allah, misalnya sitiran hadis atau Qur’an. 

Makanan coklat masih bisa digunakan tapi diperkaya dengan makanan jenis lain seperti beras, roti, lemon, apel, dll yang diberikan kepada fakir-miskin dan jompo. Obat-obatan juga bisa diberikan. Begitu pun kaset dan CD pendidikan, motivasi dan kisah perjuangan orang sukses di bisnis dan pemimpin negara. Lagu-lagunya juga lagu yang memotivasi untuk mandiri. Ujud kasih sayang itu pun bisa dimunculkan lewat buku. Boleh juga buku agama dan buku-buku bisnis. Pemberian buku ini akan meluaskan ilmu masyarakat dan dampaknya positif.

Mari modifikasi HV menjadi HVI dengan fokus pada kasih sayang positif, bukan cinta nafsu. Apalagi kasih sayang, rahman dan rahim adalah ciri khas ajaran Islam. Mudah-mudahan HVI mampu mereduksi pola gaul seks bebas dan mereduksi atau bahkan meniadakan HIV (Human Immunodeficiency Virus), si virus AIDS.*

Gede H. Cahyana
ReadMore »

Aceh, Tsunami, Resafel Kabinet Raja

Telah lewat setahun TSUNAMI atau SMONG mengiris-iris Aceh. Triliunan uang sudah disalurkan ke pemerintah NAD, baik bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebagian dari bantuan itu telah diketahui “dimakan” orang-orang tegaan tak bermoral. Sebagian yang lain disusupkan ke kantong LSM berkedok menolong anak-anak dan orang tua renta lewat yayasan-yayasan yang tiba-tiba hadir di sana. Juga disantap oleh pejabat dan pegawai yang mengurusi bantuan di daerah tsb. Dan pada Hari Ibu lalu, banyak ibu-ibu dan anak-anaknya yang demikian menderita, sebatang atau dua batang kara. Juga ada yang tega menjual anak-anak itu demi sesuap dua suap emas.

Pada saat yang sama, setelah resafel atau tukar tempat beberapa menteri, kini di Papua terjadi kelaparan. Namun fakta itu ditolak oleh pemerintah kita, bahwa kejadian di Yahukimo bukanlah kelaparan. Itu hanyalah gejala saja. Gejala awal kelaparan. Boleh jadi ada “Yahukimo-Yahukimo” lainnya di provinsi lain yang tak terdeteksi. Sebetulnya pemerintah sekarang tak perlu malu sebab ini bukanlah salah mereka saja, melainkan juga kesalahan pemerintah sebelumnya, termasuk kesalahan pemerintah daerah setempat. Semasih pemerintah terus berbohong dan membuat kontraopini atas berita koran berarti pemerintah memosisikan dirinya di seberang rakyat. Membela diri habis-habisan demi menyelamatkan muka yang sangat tak mungkin bisa disembunyikan. Mata, kamera, video, dan bahkan satelit telah bersaksi atas apa yang terjadi. Bisakah rakyat terus dibohongi dan dianggap bodoh semua?

Yang lebih gawat lagi, negara kita tak mampu menolong dirinya sendiri. Semua ahli mesti dikerahkan dari negeri manca. Segala bantuan, entah murni bantuan atau ada udang di balik batu, diterima begitu saja dan yang memberikan bantuan bisa langsung bebas masuk ke NAD. Tentara asing pun pernah bebas jalan-jalan di Aceh. Duh biungg... bangsa ini sudah kehilangan akal sehatnya.

--- ************* ---

Belum lama berselang kabinet bernama Kerajaan Bersatu dari negeri Mandalagiri bertukar ponggawa. Hanya saja, orang-orangnya masih yang itu-itu juga, masih stok lama, bukan wajah baru berspirit anyar. Memang asa telah ditanam agar para ponggawa itu mampu membawa ekonomi kerajaan menjadi lebih baik dan mantap, agar busung lapar, kelaparan, atau apapun namanya, bisa berkurang. Sejumlah ponggawa resafelan dititah ke negeri Timur untuk melihat apa betul ada kwashiorkor di sana. Selain itu, tugas besar ponggawa baru tak lain daripada penstabilan ekonomi tanpa gejolak seperti pada rusuh massal saat raja lengser pascatridasawarsa memangku negeri itu.

Menurut warta teranyar harian Serat Centono, tukar-menukar posisi itu demi menyelamatkan muka ponggawa agar masih bisa tampak wibawa di mata rakyat Kerajaan Mandalagiri. Muka-muka itu, pada masa lalu pernah dianggap kaki tangan raja yang lengser lantaran gerakan massa brutalyudha atau minimal punya kekerabatan. Asas pini sepuh anutannya dan tepo salironya sebagai pemangku adat selalu menjunjung prinsip mikul dhuwur mendhem jero. Tatkala urun rembuk tentang arah tumbuh kerajaan, semua lurah, demang, panditha, ponggawa dan tetua perdikan tanah seberang telah seia-sekata. Tak hanya itu, kerajaan seberang pun ramai mengutus dutanya untuk bersahabat luhur, menimba ilmu ulah kanuragan dan ulah jiwa. Balas kunjung kerap dilaksanakan hingga ke negeri Jagatnatha di tataran Antah Berantah yang butuh tujuh hari tujuh malam perjalanan naik kuda sembrani.

Itulah kedigjayaan Raja yang pernah memimpin paguyuban hulubalang di kerajaan itu. Pangkatnya mencapai taraf tertinggi, yaitu Pangageng Utomo sepulang dari akademi di Breda, Nederlands. Di tataran olah-ilmu, Sinuhun pun berhasil merengkuh Mahaguru setelah sebelumnya dinobatkan menjadi Doctor Ingenieur dari Landbouwuniversiteit. Selain pamornya itu, ia pun menyunting sekar kedaton yang mewangi nan elok, memukau bukan hanya yang empunya tapi juga hulubalang dan rakyatnya. Hanya sayang, Sang Raja acap gundah-gulana karena permaisurinya tak pernah tersenyum lagi setelah penobatannya menjadi raja. Ini tentu masalah besar apalagi saat jamuan makan malam di hadapan raja-raja sahabat.

Setelah sejumlah upaya, ditemukanlah siasat agar kuntum itu menyungging lagi. Atas usul paguyuban penasihat raja, tepat purnama bulan kesembilan ketika orang terlelap di tengah sunyi malam, serdadu penjaga istana diperintahkan membunyikan genderang perang. Pecahlah keheningan malam itu menjadi hiruk-pikuk dan kepanikan. Bunga api di menara kerajaan pun menghiasi langit. Tampak indah. Dan benarlah, Permaisuri tersenyum manis, mengalahkan keindahan bulan bulat terselimuti awan tipis saat itu. Ceria sekali ia, tampak dari semburat merah merona pipinya, membuat terkesiap darah pemandangnya.

Sementara itu, rakyat kian panik sambil memanggul tombak, busur dan anak panah serta menghunus keris. Riuh rendah teriakannya, berlari kian kemari tak tentu arah. Tapi mereka tetap belum tahu, dari mana arah musuh menyerang istana. Baru setelah obor mati karena minyaknya habis, mereka tersadar kalau genderang tadi hanyalah untuk memuaskan raja, ponggawa, kerabat istana, hulubalang dan penasihatnya. Senyaplah lagi suasana. Sembari masuk ke serambi biliknya, terdengar gumaman keluhan dan sungutan kekecewaan. Begini nasib jadi wong cilik. Minyak mahal habis sia-sia, kantuk berat kian terasa tapi hati terus terjaga, waswas besok harus puasa. Tak punya lagi apa-apa.

Setahun berselang menjadi raja, di tengah evaluasi politisi lawan dan pengamat yang intensif memata-matai sepak terjangnya, Raja tetap menjalankan rutinitasnya. Puas membekas dan tenteramlah hatinya melihat begitu indah senyum itu. Barangkali, banyak yang cemburu melihat aku bahagia seperti ini. Punya istri cantik, tanah perdikan luas-makmur yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Rakyat pun mendukungku. Buktinya, tak ada yang kecewa malam “rusuh” itu. Resafel ponggawa dan hulubalang pun tak masalah. Harga-harga di pasar Giripurwo tetap stabil. “Paberjk Badjoe” di Wonitirto tetap produksi. Begitu gumam Sang Raja setiap ia duduk santai atau tatkala di pembaringannya. Nyenyaklah tidurnya di samping istrinya nan rancak bana.

Tapi ia keliru rupanya. Tanpa disadarinya, kalangan dekat yang kepayang dengan gelimang harta, kemudahan dan berbagai hak privilese membuatnya kurang awas lan waspodo. Ponggawa, hulubalang dan prajurit pun terbuai sehingga tak siap lagi menangkal kemungkinan terburuk. Karenanya, ketika benar musuh menyerbu dari delapan penjuru angin, mereka terlena dan tak sigap lagi. Istana telah dikepung dari utara, timur dan barat. Padahal, daerah itulah sumber utama dukungan raja yang juga banyak memberikan upeti untuk pembangunan istana. Suara tetabuhan genderang perang memang terdengar dari kejauhan, menyusup ke pori-pori gedhek rumah penduduk. Namun terlambat. Tak ada lagi rakyat yang bangun dan peduli karena pertahanan berbasis massa telah sirna. Rakyat sudah tak percaya lagi. “Pasti Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,” bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan-dipan reyotnya.

Tutur sahibul hikayat, kerajaan itu - esoknya - telah dikuasai musuh, tergadaikan ke orang seberang yang putih kulitnya, tirus parasnya, mancung hidungnya. Yang sangat menyedihkan, musuh itu ternyata kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana dan membantu sebuah perdikan yang luluh-lantak akibat “geger segoro” tsunami. Smong... smong. Rupanya, telah lama dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan kecil di sekitar istana. Ondergrondse actie. *
ReadMore »

30 Maret 2006

Bilal dan Craig

Matahari Mekkah sedang terik-teriknya. Angin gurun deras mengempas pasir. Tengah hari, debu terbang, ditambah batu besar, ikatan tali, dan tindihan kaki-kaki kasar, makin meremukkan tubuh lelaki itu. Kulit hitamnya bertambah kelam, kotor berdebu. Hanya giginya yang tampak putih di tengah erangannya, di sela-sela ucapan Allahu ahad. Ia tak tahu cara berdoa selain kalimat itu.

Apa pasalnya lelaki hitam pekat itu menerima siksa pedih? Ceritanya dimulai kemarin. Membangkang kemarin siang dia! Perintah majikannya untuk melecut Ammar, seorang budak, dengan cambuk besar yang kasar dibantahnya tegas-tegas. Ia buang cambuk itu dan perang melawan majikannya mulai sudah. Ammar tak yakin pada kesaksiannya waktu itu. Dia lebih senang dipecut saja. Dia malah memohon agar Bilal, budak Umayah itu, mau memecutnya demi terhindar dari murka majikannya. Itu sebabnya, Bilal kini ditindih batu ditengah terik mentari. Mentari Mekkah, apalagi siang hari, laksana mata pedang menghujam dalam di pori-pori kulit.

Bilal, lelaki yang merintih-rintih itu mulai tak sadarkan diri. Sebentar lagi ia bisa tewas. Berarti Umayah, majikannya itu, akan rugi sekian ratus dirham. Ini tentu kian membuatnya murka. Bagi Umayah, uang dan harta adalah segalanya, jauh lebih berharga daripada nyawa manusia hitam. Bukan Umayah namanya kalau tak bisa memanfaatkan situasi-kondisi. Dan benarlah, tak lama kemudian, ketika saat-saat kritis itu, datanglah Abu Bakar. Pria bergelar Sidik itu membeli Bilal. Harganya seratus dirham. Lalu Umayah teriak, “Budak ini telah menendang. Dia bergerak.” Melihat gerak kaki Bilal, dengan licik Umayah menggandakan harganya menjadi dua ratus dirham. Tanpa pikir panjang Abu Bakar membayarnya. Umayah tertawa terbahak-bahak. Dia mendapat uang dari budak yang sebentar lagi, menurut pikirannya, akan mati. Dia tidak rugi. Namun sebaliknya, bagi Abu Bakar, harga seribu dirham pun akan dibayarnya juga.

Batu dan tali-temalinya lantas dilepas. Dibantu Zaid, anak angkat Muhammad, Bilal berdiri. Saat itu juga ia dibebaskan oleh Abu Bakar. Bilal merdeka. Bebas dari perbudakan yang mendera sejak zaman nenek moyangnya. Untuk sementara dia dirawat keluarga Abu Bakar. Lima hari dia berbaring lemah di rumah Abu Bakar. Baru pada hari keenam dia bisa bangkit. Abu Bakar langsung memberinya susu kambing dan berkata,” Rasulullah senantiasa berdoa di sampingmu. Setelah engkau cukup baik, ia meninggalkanmu. Besok kita menemuinya.” Sejak itulah Bilal menjadi sahabat Muhammad selama dua puluh dua tahun, sampai nabi wafat. Bilal wafat di Siria pada tahun 644 Masehi atau tahun 22 Hijriah.

Boleh dikatakan, pengalaman Bilal mencerminkan pengalamannya bersama Muhammad. Dia ikut perang dan juga hijrah. Bilal bahkan menjadi muadzin pertama dan namanya abadi di setiap masjid. “Sebagai muadzin atau Bilal hari Jumat ini,” seru pengurus DKM,” adalah saudara Fulan.” Begitulah yang sering kita dengar pada hari Jumat menjelang adzan dikumandangkan. Bilal begitu terkenal. Namun, adakah kaum muslim yang tak tahu Bilal? Kalau pun ada pasti sangat sedikit jumlahnya. Yang tahu Bilal, minimal tahu bahwa kulitnya hitam, mungkin mencapai 99,999 %. Yang tidak tahu barangkali karena baru saja masuk Islam, menjadi muallaf. Bisa juga karena masuk Islam atas dasar pernikahan dan tak sempat mempelajari Islam lebih dalam lagi.

Sebaliknya, adakah yang tak tahu Craig? Untuk yang satu ini, kejadiannya bisa sebaliknya. Mungkin 99,999 % kaum muslim tak tahu siapa dia. Namanya beraroma bule. Tak salah memang. Craig, sejarawan dari dunia Barat, adalah pakar dalam ilmu-ilmu keislaman. Lantaran itulah dia begitu “dekat” dengan Bilal. Dia “kenal” Bilal seolah-olah mengenal telapak tangannya. Dia mampu bercerita apa saja yang Bilal kerjakan ketika hidup bersama nabi. Craig, lewat anak budak Abesinia bernama Rabah, bercerita tentang kehidupan Muhammad. Dengan lancar ia bertutur apa saja yang dilakukan Muhammad sebelum dan sesudah menjadi nabi lewat tokoh Bilal. Waktu itu Mekkah menjadi pusat berhala. Tak kurang dari 360 berhala terserak di Ka’bah. Berhala-berhala wanita, sebuah paradoks sekaligus misteri yang menyelimuti karakter orang Arab saat itu. Bayangkan saja, wanita disembah sekaligus disantap. Tiga berhala yang paling diagungkan: Al Lata, Al Uzza dan Mana, semuanya wanita. Tapi mereka pun membunuhi anak-anak wanita yang dianggap tak berguna dan memalukan trah keluarganya.

Demikianlah Bilal yang kisahnya abadi dalam buku-buku. Salah satu buku yang berkisah tentang muadzin pertama itu adalah karya H.A.L. Craig, terbit tahun 1977, diusung oleh Quartet Books Limited. Judulnya pendek saja, Bilal. Namun edisi Indonesianya berjudul Bilal Berkisah Di Hari Tuanya. Diterjemahkan oleh Kelompok Dialogi Bandung lalu diterbitkan oleh Penerbit Angkasa pada 1988. Diberi Kata Pengantar oleh Prof. Ahmad Sadali (alm), mahaguru di Jurusan Seni Rupa ITB dan waktu itu sebagai ketua YPM Salman ITB. Uniknya, buku ini baru bisa terbit setelah Pak Sadali meninggal setahun sebelumnya. Otomatis beliau tak tahu bagaimana ujudnya. Perlu waktu, kurang lebih, dua tahun untuk mewujudkan buku ini. Cukup lama untuk sebuah karya terjemahan, sebelas tahun setelah naskah aslinya terbit.*
ReadMore »

HAMKA, Dinasihati Bukunya

Kali pertama saya “berkenalan” dengannya, jika dihitung dari sekarang, memang sudah lama. Lebih dari 18 tahun lalu. Saya tak ingat lagi tanggal bulannya, tapi tahunnya tahun 1987. Di jalan Ganesha, di emper masjid Salman ITB, di situlah saya “bertemu” dengannya. Jadilah dia teman dekat saya. Saya dibuatnya terkagum-kagum dan kian menyulut hati saya untuk belajar Islam. Daripadanyalah saya mendapat pencerahan. Kalau pulang ke Bali, saya ajak dia seolah-olah saya tak bisa pisah dengannya. Di Bali, saya kenalkan dia kepada saudara dan orang tua saya. Namun tanggapan saudara dan orang tua saya biasa-biasa saja saat itu. Mereka terbiasa dengan situasi, kondisi, dan budaya Bali dan saya memakluminya. Sebaliknya saya makin dekat saja dengannya. Siang-malam terus bersamanya.

Apalagi dia sungguh hebat. Betapa tidak, dia bahkan berjasa menyelamatkan “majikannya” atau lebih tepat adalah “penciptanya”. Jika bukan lantaran dia, pencipta dirinya boleh jadi tak selamat lagi dan dicap sebagai pengkhianat negara. Namanya bakal hapus dari direktori ulama Indonesia yang telah berurat-berakar di sekujur tubuhnya. Ini akan mengecewakan ayahnya yang juga ulama besar pada masa prakemerdekaan Indonesia. Dia adalah “Tasauf Moderen”, buku yang awalnya rubrik di majalah Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan. Baru pada Agustus 1939, enam tahun praproklamasi, dia berubah menjadi buku.

Bagaimana bisa “spirit” ilmu mampu menasihati penulisnya yang tak lain daripada Hamka? Dalam buku itu, di bagian Pendahuluan Pengarang dikisahkan relasi antara Tasauf Moderen dan pengarangnya. Hamka sempat diselamatkan oleh “ruh” dalam bukunya. Jika bukan lantaran ilmu dalam bukunya itu, mungkin Hamka sudah lama tiada sebelum memimpin MUI pada masa-masa awalnya. Kejadiannya tahun 1964, tanggal 27 Januari. Saat itu beliau diinterogasi habis-habisan siang-malam, sampai-sampai ada keinginannya untuk bunuh diri dengan cara memotong urat nadinya. Terlebih lagi penerima doktor honoris causa tahun 1959 dari Universitas Al Azhar karena dianggap salah-satu ulama besar Indonesia ini dikata-katai dengan sebutan hina. “Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!” itulah dentuman di telinganya yang mengoyak-ngoyak hatinya. Betapa tidak, sebutan itu menggetarkan tubuhnya dan membuat darahnya mendidih di ubun-ubun.

“Memang kemarahan saya itulah yang sengaja dibangkitkannya. Kalau saya melompati dia dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah cukup dapat merobek dada saya. Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar. Hamka lari dari tahanan, lalu dikejar, tertembak mati.” Demikian tulis Hamka dalam buku yang menjadi salah satu koleksi saya. Ujarannya itu dibuat pada Januari 1970 di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta, 36 tahun silam.

Godaan iblis ternyata tak berhenti sampai di situ. Iblis merayunya untuk bunuh diri. Untung imannya lebih kuat. Setelah menang melawan bujuk setan yang berlangsung satu jam, masih dalam tahanan Orde Lama, Hamka lantas berkata pada dirinya. “Kalau engkau mati membunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaan batin ini, mereka yang menganiaya itu akan menyusun pula berita indah mengenai kematianmu. Engkau kedapatan membunuh diri dalam kamar oleh karena merasa malu setelah polisi mengeluarkan beberapa bukti atas pengkhianatan. Maka hancurlah nama yang telah engkau modali dengan segala penderitaan, keringat dan air mata sejak berpuluh tahun.”

Itulah dia, kawan saya, si “Tasauf Moderen”. Berkali-kali saya tamat membacanya, berkali-kali pula saya buka lagi dan buka lagi. Pengarangnya telah dinasihati dan terlepas dari bunuh diri, putus asa, dan cemoohan orang. Jika betul Hamka bunuh diri memakai silet di tahanan Orde Lama, maka orang-orang yang setia membaca artikelnya di majalah, membaca novelnya, menyukai Tasauf Moderennya akan tidak percaya lagi padanya. Lebih parah lagi, pembaca akan memvonis ulama Islam sebagai pembohong karena kata-kata dan tulisannya tak sesuai dengan perilakunya. Dan yang jauh lebih menderita lagi adalah anak-anaknya yang boleh jadi akan menyumpah serapahinya sepanjang masa.

“Syukur alhamdulillah, perdaya setan itu kalah dan dia pun mundur. Saya menang! Saya Menang!” pekik hati ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat itu penuh tekad optimis. Setelah interogasi di luar batas HAM itu, Hamka lantas sakit dan diopname di rumah sakit di Rawamangun. Anaknya disuruh membawakan Tasauf Moderen. “Eh, Pak Hamka sedang membaca karangan Pak Hamka!” ujar temannya.

“Memang,” jawabnya, “Hamka sedang memberikan nasihat kepada dirinya sendiri sesudah selalu memberikan nasihat kepada orang lain....”

Nasihat. Buku memberikan nasihat kepada penulisnya. Luar biasa! Itulah ilmu yang menyelamatkan manusia. Ilmu yang tersimpan di selaput kelabu otak manusia, apalagi setelah sempat dituangkan dalam ujud artikel atau buku, dapat dibangkitkan lagi untuk menyinari hati yang gundah, stres, dan cemas. Jika demikian, kita bisa mencoba menulis buku yang dapat mengembalikan hati dan jiwa kita ketika hilang suatu saat kelak. Agar ilmu tak terkekang di hati, kari dalam hati, terbenam di hati. Sebab, misteri itu selalu menanti pada masa depan. Jika terjadi sesuatu, dan kita sudah punya buku yang memotivasi semangat hidup orang lain, segeralah ambil dan bacalah buku karya sendiri itu. Mudah-mudahan ia mampu menasihati kita dan menolong kita seperti yang terjadi pada Buya Hamka, sang maestro, sastrawan-ulama. *
ReadMore »

Guru Mengajar, Murid Menulis

Guru Mengajar, Murid Menulis

Guru mengajar, bukanlah berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru rajin mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang membaca dan terus membaca, apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, ini yang agak aneh. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya.

Betulkah guru malas membaca? Jika dijawab betul dan menganggap semuanya malas membaca pastilah keliru. Tak bisa semuanya disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku second yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali.

Guru pesuka buku, terlebih lagi kutu buku, atau pelahap buku, jumlahnya sedikit. Berapa pastinya sulit diketahui karena subjektif. Kelompok pesuka buku ini secara ekonomi mau menyisihkan uang gajinya untuk memuaskan dahaga akalnya. Gajinya tak berbeda dengan guru-guru lainnya yang malas membaca. Bedanya, dia rela memotong gajinya untuk makanan ruhaninya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat warung kelontong, membuat wartel, atau berkirim artikel ke media massa. Guru yang demikian pantaslah menjadi motor masyarakat-baca, minimal di hadapan murid-muridnya.

Guru menulis?
Jika membaca saja malas, mungkinkah seorang guru mampu menulis? Mampukah menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait dengan bidang ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah wawasan-baca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari diam-diam dideteksi apakah guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah, tabloid kelas rendah, kelas sedang sampai kelas atas. Setiap sekolah bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa, atau minimal ikut mengisi rubrik di majalah dinding (mading) yang dikelola siswanya. Atau, ini yang paling rendah, meringkas bahan-ajar dengan gaya tulisannya sendiri lalu diberikan kepada siswanya agar mereka kian mudah memahami pelajaran.

Guru yang menulis itu perlu dihargai lewat hadiah, apapun ujudnya, yang penting bernilai tinggi secara intelektual dan finansial. Pemerintah, baik pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) maupun pemerintah pusat hendaklah menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang ditulisnya. Apalagi kalau ditulis di koran beroplah banyak dan berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru lewat menulis. Juga mampu mengangkat namanya di antara koleganya sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah.

Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan di Dinas Pendidikan, adalah yang prestatif dalam dunia tulis-menulis. Pertimbangkanlah kuantitasnya dan bagaimana kualitas karya tulisnya. Lebih bagus lagi kalau mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen Dikdasmen, mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bukan sekadar menulis LKS yang jika ditilik hanya berkutat dan berputar-putar dari itu ke itu saja. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tak bereksplorasi dan terus bergelut dengan hafalan di LKS. Nilai raportnya identik dengan LKS. Bahkan murid hanya menghafal jawabnya saja, tanpa perlu membaca soalnya. Hafal di luar kepala! Ini betul-betul terjadi, bukan isapan jempol. Inilah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia sekolah yang tak bergairah, tak kompetitif dalam keilmuan.

Muridnya penulis
Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Begitu pun, lain guru, lain muridnya. Ketika guru malas membaca, tak mampu menulis, muridnya justru rajin menulis. Tidakkah ini luar biasa? Sering saya lihat murid-murid menulis di koran dan majalah. Tulisannya profesional, enak dibaca, mengalir lancar. Isinya tak kalah hebat, begitu mendalam, sampai masuk ke wilayah transenden sehingga menjadi cermin diri bagi pembacanya, menyulut semangat hidupnya. Bertanya-tanyalah saya, bagaimana gurunya, minimal guru bahasa Indonesianya, menuliskah mereka? Berapa nilai yang diberikan gurunya dalam pelajaran bahasa Indonesia, misalnya? Andaikata gurunya memberikan nilai rendah, sungguh tak masuk akal lantaran gurunya tak pernah menulis. Jangan-jangan sebaliknya, gurunya justru harus belajar menulis dari muridnya itu. Andaikata ini terjadi, tak perlulah malu. Sebab, anugerah ilmu bisa datang dari mana saja, syahdan dari anak-anak dan murid-muridnya.

Saya juga kagum menyaksikan anak-anak SD yang mampu menulis novel. Bukan satu novel yang ditulisnya, melainkan sudah nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Sebaliknya gurunya tak menulis satu pun artikel pendek di koran, apatah lagi buku setebal 200 halaman lebih. Tidakkah ini menggembirakan? Atau menyedihkan jika dilihat dari sudut pandang gurunya? Bayangkan, seorang guru yang ingin naik pangkat dan harus menulis karya ilmiah tapi karya tulisnya itu dibuat oleh orang lain. Bayarannya bervariasi, bergantung pada negosiasi. Juga terjadi, seorang guru (juga dosen) membayar sejumlah uang agar karya tulisnya dimuat di jurnal (jurnal-jurnalan). Yang juga nakal, ada guru (juga dosen) yang membayarkan sejumlah uang agar tulisannya dimuat di media massa.

Kembali ke soal murid menulis. Perlu terus “dipanas-panasi” agar murid mau terus menulis. Apabila sekarang sudah mampu menulis bagus, sekian tahun kemudian, jika mereka menjadi guru niscaya pengalamannya akan dibagikan kepada murid-muridnya. Merekalah yang lebih cocok menjadi pengganti guru-guru yang tak jua mampu menulis. Itu sebabnya, dalam rekrutmen guru selayaknya kemampuan menulis menjadi materi ujian utama. Prestasi adalah tolokukurnya. Ini penting agar guru jangan hanya tenggelam dalam rutinitas: datang, absen, mengajar, istirahat, mengajar lagi, lalu ngobrol dan pulang. Yang begini tak bakal mampu mentradisikan budaya baca-tulis di sekolah, apalagi di masyarakat. Lebih parah lagi adalah oknum guru dan kepala sekolah, termasuk pejabat di Dinas Pendidikan yang hanya melihat uang. Buku adalah uang. Buku adalah tender projek sehingga kasak-kusuk dengan penerbit pun sudah mendarah daging.

Kalau mengajar adalah tugas mulia, maka menulis pasti jauh lebih mulia. Menulis adalah menyebarkan ilmu. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang membaca tulisannya dan “abadi” sepanjang masa selama tulisan itu tak dimusnahkan. Ia pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga semua pembacanya. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga. Berlombalah dalam menulis, wahai guru... agar kecakapan dan keilmuan yang dimiliki dapat digugu dan ditiru para murid sehingga mereka ikut-ikutan rajin membaca dan mencoba menulis. Sekali lagi, menulis dan menulislah! *
ReadMore »