• L3
  • Email :
  • Search :

21 Juli 2006

Tsunami… Tsunami Lagi

Waktu terus berjalan. Hidangan laut (sea food) berdatangan dan terus pula habis, piring demi piring. Menjelang pukul 21.30 wib kami mulai berkemas, mulai berdiri lalu ke luar dari lapak itu. Setelah membayar harganya, baik sea food bakar, rebus, maupun goreng, kami langsung ke penginapan, tak jauh dari tempat itu. Sambil melewati gemuruh ombak Pangandaran, kami melangkah pelan sambil ngobrol tetang makanan yang baru saja dinikmati, tentang laut, tentang hewan malam, dan tentang .... tsunami. Kami bayangkan, andaikata air laut itu pasang dan menghantam tempat kami, melabrak penginapan kami, sekaligus menghempas dan menyeret kami, apa yang bisa kami lakukan?

Esoknya, pagi-pagi sekali, setelah salat Subuh, kami sudah di atas sepeda, keliling-keliling ke sana-ke mari. Ada yang mampir di warung, membeli minuman ringan dan roti, padahal sarapan di hotel sudah pula dilahap. Maklum, kami banyak makan agar banyak energi dan kuat mengayuh sepeda sewaan. Sambil lihat-lihat alam hijau, kami berfoto, jepret sana jepret sini. Sebagian turun ke riak-riak laut, celana pun basah, dan jepret-jepret juga. Setelah matahari sepenggalahan naik lewat sedepa, kami susuri kebun-kebun hutan pantai. Lengkingan monyet menyambut kedatangan kami. Bulu kuduk merinding, tapi bukan lantaran takut melainkan kagum akan kemahaperkasaan Sang Pencipta lewat ornamen ciptaan-Nya di darat dan laut.

Keindahan dan kenyamanan itu, hanya oleh satu sapuan gelombang, kini lenyap sudah, menyisakan reruntuhan dan meminta korban jiwa. Sebelumnya aku tak percaya ketika adik ipar meng-SMS-ku bahwa di Pangandaran terjadi tsunami. Tulisnya, ada tsunami di Pangandaran. Waktu itu aku sedang menjemput istri dan anak-anak yang pulang dari liburan di rumah neneknya. Aku berada di stasiun Bandung pada pukul 16.25 wib, menunggu kereta api Lodaya. Pada pukul 13:42:05, ketika aku masih di Universitas Kebangsaan, istriku meng-SMS bahwa kereta sudah sampai Sidareja. Jarak Sidareja ke Banjar tak begitu jauh. Sekitar pukul 14.35 wib kereta itu berada di Banjar, kurang lebih 48 km di utara Pangandaran. Tak sampai sejam kemudian, terjadilah gempa yang menghentak air laut, menaikkan gelombangnya setinggi, kata saksi mata, 10 m. Tapi di Bandung aku tak merasakan ada gempa saat itu. Di tengah keterkejutan itu aku tetap yakin bahwa andaikata tsunaminya sebesar di Aceh, sulitlah mencapai Kota Banjar, apalagi tinggi topografinya.

Tadi kulihat di TV kondisi Pangandaran barat yang parah. Daerah tujuan wisata yang terkenal dengan ikan asin jambal rotinya itu luluh lantak. Secara total korban tewas di Jabar, Jateng, dan Yogya mencapai 500 orang per Rabu, 19 Juli. Di daerah tujuan wisata lainnya, yaitu di Pelabuhan Ratu dan Anyer, terjadi lagi gempa tadi sore pukul 17.57 wib yang episenternya di Selat Sunda berkekuatan 6,2 skala Richter. Akibat isu tsunami, banyak warga yang panik dan mengungsi. Kesimpangsiuran ini pasti dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari kesempatan dalam kesempitan, menjarah harta benda warga. Hal serupa pernah terjadi di Bantul, Yogyakarta; motor, sepeda, sapi, kambing, dll diangkut dengan truk tatkala berhembus isu tsunami.


Gempa memang sulit diprediksi. Tapi tsunami, sebagai ikutan gempa, sebetulnya bisa diduga. Malah pakar gempa pascatsunami Aceh telah memprediksi akan ada gempa besar di selatan Jawa yang potensial menimbulkan tsunami. Hanya saja, sejumlah pelaku bisnis wisata....


Selanjutnya.

Gede H. Cahyana
ReadMore »

14 Juli 2006

Bibliophobia, Bibliolabbeling

Di Australia, menurut berita radio ABC Senin, 11 Juli 2006 lalu, ada dua buku yang dilarang beredar, bahkan di-sweeping lantaran diduga berbau jihad. Bagi pemerintah negeri kanguru itu, jihad identik dengan teroris. Padahal jihad punya banyak arti, termasuk dalam arti bersungguh-sungguh dalam suatu pekerjaan. Serius bekerja, serius berbagi kebaikan-kebenaran pun adalah suatu bentuk jihad. Salah persepsi, salah tanggap atau paranoid dalam memandang Islam berdampak pada peminggiran Islam. Pemarjinalan pun terjadi dalam bidang akademik dengan cara memperalat orang Indonesia yang studi di sana, baik S1, S2, maupun S3. Tak sedikit didikan mereka justru akhirnya mencabik-cabik Islam, bak menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring, ular berkepala dua.

Kasus pelarangan buku memang sering terjadi dan kebanyakan subjektif, termasuk di Indonesia. Bagaimana kasus pelarangan buku dan sweeping di negara kita? Di negara nyiur melambai ini kerapkali sweeping dan pembakaran buku itu langsung menjurus ke toko dan pedagangnya. Dari sudut pandang pedagang, kalau buku-buku yang diduga bermisi jihad itu DIBELI kemudian dibakar oleh pembelinya karena menderita bibliophobia - takut pada isi dan misi buku-, atau bibliocast - sangat puas setelah memberangus buku -, tentu tidak masalah karena labanya sudah di tangan. Namun demikian, ada juga yang tidak setuju atas cara tindak seperti itu karena cintanya begitu besar pada buku, tak sekadar jadi jembatan jual-beli, tak sekadar uang. Mereka baru akan memasalahkannya kalau terjadi perampasan hak milik tanpa transaksi jual-beli yang adil.


Selanjutnya.

Gede H. Cahyana
ReadMore »

12 Juli 2006

Indikator Kinerja PDAM

Menurut berita koran Kompas, 5 Juli 2006 ini, PDAM Kota Bandung akan menaikkan tarif airnya lagi. Bagaimana tanggapan DPRD? Adakah yang menentang atau oke-oke saja? PDAM ini pernah juga membuat siasat lain, yakni dengan cara mengubah golongan pelanggannya sehingga rekeningnya naik walaupun volume air yang digunakannya tetap. Dampaknya, banyak juga yang melayangkan surat protes ke media massa cetak dan elektronik khususnya radio. Malah sejumlah diskusi digelar oleh LSM yang peduli konsumen dan anti privatisasi air. Dalam setiap diskusi itu melesat pendapat bahwa pelanggan tak keberatan tarifnya naik asalkan kualitas layanannya juga naik. Jangan tarifnya saja yang naik tapi makin buruk layanannya. Jangankan makin buruk, tetap saja kinerjanya tidak boleh. Harus naik kinerjanya.

Merujuk pada anggapan dan usulan tersebut perlu dicarikan parameter apa saja yang bisa dijadikan tolokukur kinerja PDAM. Parameter ini bisa dikupas dalam lingkup sempit saja tapi bisa juga luas berkembang jika hendak dirinci satu per satu. Berikut ini dituliskan apa dan bagaimana caranya menilai kinerja PDAM secara garis besar. Pisau bedah yang digunakan adalah piramid PDAM yang terdiri atas: P = Pegawai, D = Desain, A = Area servis, dan M = Manajemen.

Piramid PDAM
The man behind the gun. The right people on the right place. Ungkapan tersebut kerapkali terdengar ketika membicarakan perusahaan atau tata kerja di kantor. Inilah pentingnya nilai P atau Pegawai pada perbaikan kinerja PDAM. Ia terkait ....


Selanjutnya.


Gede H. Cahyana.
ReadMore »

Distillasi Sekejap Multitahap

Dijamin 100%, sampai saat ini belum ada satu PDAM pun yang memiliki unit Distillasi Sekejap Multitahap (DSM). Dari 318 PDAM yang menjadi anggota Perpamsi, mayoritas air bakunya berasal dari mata air, sumur bor, lalu disusul air sungai. Tak ada yang menyedot air payau apalagi air laut sebagai air bakunya lantaran mahal biaya investasi dan operasi-rawatnya. Entahlah pada masa datang ketika air tawar makin sedikit dan pelanggannya terus bertambah, barangkali PDAM, terutama yang di dekat pesisir, terpaksa beralih ke teknologi desalinasi.

Dari sekian banyak teknologi desalinasi seperti elektrodialisis, mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis dan lain-lain, teknologi DSM termasuk yang berpotensi diterapkan untuk menghasilkan air minum berbahan baku air laut dengan kapasitas besar. DSM berpeluang diterapkan oleh PDAM yang wilayahnya di tepi pantai, air tanahnya payau akibat intrusi dan sulit memperoleh air baku dari kabupaten tetangganya. Ini pun jika PDAM tak hendak menerapkan teknologi membran dengan segala kelebihan dan kekurangannya, semacam reverse osmosis.

Prinsip Kerja
DSM nyaris sama prinsip kerjanya dengan Distillasi Surya (DS) atau Solar Distillation, yaitu sama-sama membutuhkan kalor untuk evaporasi. Keduanya sama-sama proses penguapan seperti yang biasa terjadi pada pendidihan air untuk minum di rumah tangga Bedanya, kapasitas DS sangat kecil dibandingkan dengan DSM sehingga jika ditujukan untuk..

Selanjutnya di sini.

Gede H. Cahyana.
ReadMore »

5 Juli 2006

Waste to Energy: Wasted Energy!


Waste to energy. Inilah slogan yang sering dikutip media massa cetak, baik yang terbit di Bandung maupun Jakarta. Televisi lokal Bandung pun ikut-ikutan mengampanyekannya. Kian terkenal lagi setelah walikota Bandung terang-terangan mengatakan bahwa waste to energy adalah final, tak bisa ditawar-tawar lagi. Mutlak harus dibangun, katanya. Betulkah demikian?

Kaji Banding
Dalam filsafat ilmu telah jamak diterapkan uji-kaji banding demi hasil optimal tanpa harus membuang-buang waktu, tenaga, daya dan uang apalagi sesal. Jika ada dua atau lebih opsi, maka biasa diterapkan analisis alternatif untuk mencapai hasil terbaik yang layak dengan beragam metode statistik. Yang layaklah yang akan diambil lalu digunakan sebagai acuan perancangan dan berujung pada rencana anggaran biaya yang boleh jadi murah tapi bisa juga mahal nilainya. Sebab, tak selamanya kelayakan teknologi berkorelasi linier dengan kelayakan investasinya.

Bagaimana dengan sampah Bandung? Betulkah telah ada kaji banding atas sejumlah opsi teknologi persampahan? Tentu bukan jalan-jalan ke luar negeri: ke Cina, ke Australia yang dimaksud di sini. Itu bukanlah kaji banding melainkan tandang muhibah, untuk tidak menyebut tamasya, ke negara maju yang karakter sampahnya berbeda dengan Bandung. Keduanya di atas Indonesia dalam hal kelompok negara "maju dan berkembang". Apalagi dalam ranah filsafat ilmu, kaji banding selalu menyertakan aspek kelayakan sainstek dengan mengetengahkan sejumlah aspek seperti lingkungan (environment), ekologi (ecology), ekonomi, demografi, klimatologi, topografi, geologi, politik dan budaya setempat (sosiologi).

Sudahkah hal tersebut dilaksanakan? Bagaimanapun, teknologi masif yang sifatnya massal akan melibatkan semua penduduk kota (sebab semua orang menimbulkan sampah) sehingga besar pula dampak buruknya. Karena itulah kaji banding menjadi kemestian sebagai rambu dalam mengambil keputusan agar tidak keliru. Salah satu dari deretan kajian itu adalah jenis sampah, apakah termasuk yang sulit ataukah mudah terbakar. Inilah salah satu faktor penentu keberhasilan waste to energy yang notabene adalah insinerator. Mungkinkah 100% sampah Bandung tergolong mudah terbakar? Tak mungkin! Sejumlah riset di beberapa kota besar di Indonesia yang berlokasi di pantai menghasilkan angka 70% - 80% berwujud sampah basah, sulit terbakar. Di pinggir pantai saja demikian, apatah lagi di kota pegunungan seperti Bandung. Akan tambah parah lagi kondisinya selama musim hujan, insinerator akan berubah menjadi panci perebus air.

Jika demikian, layakkah (baca: efisienkah) sampah basah dibakar? Ilustrasinya sederhana. Mana yang lebih mudah, membakar daun yang baru saja dipetik dari ranting ataukah membakar daun rontok yang kering? Bandingkan lagi dengan kertas kering dan plastik, mana yang paling sulit terbakar? Kita tahu jawabnya. Daun segar hijau sangat sulit dibakar. Habis sebungkus korek api pun belum tentu terbakar. Andaipun terbakar, pada tahap awal, airnyalah yang menguap. Baru setelah itu, setelah daunnya kering, api melalapnya pelan-pelan. Hal yang sama berlaku untuk sampah basah, baik dari rumah maupun pasar. Pada saat yang sama, semua sampah keringnya seperti kertas, karton, kardus, botol plastik dll sudah diambil pemulung. Seolah-olah insinerator rebutan sampah dengan pemulung. Kecuali pemerintah tega melarang dan menangkap pemulung yang mereduksi sampah di sumbernya. Mungkinkah? Bijakkah kebijakan ini andaikata terjadi?

Dengan kata lain, jenis dan komposisi sampah memegang kunci cocok tidaknya diinsinerasi. Ia adalah elemen penting dalam memilih teknologi pengelolaan dan pengolahannya sekaligus menentukan manajemennya mulai dari sumber, pengumpulan, transportasi, dan di TPA (tempat pengolahan akhir). Semuanya harus memenuhi syarat kesehatan, konservasi lingkungan, teknologi, dan ekonomi. Segmen kesehatan dan konservasi belum mendapat porsi perhatian di Bandung. Aspek teknologi pun belum apa-apa, semuanya menerapkan sistem buang bebas atau open dumping. Syarat ekonomi apalagi, tak semua orang dipungut retribusinya yang berarti terjadi ketidakadilan di masyarakat. Yang membayar rekening listriknya di bank terhindar dari retribusi. Padahal sangat boleh jadi mereka menghasilkan jenis dan jumlah sampah yang lebih besar.

Dengan demikian, waste to energy hanyalah slogan yang tidak responsif atas aspirasi mayoritas orang Bandung dan berbau janji-janji, terbuai oleh istilah Inggris yang terasa gagah. Slogan itu seolah-olah “membodohi” orang Bandung, baik kalangan tak terdidik maupun terdidik karena belum paham cara penanganan sampah. Seorang keluaran sekolah S3 pun belum tentu paham persampahan. Apalagi perilaku membuang sampah tidak linier dengan tingkat pendidikan. Banyak kalangan terdidik, baik pensiunan maupun yang masih aktif bekerja, membuang sampah sembarangan sekehendak hatinya, tak hanya di rumahnya tapi juga di tempat-tempat umum. Itu sebabnya, pendidikan (intelectual intelligent) dan pembangunan etika (emotional intelligent) menjadi porsi penting dalam penanganan sampah.

Pola didik itulah yang mesti digencarkan oleh pemerintah lewat publikasi berupa buku, poster dan pelatihan di tingkat akar rumput RT-RW. Hasilnya memang tak akan tampak dalam setahun dua tahun. Boleh jadi setelah satu generasi barulah tampak hasilnya jika programnya berkesinambungan dan meluas. Alih-alih waste to energy, pemberdayaan masyarakat dalam hal persampahan lebih kena lewat program 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible) yang dikelola terpadu. Termasuk menyajikan materi lingkungan di sejumlah kurikulum SD, SMP, SMA dan PT sesuai porsinya masing-masing. Bantuan dari penggerak sektor informal pun bisa ditempuh lewat pondok pesantren, madrasah, kelompok pengajian dan ketua adat setempat.

Wasted Energy
Waste to energy bagi sampah Bandung secara lugas bisa dikatakan sebagai “perjudian” yang taruhannya milyaran. Besar sekali unsur coba-cobanya, diintai oleh untung-buntung alias gambling. Sebelum terlambat, hendaklah niat itu diurungkan saja agar waste to energy tidak berubah menjadi wasted energy, yaitu energi habis sia-sia. Semua energi dalam bentuk tenaga kerja, olah pikir, dana masyarakat, dan insvestasi yang ditanam menjadi nirguna. Kalau pun ada gunanya, itu hanyalah berguna bagi investornya. Selebihnya adalah derita masyarakat. Selain tak cocok untuk sampah Bandung, insinerasi juga menyisakan abu yang potensial mencemari air tanah. Di dalamnya kaya akan garam-garam anorganik sehingga dampak polusinya lebih parah ketimbang lindi sanitary landfill (sanfil).

Potensi energinya juga dipertanyakan, belum lagi keterangkutannya. Betulkah dari 7.000 m3 per hari sampah Bandung akan mampu diangkut ke insinerator? Taruhlah daya angkut per truk kira-kira 10 m3; berarti dibutuhkan 700 truk. Andaikata setiap truk bisa tiga rit sehari maka dibutuhkan tak kurang dari 233 truk termasuk supirnya. Ditambah sepuluh persen truk dan sopir cadangan, total kebutuhannya minimal 250-an truk. Sekian juga jumlah sopirnya yang harus bekerja setiap hari. Ini sangat berat dan membutuhkan manajemen yang andal. Sopir angkot saja tidak setiap hari bertugas tapi berselang-seling. Jika demikian, akan dibutuhkan 500 orang atau lebih sopir truk. Potensi lapangan kerja bagi sopir memang ada namun dampak buruknya jauh lebih mahal daripada itu, yaitu kemacetan.

Macet adalah keseharian kota Bandung. Apalagi kalau sampah di luar Bandung dikirim ke Bandung, kemacetan pasti menjadi-jadi. Orang-orang makin stres karena bau busuk sampah terhirup siang malam selama 24 jam. Tak ada waktu istirahat bagi truk kalau tidak mau telat mengirimkan umpan sampah ke insinerator. Telat sedikit saja dapat membuyarkan operasi insinerasi sehingga daya listriknya fluktuatif. Belum lagi problem lingkungan, terutama pencemar berupa partikulat dan gas CO2, SOx. Parahnya lagi, Bandung raya berada di cekungan yang mirip wajan sehingga angin yang lewat di atasnya bisa menghalangi pencemar untuk lepas ke atmosfer. Polutannya malah berputar-putar ke sana-sini meskipun efisiensi penyisihan abunya sangat tinggi, misalnya 99%. Sisa satu persen saja akan menjadi tinggi setelah sekian lama terakumulasi di udara Bandung.

Belum lagi problem kebutuhan airnya untuk membersihkan kerak dan cuci-cuci. Sangat boleh jadi ada rebutan sumber air dengan PDAM, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan keperluan binis perdagangan. Sortasi sampah pun menimbulkan masalah tersendiri, yaitu pemilahan sampah tak terbakar agar tak masuk ke insinerator. Berangkal, batu, bata, pasir, dan logam-logam, meskipun ada magnetic separator atau ferrous metal recovery tetap saja penimbul masalah. Selain milyaran investasinya, ongkos operasi-rawatnya pun melebihi negara maju yang sampahnya berkalori tinggi, misalnya rerata 12.000 kJ per kg. Berapa kalori sampah Bandung? Di negara itu pun kegagalan operasi insinerator banyak terjadi lantaran terbentur masalah biaya dan teknis. Biaya hendaklah tidak membebani masyarakat tapi tidak berarti dibebaskan dari biaya. Warga tetap harus berkontribusi demi kenyamanan hidupnya, bebas sampah dan penyakit.

Akhir kata, sebelum terlambat, urungkanlah upaya membangun "pabrik" waste to energy yang business oriented lalu gantilah dengan "pabrik" yang community oriented, yaitu pengomposan (composting) secara personal, komunal, dan regional. Atau, pilihlah sanitary landfill (sanfil) terkendali dan taat asas. Semoga waste to energy tidak menjadi wasted energy, energi yang habis sia-sia dan mubazir. *


Gede H. Cahyana
ReadMore »