• L3
  • Email :
  • Search :

26 Februari 2007

Primagama – UK: Kupas Tuntas Unas

Ujian Nasional (Unas) bagi siswa SMA dan sederajat hanya 1,5 bulan lagi. Beberapa lembaga bimbingan belajar di Bandung menggelar acara kupas tuntas Unas. Satu di antaranya adalah Lembaga Pendidikan Primagama, sebuah lembaga yang didirikan oleh Purdi E. Chandra, seorang entrepreneur sejati dari kota gudeg, Yogyakarta.

Bekerja sama dengan Universitas Kebangsaan, lembaga yang bergerak di bidang pendidikan itu mengadakan seminar bertajuk “Kupas Tuntas Unas. Jurus Jitu Menghadapi Unas untuk kelas 3 SMA dan sederajat”. Acara yang digeber pada Ahad, 25 Februari 2007 itu tergolong ramai. Setengah dari kapasitas aula UK yang mampu menampung 500 orang itu terisi. Paparan dari pembina bimbingan belajar Primagama pun ikut menghidupkan suasana. Sejumlah trik cepat-jawab yang diistilahkan dengan smart solution memberikan wawasan baru bagi sejumlah peserta, terutama bagi yang belum mengikuti bimbingan belajar.

Secara berantai, presenter dari Primagama Cibeureum Bandung mampu menghidupkan suasana dan direspons semangat oleh peserta. Soal-soal latihannya diambil dari sejumlah soal ujian atau Ebtanas. Agar hidup suasananya, sejumlah hadiah berupa CD yang berisi pelajaran dan latihan soal juga diberikan untuk siswa yang tampil ke depan dan mampu menjawab dengan betul soal yang diberikan.

Bagi UK, kegiatan dengan Primagama ini adalah yang kali kedua dan patut dilanjutkan dan ditingkatkan demi perluasan kemampuan siswa dalam menjawab soal ketika ujian, baik Unas maupun testing masuk PTN-PTS. Kerja sama ini pun bisa juga dijalin antara UK dan lembaga bimbel lainnya, baik yang di luar Bandung maupun di Bandung. UK membuka diri dalam setiap event yang mencerdaskan masyarakat.

Memang, dalam setiap ujian, yang diperlukan adalah trik cepat dalam memperoleh jawaban yang betul. Sedangkan dasar dan pengembangan ilmunya hendaklah diperoleh dan didalami ketika belajar sehari-hari atau selama bimbel. Artinya, siswa tak hanya menjadi orang praktis atau instan tetapi mampu mendalami latar belakang ilmu dan bahkan diharapkan mampu pula mengembangkannya.

Itulah tujuan tertinggi dari pendidikan: pengembangan ilmu dan teknologi yang dilatari oleh keimanan.

Gede H. Cahyana
ReadMore »

SUMITRO DJOJOHADIKUSUMO

Perjalanan kariernya sangat panjang dalam dunia akademik dan pemerintahan. Pada usia muda ia meraih gelar doktor. Umur 33 dipercaya jadi menteri. Selain menjadi guru besar UI, ia pernah menduduki pelbagai jabatan kunci di bidang ekonomi dan pemerintahan. Tapi ia pun aktif di berbagai forum internasional memperjuangan nasib republik ini. 


Gayanya yang ceplas-ceplos dan blak-blakan menjadi ciri khas. Sebagai "begawan" ekonomi, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo memang selalu kritis. Setelah menjadi besan Presiden Soeharto pun ia tetap melancarkan kritik tajam terhadap jalannya roda pembangunan. Baginya, perkawinan anak laki-lakinya Letjen Prabowo Subianto dengan Siti Hediyati (putri Soeharto) pada Mei 1983 hanyalah historical accident.

Salah satu kritiknya yang tajam ialah pernyataannya tentang kebocoran 30% dana pembangunan yang dilansir di Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-12 di Surabaya, November 1993. ISEI sendiri didirikan Sumitro tahun 1955.

Bila Sumitro - yang pada 1985 menjadi anggota seven eminent persons dengan tugas menyusun rekomendasi kepada GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) - sudah kelewat keras mengkritik, biasanya menantunya datang kepadanya untuk menyampaikan pesan Presiden Soeharto.

"Ada apa, Tiek? Ada pesan dari Bapak?" sambut Sumitro.

"Ya, Bapak bilang, 'Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja'!" ujar Siti Hediyati alias Titiek Prabowo.

"Ya, saya memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!" jawab Sumitro enteng.

Masih soal sinyalemen kebocoran itu, ketika bertemu Sumitro, Soeharto langsung berkata, "Kok, Pak Mitro suaranya begitu?"

Sumitro menjelaskan, sejak mahasiswa ia biasa bicara apa adanya, melihat suatu masalah lalu mencari problemnya kemudian mencari pemecahannya. "Dalam hal ini problemnya apa? Banyak. Pemborosan. Orang bilang ekonomi biaya tinggi. Bagaimana ini, lalu saya cari fakta, dan faktanya memang begitu. Kalau Bapak ingin fakta, tanya pada Biro Pusat Statistik," ucap Sumitro, penerima Bintang Mahaputra Adipradana II.

Dengan nada agak sinis Sumitro menambahkan, "Saya tidak punya antena ke angkasa luar, Pak. Ini hitung-hitungan berdasarkan analisis ilmiah."

"Alhasil, ini bukan pat gulipat, angka 30% bukan datang dari langit, atau dari paranormal Permadi!" tegas Sumitro, yang pada 1953 oleh Sekjen PBB diangkat sebagai anggota lima ahli dunia (group of five top experts).

Presiden memahami penjelasan itu namun ia menekankan, "Tapi, mbok ya jangan disiarkan, Pak Mitro."

Ketika krisis ekonomi semakin memukul Indonesia, akhir 1997, Sumitro kembali membuat pernyataan tajam. Dalam tubuh ekonomi nasional melekat berbagai macam penyakit, seperti distorsi dalam bentuk monopoli, oligopoli, kartel, proteksi yang berlebihan, dan subsidi untuk barang-barang tertentu.

Sumitro melukiskan, "Kalau kita hanya bicara ekonomi moneter, obatnya cukup Aspirin. Tapi kalau institutional disease, sudah perlu antibiotika. Dan saya yakin bisa diatasi dengan antibiotika, tidak perlu sampai diamputasi, karena masih ada kesempatan untuk segera bertindak. Namun, paket untuk mengatasi disease itu harus dilakukan tanpa pandang bulu dan tak boleh ada intervensi." (Kompas, 11/1/1998). 

Dicuekin Bu Tien
Menanggapi soal adanya kolusi antara oknum pejabat dengan oknum konglomerat, Sumitro menegaskan, "Saya tidak setuju ada kolusi dengan alasan apa pun. Hal itu harus diberantas!"

Dalam hal ini ia punya pengalaman menarik. Ada pengusaha yang berusaha "menyogok" dengan mengirim bunga kepada istrinya. Di balik bunga itu terselip perhiasan emas dan berlian! Sumitro memanggil sekretarisnya, Babes Sumampouw, "Babes, apa-apaan ini. Kirim kembali, pulangkan!"

Pengusaha itu datang mengeluh, "Pak Mitro, mengapa begitu?" Sumitro pun menjawab, "Hati-hati kamu, ya, lain kali. Kamu masih untung saya menteri. Sembrono kamu, kasih perhiasan kepada istri saya. Enggak ada orang lain yang berhak memberi perhiasan kepada istri saya. Itu 'kan menghina seorang suami."

Pengalaman lain, usai menyelesaikan tender impor cengkeh, Sumitro dikejutkan oleh laporan Ali Moertopo bahwa Ibu Tien Soeharto marah-marah kepadanya. Ibu Tien berharap Sukamdani yang mendapat tender, tapi kenyataannya yang menang Probosutedjo dan Liem Sioe Liong.

Sejak peristiwa itu, lebih dari setahun Ibu Tien tak mau menegur Sumitro. Kalau mereka berjumpa, Ibu Negara itu melengos, membuang muka. Biarpun begitu, terhadap Dora Sigar, istri Sumitro, sikap Ibu Tien tetap baik dan mau mengajak bicara.

Meski lima kali menjabat menteri di masa Orde Lama dan Orde Baru, toh ia tetap rendah hati. Seperti yang terjadi ketika ia menghadiri suatu resepsi pernikahan.

"Monggo ... monggo, Pak, terus lajeng kemawon (Silakan, Pak, terus saja ke depan)," pinta anggota panitia, mempersilakan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo yang berada dalam antrean para tamu untuk menyalami mempelai.

"Sampun ... matur nuwun (terima kasih)," tolak Pak Cum, panggilan akrabnya. Sementara itu para tetamu VIP dan mereka yang merasa VIP, saling menyalip maju dan sibuk berfoto ria bersama pengantin.

Sikap rendah hati barangkali bawaan sejak lahir. Tetapi sebagai orang tua ia dikenal keras dan disiplin dalam mendidik keempat anaknya. Buktinya, putri tertua, Ny. Biantiningsih yang istri mantan Gubernur BI J. Soedrajat Djiwandono, sampai memiliki dua gelar kesarjanaan. Begitu juga Ny. Marjani Ekowati, putri kedua yang menikah dengan orang Prancis. Letjen Prabowo Subianto berhasil meniti karier cemerlang sebagai Danjen Kopassus dan Pangkostrad. Lalu si bungsu Hashim Sujono menjadi pengusaha sukses.

Namun di usia senjanya, berbagai cobaan menerpa. Karier Prabowo di militer tamat, Soedradjat Djiwandono sang menantu lengser sebagai Gubernur BI. Tapi keluarga Sumitro tetap tegar. "I've been through worst. Ini bukan yang pertama kali!" katanya lantang. "Ujian buat saya dalam kehidupan jauh lebih dari itu, habis dari menteri lalu tiba-tiba jatuh jadi buronan, ha-ha-ha!" tutur penyandang gelar doctor honoris causa dari Erasmus University Rotterdam ini. 

Doktor di usia muda
Anak pertama keluarga R.M. Margono Djojohadikusumo dan Siti Katoemi Wirodihardjo ini mempunyai riwayat hidup yang cukup mengesankan, seperti tertuang dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, terbitan Pustaka Sinar Harapan, 1999.

Setamat Hogere Burger School (HBS), pria kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, 29 Mei 1917, ini berangkat ke Belanda akhir Mei 1935. Sempat dua bulan "mampir" di Barcelona, Sumitro akhirnya ke Rotterdam untuk belajar. Dalam tempo dua tahun tiga bulan, gelar Bachelor of Arts (BA) diraihnya. Ini rekor waktu tercepat di Netherlands School of Economics. Ia lalu melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne, Paris (1937 - 1938).

Antara 1938 - 1939 di Prancis, Sumitro bergabung dengan kelompok sosialis dan berkenalan dengan tokoh dunia seperti Andre Malraux, Jawaharlal Nehru, Henri Bergson, dan Henri Cartier-Bresson. Sempat ikut latihan militer di Catalonia, tapi gagal masuk Brigade Internasional karena belum 21 tahun umurnya.

Dari Paris, Sumitro kembali ke Rotterdam, melanjutkan studi ekonomi. Ia memasuki periode penulisan disertasi saat Nazi Jerman menyerang Belanda, 5 Mei 1940. Pimpinan Nederlandse Economische Hogeschool menunjuk Prof. Dr. G.L. Gonggrijp sebagai promotornya. Disertasinya mengenai "Kredit Rakyat (Jawa) di Masa Depresi" diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi Nederlands Economische Hogeschool. Gelar Master of Arts (MA) diraih tahun 1940. Usianya baru menjelang 26 tahun saat ia menyandang gelar doktor ilmu ekonomi. 

Belajar jadi "penyelundup"
Pada masa proklamasi kemerdekaan RI, Sumitro tergolek sakit di pembaringan hampir setahun lamanya. Ia menjalani operasi tumor usus besar tanpa antibiotika. Beruntung ia selamat dari ancaman maut. Pagi, 18 Agustus 1945, Kota Rotterdam dikejutkan oleh berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Radio Hilversum. Berita itu memberikan kekuatan sugestif bagi kesembuhannya.

Saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bersidang di Church House, London, 17 Januari 1946, ia dan Mr. Zairin Zain ikut hadir. Seusai sidang, Sumitro dan Zairin terbang ke Jakarta. Tiba di rumah orang tuanya, Sumitro disambut suasana duka: dua adiknya, Subianto (21) dan Sujono (16) gugur dalam pertempuran melawan Jepang di Tangerang.

Kenyataan ini memperkuat tekadnya untuk melawan Belanda dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI. Bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Sumitro dan Zairin pada 14 Maret 1946 menyusun argumentasi baru untuk menghadapi diplomasi Belanda.

Dunia internasional menolak Agresi Militer Belanda, 21 Juli 1947. India dan Australia, 30 Juli 1947, membawa persoalan Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan di Lake Success, AS. Sutan Sjahrir, H. Agus Salim, Charles Tambu, Sudjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo ikut hadir.

Sumitro terpaksa meninggalkan Dora, yang baru enam bulan dinikahinya, pada 7 Januari 1947. Ia berjumpa pertama dengan Dora Sigar di Rotterdam tahun 1945. Ketika itu Dora belajar di Ilmu Perawatan Pascabedah di Utrecht.

Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer Kedua. Satu hari kemudian Sumitro bergegas menemui Robert A. Lovett, pejabat sementara Menteri Luar Negeri AS di Washington D.C. sambil membawa sebuah memorandum.

Ketika Sidang Dewan berlangsung, Sumitro meninggalkan New York untuk menghadiri Konferensi Asia yang membahas masalah Indonesia di New Delhi, 18 Januari 1949. Ia bergabung dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Mr. A.A. Maramis.

Masa transisi - mulai dari takluknya Jepang, proklamasi kemerdekaan, hingga usaha-usaha Belanda untuk menjajah kembali - berdampak bagi perekonomian Indonesia.

Saat itu masih beredar mata uang Jepang, gulden Belanda, dan uang NICA. Berangsur-angsur dilakukan penggantian dengan Oeang Republik Indonesia (ORI). Oleh karena kekurangan bahan kimia untuk membuat ORI, Sumitro mencarinya ke Singapura dan "menyelundupkannya" ke Jawa. Ia belajar jadi "penyelundup" untuk kepentingan revolusi. Ini tugas dari Sjahrir dan Bung Hatta.

Pada 12 April 1947, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi pimpinan Muhammad Hatta. Anggota panitia pemikir berjumlah 98 orang. Sumitro bertugas memikirkan hal-ihwal keuangan dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara.

Usianya masih sangat muda (33) ketika Sumitro diangkat jadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian, sekitar Mei atau Juni 1950. Pada 20 Maret 1951 Kabinet Natsir roboh.

Ketua Senat FE-UI Suhadi Mangkusuwondo bersama mahasiswa FE-UI meminta Sumitro menjadi dekan. Waktu itu usianya 34 tahun. Belum lama menjabat dekan, Dr. Sumitro Djojohadikusumo diangkat menjadi guru besar ilmu ekonomi di FE-UI. Pada 3 April 1952, Sumitro kembali diangkat menjadi Menteri Keuangan Kabinet Wilopo. Sejak 3 Juli 1953, Kabinet Wilopo demisioner. Tanggal 30 Juli 1953 Sumitro kembali menjadi Dekan FE-UI.

Semenjak menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo-Prawoto (3 April 1952 - 30 Juli 1953), Sumitro merasakan adanya ketimpangan daerah. Terjadi pergolakan dalam dirinya sebagai politikus dan akademisi!

Tanggal 30 Juli 1953 - 24 Juli 1955 adalah masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kemudian terbentuk Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 24 Maret 1956) dan Sumitro kembali dipercaya sebagai Menteri Keuangan. 

Bergabung dengan "pemberontak"
Sepanjang tahun 1957, koran komunis dan pers nasional seperti Harian Rakyat dan Bintang Timur melansir pemberitaan buruk tentang Sumitro. Ia dituduh melakukan korupsi besar-besaran.

Pada 23 Maret 1957 Sumitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung. Tapi pemeriksa menyatakan, tidak ada alasan untuk menahan Sumitro. Panggilan kedua oleh CPM terjadi pada tanggal 6 - 7 Mei 1957. Kemudian 8 Mei 1957 ia dipanggil lagi.

Sumitro semakin tertekan oleh serangan koran prokomunis dan merasa hendak ditangkap. Atas prinsip "pengabdian dan perlawanan" ia memilih melawan rezim Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan golongan komunis dan mengabaikan pembangunan daerah. Mei 1957 ia ke Sumatra, bertemu Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin. Pada 13 Mei 1957 ia tiba di Padang, bertemu Panglima Divisi Banteng, Letkol Achmad Husein. Malamnya Sumitro menuju ke Pekanbaru, menemui Kapten Yusuf Baron.

Ultimatum kepada pemerintah pusat akhirnya dikeluarkan pada 10 Februari 1958. Tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein melalui Radio Bukittinggi mengumumkan proklamasi pemerintahan tandingan, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Dari Jakarta, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah menghubungi dewan-dewan militer di daerah. Sekaligus menghubungi Sumitro Djojohadikusumo. Mereka "mengejar" Sumitro hingga ke Padang. Tapi Sumitro keburu ke Pekanbaru, kemudian ke Bengkalis, sempat menyamar jadi kelasi kapal menuju Singapura. Lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum ke Manila dan melakukan kontak dengan Perjuangan Semesta (Permesta). Menyamar menjadi cargo supervisor atas nama pemilik kopra, Sumitro masuk ke Bitung. Ia ke Sumatra menggelar pertemuan dan memperluas hubungan dengan pemimpin militer di Sumatra, juga Sumual di Sulawesi.

Subadio, utusan Sjahrir, bertemu Sumitro di Singapura. Sumitro berperan menangani bidang logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein bagi PRRI. Ia sempat mengecek pengadaan senjata. Sebagian senjata dibeli di Phuket (Thailand) dan Taiwan. Dua kali ia masuk Taiwan, dan kembali ke Minahasa dengan pesawat bermuatan amunisi.

Konsep semula, menurut Sumitro, hanya untuk memperbaiki Jakarta. Tidak ada bayangan membuat suatu pemerintahan tandingan. Tuntutan mereka hanyalah ingin otonomi dan pengembangan daerah.

Sumitro mempercayai gagasan persatuan Indonesia. Namun, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI), dan Pulau Jawa tidak termasuk di dalamnya, ia menolak tegas, "Kalau demikian, saya tidak bisa ikut, sebab negara kita satu." Ketidaksepakatan ini mendorong Sumitro mengungsi ke luar negeri, lantaran belum memungkinkan pulang ke Jakarta.

Selama 10 tahun di pelarian, Sumitro menggunakan banyak nama samaran. Para mahasiswa di Jepang mengenalnya sebagai Sungkono. Di Jerman dipanggil Sunarto. Di luar Frankfurt pakai nama Abdul Karim. Di Hongkong orang mengenalnya Sou Ming Tau (bahasa Kanton) dan Soo Ming Doo (bahasa Mandarin). Warga Malaysia mengenalnya Abu Bakar. Ia dipanggil Henry Kusumo atau Henry Tau di Bangkok.

Demi keamanan, Sumitro bersama keluarganya tak mau tinggal di suatu negara lebih dari dua tahun. Mulai dari Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Zurich-Swiss, London, kemudian pindah ke Bangkok.

Untuk menghidupi keluarganya di pelarian, ia terpaksa menjadi saudagar mebel dan real estate di Malaysia. Juga mendirikan Economic Consultans for Asia and the Far East (Ecosafe) di Hongkong, dan cabangnya di Kuala Lumpur. Ia memakai nama Kusumo.

Maret 1967, Soeharto menjabat presiden RI. Suatu kali Ali Moertopo menemui Sumitro di Bangkok, dan bertanya, "Apakah Pak Mitro bersedia kembali?"

Sumitro bilang, "You just remain yourself, and I just remain myself." Menlu Adam Malik, yang berkunjung ke Bangkok, mempertebal keyakinan Sumitro untuk pulang ke Tanah Air.

Sesudah resmi menjadi presiden, Soeharto menerima Sumitro di Cendana, 29 Mei 1968. Ia meminta kesediaan Sumitro membenahi ekonomi yang ambruk. Inflasi 600% lebih.

Sumitro akhirnya dilantik sebagai Menteri Perdagangan pada 27 Maret 1968. Tanggal 6 Juni 1968 susunan menteri Kabinet Pembangunan I diumumkan. Selanjutnya ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset Nasional (Menristek) pada Kabinet Pembangunan II.

Sekeluar dari kabinet tahun 1978, Sumitro menjadi konsultan. Juga menulis buku. Sejak 1982 ia mengurusi Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN). Sempat menjadi komisaris Bank Niaga, Bank Universal, dan Bank Kesejahteraan, pada 18 September 1992 - Desember 1992 Sumitro ditunjuk sebagai preskom Astra. 

Oleh A. Hery Suyono. Tulisan diambil dari sumber: http://www.indomedia.com/intisari/2000/juli/sumitro7.htm
ReadMore »

Jakarta Miskin Enviro Intelligence

Jakarta Miskin Enviro Intelligence
Oleh Gede H. Cahyana

Alm. Benyamin S, seorang aktor dari Betawi, lewat lagunya sudah memperingatkan penduduk dan pejabat di Jakarta bahwa daerahnya rawan banjir. Sudah sejak 1970-an Jakarta dilanda banjir. Sekarang warning itu menjadi nyata, bahkan besar-besaran. Tidakkah kalangan pintar di Jakarta belajar dari pengalaman sehingga tinggi kecerdasan lingkungannya (Enviro Intelligence) atau EnQ?

Satu hal yang dilupakan pejabat di Jakarta ialah mengelola lingkungan secara bersahabat. Mereka tak optimal mengelola EnQ tetapi hanya berbekal kecerdasan otak dan miskin kecerdasan akhlak (Spiritual Intelligence). Padahal sejak 1970-an wanti-wanti itu dirilis oleh alm. Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif dalam menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada teknologi protektif (protective technology) atas lingkungan.

Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik seseorang dan kepangkatannya di TNI-Polri tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Tak sedikit orang-orang pintar dan berjabatan-berpangkat itu justru menjadi pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil sense of belonging-nya, tak hendak menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan.

Sebaliknya, ada orang yang tidak sekolah, tak berbasiskan ilmu lingkungan dan tidak memiliki teori ilmu lingkungan tetapi sudah melaksanakan pelestarian fungsi lingkungan. Contohnya Mak Eroh. Beliau meninggal pada usia 70 tahun pada September 2004 dan dipredikati sebagai pahlawan hijau oleh penduduk Desa Pasirkadu. Apa yang dikerjakannya sampai dihadiahi Kalpataru pada tahun 1988? Wanita ini hanya mencangkul dan mencangkul seorang diri, setapak demi setapak selama berminggu-minggu untuk membuat saluran air. Ketika kanal itu sudah mencapai 2 km dan sudah 47 hari mencangkul sendirian, barulah warga desa membantunya. Awalnya warga mencibir dan menganggapnya gila. Lantaran “Mak Eroh Aquiduct” itulah desanya menjadi hijau.

Nyata di pelupuk mata, betapa orang awam sudah menjadi penggerak bela lingkungan dan tinggi EnQ-nya. Tanpa berkoar-koar pidato mereka langsung beraksi. Mereka sudah peduli lingkungan meskipun sering disebut orang lugu, bahkan bodoh. Saksikan saja tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, mereka senantiasa berwawasan lingkungan kalau membuka hutan. Meskipun menebang pohon, selalu saja ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola ini membantu menahan tanah agar tidak erosi, longsor, atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig di Bali, melarang (selektif) menebang pohon. Tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Itulah bukti tingginya EnQ masyarakat awam.

Lalu kapankah muncul EnQ masyarakat pintar? Sekadar menyegarkan memori, berikut ini ada hal-hal yang pernah menjadi isu besar dan tersirat ada upaya peduli lingkungan tetapi setengah hati sehingga tak pernah sampai, malah berbalik arah ke posisi semula. Dulu ada program Segar Jakartaku dan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Juga program Langit Biru. Ada juga Prokasih, Program Kali Bersih. Dalam lingkup Jawa Barat ada Citarum Bergeutar. Adakah hasilnya? Jakarta kian gerah, langit terus kelabu dan disesaki air banjir pula. Selain kaya polutan, Ciliwung meluap, begitu pula Citarum. Kaya pencemar. Di tingkat lokal, katakanlah di Kota Bandung, juga ada program Gerakan Cikapundung Bersih, tetapi sekarang sedang mati suri, kehabisan tenaga.


Jika demikian, satu pertanyaan reflektif, siapa yang lebih peduli pada lingkungan, masyarakat awamkah? Ataukah kalangan politisi-birokrat yang gelarnya berderet-deret itu? Dalam spirit EnQ, tak hendakkah kita belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat, akademisi, kalah oleh kalangan tradisionalis itu? Kapankah ada pejabat publik yang tak sekedar peduli dalam retorika politiknya ketika bicara soal lingkungan? Adakah partai politik yang tak sekedar proforma dalam membuat biro atau divisi lingkungan? Sudah saatnya kita memilih pejabat publik yang paham persoalan lingkungan dan telah berupaya merehabilitasi kondisi lingkungan dari rambahan degradasinya. Mari pilih bakal calon (balon) Gubernur DKI yang tinggi EnQ-nya.

Akhir kata, ada pesan dari E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern.” Semoga nanti muncul politisi berlabel enviro, enviropolitician yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi environya hanya proforma belaka. Aksi partainya pun dalam banjir di Jakarta hendaklah tak sekadar rebutan simpati. Juga dicari birokrat, baik di daerah maupun di Jakarta, yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak sekadar menjadi dust in the wind.

Kenapa harus terperosok berkali-kali ke lubang yang sama, wahai amtenaar Jakarta?*

ReadMore »

Krisis Beras? Manfaatkan CO2!

Selama Februari 2007 ini gencar sekali perbincangan tentang beras. Di rumah, di kantor, apalagi di pasar terdengar kata beras, mahal, dan naik. “Pak, beras sekarang Rp 5.500 sekilo. Yang lebih bagus Rp 6.500. Dan yang paling mahal Rp 7.000. “Mendengar “laporan” itu, saya menerawang. Kenapa berkali-kali bangsa ini jatuh ke lubang yang sama? Lebih sewindu lalu kasus serupa terjadi sebagai ekses reformasi. Waktu itu krisis beras menimpa Indonesia yang justru pernah dihadiahi predikat swasembada pangan oleh FAO PBB.

Kenapa sekarang setali tiga uang? Tak adakah perbaikan di bidang pertanian? Reformasi tetap reformasi tanpa formasi baru. Siapa yang peduli pada wong cilik? Partaikah? Anggota dewankah? Faktanya, anggota dewan lebih memikirkan dirinya dan ikut-ikutan demo. Biasanya mereka yang didemo tetapi sekarang mereka yang demo lantaran masalah uang. Padahal gajinya (apalagi penghasilannya) jauh di atas rerata rakyat pemilihnya. Pada saat yang sama, puluhan ribu rakyat di Jakarta direndam banjir, hartanya habis dan sulit memperoleh makanan. Di lain tempat 38 juta rakyat dalam kondisi sangat miskin dan didera krisis beras.

Ini baru soal beras, krisis kebutuhan pokok manusia, salah satu di antara sembilan bahan pokok (sembako). Padahal yang dibutuhkan manusia tak hanya beras atau nasi alias karbohidrat. Yang juga diperlukan dalam komposisi seimbang ialah asupan protein, mineral dan vitamin. Juga lemak dalam jumlah terbatas. Artinya, kalau seseorang hanya mampu membeli beras dan itu pun dengan susah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah berarti bisa dipastikan mereka sulit membeli lauk-pauk dan sayur-mayur demi asupan protein, lemak, mineral dan vitamin.

Tak mengherankan terjadi kelaparan di beberapa daerah, sampai-sampai rakyat makan nasi aking: nasi sisa yang dicuci lalu ditanak lagi. Yang biasanya makan dua kali menjadi sekali. Ada yang tidak makan nasi lagi. Ada yang makan ampas makanan, sisa-sisa yang didapat dari kaisan sampah. Kalau ada anak yang sampai busung lapar, kwashiorkor, ini tandanya anak tersebut sudah tak pernah lagi mendapat asupan gizi dalam batas minimal selama berbulan-bulan. Berarti sudah berbulan-bulan mereka tidak makan dan tidak terpenuhi gizinya. Banjir Jakarta hanyalah sebagai pemicu “kelaparan” nasional.
Aneh, memang. Paradoks! Sebuah negeri begitu menderita di tengah slogan tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Kawasan suburnya jauh lebih luas ketimbang lahan gersangnya. Tanaman apapun bisa tumbuh di negeri ini. Apalagi padi-padian dan umbi-umbian. Juga hasil laut berupa ikan. Belum lagi hasil lainnya seperti cumi, kerang, udang, agar dll. Banyak sekali. Semestinya krisis makanan khususnya beras tak terjadi. Tapi fakta bicara lain. Harga beras membubung tinggi. Orang-orang antri dalam operasi pasar. Ada pejabat yang bilang, krisis beras terjadi karena ada banjir di Jakarta dan gudang beras terendam.

Hanya itukah sebabnya? Adakah sebab prinsipil yang tak terkesan menyalahkan banjir? Ada apa dengan impor beras 500 ribu ton? Inilah keputusan tanpa intelectual planning! Budaya instan, budaya mie rebus! Semua orang juga bisa menjadi pejabat kalau caranya demikian. Ini sama dengan membunuh petani kita. Bagaimana kalau beras impor itu datang bertepatan dengan panen raya? Petani niscaya pailit. Sekian bulan setelahnya krisis beras pun berulang kembali karena petani sudah beralih profesi menjadi pemulung sampah di kota-kota besar. Mereka bangkrut karena perlakukan pemerintah yang tidak intelek dalam menangani beras. Apalagi lahan pertanian terus menyusut sehingga perlu upaya intensifikasi dengan memanfaatkan sains dan teknologi seperti dibahas di bawah ini.

Ada juga yang berdalih lain. Misalnya, karena banjir di Pantura: Karawang, Subang, Cirebon, dan Purwakarta sehingga terjadi puso. Di provinsi lain juga sama, puso! Inilah yang disinyalir sebagai penguat krisis beras. Menurut seorang kepala dinas pertanian, ada 497 hektar sawah yang puso di Jawa Barat. Sebaliknya, ada juga pejabat di Jawa Barat yang optimis bahwa stok berasnya aman sampai tiga bulan ke depan. Pertanyaannya: aman bagi siapa? Apakah aman bagi kalangan bawah? Mudahkah mereka memperoleh beras? Beras memang ada tetapi harganya selangit. Apakah aman bagi kalangan kaya saja, bagi pejabat? Aman bagi anggota dewan yang begitu peduli pada dirinya semata?

Di tengah ketakmampuan pemerintah mengelola produksi dan distribusi beras, apapun alasannya, patutlah diapresiasi operasi pasarnya meskipun tak mampu menurunkan harga beras. Alasannya, ada banyak tengkulak yang memanfaatkan kesempitan ini untuk mencari kesempatan untung besar. Merekalah spekulan yang tak berhati nurani dan cenderung menganut kapitalisme negatif. Selain itu, dan ini dapat diakui dalam batas-batas tertentu, krisis beras terjadi karena ada banjir di Jakarta dan di sejumlah daerah. Transportasi sempat lumpuh. Juga karena beras, katanya, diarahkan ke Jakarta pascabanjir. Betulkah?

Manfaatkan CO2
Terlepas dari sebab-musababnya di atas, sebetulnya negara agraris ini mampu berkelit dari krisis beras. Tapi faktanya berbeda dengan logika, sebuah anomali yang dipertontonkan ke dunia luas. Teorinya, untuk menambah pasokan beras maka panen harus ditingkatkan. Prinsip dasar peningkatan panen ialah menggiatkan proses fotosintesis tanaman padi. Bagaimana caranya? Tak lain dari menambah pasokan gas CO2. Sebagai gas pencemar, CO2 banyak ada di bumi terutama di kota-kota dan daerah industri. Dengan bantuan sinar matahari, CO2 dan air akan berubah menjadi karbohidrat dan disimpan di akar, batang, daun, dan biji. Logikanya, panen padi dapat ditingkatkan kalau gas CO2 dinaikkan pasokannya ke daun padi.

Tapi sayang, konsentrasinya di udara hanya 0,04% atau 360 ppmv (parts per million by volume). Gas yang menjadi “anggota” greenhouse gases ini dapat memanaskan atmosfer. Sumbernya industri, transportasi dan pembukaan hutan dengan pembakaran (land clearing) seperti kebakaran (pembakaran) hutan. Masalahnya, bagaimana cara memanfaatkan CO2 ini untuk meningkatkan produksi beras sekaligus mereduksi global warming? Hasil riset di Jepang, pemberian CO2 sebanyak 700 ppmv (sekitar 200% kadar CO2 di udara) diperoleh kenaikan 20 – 30%. Di lapangan tentu berbeda dengan di laboratorium. Di lapangan ada banyak tanaman lain selain padi yang juga perlu CO2 dan ini mempengaruhi hasilnya.

Pemanfaatan pencemar udara ini sudah dicoba oleh periset di Shizukuishi, Iwate Prefecture Jepang dan dinamai The Rice Face. FACE (Free-Air CO2 Enrichment) adalah pembubuhan CO2 ke sawah tanpa melakukan perubahan pada ekosistemnya, seperti apa adanya saja. Bentuk bidang pembubuhannya oktagonal (segidelapan), terbuat dari pipa perforasi (perforated pipe) untuk pengaturan volume injeksi CO2 dan ini bergantung juga pada arah dan kecepatan angin. Dikendalikan oleh program CREST (Core Research for Evolutional Science and Technology) yang dimulai satu dekade lalu di bawah direkturnya Kobayashi Kazuhiko, seorang profesor di Univ. Tokyo, 25 metrics ton gas CO2 cair (liquid CO2) diinjeksikan melalui pipa itu.

Kekurangannya memang ada, yaitu terjadi peningkatan kadar CH4 (metana) yang notabene gas rumah kaca juga akibat peningkatan kadar karbon ke akar padi sehingga menyokong aktivitas mikroba anaerob (archae). Bagaimana teknologi yang layak dan ekonomis, tentu perlu kajian lebih dalam. Yang pasti, polusi udara khususnya CO2 oleh kendaraan bermotor akan bernilai positif atas produktivitas pangan kalau tepat teknologinya dan kita mampu melakukannya. Bisakah kita seperti orang-orang di negeri sakura itu?

Mudah-mudahan pakar pertanian di Indonesia dapat membuat berbagai inovasi untuk melawan krisis beras ini dan melakukan diversifikasi pangan. Pemerintah pun hendaklah mampu mengatur tataniaganya sehingga terdistribusi merata. Janganlah seperti ayam mati di lumbung padi dan terperosok dua kali di lubang yang sama. Keledai saja tak seperti itu. Pandir nian jika demikian. Tabik. *
Penulis, peneliti di Enviro Intelligence Center, Univ. Kebangsaan Bandung.
ReadMore »

Tolooong... Airku Kuning!

“Saya nyesel. Nyesel banget beli rumah di sana. Dibohongin. Developer-nya bilang air sumurnya bagus. Tapi nyatanya bohong. Padahal dalamnya sudah 25 meteran. Airnya amis dan kuning. Siapa yang nggak kesal.” Demikian gerutu seorang ibu. 

Mendengar itu saya tetap diam, terus menyimak, manggut-manggut sambil bergumam ooo... ooo. Keluh kesahnya panjang, agak lama kami ngobrol. Masalahnya tak lain daripada mutu atau kualitas airnya. Sebetulnya dia hendak menjual rumahnya tapi belum laku juga karena semua calon pembelinya menanyakan kondisi airnya. Begitu tahu airnya jelek, mereka langsung pergi. Apalagi tak ada tanda-tanda air ledeng PDAM bakal masuk ke perumahan itu. 

Pada waktu lain, di sebuah pameran lingkungan, saya sempat meladeni pengunjung yang mengadu soal air. Bersama anaknya, ibu paruh baya ini bertanya, “Kenapa ya, air sumur saya kuning? Sudah disaring pakai kain, tapi tetap saja kuning. Pernah jernih sebentar tapi kuning lagi dan bau. Lantai pun jadi kuning. Alas dan dinding ember juga kuning-coklat. Bahaya nggak, ya? Gimana cara meng- hilangkannya?”

Dua kasus di atas adalah sampel dari sekian banyak hal serupa. Tak hanya dua ibu itu yang punya masalah air, tapi puluhan bahkan ribuan keluarga yang tinggal berdekatan dengan mereka pasti bermasalah airnya. Di lain daerah pun bisa saja terjadi, bahkan mungkin lebih parah. Kalau demikian, haruskah mereka pindah? Tak harus memang, sebab masalah yang sama boleh jadi muncul juga di daerah lain. Yang bisa dilakukan adalah mengolah airnya. 

Air perlu diolah karena kualitas air bakunya berbeda dengan kualitas air minum yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002, pada 29 Juli 2002. Perbedaan inilah yang harus diolah sampai ke taraf konsentrasi yang sesuai dengan surat keputusan tersebut. Aturan tersebut dibuat demi kesehatan manusia dan dibagi menjadi empat, yaitu kualitas bakteriologis (saya menyebutnya bakteriologi), kimiawi (saya menyebutnya kimia), radioaktivitas, dan fisik (saya menyebutnya fisika). Kualitas fisika antara lain kekeruhan dan warna. Kualitas bakteriologi berkaitan dengan mikroba. Radioaktivitas berkaitan dengan sinar alfa dan beta. Kualitas kimia misalnya besi, mangan, kesadahan (kalsium dan magnesium).

Dari sekian banyak parameter kualitas kimia dalam baku mutu tersebut yang sering menjadi masalah adalah kalsium, magnesium, besi dan mangan. Sebelum berlanjut ke bahasan besi dan mangan, kita lihat dulu jenis-jenis logam yang bisa larut dalam air. Artinya, masih banyak lagi logam yang bisa larut dalam air sehingga dalam baku mutu air minum itu ditabelkan secara khusus. Logam-logam tersebut ada yang bermanfaat, ada juga yang berbahaya. Yang berbahaya disebut logam toksik, yang lainnya disebut non-toksik. Semua logam itu berasal dari endapan sungai dan danau yang mengalami disolusi atau pelarutan kembali dari endapannya. Bisa juga berasal dari air limbah domestik, industri dan pertanian yang masuk ke sungai dan danau itu.

Yang termasuk logam non-toksik ialah kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe), mangan (Mn), natrium atau sodium (Na), aluminum (Al), tembaga (Cu), dan seng (Zn). Natrium banyak dijumpai dalam air, berasal dari material tanah yang hancur dan bersifat reaktif. Garam-garam natrium sangat larut dalam air. Jika kadarnya sangat tinggi menyebabkab rasa asin-pahit yang membahayakan pasien jantung dan ginjal. Natrium bersifat korosif pada permukaan logam dan toksik pada tanaman jika kadarnya tinggi. Yang perlu diwaspadai adalah Cu dan Zn. Kedua logam ini jika hadir bersama-sama akan bersifat sinergis atau saling-dukung sehingga menjadi toksik.

Logam toksik ialah mineral yang sudah beracun pada kadar rendah sehingga membahayakan manusia dan organisme lainnya. Misalnya, arsen (As), barium (Ba), cadmium (Cd), chromium (krom, Cr), timbal (plumbum, Pb), mercury (hydragyrum, air raksa, Hg), dan argentum (silver, perak, Ag). Logam tersebut bisa terkumpul di tubuh organisme dalam suatu rantai makanan, yaitu di tingkat trofik (makan) tertinggi (contohnya manusia).

Besi dan Mangan.
Dua mineral ini dibahas khusus karena paling sering menimbulkan masalah di rumah tangga dan PDAM. Besi dan mangan dalam air secara alami selalu bersama-sama, menimbulkan masalah yang sama dan metode pengolahannya juga sama. Keduanya menyebabkan noda, bercak, bintik pada kloset, wastafel, porselen dan pakaian. Keluhan dua orang ibu di atas adalah akibat mineral ini.

Keduanya juga menghasilkan bau dan rasa yang khas pada air minum. Lebih banyak bermasalah dari sisi estetikanya saja, belum ditemukan masalah kesehatan kalau berlebih kadarnya. WHO mengizinkan kadar maksimum besi 0,3 mg/l dan Mn = 0,1 mg/l. Angka ini lantas diadopsi oleh pemerintah kita dan ditampilkan dalam keputusan Menteri Kesehatan di atas dengan judul Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.

Bagaimana membayangkan besi di dalam air? Berupa batang besi? Tentu saja tidak. Besi di dalam air adalah besi terlarut yang wujudnya berupa senyawa klorida (FeCl2), bikarbonat Fe(HCO3)2 atau sulfat (FeSO4). Kehadiran oksigen terlarut dalam air dapat mengoksidasi besi (II) menjadi besi (III), lalu bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) membentuk senyawa tak-larut Fe(OH)3. Itu sebabnya, ion besi (II) hanya ditemukan di air yang tak beroksigen seperti air tanah, air di dasar danau, atau sungai yang septik (nihil oksigen). Pada bilangan oksidasi yang tinggi terbentuk presipitat Fe2O3, besi (III) oksida atau karat berwarna coklat kemerahan dan MnO2 atau mangan (IV) oksida berwarna coklat-hitam.

Demikianlah hukum alamnya. Oksigen terlarut dalam air (dissolved oxygen) mampu mengoksidasi besi dan mangan menjadi bentuk tak-larut, yaitu besi (III) dan mangan (IV). Apabila kondisi airnya menjadi anaerob (reduksi) kembali, maka besi dan mangan itu akan terlarut kembali. Oleh karena itu, air tanah sangat banyak mengandung mineral ini. Dasar sungai dan danau biasanya berkondisi anaerob sehingga endapannya ada yang melepaskan besi dan mangan ke air yang ikut memperbesar konsentrasinya. Itu sebabnya, di air permukaan yang teraerasi masih bisa ditemukan besi dan mangan dalam jumlah banyak karena laju konversi besi dan mangan terlarut menjadi tak-larut lebih lambat daripada laju pembentukannya atau karena ada masukan dari sumber lain.

Bagaimana cara mengolahnya? Prinsip dasarnya adalah oksidasi. Besi dan mangan direaksikan dengan oksigen yang larut di dalam air. Oksigen berasal dari udara sehingga proses ini sering disebut aerasi (aeration; air = udara). Tak kurang dari 20,95% volume udara adalah oksigen. Selain untuk bernapas manusia dan hewan termasuk hewan air (ikan), oksigen juga mampu melepaskan elektron terluar besi dan mangan sehingga berubah menjadi bentuk tak larut atau presipitat. 

Air mancur adalah contoh proses aerasi yang bagus. Makin kecil butiran airnya makin mudah besi dan mangan teroksidasi. Tapi faktanya, mangan lebih sulit diolah daripada besi apalagi kalau pH-nya rendah. Agar teroksidasi, bisa ditambahi katalisator atau oksidator kupri sulfat (CuSO4) atau kalium permanganat (KMnO4). Hasil oksidasinya berupa MnO2 juga dapat berfungsi sebagai katalis oksidasi mangan (II). 

Begitulah di lapangan. Untuk memisahkan besi dan mangan sering ditambahkan oksidator permanganat, klor, atau ozon (O3). Oksidator itu biasanya dibubuhkan sebelum proses pengolahan agar punya waktu kontak yang cukup dengan ion besi dan mangan. Namun kekurangannya, presipitat besi dan mangan setelah dioksidasi atau penambahan oksidator hanya sedikit yang dapat dipisahkan dengan proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi. Ini terjadi karena ukurannya sangat kecil, berupa koloid, sehingga perlu filter untuk memisahkannya.

Greensand.
Disebut juga glauconite, berbentuk butiran dan kehijauan. Besi dan mangan dapat dipisahkan dengan media ini. Mangan yang diadsorbsi berfungsi sebagai katalis pada oksidasi besi (II) dan Mn (II). Mekanisme pemisahannya adalah gabungan antara adsorbsi (penyerapan) dan oksidasi. Media ini dapat diregenerasi dengan KMnO4. Regeneran (zat yang meregenerasi) memisahkan besi dan mangan yang diserap dan dioksidasi sehingga greensand kembali mampu memisahkan besi-mangan. Selain dapat memisahkan besi dan mangan, media ini juga dapat menghilangkan H2S dan fenol tetapi tak dapat memisahkan kalsium dan magnesium.

Greensand biasanya ditempatkan pada filter bertekanan (pressure filter) yang dioperasikan downflow (aliran ke bawah). Jika kontaminan yang akan dipisahkan adalah besi atau sulfida, maka KMnO4 dan oksidator yang lainnya dibubuhkan secara kontinu pada influen (air masuk, masukan) filter greensand. Proses ini tak perlu sering dicuci-balik (backwash). Jika air bakunya banyak mengandung mangan, perlulah backwashing secara reguler. Lapisan MnO2 pada greensand akan bertambah terus karena sebagian Mn(II) akan dioksidasi dan melekat pada greensand

Penyumbatan (plugging, clogging) greensand dapat dicegah dengan memasang unit filter pasir cepat (rapid sand filter) sebelum filter greensand dan pembubuhan KMnO4 sebelum filter pasir cepat. Air dengan kadar besi (II) 18 mg/l dapat dengan mudah diolah menggunakan filter greensand dan menghasilkan air dengan kadar besi kurang dari 0,1 mg/l dan mangan kurang dari 0,01 mg/l. Rendah sekali, bukan?***

Gede H. Cahyana, peneliti di Enviro Intelligence Center, sebuah pusat studi lingkungan Universitas Kebangsaan Bandung.
ReadMore »

22 Februari 2007

Change or Die! Yunus Timotheus

Change or Die! Yunus Timotheus


Untuk kali kedua, master pertama positive thinking di Indonesia, yaitu Yunus Timotheus mengadakan Roadshow to Campus. Pada Rabu, 21 Februari 2007, tepat pada Hari Bahasa Ibu Internasional, narasumber di radio K-lite FM itu memotivasi mahasiswa Universitas Kebangsaan untuk berubah (change).

Dalam paparannya, pemilik Sekolah Berpikir Positif Idaman (SBPI) Bandung ini mengajak peserta untuk change! Berubah. Berbeda. Pindah. Kalau ingin bermasa depan cerah (Madera), bukan masa depan suram (Madesu), maka pindahlah. Change-lah, seperti judul buku karya Renald Kasali. Dalam hemat saya, spirit ini sama dengan hijrah. Hijrah hakikatnya adalah pindah. Bisa pindah secara fisik, bisa juga pindah secara pikiran. Bahkan bisa juga pindah secara k(q)albu (hati).

Yang pasti, suka tak suka, mau tak mau, perubahan pasti terjadi. Tiada yang tetap di dunia kecuali perubahan. Manusia berubah dari kecil menjadi besar, berubah dari muda menjadi tua. Setiap detik pun waktu berubah. Siapa saja yang tidak optimal memanfaatkan waktunya sesungguhnya dia ditindas oleh waktu, dijajah waktu. Rugilah orang-orang yang diperbudak waktu tanpa bisa memanfaatkan waktunya sehemat mungkin.

Masalahnya, kata pengasuh positive thinking di koran Radar Bandung ini, siapkah kita pada perubahan yang terus terjadi? Tak ada kesuksesan tanpa perubahan. Sukses berarti perubahan dari gagal menjadi berhasil atau dari sukses menjadi lebih sukses lagi. Dan ini berawal dari pikiran. Pikiran, kata Socrates, adalah nenek moyang perbuatan. Perbuatan adalah aksi atau action yang setiap saat kita lakukan. Dengan redaksi yang berbeda, The Godfather Positive Thinking Norman V. Peale berkata, ”You are as you think and you say.” Pikiran harus positif terus, tegas narasumber di televisi PJTV Bandung itu.

Bahkan gagal pun, ujar Thomas Alva Edison, bisa dianggap sukses. Paling tidak, sukses mengetahui cara untuk menjadi gagal. Malah ada yang kontroversial seperti ditulis oleh Robert T. Kiyosaki di dalam buku The Cashflow Quadrant di halaman 97. Dia mengutip kata-kata Ayah Kayanya dengan subjudul “Sukses adalah guru yang jelek”. Intinya, Ayah Kaya mengajak Kiyosaki (dan juga kita) untuk tidak takut gagal, bahkan berkali-kali gagal. Yang penting teruslah bangkit dan mencoba lagi. Mencoba lagi!

Sukses dan gagal adalah guru. Bisa guru yang jelek tetapi bisa juga guru yang baik. Bergantung pada kita, apakah mampu belajar dari pengalaman sukses dan gagal itu. Pengalaman adalah guru terbaik sekaligus guru terburuk. Tinggal kitalah yang harus bisa menjadi lebah, mengambil yang manfaat. Ada juga ungkapan bijak bestari seperti ini: menjadi angsalah agar mampu memilih susu tumpah yang sudah bercampur lumpur.

Di paparan lainnya, pemilik cita-cita untuk mendirikan SBPI di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia ini membuat analogi, yaitu GIGO: garbage in, garbage out. Sampah yang masuk, sampah juga yang keluar. Dengan cara yang sama ada NINO dan PIPO. Negative in, negative out. Positive in, positive out. Apa yang masuk, itulah yang keluar. Pikiran pasti menentukan tindakan dan tindakan akan menentukan kebiasaan. Kebiasaan menentukan karakter (tabiat) dan karakter menentukan masa depan (nasib).

Akhir kata, kalau ingin punya masa depan yang positif, maka mulailah dengan memiliki pikiran yang positif. Cobalah berlatih berpikir positif setiap saat. Apapun yang menimpa kita, cobalah dilihat dari sisi positifnya, tanpa meninggalkan evaluasi atas kemungkinan buruk yang boleh jadi terjadi. Sekaranglah kesempatan kita untuk berubah. It’s a chance. Chance to change. Now or never! And... never... never... never give up, teriak Winston Churchill.*

Disarikan dari Roadshow to Campus. Positive Thinking Goes to Campus, oleh Yunus Timotheus di Universitas Kebangsaan Bandung, 21 Februari 2007.

Gede H. Cahyana
ReadMore »

Hari Bahasa Ibu Internasional


Tanggal 21 Februari 2007 adalah ulang tahun Hari Bahasa Ibu Internasional. Saya sempat bingung dan bertanya-tanya, apa maknanya? Saya lumayan “fasih” berbahasa Bali, juga “fasih” berbahasa Indonesia. Ditulis dalam tanda kutip karena “ketakfasihan” saya juga banyak. Masih banyak kaidah bahasa Bali dan Indonesia yang belum saya ketahui. Andaipun tahu, sering dilanggar lantaran teledor atau sengaja. Dalam lisan dan tulisan pun banyak juga saya salah dalam berbahasa. 

Apa itu bahasa ibu? Ada yang bilang, bahasa ibu ialah bahasa daerah; bahasa ibu ialah bahasa sehari-hari penuturnya. Dari dua pendapat itu, lebih banyak yang setuju bahwa bahasa daerahlah bahasa ibu. Ini takkan menimbulkan masalah jika seorang ibu dan suaminya sama-sama berasal dari satu daerah, misalnya Bali, sehingga sama-sama berbahasa Bali dalam kesehariannya. Anak-anaknya pun berbahasa Bali. Terlebih lagi jika tinggal di Bali seumur-umur, yakin 100% mereka berbahasa Bali. Faktanya, di kantor-kantor di Bali selalu terdengar percakapan dalam bahasa Bali. Yang tidak berbahasa Bali sering disindir atau disebut “sok” dan sok menjadi “Nak Jawe”. Ada yang menuduh, kemelayu-melayuan. Kemelayon. Layon dalam bahasa Bali sama dengan .... mayat! 

Namun ada kasus lain. Bagaimana kalau mereka tinggal di luar Bali, misalnya di Kalimantan, di Sumatera atau daerah lainnya? Boleh jadi anak-anaknya berbahasa Bali di rumah tetapi berbahasa daerah setempat ketika bergaul dengan teman-temannya. Taruhlah sekian tahun berselang mereka akhirnya mampu berbahasa daerah dengan “fasih” dan “fasih” juga berbahasa Bali. Lalu, manakah yang disebut bahasa ibu bagi anak-anaknya? Mungkin banyak yang cenderung menyebut bahasa Bali sebagai bahasa ibu, sebaliknya bahasa daerah setempat, walaupun sangat fasih, disebut sebagai bahasa kedua. Atau, keduanya bisa disebut sebagai bahasa ibu? 

Yang luar biasa, ada gadis Bali menikah dengan bule Australia dan tinggal di negeri kanguru itu. Dua anaknya fasih berbahasa Inggris. Bahasa Bali hanya dipahami sebatas kata-kata umum dari ibunya dan kosakatanya tak terlalu banyak. Malah ibunya lama-lama kian “fasih” berbahasa Inggris dan “cadel” berbahasa Bali. Bahasa Indonesia nyaris tak terdengar di rumahnya. Lalu, bahasa mana yang menjadi bahasa ibu bagi anak-anaknya? “Parahnya” lagi, wajah anaknya itu lebih mendekati orang Indonesia, walaupun samar-samar tampak juga raut bulenya. Andaikata lima tahun ke depan anak-anaknya menikah dengan, misalnya, orang Minang yang lama tinggal di Betawi (Jakarta), lalu keturunannya berbahasa ibu yang mana? Bahasa Betawikah, Indonesiakah, Minangkah, atau bahasa Jakarte

Yang pasti, bahasa apapun yang digunakan haruslah bisa dipahami antar penutur dan tidak menyesatkan. Tak boleh terjadi salah paham yang berujung pada pertengkaran karena tersinggung. Ini sekadar contoh. Sun (matahari) dalam bahasa Inggris akan dibaca “sun” dan dimaknai cium oleh remaja gaul di Indonesia. “Atos” (sudah) di Sunda bisa menjadi “keras” di Jawa. “Cicing” (diam) di Sunda menjadi “anjing” di Bali. Maka, ketika perantau Sunda di Bali berteriak spontan kepada temannya karena ribut, “ Hai, cicing kamu!”, maka orang Bali bisa marah besar. Begitu pun dalam hal ujaran, bisa menimbulkan salah tafsir. Orang Bali banyak bernama Subrata (baca: Subrate, e pepet); di Sunda ada yang nama Subrata (baca: Subrata, a seperti a pada mata); di Jawa ujarannya lain lagi, yaitu Subroto, o seperti pada kata kotor); dan di Jepang ada yang bernama Suburata (ujarannya a seperti pada kata mata). Berabekah?

Walau demikian, mozaik bahasa tersebut tak perlu dirisaukan. Hatta terhadap bahasa daerah. Perlukah kita khawatir bahwa bahasa daerah akan lenyap? Jika betul lenyap, pasti akan muncul lagi bahasa daerah versi baru. Begitu seterusnya. Bahasa itu seperti rumput, ada masa-masa suburnya dan semarak penggunaannya, tapi di kala lain malah bertahan dalam ujud akar saja sehingga dikira sudah mati. Suatu saat kelak, keping mozaik itu akan menyembul, digunakan lagi sehingga hidup lagilah bahasa tersebut. 

Terakhir, mari gunakan bahasa, entah itu bahasa ibu, bahasa daerah atau bahasa Indonesia, Inggris, dll untuk membagi-bagikan olah-pikir masing-masing secara lisan dan yang paling bagus adalah secara tulis agar bisa dibaca kapan saja.*

Gede H. Cahyana
ReadMore »

19 Februari 2007

Islamic Valentinology

Tulisan ini adalah revisi atau olah ulang dari tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.

Valentinology ialah cabang baru ilmu humaniora yang berakar pada kata valentinus dan logos. Logos, sudah jamak diketahui, berarti ilmu dan valentinus merujuk pada rahib kelahiran Roma bernama Valentin. Ada juga yang meyakininya berasal dari nama seorang pendeta yang sebelum menjadi martir menitipkan secarik surat untuk perempuannya dan bertuliskan From Your Valentine pada masa kaisar Claudius II. Ini terjadi tahun 269/270 M. Versi lainnya, kalangan Prancis Normandia percaya bahwa kata itu terkait dengan galentine, dari kata galant (cinta).

Beragamnya asal-usul Hari Valentin (HV) membuktikan bahwa itu legenda belaka. Garis historisnya tak bisa dirunut sampai ke perawi primernya. Terlepas dari kekacauan asal-usulnya itu, valentinologi tetap bisa dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari seluk-beluk, ekspresi, dan karakter budaya kasih sayang antarmanusia. Maknanya tak hanya internal suatu agama, tapi juga lintas agama dan budaya lantaran kasih sayang bersifat universal. Tentu saja kasih sayang ini di luar konteks birahi, meskipun boleh-boleh saja kalau itu terjadi antara suami istri. 

Namun faktanya, makna kasih sayang itu dipersempit oleh kalangan remaja sehingga seolah-olah merekalah pemiliknya dan merayakannya secara negatif.
Bagaimana dengan orang tua, adakah yang merayakannya? Ada! Biasanya sang suami memberikan hadiah berupa ikon-ikon HV seperti boneka, cincin, gelang, kalung, bross, jepit rambut berbahan emas atau bertahtakan berlian. Bungkus kadonya merah, pink atau coklat. Sebaliknya sang istri menyampaikan peluk ciumnya. Masalahnya muncul jika hal serupa dilakoni oleh kalangan pranikah. Justru kelompok inilah yang terbanyak dan ekspresif merayakannya.

Islamic Valentine
Faktanya, perayaan HV kian luas. Tak hanya di kota besar di Jawa, tapi juga merambah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara. Sebabnya hanya satu, lahan bisnis produk HV seperti boneka, bantal, cincin, gelang, kalung, kartu, coklat dengan warna merah atau pink kian besar. Meskipun harganya berlipat-lipat, tetap saja produk valentis diburu. Bisnis adalah alasan utama kenapa HV takkan bisa lenyap dari bumi, malah kian direspon. Pebisnis akan menempuh segala upaya demi kelarisan produknya, baik lewat propaganda di koran, radio, televisi maupun internet.

Tak heran kelompok tersebut ikut masuk ke dalam arus-induk (main stream) yang menentang UU Antipornografi-pornoaksi. Jika UUAPP disahkan bisa dipastikan mereka akan bangkrut atau berurusan dengan pengadilan. Segala upaya lantas dikerahkan, termasuk lewat publikasi dan gembar-gembor di televisi. Jika demikian, akankah pihak yang kontra-HV berpangku tangan dan cuma teriak bahwa HV itu bid’ah, tak ada contohnya dalam Islam, dan tak sesuai dengan budaya Indonesia? Apabila hanya ini yang dilakukan, dampak HV pasti meluas dan mendapat simpati dari muda-mudi yang belum matang spiritualnya. Sebaliknya, pihak pengecam HV malah dimusuhi, disebut kolot, tak tahu perkembangan zaman. Maukah da’i, ustadz, dan penceramah dikata-katai seperti itu?

Jika tidak setuju, semestinya dicarikan kompromi agar HV justru menjadi perayaan positif, minimal sebagai tandingan HV konvensional selama ini. Kalangan kontra-HV mesti berupaya menunggangi HV konvensional dengan HV modern, misalnya dengan cara “setuju” pada perayaan HV yang dimodifikasi, yaitu Islamic Valentine atau Hari Valentin Islami (HVI). Nama Valentin tetap digunakan tetapi sekadar masker agar tidak ditolak mentah-mentah oleh kawula muda pegiat HV konvensional. Sebab, perubahan drastis di kalangan remaja biasanya tak disukai, malah dijauhi sehingga tujuan HVI takkan tercapai.

Bagaimana wujud gagasan HVI itu? Tak jauh beda dengan HV konvensional. Bedanya, HVI menjurus pada perilaku islami, akhlak mulia, misalnya dengan cara menolong kaum miskin dan jompo. Semua ikon dan produk HV konvensional dimodifikasi menjadi ikon dan produk HVI. Boleh saja tetap berboneka ria tetapi wujudnya boneka yang mengingatkan kawula muda akan akhlak mulia. Gambar dan kartu juga diisi kalimat yang mendekatkan diri kepada Allah, misalnya sitiran hadis atau Qur’an. Makanan coklat masih bisa digunakan, tinggal diperkaya dengan makanan jenis lain seperti beras, roti, mi instan, dll yang diberikan kepada fakir-miskin dan jompo. Obat-obatan juga bisa diberikan.

Begitu pun kaset dan CD pendidikan, motivasi dan kisah perjuangan orang sukses di bisnis dan pemimpin negara. Lagu-lagunya juga lagu yang memotivasi untuk mandiri. Ujud kasih sayang itu pun bisa dimunculkan lewat buku, buku apa saja yang penting bukan buku porno. Buku teks anatomi kedokteran boleh-boleh saja karena itu bukanlah buku porno. Boleh juga buku agama dan buku-buku bisnis. Pemberian buku ini akan meluaskan ilmu masyarakat dan dampaknya positif.
Mari modifikasi HV menjadi HVI dengan fokus pada kasih sayang positif, bukan sekadar cinta nafsu. Apalagi kasih sayang rahman dan rahim adalah ciri khas ajaran Islam. Mudah-mudahan HVI mampu mereduksi pola gaul seks bebas dan mereduksi atau bahkan meniadakan HIV (Human Immunodeficiency Virus), si virus AIDS.*

ReadMore »