• L3
  • Email :
  • Search :

30 Mei 2013

Menuju TPA Sanitary Landfill

Menuju TPA Sanitary Landfill
Oleh Gede H. Cahyana

Tahun 2013 ini adalah batas akhir bagi pemerintah kabupaten dan kota untuk meninggalkan Open Dumping atau Open Dump. Bupati dan walikota wajib melaksanakan amanat UU No. 18/2008 di bidang pengelolaan sampah, yaitu berupa Sanitary Landfill (Sanfil). Berdasarkan undang-undang tersebut, terminologi TPA diubah dari Tempat Pembuangan Akhir menjadi Tempat Pemrosesan Akhir, yaitu tempat terakhir sampah dalam tahap pengelolaannya sejak di sumber, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan (pembuangan). TPA ini selayaknya menjadi lokasi isolasi sampah yang aman sehingga tidak mengganggu lingkungan. Oleh sebab itu, perlu penyediaan fasilitas dan perlakuan yang betul agar keamanan tersebut dapat dicapai.

Di TPA sampah diuraikan secara alamiah dalam waktu tertentu, bergantung pada jenisnya. Ada sampah yang dapat diurai cepat, lambat, dan sangat lambat. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA habis masa gunanya, ada proses yang terus berlangsung  dan menghasilkan zat yang dapat mengganggu lingkungan. Itu sebabnya, pengawasan terhadap TPA yang telah ditutup tetap diperlukan. Artinya, harus ada balai, badan, atau lembaga yang mengurusinya, dibiayai oleh pemerintah atau swasta yang mendapatkan nilai tambah dari pengelolaan gas yang dihasilkan TPA.

Sejarah mencatat, di seluruh dunia mayoritas TPA berupa Open Dumping. Di Indonesia pun demikian, sampai tahun 2013 ini, kebanyakan TPA kita berupa Open Dumping. Kendala utama dalam pengelolaan TPA adalah sumber daya manusia dan sumber dana. Manajemen TPA banyak yang kekurangan operator terlatih di bidang ini karena berbagai sebab. Ada yang tidak tahan bekerja di TPA karena situasi dan kondisinya membuat tertekan sehingga tidak betah, ada juga karena mutasi operator terlatih kepada orang yang belum dilatih. Pada saat yang sama, pemerintah daerah pun tidak mau dan/atau tidak mampu mengalokasikan dana untuk pengelolaan TPA dalam APBD-nya. 

Secara ringkas, ada tiga jenis pembuangan sampah di TPA, yaitu :

 a)  Open Dumping
Open dump atau open dumping atau pembuangan terbuka adalah cara pembuangan sampah yang sederhana. Sampah hanya dihamparkan pada suatu lokasi, dibiarkan terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan setelah lokasinya penuh sampah. Lebih banyak pemerintah kabupaten/kota yang menerapkan cara ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana, dll). Cara ini tidak  diizinkan lagi karena banyak potensi pencemaran lingkungannya seperti :

 Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus.                          
 Polusi udara oleh gas yang dihasilkannya                     
 Polusi air karena lindi
 Estetika lingkungan menjadi buruk, kotor

b)   Controlled  Landfill
Metode ini lebih baik daripada open dumping karena secara periodik sampah yang telah ditimbun ditutup dengan tanah untuk mengurangi gangguan terhadap lingkungan. Dalam operasionalnya dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.

Di Indonesia, metode controlled landfill dianjurkan untuk kota sedang dan kecil. Untuk melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan fasilitas seperti:
 Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan
 Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan
 Pos pengendalian operasional
 Fasilitas pengendalian gas metana
 Alat-alat berat

c)  Sanitary Landfill
Inilah metode standar yang diterapkan secara internasional. Penutupan sampah dilakukan setiap hari sehingga potensi gangguan terhadap lingkungan dapat diminimalkan. Cara ini memerlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal sehingga dianjurkan untuk kota-kota besar dan metropolitan.

Lokasi TPA menjadi tempat yang besar potensi polusinya terhadap lingkungan tanah, air, dan udara dan sumber pembiakan vektor penyakit seperti lalat dan tikus. Oleh sebab itu, lokasi TPA harus dipilih secara betul sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Sejumlah poin dicantumkan seperti:

 Bukan daerah rawan geologi (patahan, rawan longsor, gempa)
 Bukan daerah rawan hidrogeologis, yaitu daerah dengan kedalaman air tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah meresapkan air, dekat dengan sumber air (kalau tidak terpenuhi harus ada masukan teknologi)
 Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari 20%)
 Bukan  daerah dekat bandara (jarak minimal 1,5 - 3 km).
(Bersambung)
ReadMore »