• L3
  • Email :
  • Search :

30 April 2012

Buruh a la Robert T. Kiyosaki

Buruh a la Robert T. Kiyosaki
Oleh Gede H. Cahyana

Mayday, 1 Mei disebut sebagai Hari Buruh, hari untuk para pekerja-kerah-biru (blue collar worker). Majikan pabrik pasti butuh buruh. Malah, buruh sangat berjasa bagi majikannya. Tanpa buruh, tak adalah majikan. Tanpa buruh, tak ada produksi, tak ada produk. Tanpa buruh, ekonomi mandeg. Begitu pun, tanpa majikan yang punya pabrik, buruh pun tak ada atau tak bisa bekerja. Tanpa projek dari APBN-APBD, tak ada buruh. Tanpa putaran roda ekonomi, buruh pun tak dibutuhkan. Jadi, kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan, saling dibutuhkan. Idealnya, saling give and take.
Itu sisi idealnya. Buruh-majikan saling butuh. Interaksi mutualisme. Hanya saja, seperti pada masa Orde Baru dulu dan terus berlangsung sampai sekarang, terjadi rekayasa dalam kaitannya dengan undang-undang. Buruh selalu dikalahkan oleh pemerintah dan legislatif karena kekuatan uang. Undang-undang dimanipulasi, atau minimal dibelokkan dari arah sebenarnya. Lembaran fulus selalu saja memutar pikiran aparat negara sehingga tak waras lagi hatinya. Otaknya stabil, tapi hatinya beringas memandang uang. Terjadilah eksploitasi manusia atas manusia. Bahkan undang-undang adalah uang. Rancangan peraturan apapun adalah projek bagi anggota dewan dan eksekutif, menghabiskan uang rakyat.

Salahkah kita berempati pada buruh? Jika kita bukan buruh karena merasa PNS, anggota TNI-Polri, pegawai BUMN-BUMD, guru-dosen, dll, coba bayangkan sebentar saja. Bayangkanlah ini. Mereka rata-rata pergi pagi pulang sore atau pergi sore pulang dini hari. Bahkan ada yang harus berangkat sebelum subuh untuk menanti bis jemputan. Terlambat tiga menit saja, dia ditinggal dan harus keluar ongkos angkot atau bis kota. Jika tak berangkat kerja, tak lama lagi dia bisa dipecat dengan alasan indisipliner. Bahkan kadang-kadang alasannya mengada-ada. Sebab, majikan dan manajernya sudah yakin pada kalimat bertuah ini: pecat satu, seribu melamar. Esa hilang seribu terbilang. Betul-betul buruh sudah tak berharga lagi di depan majikannya, terutama majikan dari negeri seberang.

Hanya saja, mari kita simak tulisan Robert T. Kiyosaki, penulis buku Cashflow Quadrant. Begini katanya, semua orang adalah employee alias pekerja alias karyawan alias pegawai alias buruh jika kita bukan seorang pebisnis dan/atau investor. Jadi, semua profesi, menurut Kiyosaki, adalah buruh kalau bukan pebisnis dan/atau pemodal. Dengan berpikir seperti ini, maka orang yang bukan pebisnis, bukan investor, akan punya empati kepada buruh, terutama buruh yang betul-betul bekerja dengan andalan fisik belaka. Sebab, yang berkerah putih (white collar worker) pun sebetulnya buruh juga, tetapi mereka lebih suka disebut pegawai atau karyawan. *

Foto: vivanews.com
ReadMore »

25 April 2012

Sejarah Jln. Imhoff Tank di Bandung

Oleh Gede H. Cahyana


Jalan Gajah Mada tidak akan kita temukan di Bandung. Sebaliknya, Jl. Imhoff Tank cuma ada di Bandung. Nah, mengapa jalan yang disebut terakhir itu berbau asing dan satu-satunya di Indonesia, tentu ada riwayatnya.

Tahun 1916, sepuluh tahun setelah Bandung berstatus gemeente (21 Februari 1906), dan setahun sebelum Meneer B. Coops menjadi walikota (burgemeester) Bandung yang pertama (1917), pemerintah Belanda ingin warganya hidup saniter. Saat itu, Bandung dibagi menjadi dua wilayah: barat dan timur dengan Sungai Cikapundung sebagai garis sempadan. Waktu itu, dua pertiga warganya tinggal di belahan barat. Maka, selain mendirikan “PDAM” yang dikelola oleh Technische Dienst Afdeling, Belanda juga membuat instalasi pengolah air limbah (IPAL) domestik di belahan barat.

Terlihat betapa seabad lalu, meskipun penjajah, Belanda sudah peduli pada ling- kungan di tanah jajahannya. Padahal kala itu, pence- maran air belumlah separah sekarang. Lalu, mengapa Imhoff Tank yang dipilih, bukannya activated sludge (lumpur aktif) temuan Ardern dan Locket yang lebih dulu berkembang? Sebab, selain murah, unit yang patennya dipegang oleh Dr. Karl Imhoff (1904, pakar air limbah dari Jerman), unit ini juga terbaik kinerjanya saat itu. Ia unggul daripada unit pengolah lain karena berupa pengolah bikamar atau “dual-purpose two-story tank” yaitu ruang hidrolisis dan sedimentasi.

Air limbah rumah tangga warga Belanda dialirkan lewat saluran sepanjang 14 km di sepanjang jalan akses yang dinamai Jln. Imhoff Tank menuju IPAL dan air olahannya dibuang ke Sungai Citepus, di dekat IPAL-nya. Tapi sayang, unit ini sekarang sudah rusak dan dipenuhi lumpur. Pemkot Bandung menggantinya dengan kolam oksidasi di Bojongsoang seluas 85 ha dengan panjang total saluran sekitar 300 km.

Ingin wisata ke sana? Mudah saja. Lokasinya satu kilometer arah timur terminal bis Leuwipanjang, menyusuri Jln. Soekarno - Hatta (By pass), sebelum Jln. Moh. Toha. Warga setempat, khususnya orang-orang tua, biasanya tahu lokasinya. *

Foto/gambar: Wikipedia

ReadMore »

19 April 2012

Gubernur Jakarta: Wajib Cerdas Lingkungan


Pemilihan gubernur DKI Jakarta sebentar lagi. Siapa yang akan dipilih? Yang dipilih sebaiknya yang punya kecerdasan lingkungan (enviro intelligence, quotient). Ini faktanya. Dulu ada program Segar Jakartaku, Hari Tanpa Kendaraan Bermotor, juga Langit Biru. Ada juga Prokasih, Program Kali Bersih

Apa hasilnya? Jakarta kian gerah, langit kelabu dan disesaki banjir. Malah Ciliwung dinobatkan menjadi WC terpanjang di dunia. Taruhlah penduduk Jakarta 10 juta orang. Jika satu juta orang ber-WC di Ciliwung secara langsung dan tak langsung, maka ada 100.000 m3/hari air limbah masuk ke Ciliwung. Ini setara dengan 10 buah lapangan sepakbola yang digenangi air setinggi satu meter. Monas, istana presiden dan sekitarnya pun tenggelam oleh air WC ini setiap hari.

Enviro Quotient (EnQ) itulah yang luput dari gubernur Jakarta. Mereka dan jajar- annya tidak cerdas ling- kungan tapi hanya berbekal kecerdasan otak. Miskin pula kecerdasan akhlaknya. Sejak 1970-an wanti-wanti ini dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo (alm). Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif dalam menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada teknologi protektif (protective technology) atas lingkungan. 

Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik seseorang dan kepangkatannya di TNI-Polri tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Tak sedikit orang-orang pintar dan berjabatan-berpangkat itu justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil sense of belonging, tak hendak menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan. 

Sebaliknya, ada orang yang tidak sekolah, tak berbasiskan ilmu lingkungan, tidak memiliki teori ilmu lingkungan tetapi sudah melaksanakan pelestarian fungsi lingkungan. Contohnya Mak Eroh. Beliau meninggal pada usia 70 tahun pada September 2004 dan dipredikati sebagai pahlawan hijau oleh penduduk Desa Pasirkadu. Apa yang dikerjakannya sampai dihadiahi Kalpataru pada tahun 1988? Wanita ini hanya mencangkul dan mencangkul seorang diri, setapak demi setapak selama berminggu-minggu untuk membuat saluran air. Ketika kanal itu sudah mencapai 2 km dan sudah 47 hari mencangkul sendirian, barulah warga desa membantunya. Awalnya warga mencibir dan menganggapnya gila. Lantaran “Mak Eroh Aquiduct” itulah desanya menjadi hijau.

Nyata di pelupuk mata, betapa orang awam sudah menjadi penggerak bela lingkungan, tinggi kecerdasan ling- kungannya. Tanpa pidato mereka langsung beraksi. Mereka sudah peduli lingkungan meskipun disebut orang lugu, bahkan bodoh. Saksikan saja tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, mereka senantiasa berwawasan lingkungan kalau membuka hutan. Meskipun menebang pohon, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola ini membantu menahan tanah agar tidak erosi, longsor, atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig di Bali, selektif menebang pohon. Tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. 

Jika demikian, satu pertanyaan reflektif, siapa yang lebih peduli lingkungan, masyarakat awamkah, ataukah politisi-birokrat? Dalam spirit Enviro Quotient, tak hendakkah kita belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat, kalah oleh kalangan tradisionalis itu? Kapankah ada pejabat publik yang tak sekedar peduli dalam retorika politiknya ketika bicara soal lingkungan? Adakah partai politik yang tak sekedar proforma dalam membuat divisi lingkungan? Sudah saatnya kita memilih gubernur yang paham masalah dan mampu menyelesaikan masalah lingkungan. Pilihlah calon gubernur DKI yang tinggi Enviro Quotient-nya. 

Akhir kata, ada pesan dari E. F. Schumacher, Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern. Semoga nanti muncul politisi berlabel enviro, enviropolitician yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi enviro-nya hanya proforma belaka. Juga dicari birokrat yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak sekadar menjadi dust in the wind. ***
 
Foto: chillphy's Blog.

ReadMore »

14 April 2012

Sisi Lain dari Sosok Kartini

Kartini dipingit, sudah luas diketahui. Beliau berkebaya, sudah pula diikuti. Dijadikan ikon oleh gerakan feminisme di Indonesia, bisa dianggap demikian. Lagu perihal "putri sejati" itu pun sering dinyanyikan anak TK dan SD. Buku kumpulan surat-suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang, boleh jadi tiada yang tak tahu. Tapi pernahkah kita membacanya atau minimal melihat bukunya?

Ada satu hal lagi. Populerkah sisi lain Kartini di mata khalayak? Faktanya, sisi lain ini belum banyak diketahui, malah cenderung dientaskan. Tarung ideologis yang terus membebani psikisnya tak banyak diungkap. Ia menangis menatap kehidupan kaumnya yang ditindas penjajah. Adat Jawa pemasung wanita sebagai dampak buruk kolonial Belanda terus meluas. Sampai-sampai ia dibujuk untuk pindah agama oleh Ny. van Kol. Tegaslah jawabnya, ”Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami, patut disukai (21 Juli 1902).
 
Hal kedua yang nyaris tak bergema ialah semangat menulisnya. Kepandaiannya dalam olah kata ini jarang dipaparkan. Ketika jutaan orang Indonesia buta huruf pada akhir abad ke-19 itu, Kartini justru mampu menulis. Tak tanggung-tanggung, selain Zeehandelaar, sahabat penanya adalah keluarga J. H. Abendanon, M.C.E. Ovink Soer, T. H. van Kol, dll. Nilai plusnya kian bertambah lagi lantaran tak semua orang yang (sering) membaca akan mampu pula menulis (dalam arti mengarang) pada zamannya. Lantas, kenapa kepioniran Kartini dalam berkorespondensi tak dijadikan pemicu kemampuan baca-tulis kaum wanita khususnya dan masyarakat umumnya?

Aneh, memang! Padahal sepuluh hari setelah Hari Kartini, yaitu 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tiga pekan berikutnya sudah pula disambut Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Terlebih lagi dimaklumi bersama, hanya lewat pendidikanlah kita bisa bangkit menjadi negara yang tekno-sainstifik. Hanya orang yang melek huruflah yang bakal berkembang ilmunya. Tapi nyatanya pejabat di Depdiknas dan Disdik belum juga optimal menumbuhkan spirit belajar, baik di kalangan guru maupun muridnya. Program yang dirilisnya terbukti sekadar politis dan lips service belaka. Sekali jadi lalu mati.

Yang juga salah kaprah dan masih terkait dengan Hardiknas dan Harkitnas itu ialah bahwa bangsa ini “bangkit” lantaran kehadiran pergerakan Budi Utomo. Menurut sejarawan George McTuman Kahin, penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia, bukan Budi Utomo pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia, melainkan Kartini. Alasannya, terang Prof. Ahmad M. Suryanegara dalam buku Menemukan Sejarah, Kartini tak hanya berjuang untuk perempuan, tetapi juga untuk membangkitkan bangsanya dari kehinaan. Jika ditilik dari waktunya, periode hidupnya memang mendahului periode Budi Utomo.

Namun sayangnya, spirit “pergerakan” Kartini hanya dimaknai secara selintas. Pola peringatannya sama dengan pola puluhan tahun lalu. Tiada kebaruan dalam upaya menghargai perjuangan Kartini. Yang banyak dipublikasikan justru hal remeh seperti kebaya, kain, sanggul dan konde. Anak-anak disuruh mengenakan kebaya sambil melenggang-lenggok. Parahnya lagi, murid lelakinya disuruh mengenakan baju perempuan dan berperilaku seperti perempuan. Lucu memang lucu, tetapi pola didik seperti itu mendekatkannya pada penyimpangan seksual kelak. Lomba itu pun isinya hura-hura, lepas dari aspek kognitif yang menjadi inti perjuangan Kartini. 

Dari sisi sosiologis juga terjadi pemarjinalan spirit Kartini yang jauh dari pola pikir kaum feminis sekarang. Mengatasnamakan pembelaan hak-hak perempuan mereka memlintir hakikat perjuangan Kartini. Di antaranya soal poligami. Tak pernah sekali pun digembar-gemborkan oleh sejumlah kalangan bahwa Kartini ketika menikah berstatus menjadi istri keempat. Djojoadiningrat, suaminya itu, sudah beristri tiga dengan tujuh anak ketika menikahi Kartini. Putri tertua suaminya terpaut delapan tahun dengannya. Perkawinan itu berlangsung pada 8 November 1903. Perkawinan ini praktis menyudahi perlawanannya terhadap praktik poligami di masyarakat Jawa. Setelah diboyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kartini tidak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami, bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah berdamai dengan lingkungannya. (Majalah Tempo, 17 April 2006).

Patut diakui, sebelumnya Kartini menentang praktik poligami. Tapi yang dicercanya ialah raja atau susuhunan yang istrinya puluhan. (NB: Amangkurat I menanggalkan gelar Sultan lalu menyandang gelar Susuhunan sebagai ekspresi penolakan atas pengaruh ulama yang bergelar Suhunan. Dia menambah suku kata “su” sehingga menjadi dua kali, yaitu Susuhunan sekaligus menolak syariat Islam termasuk hukum pernikahan: maksimum empat istri. Maka terjadilah perkawinan tanpa batas. Tak dapat dimungkiri, raja-raja itu memang memiliki berhektar-hektar tanah dan menerima “upeti” dari “rakyatnya” setiap panen. Kekayaannya, untuk lingkup lokal memang luar biasa. Membiayai 30 anak pun mereka mampu dan tanpa masalah!

Kembali ke soal Kartini. Justru di situlah letak masalahnya, yaitu fenomena yang menyeruak ke masyarakat dan dengan gegabah mengganti hukum syariat Islam dengan hukum adat yang mengizinkan lelaki menikahi perempuan sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu, ia menulis surat kepada Zeehandelaar yang isinya kisah nestapa perempuan Surakarta pada masa itu. Katanya,” Di sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya seorang, dalam kalangan bangsawan, terutama lingkungan susuhunan seorang laki-laki sampai 26 orang perempuannya.Ini ditulisnya pada 23 Agustus 1900, tiga tahun sebelum ia menikah. Demikian tulis sejarawan Ahmad M. Suryanegara dalam buku tersebut.

Kegeramannya melihat jahiliah sosial itu akhirnya diabadikan dalam suratnya kepada Stella. “Aku hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Stella, aku hendak perdengarkan kepadamu. Manakah aku akan menang bila tiada berjuang. Manakah aku akan mendapatkan bila aku tiada mencari. Tiada perjuangan, tiada kemenangan; aku berjuang Stella, aku akan merebut kemerdekaanku. Aku tidak gentar karena keberatan dan kesukaran, perasaanku aku cukup kuat mengalahkan semuanya itu”. Curahan hatinya itu menjadi penguat betapa Kartini, waktu itu usianya 21 tahun (1879 – 1900), membenci hukum adat. Ia melawan dengan sekuat tenaga justru ketika perempuan lain sezamannya nrimo-nrimo saja dan terseret arus kebelanda-belandaan. 

Patutlah dikedepankan, sikap renaisans pemahaman Kartini itu dipicu oleh Qur’an. Ia menulis surat kepada anak Abendanon yang bernama E. C. Abendanon,” Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami. Kartini telah mengikrarkan kitab suci agamanya sebagai gunung kekayaan (ilmu).” Kemudian hadirlah deretan kata yang “abadi” dan selalu dikutip pada Hari Kartini. Ini terjadi pada 17 Agustus 1902,” Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh-teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.” Kata-kata “habis gelap terbitlah terang” itu bersumber pada Al Qur’an: minazh zhulumati ilan nur

Akhirnya, mari peringati Hari Kartini dengan cara yang mendidik, tak sekadar berkebaya, bersanggul-konde dan berjalan pelan bak siput. Jangan “racuni” anak TK dan SD dengan model jahiliah lantaran Kartini membenci kejahiliahan itu. Beliau justru ingin menerangi, agar habislah kegelapan ini menjadi keterangan. Gantilah pola perayaannya dengan lomba yang meningkatkan kualitas pikiran seperti lomba menulis (surat, cerpen, novel, artikel, pidato, dll) agar mampu menulis seperti Kartini. *

Daftar Pustaka
1. Pane, Armijn, Habis Gelap Terbitlah Terang, Balai Pustaka, Djakarta, 1951.
2. Suryanegara, A. M, Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung, 1995.
3. Majalah Tempo, 17 April 2006
4. Foto, Wikipedia, April 2012.

Sambutlah Hari Kartini. *
 
ReadMore »