• L3
  • Email :
  • Search :

31 Desember 2013

Surat Terbuka Untuk DPRD Kota Bandung

Surat Terbuka Untuk DPRD Kota Bandung
Oleh Gede H. Cahyana


Pada Rabu, 25 Desember 2013, mayoritas anggota Pansus PLTSa DPRD Kota Bandung menyetujui pembangunan PLTSa atau pembakar (incinerator) sampah. Andaikata terwujud, tahun 2014 akan menjadi tonggak sejarah, yaitu hadir pembakar sampah terbesar di Indonesia. Semua sampah pasar, rumah tangga, kantor, sekolah, kebun, pinggir jalan, dan lain-lain akan dibakar di dalam tungku “raksasa” yang unitnya dinamai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) oleh kalangan pemerintah kota.

Karena sampahnya dibakar, maka PLTSa menghasilkan partikulat debu dan abu, gas-gas pembentuk asam klorida, fluorida, sulfur dioksida, logam-logam berat seperti merkuri, kadmium, seng, nikel, timbal. Juga karbon organik volatil pembentuk furan (polychlorinated dibenzofurans, PCDF) dan dioksin (polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDD). Semua polutan itu dengan mudah tersebar ke segala arah lewat udara, melekat di daun, sayur, buah, sumber air minum, paru hewan ternak lantas beredar ke seluruh dagingnya dan paru manusia lalu beredar ke pembuluh darahnya.

Parahnya lagi, semua uap logam dan campurannya dapat mengembun membentuk aerosol partikel submikron yang berbahaya bagi paru. Begitu pun senyawa lain dalam sampah dan campuran klor, fluor, sulfur, nitrogen dan lain-lain menghasilkan gas-gas toksik dan korosif. Ketika pembakarannya tak sempurna, muncullah produk pirolisis karbon monoksida, volatile organic compound seperti polycyclic aromatic hydrocarbon, dioksin, furan, jelaga, dan tar. Partikulat abu adalah pencemar yang paling jelas, tampak secara visual berupa kepulan yang mengandung uap logam berat, dioksin dan furan. Di permukaan jelaganya pun disarati gas-gas asam klorida, fluorida, sulfat, dll yang semuanya dipengaruhi desain insinerator, pemanggang, ukuran dan bentuk ruang pembakarnya.

Karena ukurannya variatif, mulai dari satu mikron (bahkan kurang dari satu mikron) sampai yang terbesar 75 mikron, ada partikulat yang mudah masuk ke sistem pernapasan kita. Kira-kira 40% partikel berukuran 1 sampai dengan 2 mikron akan tertahan di bronkioli dan alveoli paru. Yang ukurannya 0,25 sampai dengan 1 mikron justru mudah ke luar masuk lewat udara pernapasan. Tapi yang kurang dari 0,25 mikron akan melekat akibat gerak Brown (Brownian motion). Untuk menyisihkannya, biasanya ditangani dengan kolektor debu seperti mekanikal separator, wet scrubber, atau fabric filter. Partikel berukuran 15 s.d 75 mikron secara efektif dipisahkan dengan cyclones sampai efisiensi 85% dan yang ukurannya lebih kecil dipisahkan dengan fabric filter atau presipitator elektrostatik. Namun demikian, efisiensinya tidak bisa sempurna 100% dan yang tak tersisihkan itulah yang potensial membahayakan kesehatan karena makin lama makin tinggi konsentrasinya di udara kita.

Dari mana asal logam-logam berbahaya itu? Dari sampah tentu saja: timbal berasal dari sampah cat dan kaleng, merkuri dan kadmium dari baterei, aluminum foil, alat plambing, lembar seng, garam-garam volatil dst. Logam dan garam-garam itu mudah menguap karena titik didihnya rendah. Titik didih kadmium adalah 765 derajat Celcius, merkuri 357 derajat C, arsen 130 derajat C, PbCl (timbal klorida) 950 derajat C, dan HgCl2: 302 derajat C. Semua spesiasi logam tersebut bergantung pada keberadaan klor, sulfur, karbon, nitrogen, fluor dan lain-lain selama pembakaran dan pendinginan gasnya. Reaksi dengan klor menghasilkan metal klorida; merkuri misalnya, akan membentuk senyawa yang terikat dengan halogen, yaitu merkuri (II) klorida (ini yang dominan) dan merkuri (I) klorida. Hanya peralatan canggih yang dapat menghilangkan logam berat volatil seperti merkuri itu.

Ancam Syaraf, Ginjal, Jantung
Dampak PLTSa pada kesehatan meliputi neurological atau nervous system (syaraf), hepatic system (hati), renal system (ginjal), hematopoietic atau blood-forming system (darah). Kadmium misalnya, menyerang pernapasan, ginjal, hipertensi, dan yang paling ekstrem adalah kerapuhan tulang dan sendi. Merkuri menyerang sistem syaraf pusat sehingga mengurangi penglihatan, sensori, pendengaran dan koordinasi tubuh. Timbal dapat mendisfungsi sistem hematologik dan syaraf pusat, merusak fungsi gastrointestinal, reproductive, endocrine, cardiovascular, immunologic, dan menurunkan taraf kecerdasan serta menyebabkan perilaku abnormal pada anak. Polycyclic aromatic compound, dioksin dan furan merusak paru, perut, ginjal, skrotum, dan liver. Beratnya lagi, dioksin dan furan dapat melekat pada abu dan air limbah PLTSa. Karena efek buruknya itulah dioksin dikenal sebagai “the most toxic chemical known to man”. Dampaknya mampu merusak generasi manusia lewat cacat genetis, merusak kromosom pembawa informasi keturunan (genetika), pencetus kanker (karsinogenik) dan mutagenik (pemutasi).

Daya rusak pencemar tersebut dicetuskan oleh senyawa berklor dari plastik, potongan PVC, kertas, karton dll. Dipastikan 60% asam klorida berasal dari PVC, 36% berasal dari kertas. Yang lebih reaktif dan korosif lagi adalah asam fluorida dengan emisi tipikalnya 3 sampai dengan 5 mg per m3. Begitu pun NOx dan SOx yang dapat berubah menjadi asam kuat: asam nitrat dan asam sulfat. Semuanya berkontribusi pada hujan asam yang kaya logam berat, lalu diserap tanaman sayur dan rumput pakan ternak. Efek lainnya ialah kerusakan bangunan, pagar, mobil, motor, kebun, tanaman, dan hutan, termasuk korosi logam di PLTSa sehingga perlu biaya perbaikan. Belum lagi iritasi kulit dan kerusakan sumber air. Luas sekali dampak buruknya, lebih banyak buruknya ketimbang baiknya. Lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya.

Oleh sebab itu, lewat surat ini, pada awal tahun 2014 ini, sebelum pembangunan PLTSa dimulai, disarankan DPRD dan Pemerintah Kota Bandung membatalkan niatnya demi kesehatan kita dan keturunan setiap warga yang bermukim di cekungan Bandung. Apalagi saat ini, mantan walikota yang diberi masukan oleh kalangan kampus di Bandung untuk memanfaatkan insinerator beberapa bulan setelah longsor TPA Leuwigajah, dalam proses hukum di pengadilan. Lantas, apa yang kaucari, wahai orang-orang yang dipilih rakyat untuk mewakili aspirasi rakyat Bandung? *
ReadMore »

26 Desember 2013

Racun Laba-Laba, Waspadalah

Racun Laba-Laba, Waspadalah
Oleh Gede H. Cahyana


Laba-laba tampak lemah, kakinya mudah patah. Tapi hati-hati. Ada laba-laba beracun yang sering “memangsa” sapi dan kerbau di Pulau Timor. Bahkan manusia pun pernah menjadi korbannya. Penduduk setempat menyebutnya Rirnau. Yang pasti, semua laba-laba memiliki racun yang digunakan untuk pertahanan diri. “Untungnya” sebagian kecil saja yang berbahaya bagi hewan (ternak) dan manusia. Keuntungan lain, laba-laba membantu kita mengurangi serangga. Sarangnya yang berupa jejaring digunakan sebagai perangkap penangkap mangsa. Korbannya kemudian diinjeksi dengan racun yang berisi neurotoksin (perusak syaraf) sehingga pingsan atau mati.

Laba-laba berbahaya, black widow betina, hidup di luar rumah (kebun, lapangan). Ciri-cirinya: bertubuh kecil, warnanya terang/berkilau dengan garis merah di perutnya (abdomen). Si Janda Hitam (Latrodectus mactans, L. hesperus) ini sering menyerang binatang atau ternak dan orang-orang yang  camping dan berkemah serta tidur di atas rumput. Gejala secara sistemik mulai terasa antara 1 sampai dengan 12 jam setelah gigitan walaupun umumnya hanya butuh waktu 4 jam. Luka sekitar gigitan terasa sangat panas, kram dan kejang, disertai sakit perut.

Bagaimana mekanisme racun tersebut bereaksi dan merusak organ tubuh, belum banyak diketahui. Korban gigitan laba-laba harus segera diperiksakan ke dokter atau rumah sakit. Biasanya penanganan awal yang diberikan adalah dengan profilaksis tetanus, suntikan morfin dan diazepam (valium). Namun demikian, tindakan pencegahan tentu lebih bagus. Caranya, bersihkan sarangnya dan berhati-hati ketika berada di padang rumput, ilalang, dan ladang, terutama di daerah yang menjadi sarang dan pernah terjadi kasus gigitan laba-laba seperti di Timor.


Ada banyak spesies laba-laba, dari yang bersarang di rumah sehingga mengotori kamar sampai yang habitatnya di hutan, gurun dan sabana. Tarantula adalah contoh laba-laba yang penampakan fisiknya membuat “keder” orang yang melihatnya. Tubuhnya besar, berambut dan banyak dipelihara oleh pedagang berlian untuk menakut-nakuti orang yang berniat mencuri. Kualitas racunnya tidak sehebat spesies Si Janda Hitam, hanya menimbulkan reaksi alergi saja. Bahkan ada yang menjadikannya semacam binatang kesayangan layaknya burung atau kucing.

Akhirnya, waspadalah terhadap hewan apapun itu, baik laba-laba, nyamuk, kecoa, lalat, ular dll. Potensi bahayanya selalu ada, sekecil apapun dampaknya. *

ReadMore »

25 Desember 2013

Ikan Nila Bakar Danau Ranau, Lampung Barat

Ikan Nila Bakar Danau Ranau, Lampung Barat
Oleh Gede H. Cahyana


Hitam pekat kopi itu. Kopi asli Liwa, Lampung Barat. Sambil memandang bebukitan di seberang danau, jemari kaki terasa dingin disentuh air Danau Ranau. Saung di tepian, diiringi lantunan vokal penyanyi karaoke, “serak-serak kering”, suasana sore itu menjadi temaram. Gerimis masih menemani, tak lekang oleh waktu. Lalapan sudah terhidang, sambalnya juga, tinggal ikan Nila yang belum. Sedang dibakar.

Berangkat dari Liwa, setelah memberikan training of trainer se-Provinsi Lampung dan Bengkulu, dengan mobil sewaan, kami melata di jalanan aspal berkelak-kelok. Melihat warga setempat, teringat aku pada masa kecilku di Bali. Suasananya serupa benar. Suasana awal tahun 1970-an. Murid SD berlari-lari di tepi jalan tanpa alas kaki. Tas kain yang lumayan belel diselempangkan di bahunya, segenggam kue kering di tangan kanan dan rambutnya berkibar ditiup angin. Jalan menurun dan mendaki. Sehatlah anak-anak itu, semoga. Mudah-mudahan mereka pun minimal berhasil menjadi sarjana, pada suatu saaat kelak. Lintasan pikiranku menerawang ke kondisi nusantara ini. Tanah air nan kaya, tambang dan hutan melimpah, tapi salah urus. Akibatnya, pelosok daerah, seperti di Lampung Barat ini, daerah subur nan gembur oleh pertanian, penduduknya banyak yang melarat. Pepaya berserakan di tepi jalan, kopi beronggok-onggok, bongkahan wortel nan indah bunganya, tapi lamban diserap pasar.


Ranau, danau terluas kedua setelah Danau Toba, dimiliki oleh dua provinsi, yaitu Sumatera Selatan dan Lampung. Eksotisme danau ini dibalut kabut dan semilir angin dingin, bebas polusi dan kaya oksigen hasil fotosintesis hutan Gunung Seminung. Paru-paru yang suntuk oleh polutan kota dapat rehat sejenak di danau vulkanik ini. Bermain atau sekadar jalan-jalan di sekitar dermaga Lumbok atau Lombok, menatap kebeningan permukaan danau seluas kurang-lebih 126 km persegi. Berkaitan dengan Lumbok ini, kali pertama kudengar, aku gak percaya ada Lombok di Lampung. Ternyata, setelah sampai di lokasi, betul jua adanya. Tepatnya sih Lumbok, “pake huruf u, bukan o”.

Tak terasa, pesanan ikan nila bakar sudah tiba. Masing-masing dapat seekor. Tanpa ba bi bu, setelah berdoa singkat, diserbulah ia. Suara kecap dan erangan pedas berpacu dalam melodi pelantun lagu di karaoke sebelah. Meskipun suaranya pas-pasan, sama seperti suaraku, tetap perlu dalam keheningan danau. Anak-anak masih tampak di dekat tambak, ditemani ibunya yang menggendong batita. Riak-riak lembut setia menemani kami sampai kembali ke Liwa menjelang malam. *

ReadMore »

20 Desember 2013

“Agamakan” Citarum, Solusi Limbah dan Banjir

“Agamakan” Citarum, Solusi Limbah dan Banjir
Oleh Gede H. Cahyana

If I were called in
To construct a religion
I should make use of ... water.
(Philip Larkin: Whitsun Weddings).


Air, secara epistemologi, begitu sakral. Ia asal kehidupan. Materi dengan rumus molekul H2O ini dominan di tubuh kita, mencapai 65%. Di tubuh anak-anak malah 75%. Kesakralannya tercermin pada untaian kata berikut: tirtha nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab), nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life, the liquid of life (Inggris), air suci (Indonesia).

Di India, dalam mitologi Hindu, Sungai Gangga diciptakan di surga. Fenomena kesakralannya bisa disaksikan dalam ritual Kumbh Mela. Prosesi ritus di sungai yang punya 108 nama-nama indah itu diziarahi oleh 30-an juta orang! Jumlah yang spektakuler kalau dibandingkan dengan jumlah jamaah haji di Mekkah. Dalam ritus itu, Gangga ialah jembatan ke surga, titian menuju nirwana.

Dalam Islam lain lagi. Air, kata Qur’an, adalah penyusun makhluk hidup. “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup,” demikian firman Allah dalam surat al-Anbiyya ayat 30. Intensitas kata yang terkait dengan air itu mencapai 63 kali, tulis Othman dan Doi dalam jurnal Thought and Scientific Creativity di bawah judul Islamic Principles of Environment and Development. Begitu pun agama Kristen (Katolik). Pada ritual baptis dan pencucian tangan, tulis Vandhana Shiva dalam buku Water Wars, terkait dengan air. Lokasi baptis dan pembangunan gereja pun dipilih dekat atau melintasi mata air.

Di Bali, pemeluk Hindu tak bisa pisah dari air. Di setiap tempat dan masa perayaan hari agama, selalu saja menyertakan air. Air ini, bagi penganut Hindu di Pulau Dewata adalah air suci yang dinamai tirta. Selain dikibas-kibaskan atau dipercikkan ke kepala peserta ritual oleh pemimpin prosesi (Bali: pedanda, mangku) air itu pun didekatkan ke mulut sambil dicicipi. Simbol air sebagai sumber hidup. Pada masa pra-Hindu, kerajaan Hindu, dan kerajaan Islam di nusantara air begitu diindahkan. Taman-taman raja selalu dilengkapi dengan pemandian asri dan kolam berair jernih dari mata air. Ada yang difungsikan buat mandi, ada yang sekadar hiasan atau untuk wudhu bagi kaum muslim.

Pada masa silam di mancanegara, nilai-nilai spiritual atau pendewaan air telah luas dikenal. Di Prancis, di dekat Sungai Seine, ada kuil suci untuk Dewa Sequana. Sungai Marne asal-usul namanya dari Matrona yang artinya Dewi Ibu. Cikal nama Sungai Thames di Inggris ialah Tamesa atau Tamesis yang terkait dengan makna ketuhanan. Sungai Nil di Mesir tak lepas dari Fir’aun dan Nabi Musa. Adapun Sungai Amazon di belantara Brasil, Amerika Latin dihuni suku pemulia dewa-dewi. Sungai Euphrates dan Tigris di Irak dihormati kaum Babylonia dan Mesopotamia.

“Pemuliaan” air tersebut, apabila kita bandingkan dengan zat lain, terasa masuk akal lantaran punya hal-hal “aneh”. Selain berbentuk pentagonal, ia pun berbentuk heksagonal. Air heksagonal, menurut sebagian kalangan, hanya ada di kutub utara dan selatan, dan juga di tubuh kita. Air dengan berat molekul 18 punya kelainan atau anomali. Pada temperatur dan tekanan standar semua dihidrida golongan VIA sistem periodik selalu berujud gas, yaitu H2S (berat molekul/BM 34), H2Se (BM 81), H2Te (BM 130). Tampaklah, air yang berat molekulnya paling kecil justru berujud cair. Yang lainnya, senyawa yang BM-nya lebih besar malah berujud gas.

Dalam molekul air, sudut antara dua kaki hidrogennya 105 derajat. Hidrogen bermuatan positif, sedangkan oksigen negatif. Ini disebut molekul dipolar atau dua kutub. Dua kutub tersebut tarik-menarik sehingga ada ikatan hidrogen yang lemah. Ikatan hidrogen ini berperan dalam perubahan ujud air, dari padat, cair, dan gas. Ketika membeku pada nol derajat Celcius, kerapatan air justru berkurang. Molekul air dalam es berikatan tetapi volumenya malah membesar atau merenggang. Jarak antarmolekulnya membesar. Molekul airnya saling merangkul atau berpegang-pegangan, namun membesar. Berbeda dengan kita, kalau kita merangkul seseorang maka jarak antara kita dengan yang dirangkul makin rapat.

Ketika air mencapai temperatur 100 derajat Celcius pada tekanan satu atmosfer, air mendidih dan mulai berubah menjadi gas. Pada kondisi ini, ikatan hidrogennya lepas. Yang melayang-layang di udara betul-betul molekul tunggal. Fenomena ini penting bagi siklus air yang mendatangkan hujan. Tanpa kemampuan trinitas, yaitu padat, cair, dan gas, mustahil kita bisa bertahan hidup di bumi ini. Sebab, air lama-kelamaan akan habis dan semuanya terkumpul di laut. Sudah itu, asin rasanya dan tak nyaman buat mandi lantaran terasa lengket di badan.

Yang luar biasa, berat jenisnya pada empat derajat Celcius sama dengan satu, tetapi volumenya terkecil. Kejadian ini ada hikmahnya bagi orang Eskimo. Orang kutub ini tetap bisa menangkap ikan yang hidup di bawah lapisan es. Permukaan lautnya memang beku tapi bagian bawahnya cair. Andaikata air mulai membeku dari bawah, maka tidak ada satu ikan pun yang dapat hidup dan sudah sejak dulu tidak ada lagi ikan di daerah kutub. Ternyata dengan keajaiban air ini, ikan-ikan justru menjadi makanan yang menyuplai protein bagi orang-orang Eskimo.

Kesakralan air berikutnya ialah air zamzam. Siapa nyana, di tengah gurun sejak zaman Nabi Ibrahim ada air tawar dan sampai sekarang tidak habis. Setiap jamaah haji pasti pernah mencicipinya. Ketika itu Hajar telah lelah lari bolak-balik antara Shafa dan Marwah. Hajar bukanlah dewa, melainkan budak. Lebih tepat, mantan budak yang diperistri Nabi Ibrahim. Seperti halnya Hajar, jamaah haji pun ingin dapat air setelah lari-lari kecil tujuh kali antara dua bukit itu. Dalam buku berjudul Haji tulisan Dr. Ali Shariati, orang Iran yang syahid tahun 1977 di Inggris lantaran ikut menjadi “kayu bakar” revolusi Iran menggulingkan tirani Syah Reza Pahlevi oleh Imam Khomeni, ditulis bahwa Sa’i itu pencarian. Secara sempit diartikan sebagai pencarian zat penopang hidup, yaitu air zamzam!

Berikut ini saya tuliskan komentar Dr. F.C. Harrison yang dikutip Shiva. Begini bunyinya. “Menurut fakta yang janggal, yang belum pernah dijelaskan secara memuaskan, adalah begitu cepatnya (tiga sampai lima jam) kuman kolera mati di Sungai Gangga. Ketika seseorang mengingat banyaknya kotoran yang dibuang para penduduk, yang sering merupakan penderita kolera, dan ribuan penduduk yang mencebur ke sungai, tampak sungguh luar biasa bahwa kepercayaan orang Hindhu, bahwa sungai ini memiliki air yang murni dan tidak bisa tercemar dan mereka bisa dengan aman meminum airnya dan mandi di dalamnya, bisa dibuktikan dengan alat penelitian bakteriologi modern”. Tentu sah-sah saja berpendapat lain, selain kata Harrison di atas.

Tidak mengherankan, lanjut Shiva, masyarakat India begitu sayang pada Sungai Gangga dan sungai-sungai lainnya dan percaya jika sungai-sungai itu memiliki kekuatan misterius. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana di Indonesia? Adakah perlakuan serupa diterima sungai kita? Apa kabar Cikapundung? Di sekitar Gedung Merdeka tempat peringatan Konferensi Asia Afrika, kamu disoleki. Bagaimana bagian hilirmu? Dan sekarang, tiga bulan pasca-KAA itu kamu seperti dulu lagi, dilupakan orang, ditakacuhi pemkot Bandung.

Sedangkan Citarum, bagaimana nasibmu? Setiap musim hujan kamu selalu dihujat dan disalahkan karena airmu merendam Bandung Selatan. Rugi harta tak terhitung jumlahnya dan korban jiwa pun jatuh. Kamu terima tuduhan itu? Yang pasti, kamu hanyalah air yang boleh jadi memang “sakral”. Ada inside power dalam tubuh lembutmu. Kejadian banjir bukanlah salahmu. Penghuni tatar Bandunglah yang salah.

Citarum, akankah kamu “diagamakan” oleh mukimin Bandung Raya? Akankah kamu “disakralkan?” Entahlah..., ini betul-betul gelap seperti menyelam di air keruh. You should never dive in the murky water! Ok?.
ReadMore »

19 Desember 2013

Cara Jitu Basmi Nyamuk

Cara Jitu Basmi Nyamuk
Oleh Gede H. Cahyana


Cara yang mudah dan murah untuk membasmi nyamuk adalah dengan cara diternakkan. Peternakan nyamuk memang tidak biasa seperti halnya ternak ayam, tetapi ia luar biasa atau tidak biasa. “Emangnya kalo dijual bisa laku berapa Pak?” selidik Si Bungsu tak percaya. Walah, kecil-kecil sudah berpikir bisnis. Apa semua ternak harus dijual, kan boleh saja dibuang. Dibuang justru bersahabat dengan lingkungan karena bisa dijadikan pupuk. Namanya microfertilizer.

Apalagi pada musim hujan ini (bukan PENG-hujan, hapus awalan PENG-nya). Jentik nyamuk Aedes aegypti berkembang bak jamur di musim hujan, subur. Wabah demam berdarah bisa meletus di mana-mana. Berabe kan kalau daerah kita dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa, istilah halus untuk wabah; biasalah, bangsa kita senang eufemisme) oleh Dinas Kesehatan setempat. Lantas petugas dinas diminta “fogging”. Ini sudah telat. Pengasapan cuma mengusir nyamuk, tidak mampu membunuhnya. Cuma kabur, sekejap kemudian akan balik lagi kalau asapnya habis.

Bagaimana caranya? Ya itu tadi, beternak nyamuk atau jentik-jentik. Taruhlah kaleng, ember, atau vas yang diisi air di tempat lembab, agak gelap. Biarkan sepekan-dua pekan, kemudian… sim salabim, bukan sulap bukan sihir… muncul jentik-jentik nyamuk Aedes itu. Tapi jangan dibiarkan sampai menjadi nyamuk. Buang langsung di tanah atau di pot bunga agar bisa menjadi pupuk. Lumayan buat sumber nutrien berupa nitrogen dan fosfor. Makin banyak wadah airnya, makin besar juga panen pupuknya. Lalu isi ulang wadahnya dengan air dan taruh lagi di tempat semula atau tempat lain yang diperkirakan disukai nyamuk.

Kalau semua rumah mencoba cara demikian, tak mustahil daerahnya bebas demam berdarah sekaligus pot-pot bunganya subur terus. Tapi ingat, jangan sampai lupa lokasi “kolam” buat Si Jentik Lurik Cantik yang parasit itu. Kalau lupa…, sama saja dengan beternak nyamuk untuk memperbanyak orang kena demam berdarah. Kalau ini terjadi, wabah demam berdarah bisa betul-betul terjadi. 

Dicoba yuuk. *


ReadMore »

11 Desember 2013

Komparasi Vonis LHI, Angie, Gayus, dll

Komparasi Vonis LHI, Angie, Gayus, dll
Oleh Gede H. Cahyana


Saya bukan kader PKS, juga bukan kader partai politik apapun. Saya WNI yang ingin menulis seuntai rasa heran atas peradilan di Indonesia. Karena bukan kader partai, juga bukan persona yang ahli hukum, maka tulisan ini menjadi ungkapan ingin tahu, ingin mendapatkan masukan dari WNI lainnya, khususnya pakar hukum pidana.

Hari ini saya mendapatkan gambar seperti terlampir di akun FB saya, entah siapa yang membuatnya. Pada gambar tersebut tertera sejumlah foto dan nama serta jumlah uang yang dikorupsi dan lama hukumannya. Wajah hukum dalam gambar tersebut, dalam pendapat saya ini, seperti tidak adil. Menurut sejumlah pakar hukum, memang tidak ada hukum yang adil di Bumi ini. Begitu katanya. Hukum dan hukuman itu selalu relatif, bergantung pada siapa yang dihukum dan siapa yang berpendapat, apa aliran politiknya dan apa vested  of interest-nya. Ooo… begitu ya, saya baru tahu bahwa wajah keadilan hukum itu memiliki point of view.

Tahun 2012 lalu saya menulis tentang hakim Tipikor dengan judul Evaluasi (Semua) Hakim Tipikor. Hakim adalah wakil Tuhan di Bumi dan berat tanggung jawabnya, seperti dalam artikel tersebut. Namun faktanya, apabila mengacu pada gambar tersebut, dalam pandangan awam ini, hakim yang memvonis LHI sudah berperilaku tidak adil. Hukum menjadi bengkok, tidak linier seperti garis lurus dengan gradien tertentu. Bisa berupa deret geometri, bisa eksponensial, atau logaritmik. Matematika hukum seperti bandul besi yang berayun liar, dipengaruhi oleh medan magnet (politik) sehingga simpangannya bergantung pada kekuatan magnet di sekitarnya. Sekali lagi, ini adalah pendapat awam, yang barangkali mewakili ratusan juta WNI di kota, desa, dan pelosok nusantara. 

Lantas, ke kuadran manakah bandul keadilan hukum di Indonesia akan berayun? Hanya waktu yang membuktikannya. Siapa atau apa lagi yang mampu membuktikannya? *

ReadMore »

Eucalyptus, Kontroversi “Abadi”

Eucalyptus, Kontroversi “Abadi”
Oleh Gede H. Cahyana


Banjir pada musim hujan bisa dicegah dengan penanaman pohon. Salah satu pohon yang biasa ditanam ialah Eucalyptus. Namun demikian, pohon ini menuai kontroversi. Sebab, pohon ini justru kerapkali dikaitkan dengan krisis air. Menurut Vandana Shiva, eucalyptus tidak cocok untuk penghijauan apalagi untuk menahan air. Di India, kata perempuan penulis ini, monokultur eucalyptus yang biasa dijadikan bubur kertas menjadi sumber masalah air. Eucalyptus yang diambil dari habitat aslinya di Australia membahayakan daerah yang miskin air.

Itulah masalahnya. Banyak daerah akan sulit air pada masa yang akan datang. Ada fakta, eucalyptus bukanlah sistem vegetasi yang mampu mandiri di luar habitat aslinya. Malah riset yang dilaksanakan oleh Divisi Hidrologi Australian Central Scientific and Industrial Research Organisation menyatakan bahwa eucalyptus menyebabkan curah hujan, kelembaban dan air tanahnya berkurang. Di Negeri Kanguru itu bahkan kerusakan sumber daya air justru lantaran penanaman eucalyptus dalam skala luas.

Di bawah ini saya kutipkan greget hati wanita India yang saya nukil dari buku Waterwars.  “Aku sangat peduli dengan India yang kukenal. Indiaku adalah milik orang-orang miskin yang kelaparan tak berdaya. Hampir semua orang di antara mereka tidak memiliki tanah dan sebagaian kecil orang yang mempunyai tanah akan dengan senang hati memberikan sumber daya amereka. Upaya menanami Purulia, Bankura, Midnapur, Singbhum, dan Palamau dengan eucalyptus akan merampok air minum dan irigasi Indiaku”.

Dari kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa tanaman ini boros air. Dengan kata lain, dia merampok air bagi keperluan manusia yang jauh lebih berhak ketimbang “sekadar” tanaman. Semua makhluk memang punya hak hidup, termasuk tanaman. Tapi ada bedanya. Tanaman tertentu punya habitat khas yang cocok baginya untuk tumbuh. Tanaman lain belum tentu cocok dan jangan-jangan malah menjadi bumerang bagi makhluk lainnya. Ini jangan sampai terjadi, setelah tanamannya besar dan kokoh batangnya lalu dicabuti lagi, apalagi kalau dicabuti oleh masyarakat dalam kondisi protes dan marah. Ini pernah terjadi tahun 1983. Petani Karnataka pawai ke kebun pembibitan hutan dan mencabut jutaan benih eucalyptus dan mananam biji tamarin (asam) dan mangga sebagai gantinya.

Begitu juga di Afrika Selatan. Kalangan wanita di benua Afrika bagian Selatan ini kampanye soal pelestarian air dengan menebangi pohon eucalyptus. Pasalnya, pohon itu mengeringkan sumber mata air dan air tanah di sana. Menurut Departemen Urusan Air dan Hutan Afrika Selatan, pohon pengering air itu sudah ditanam di 10 juta hektar tanah dan menyedot 3,3 milyar meter kubik air, melebihi vegetasi lokal. Setelah eucalyptus habis di sepanjang tepi sungai, kata Shiva, aliran mata air meningkat hingga 120%.

Di lain pihak ada pendapat begini. Eucalyptus umumnya punya tajuk ringan sehingga intensitas penutupan tajuknya pun ringan. Maka, kondisi ini memberikan peluang bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi) sehingga air hujan yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar. Air yang jatuh ini akhirnya meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber air.

Apapun pendapat itu, dan di posisi mana pun kita berada, mari kita amankan air dan hindarilah penurasan air (water logging). Tanamlah pohon, minimal satu pohon, di rumah masing-masing. Paru-paru kita perlu oksigen, dan pohon adalah produsennya. Kita pun perlu air, dan pohon dapat menjamin ketahanan air kita. *

ReadMore »

7 Desember 2013

Inilah Sebab Kegagalan Instalasi Pengolahan Lindi

Inilah Sebab Kegagalan Instalasi Pengolahan Lindi
Oleh Gede H. Cahyana


Tak kurang dari 99,9% Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) gagal dalam tahap operasi dan pemeliharaannya. Bahkan ada yang sudah gagal dalam tahap desainnya (DED, Detailed Engineering Design) dan ada yang gagal pada tahap konstruksinya. Ada juga desain yang sudah sesuai dengan kaidah dalam DED IPL tetapi keliru, baik disengaja maupun tidak, dalam pembangunannya. Ada desain dan konstruksinya yang sudah sesuai dengan kaidah, tetapi salah dalam tahap start up-nya.  Kesalahan ini tidak jauh berbeda dengan kesalahan dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Di Indonesia, IPL lebih banyak berjenis bioproses, nyaris 100%, hanya beberapa saja yang menerapkan gabungan antara bioproses dan kimia. Yang kimia ini pun biasanya hanya berwujud penambahan unit kimia saja setelah pada tahap awalnya berupa bioproses, tidak dirancang sejak awal sebagai pengolahan kimia. Kondisi ini pun tidak bertahan lama, karena akhirnya gagal kembali akibat kekurangan uang untuk pembelian zat kimia. Itu sebabnya, kegagalan demi kegagalan terus terjadi di IPL, nyaris sama dengan di timbunan sampahnya (sanitary landfill atau controlled landfill).

Berkaitan dengan kolam pengolah lindinya, unit proses - operasi yang biasa dibuat adalah kolam stabilisasi (anaerobik), kolam fakultatif, dan kolam maturasi. Selain tiga unit proses tersebut, ada juga yang melengkapinya dengan unit biofilter, wetland, atau lahan sanitasi. Seperti tampak pada gambar terlampir, ada juga yang menyediakan kolam seeding. Namun demikian, unit yang lengkap itu tetap saja gagal dalam operasi dan pemeliharaannya. Apa sebabnya?

Kata kunci agar IPL optimal operasinya sesungguhnya sama persis dengan IPAL. Prosedur operasi dan pemeliharaan IPL harus dilaksanakan secara tepat, misalnya debit dan kualitas lindinya harus rutin dipantau. Debit lindi yang masuk ke IPL harus terkendali sehingga tidak menyebabkan gangguan pada proses pengolahan, terutama fluktuasi debit lindi. Namun, debit lindi yang lebih kecil daripada debit desainnya, biasanya tidak bermasalah selama kualitas lindinya relatif stabil. Yang bermasalah adalah ketika debitnya di atas debit desain, apalagi kalau jauh melampauinya.  (Catatan: Berkaitan dengan lindi ini, Kepala TPA atau aparat setempat sebaiknya melarang warga yang mengambil lindi untuk air minum ternak karena lindi mengandung beragam zat berbahaya & beracun). 

IPL juga harus dipelihara dengan cara menjaga kebersihan bak atau kolam-kolamnya, bebas dari sampah, rumput-rumputan, eceng gondok (seperti foto terlampir), tidak berbuih, bebas algae dan kedalamannya relatif tetap (tidak mendangkal akibat lumpur). Untuk mencapai kondisi operasi dan pemeliharaan seperti itu, prosedur operasi IPL yang harus diikuti meliputi: cara start up, pengukuran debit lindi, pemantauan kualitas lindi di setiap unit operasi dan proses, pemeliharaan sarana pendukung IPL.

Start-Up

Kegagalan IPL biasanya diawali pada tahap start up. Ada IPL yang dioperasikan tanpa tahap ini karena mengira bahwa IPL itu seperti sebuah mesin yang siap bekerja setelah dibeli tanpa perlu pengondisian awal. Padahal, untuk semua unit bioproses, tahap start up diperlukan ketika memulai operasi dan setelah terjadi kegagalan proses pengolahan (restart up). Ada beberapa hal yang harus ditempuh untuk memulai langkah ini.

1. Isilah bak Anerobik dengan air sumur (sungai) sampai penuh. Cek dan catat pH-nya.
2. Alirkan lindi ke dalam bak tersebut, cek dan catat pH-nya. Pantaulah pH setiap hari atau setiap dua belas jam sekali.
3. Apabila pH-nya kurang dari tujuh, tambahkanlah alkali (kapur tohor, NaOH atau yang sejenis) sampai pH-nya menjadi tujuh atau lebih. Jika digunakan kapur, pembubuhan dilakukan dengan mencampurkan kapur dan air di dalam ember sebelum diituangkan di lokasi inlet.
4. Cek dan catat BOD, COD setiap hari. Kondisi tunak tercapai kalau diperoleh perbedaan angka BOD atau COD efluen sekitar 10%. Dalam kondisi normal proses ini berlangsung dua sampai dengan tiga bulan.
5. Laksanakan cara yang sama di bak fakultatif dan bak maturasi.
6. Selama start up, pantaulah parameter pH, BOD, COD.
a. pH cairan di bak (kolam) dijaga antara 7 – 9. Apabila kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali ke dalam bak sampai pH-nya minimal tujuh.
b. BOD dan COD efluen dicek setiap hari sampai fluktuasi 10% (kondisi tunak).

Fluktuasi Debit
Fluktuasi debit berpengaruh pada kualitas pengolahan. Debit yang melebihi desain atau batas atas debit desain dapat menggagalkan pengolahan. Oleh sebab itu, debit lindi ke Instalasi Pengolahan Lindi harus diketahui. Tetapi faktanya, nyaris 99,9% IPL tidak dilengkapi dengan alat ukur debit. Alat ukur ini ada yang sederhana, seperti alat ukur Thompson. Tetapi, apabila alat ukur tersebut tidak dipasang, maka dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan ember dan stopwatch

Prosedur pengukuran debit di alat ukur Thompson:
1. Bersihkanlah sampah di sekitar alat ukur agar tidak menghalangi skala pada mistar.
2. Catatlah tinggi muka air lindi di bagian hulu alat ukur.
3. Hitung debitnya. 

Prosedur dengan menggunakan ember:
1. Siapkan ember yang diketahui volumenya.
2. Tampung lindi di dalam ember sambil diukur waktunya.
3. Debit lindi adalah volume lindi di dalam ember dibagi waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi ember.

 

Pemantauan Unit
Unit IPL perlu dipantau agar kinerjanya sesuai dengan kriteria desain. Pemantauan kinerja ini bisa secara fisika dan biokimia. Parameter fisika yang dipantau adalah bau dan warna lindi sedangkan parameter biokimianya adalah pH, BOD, COD.

Untuk mendiagnosis kinerja pengolahannya, ada tiga kondisi yang dapat dijadikan acuan:
1. Apabila warna lindi tidak berubah, bau tidak berubah, pH tetap, tetapi penyisihan BOD, COD makin rendah maka disimpulkan bahwa waktu tinggal lindi di unit IPL terlalu singkat. Cek kedalaman kolam dan kuraslah sebagian lumpurnya.
2. Apabila warna lindi menjadi kuning (pucat) baunya menyengat, penyisihan BOD, COD rendah, pH kurang dari 5, maka disimpulkan ada zat racun di dalam lindi. Cara penanggulangannya ada dua:
     a). Hentikan aliran lindi ke IPL, alirkan lindi (bypass) ke kolam berikutnya, ganti lindi dengan air sungai atau air tanah. Ulangi langkah start up.
     b). Cara kedua: biarkan lindi yang kuning tersebut (pH kurang lebih 5), kemudian tambahkan alkali ke dalam kolam lindi. Jaga pH-nya agar lebih besar atau sama dengan tujuh. Dalam waktu dua sampai dengan tiga bulan, kondisi akan pulih kembali.
3. Terjadi reduksi volume kolam karena akumulasi endapan. Kejadian ini dapat mempersingkat waktu tinggal lindi sehingga kinerja IPL menurun. Tanggulangi dengan cara mengecek tinggi endapan dengan tongkat (bambu, kayu) di bagian inlet, tengah dan outlet unit IPL. Apabila endapannya tinggi, maka perlu dikuras atau ditiriskan dengan pompa dan lumpurnya dibiarkan mengering. Setelah kering, gunakan alat berat untuk mengeruknya atau dicangkul secara manual.


Tindakan di atas bersifat kuratif, dilaksanakan setelah terjadi penurunan kinerja pengolahan. Upaya preventifnya dengan cara memantau rutin. Prosedurnya sbb: 1. Gunakan pH-meter atau lakmus untuk mengecek pH lindi di setiap unit IPL. 2. Jika pH lindi kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali (basa) untuk menaikkan pH hingga minimal tujuh. 3. Pertahankan pH tetap minimal tujuh. 5. Cek BOD dan COD efluen IPL. Kalau terjadi perubahan yang mencolok, ulangi prosedur start up.

Demikian secara garis besar upaya mengurangi kegagalan dalam operasional IPL di Sanitary Landfill. Sebab, tahun 2014 nanti, semua unit IPL dan sanitary landfill wajib dioperasikan secara efektif agar terhindar dari sanksi seperti tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. *

ReadMore »

18 November 2013

Merapi Meletus Lagi

Merapi Meletus Lagi

Oleh Gede H. Cahyana


Semburan Merapi kembali mengepul di langit. Lava pijar memerah tumpah meleleh ke arah hulu-hulu sungai. Wedus gembel, campuran gas dan debu vulkanik bertemperatur 900o C (di puncaknya) meletup bak jamur lalu turun merayapi lereng. Seorang korban wedhus gembel erupsi tahun 1994 yang pernah kulihat, kaki dan tangannya tak berbentuk lagi, hanya seonggok tungkai lunglai akibat temperatur 400o C (di pemukiman). Jejarinya habis, telinganya hilang, pipinya.... sulit kukatakan dengan kata-kata. Monster di film pun tak separah itu.

Yang juga tak kalah bahayanya adalah hujan debu. Pagi ini, 18 November 2013, debu telah jatuh di perbatasan Boyolali – Solo, Klaten. Sakit pernapasan mulai terjadi. Radang tenggorokan mengancam. Sakit ini menyiksa penderitanya karena terasa sakit sekali saat menelan sesuatu. Menelan ludah saja sakit, mirip makan kulit rambutan, apalagi makan nasi yang agak keras atau sayur tanpa kuah terutama yang sakitnya sudah parah. Minum pun sebaiknya air hangat atau agak panas. Sayangnya, makanan jenis ini dan air minum dingin atau bahkan air tak bersih justru yang terbanyak tersedia di kam pengungsian. Batuknya memang jarang, tapi sekali batuk tak berdahak ini serupa dengan letusan peluru beruntun. Sakitnya bukan kepalang. Perut sampai terguncang-guncang dan melilit. Apa yang akan tampak andaikata ribuan orang berjejer dan batuk bersahut-sahutan saat malam?

Parahnya lagi, di daerah bencana biasanya sulit diperoleh obat-obatan dan tenaga medis, terutama dokter. Ada memang, tapi rasionya terhadap jumlah pengungsi sangat-sangat kecil. Yang kebetulan bisa dilayani dokter dan sakitnya ditangani dengan baik bisa dikatakan beruntung. Yang tak beruntung jauh lebih banyak. Apalagi di tengah kelangkaan makanan dan minuman itu ada yang ‘mengail di air keruh’ demi keuntungan pribadi.

Andaikata pengungsi itu punya cukup uang mungkin mereka bisa membeli obat yang dijual bebas di warung dekat barak di kam. Hanya saja, kalau salah obat yang terjadi malah mual-mual dan mulut terus mengeluarkan ludah. Siang malam mual dan tak bisa tidur. Lama-lama ketahanan tubuhnya melemah dan sakit lain pun muncul. Sakit bertubi-tubi. Diare dan sakit menular lainnya mengancam, kebutuhan masker meningkat, pengungsi dan relawan kian capek dan stres, begitu pun petugas di dapur umum dan tim medis.


Merapi, gunung setinggi 2.914 m dpl itu kini batuk. Gemuruh suaranya, luruh lavanya dan awan panasnya menyatakan dengan tegas bahwa manusia tak ada apa-apanya. Mampu apa manusia melawan Merapi sepanjang sejarahnya? Mampukah membatalkan atau menghentikan karakter Merapi? *
ReadMore »

15 November 2013

Grit Chamber, Pemisah Pasir di IPAL

Grit Chamber, Pemisah Pasir di IPAL
Oleh Gede H. Cahyana


Sedimentasi adalah unit operasi yang luas diterapkan di PDAM, baik untuk pemisah partikel diskrit maupun partikel flok dalam proses koagulasi – flokulasi. Fenomena serupa terjadi juga di unit Grit Chamber. Hanya saja, unit operasi ini biasanya diterapkan di IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Perbedaannya dengan sedimentasi, Grit Chamber berfungsi untuk menyisihkan partikel grit seperti pasir, serpihan halus kaca, kerikil kecil, lanau (silt), ampas kopi, dan material yang tak membusuk dengan berat jenis lebih besar daripada berat jenis air. Berat jenis grit tersebut juga lebih besar daripada berat jenis zat padat organik di dalam air limbah.

Tujuan penerapan Grit Chamber adalah untuk melindungi peralatan mekanis dari abrasi akibat partikel padat dan keras, mengurangi endapan di dalam pipa, terutama di belokan pipa. Pada instalasi digester aerob dan anaerob, unit Grit Chamber digunakan untuk mengurangi frekuensi pembersihan digester akibat akumulasi grit. Tanpa unit yang mengawali rangkaian IPAL ini (biasanya IPAL domestik, terutama yang combined sewer, yakni saluran air limbah yang juga berfungsi untuk menyalurkan air hujan) dikhawatirkan terjadi kerusakan pompa dan penyumbatan pipa atau kanal penyalur air limbah. Untuk IPAL industri, terutama industri yang air limbahnya lebih banyak mengandung senyawa terlarut dan koloid, maka Grit Chamber ditiadakan, diganti dengan equalization tank.

Seperti halnya unit sedimentasi di PDAM, setelah rentang waktu tertentu, terjadilah akumulasi grit di dasar Grit Chamber. Akumulasi endapan ini harus dikeluarkan secara gravitasi dengan membuka gate valve pengurasannya. Air yang mengalir bersama grit ini harus dialirkan kembali ke saluran air limbah untuk diolah karena kaya zat organik (BOD-nya masih tinggi). Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa Grit Chamber tidak mampu menurunkan BOD atau COD. Efeknya kecil terhadap penurunan BOD. Inilah sebabnya, ia disebut sebagai unit praolah (pretreatment). Adapun grit yang terkumpul lantas diangkut ke tempat pembuangannya di lahan yang cekung atau di TPA sanitary landfill. Bisa juga distabilisasi dulu dengan kapur sebelum diurug di lahan TPA.

Tipe Grit Chamber yang biasa diterapkan di IPAL ada tiga, (1) Velocity Controlled Grit Chamber atau Horizontal Flow Grit Chamber dengan alat ukur Parshall Flume; (2) Aerated Grit Chamber, ada aerasi untuk mengurangi pembusukan; (3) Constant Level – Short Term Grit Chamber. Jenis yang dipasang bergantung pada maksud pembuatannya, apakah untuk air limbah yang tinggi beban organiknya (biodegradable) ataukah untuk air limbah yang mayoritas berisi pasir yang cepat mengendap. Yang dibahas selanjutnya adalah tipe pertama, yaitu horizontal flow karena bisa mudah dianalisis dengan hukum klasik partikel diskrit untuk unit sedimentasi, yaitu Stokes’ Law.

Pada tipe aliran horizontal, airnya mengalir secara horizontal dan kecepatan alirannya dikendalikan oleh dimensi unit, influent distribution gate, dan pelimpah di ujung efluen. Bentuk bak tipe aliran horizontal ini bisa segiempat, bisa juga lingkaran dan di bagian ujungnya (outlet) dipasang weir khusus. Yang pertama dibuat dan banyak diterapkan adalah berbentuk segiempat dengan pengontrol kecepatan aliran air. Minimum dibuat dua unit agar salah satunya dapat dibersihkan dan operasional tetap berjalan normal. Unit ini didesain untuk kecepatan mendekati 0,3 m/d (1 fps) dan untuk memberikan kesempatan kepada grit agar mengendap di dasar saluran. Dengan kecepatan tersebut maka mayoritas zat organik akan terbawa aliran, tetapi dapat mengendapkan grit. Pembersihannya dengan dua cara juga, yaitu secara mekanis dan dengan tangan (manual). Unit mekanis digunakan di instalasi dengan debit pengolahan di atas 40 liter/detik. 

Berkaitan dengan desainnya, faktor desain yang biasa diterapkan ialah kecepatan aliran air dan waktu tinggal (detensi: 45 detik s.d 1,5 menit). Kecepatan ini harus dikendalikan untuk meminimalkan endapan zat organik yang bisa membusuk di dalam ruang grit. Pada Grit Chamber tradisional, yaitu unit yang kali pertama dikembangkan dalam pengolahan air limbah, overflow rate yang digunakan adalah 900 kali kecepatan partikel terkecil yang akan disisihkan. Partikel ini biasanya berukuran 0,2 mm dengan berat jenis (specific gravity) antara 1,3 - 2,65. Meskipun demikian, ada saja zat organik yang ikut mengendap sehingga perlu dilengkapi dengan fasilitas pembersihan (washing unit) untuk menyisihkan zat organik dari grit.

                        Tabel 1. Rentang kecepatan endap dan waktu detensi.
Parameter
Satuan
Rentang
Tipikal
Waktu detensi
detik
45 – 90
60
Kecepatan horizontal
m/d
0,25 – 0,4
0,3
Kecepatan endap grit:



* diameter 0,21 mm
m/menit
1,0 – 1,3
1,15
* diameter 0,15 mm
m/menit
0,6 – 0,9
0,75
                          Sumber : Metcalf- Eddy, 2003

Terakhir, fasilitas yang perlu dilengkapi di bagian hulu Grit Chamber adalah bar screen dan kominutor (comminutor). Bar screen untuk menyisihkan sampah, ranting, dan kominutor untuk memotong benda-benda yang lolos dari bar screen sehingga ukurannya menjadi relatif seragam. Fasilitas screen dan kominutor ini dapat memudahkan operasi dan perawatan Grit Chamber. * 


ReadMore »