• L3
  • Email :
  • Search :

21 Oktober 2014

PLTSa vs Kesuksesan Bau Busuk

PLTSa vs Kesuksesan Bau Busuk
Oleh Gede H. Cahyana


Tidak ada satu teknologi pun, khususnya di bidang pengolahan sampah yang memberikan solusi tuntas. Ini berbeda dengan pengolahan air limbah yang relatif lebih mudah dan jauh lebih mudah lagi adalah pengolahan air baku (mata air, air tanah, air sungai/waduk, air laut) menjadi air minum. Sebab utamanya adalah variasi wujud zat, yaitu padat dan cair serta variasi jenis sampahnya. Dua kategori variasi ini yang menyulitkan dalam penerapan jenis teknologi yang aman bagi kesehatan manusia, efektif dalam pengolahannya dan tinggi efisiensi atau kinerjanya.

Oleh sebab itu, pendekatan sosiologi dan budaya menjadi hal utama, bukan sekadar pendukung. Prinsip 3R: reduce, reuse, recycle adalah pendekatan sosiobudaya dengan sentuhan teknologi sederhana dalam recycle. Masyarakat sebagai penimbul sampah diajak ikut berperan dalam pengelolaan (management) dan pengolahannya (treatment) dalam skala kecil seperti banyak dilakoni oleh saudara kita dari Madura. Bagi kelompok ini, sampah adalah “serpihan emas” yang dibuang. Bagi warga masyarakat lainnya, sampah adalah sumber daya yang dapat dijadikan pupuk dan produk olahan sekunder lainnya. Tas, sandal, sepatu, bahkan baju pun ada yang dibuat dari sampah atau bahan yang dianggap tak dibutuhkan lagi. Di sinilah peran pemulung yang ikut mereduksi volume dan berat sampah yang akan ditimbun di TPA.

Sampah lainnya, yaitu organik bisa dijadikan kompos dengan cara sederhana. Pengompos atau composter yang banyak dianjurkan adalah proses aerob. Kondisi aerob ini dapat meminimalkan bau busuk, apalagi kalau diletakkan di halaman rumah atau di sebuah sudut TPS di RT/RW. Bau busuk dari TPS inilah yang diprotes warga. Selain itu, lalat dan tikus sebagai vektor penyakit dapat menurunkan kesehatan warga sekitar. Bisa juga diterapkan proses anaerob, misalnya dengan membuat lubang di halaman rumah kemudian sampah organik dimasukkan dan diurug tipis dengan tanah setiap lima hari. Cara anaerob ini terutama yang skala RT/RW bisa menghasilkan bau busuk yang masif kalau tidak dilapisi tanah. Untuk menyiasatinya, sampah ini harus dijauhkan dari masyarakat sekaligus dimanfaatkan potensi energinya. Bisa dikatakan, tanpa bau busuk, tidak mungkinlah energinya dipanen. Hukum alamnya demikian. Di dalam bau busuk sampah tersimpan energi yang besar. Sebaliknya, di dalam kemudahan PLTSa, karena asal dibakar saja, tersimpan bencana besar.

Patut dicatat, PLTSa juga menebarkan bau busuk dari ceceran sampah di area sekitarnya dan dari sampah yang menunggu giliran dimasukkan ke dalam tungku. Terlebih lagi lokasinya di dalam/pinggir kota, bukan di luar kota (remote area). Tetapi sayang, bau busuk selama 24 jam per hari ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Sebab, energi dari PLTSa ini akan dihasilkan setelah sampah kering (sampah basah dikeringkan dulu) dibakar kemudian panas yang dihasilkannya digunakan untuk menguapkan air dan membangkitkan generator listrik (power plant). Ini berbeda dengan TPA sanitary landfill (sanfil) yang menggunakan kebusukan sampah sebagai sumber energi. Sanfil serupa dengan pengomposan anaerob. Sumber energinya adalah metana yang konsentrasinya bisa mencapai 50% landfill gas (LFG). Sisanya karbondioksida dan gas yang menimbulkan bau busuk seperti H2S, NH3, dll.

Pemerintah dapat memanfaatkan metana ini sebagai sumber energi dan bisa dijual ke masyarakat atau industri atau digunakan untuk kebutuhan internal TPA. Bisa dikatakan, LFG to energy ini akan ekonomis pada kisaran satu juta ton sampah. Kota Bandung dengan penduduk 2,5 juta orang dan asumsi timbulan sampah 2,5 liter per orang per hari, maka jumlahnya menjadi 6.250 m3/hari. Apabila berat jenis sampah 0,3 maka diperoleh 1.875 ton per hari. Dalam setahun 684.375 ton. Untuk mencapai 1 juta ton, dibutuhkan waktu  1,5 tahun. Dengan pertimbangan jenis sampah anorganik, maka diperkirakan satu juta ton sampah organik bisa dicapai dalam waktu 2 s.d 2,5 tahun. Menurut Joe Constance di dalam The Rotten Smell of Success (1997), setiap pound sampah yang didekomposisi menghasilkan 4,5 cubic feet gas (LFG) dan bisa berlangsung selama 30 tahun, jauh lebih lama daripada lifetime PLTSa. Ketika PLTSa hanya memberikan solusi parsial karena tidak bisa membakar 100% sampah Bandung, sanfil justru bisa menerima semuanya.

Kesimpulan, setiap teknologi ada positif dan negatifnya. Yang dipilih adalah yang manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya alias ramah lingkungan, sesuai dengan amanat pasal 28 ayat (1) huruf d Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 09 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut pasal tersebut, sanitary landfill akan ramah lingkungan justru dengan memanen gasnya yang berbau busuk (rotten smell) menjadi listrik. Sebaliknya PLTSa, ia akan menimbulkan gas berbahaya dan beracun di antaranya dioksin dan abu (fly ash) yang tersebar luas di langit cekungan Bandung.

Dampak ekologis inilah yang harus dipertimbangkan bukan praktik tender PLTSa yang dipertanyakan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Kejadian ini, seperti kata sejumlah akademisi dan LSM di Bandung, kian meyakinkan warga bahwa PLTSa adalah sekadar bisnis semata tanpa peduli pada ancaman bahayanya. Masyarakat Bandung berharap, semoga tidak demikian. ***

Dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa, 21 Oktober 2014.

PLTSa Lebih Cocok di Pantai

ReadMore »

20 Oktober 2014

Inilah Beda Antara Feature dan Artikel

Inilah Beda Antara Feature dan Artikel
Oleh Gede H. Cahyana


Banyak jenis tulisan yang dikenal manusia, baik dalam ragam fiksi maupun fakta (nonfiksi). Penulis fiksi biasanya dinamai author dan penulis fakta (nonfiksi) disebut writer. Tentu saja, untuk sekadar menulis, banyak orang yang bisa mengarang cerita pendek misalnya dan ia pun mampu menulis feature atau artikel. Ada juga orang yang melakoni kedua jenis tulisan tersebut dan sama-sama berkualifikasi baik, disebut sebagai sastrawan dan kolumnis atau esais atau artikelis.

Seseorang yang menjadi sarjana, ia pasti pernah menulis nonfiksi berupa laporan atau tugas kuliah atau skripsi. Namun, penulis laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal ilmiah belum tentu mampu dalam menulis feature atau artikel ilmiah populer. Kedua jenis tulisan fakta (nonfiksi) ini membutuhkan keterampilan khusus dalam paparan dan sentuhan rasa bahasa ilmiah populer yang bisa dipahami oleh sebanyak-banyaknya lapisan masyarakat. Populer itu adalah populis, memasyarakat, merakyat. Tulisan ini bisa dibaca sambil santai, tidak mengernyitkan dahi, ringan tetapi berbobot atau bermutu tinggi. Ia mendidik atau memberikan informasi dalam keringanan dan kesenangan. Tuntas dibaca dalam 15 menit.

Feature
Feature (ficer) adalah tulisan (karya tulis) yang memberikan informasi dan hiburan tentang peristiwa (fakta), fenomena alam (flora fauna), personalitas, dan humanisme. Karya ini bisa dirilis di surat kabar (koran), tabloid, dan majalah populer (bukan majalah ilmiah atau jurnal). Penulisnya bisa saja memang ahli di bidang tema yang dificerkan dan bisa juga ia tidak seahli orang yang disebut tadi tetapi ia punya kemampuan meramu data dari berbagai sumber yang ada sehingga menghasilkan tulisan yang “baru”, berbeda dalam pola dan gaya tuturan tetapi relatif sama datanya.

Mayoritas tulisan ficer bisa dinikmati kapan saja, tidak basi oleh waktu, tak lekang oleh masa. Biasanya ficer diterbitkan pada suatu masa ketika materi yang menjadi tema di dalam bahasannya sedang hangat karena ada kejadian tertentu di masyarakat, di bumi atau alam semesta. Tema tersebut dituturkan dalam struktur penulisan berbentuk kerucut, yaitu lead, jembatan, tubuh, dan penutup (Soeseno, 1997) atau berbentuk bandul dalam praktikum fisika. Sumber tema itu pun ditulis dalam berbagai macam cara, tetapi harus diupayakan agar pembaca dapat membacanya dengan lancar, tidak tersendat atau lamban akibat cara penulisan sumber data yang tidak tepat. Cantuman sumber tulisan ini untuk menghargai penulis sebelumnya dan menghindari plagiasi (jiplakan).  Mengutip yang proporsional tentu boleh, malah harus untuk menguatkan materi tulisan, tetapi menjiplak adalah haram. Kutipan (proporsional) itu halal, jiplakan itu haram.

Artikel
Artikel adalah tulisan (karya tulis) yang memberikan informasi, berisi masalah dan opsi solusi dari penulisnya atas dasar ilmu dan teknologi yang dimilikinya atau pendirian subjektifnya. Penulis artikel biasanya orang yang berlatar pendidikan di bidang bahasan artikelnya. Seorang sarjana fisika akan lebih cenderung menulis artikel dalam ilmu fisika, sarjana kelautan akan condong menulis di bidang kelautan. Tentu ada orang yang mampu menulis artikel di sejumlah bidang ilmu dan teknologi dengan berbekal data dan informasi yang tersedia di buku dan internet lantaran punya kemampuan meracik informasi dan data menjadi tulisan.

Menurut sejumlah kalangan, struktur artikel tidak baku seperti dalam ficer tetapi bebas. Umumnya artikel dimulai dengan lead yang menarik minat pembaca untuk terus mengikuti tulisannya. Batang tubuh atau isi, opsi solusi dan pandangan subjektif penulisnya bisa ditempatkan secara bebas sesuai dengan gaya paparannya. Tulisan ini bisa dibagi menjadi beberapa subjudul tanpa nomor urut. Agar pembaca memperoleh gambaran yang jelas, pada akhir artikel bisa ditampilkan kesimpulan dan saran yang tetap dikemas menarik dan lincah, boleh dengan atau tanpa menuliskan subjudul kesimpulan dan saran (tidak baku seperti dalam laporan riset, skripsi, tesis, disertasi).

Kata kunci dalam menulis nonfiksi adalah tema dan data. Sejumlah data dalam tema yang akan ditulis menjadi modal awal penulisan. Selanjutnya adalah menuliskan peta pikiran atau peta konsep. Berbekal peta pikiran ini lantas tulisan sudah bisa dimulai. Tulislah secara bebas tanpa banyak koreksi, baik secara bahasa maupun materi, dan tulislah dengan cepat segala yang berkelebat dalam pikiran. Tahap kedua adalah mengedit tulisan, dengan melibatkan ilmu dan peraturan yang berlaku. Yang terakhir, opsional, adalah memoles tulisan dengan sentuhan akhir berupa sketsa atau gambar yang sesuai dengan tema. 

Untuk kali ini cukup sekian, lain waktu disambung dengan jenis-jenis feature, kolom opini, dan esai serta tajuk rencana. ***

ReadMore »

15 Oktober 2014

PNS Boleh Poligami di Lombok Timur

PNS Boleh Poligami di Lombok Timur
Oleh Gede H. Cahyana


Peraturan Bupati Lombok Timur yang membolehkan PNS setempat berpoligami asalkan membayar 1 juta rupiah langsung menghebohkan dunia pernikahan di Indonesia. Kalau dilandaskan pada hukum Islam sebetulnya tanpa membayar pun boleh-boleh saja seseorang berpoligami dan sah-sah saja. Bahkan, tanpa seizin istri atau istri-istri sebelumnya juga tetap boleh dan sah. Namun demikian, dari aspek kemanusiaan, tabula rasa, menghargai istri (para istri) yang lebih awal dan demi tercapainya tujuan pernikahan, maka sebaiknya ada izin atau pemberitahuan sebelumnya.

Ini kisah nyata. Namanya Dewi (nama disamarkan), ia datang dengan mata sembab. Sudah lama wanita berjilbab ini tak bertemu aku. Dulu, kurang lebih delapan bulan lalu, dia pernah bertanya perihal poligami. Waktu itu aku tak tahu sebabnya dia bertanya begitu. Mungkin sekadar ingin tahu saja dan aku tak menaruh curiga. Dia tampak bahagia. Suaminya secara ekonomi tidak bermasalah, selain gaji rutin juga mengerjakan projek-projek. Tapi feeling-ku buruk. Suaminya ternyata sudah beristri lagi tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Dia merasa dihempaskan. Yang membuat aku terhenyak, akibat kekukuhannya bertahan pada pendapatnya itu, dia harus rela dicerai suaminya yang sudah menikahinya selama tujuh tahun dan punya empat anak.

Dari kasus tersebut aku sampai pada kesimpulan bahwa tak ada seorang wanita pun yang mau dipoligami. Sebelumnya aku sudah tahu betapa berat seorang wanita jika merelakan suaminya berpoligami. Namun demikian, aku pun tahu ada banyak pria berpoligami, bahkan sampai empat, tetapi tampak oke-oke saja. Minimal ini yang tampak dari luar, amatan dari jauh saja. Tak usah kusebutkan siapa mereka. Aku yakin sudah banyak yang tahu. Mereka ada yang berprofesi sebagai, dalang, artis, dosen, pengusaha, politisi, dan mubaligh dan banyak lagi yang lain.

Menurutku, di hati kecilnya, di relung kalbunya, seorang wanita pastilah ingin menguasai suaminya tanpa harus berbagi dengan wanita lain. Jangankan berbagi dengan tiga wanita lainnya, dengan satu wanita saja dia tak rela, syahdan deras mengalir frase ikhlas dimadu dari mulutnya. Sebersit rasa waswas pasti muncul di hatinya. Kuyakin itu. Apalagi kutahu dari buku-buku kisah rasul (sirah nabawiyah), bahwa Aisyah, istri termuda dan satu-satunya yang perawan ketika dinikahinya, sesekali protes. Aisyah mencemburui Khadijah yang telah lama meninggal, istri pertama Muhammad SAW. Bayangkan, terhadap orang yang sudah almarhumah saja Aisyah begitu cemburu.

Begini kisahnya. Suatu kali Aisyah dibakar api cemburu yang menderu-deru. Sampai-sampai ia tega berkata,” Khadijah lagi... Khadijah lagi... Seperti di dunia ini tak ada wanita selain Khadijah!” Tajam kalimat itu, menghujam dalam ke hati lelaki. Menyimak itu, Muhammad lantas meninggalkan Aisyah. Tak lama kemudian beliau kembali lagi dan beliau melihat Ibu Aisyah, Ummu Rumman, sedang di sampingnya seraya berkata,” Wahai Rasulullah, ada apakah engkau dengan Aisyah? Aisyah masih sangat muda. Selayaknyalah engkau memakluminya.”

Apa yang diperbuat beliau? Marahkah? Beliau ternyata tidak meninggalkannya. Muhammad malah memegang dagu Aisyah seraya berkata,” Bukankah engkau yang berkata seakan-akan di dunia ini tak ada lagi wanita selain Khadijah?”

“Buat apa engkau mengingat perempuan tua renta dan ujung mulutnya sudah merah, padahal Allah sudah menggantinya dengan yang lebih baik bagimu?” rajuk Aisyah.

“Demi Allah, Dia tak pernah mengganti dengan yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman kepadaku ketika semua orang mendustakanku. Dia ulurkan hartanya saat orang lain menahannya. Dia memberiku anak sedangkan yang lainnya tidak,” jawab Muhammad. Bagaimana kalau Khadijah masih hidup dan punya madu seperti Aisyah, apa yang bakal terjadi? Entahlah. Terhadap madu-madunya yang lain pun, seperti Shafiah dan Ummu Salamah, Aisyah pun menaruh rasa cemburu.

Begitulah fakta ketakrelaan wanita dimadu, seorang wanita yang menjadi istri nabi, yang tingkat keimanannya jauh di atas wanita zaman sekarang. Jika istri nabi saja cemburu satu sama lain, apatah lagi wanita yang dimadu pada zaman sekarang. Pastilah api cemburunya jauh lebih panas lagi. Yang perlu ditiru andaikata pria berhasrat poligami adalah kemampuannya menangani istri-istrinya. Sebagai manusia, Muhammad begitu piawai menangani semua istrinya. Maka muncul pertanyaan, adakah pria sekarang yang punya kemampuan seperti nabi? Takkan ada lelaki sekarang yang mampu seadil Muhammad. Aku bulat seratus persen meyakini hal ini. Yakin seyaqin-yaqinnya.

Bagi manusia biasa, lelaki zaman sekarang, jangankan sembilan istri, empat istri saja sudah rumit. Hanya lelaki “luar biasa” yang mampu adil atas semua istrinya. Boleh jadi, sekali lagi, boleh jadi lelaki demikian memang ada, tetapi sangat-amat sedikit jumlahnya. Datanya memang tak kuperoleh. Kurasa data jenis ini sangat sulit diperoleh. Aku tahu, ada orang-orang terkenal dan kaya harta yang memiliki istri lebih dari satu. Namun, aku tak berani menilainya, karena aku tak tahu betul kehidupan rumah tangganya. Dari luar, dari jauh, kulihat mereka akur-akur saja dan sering tampil di televisi atau ketika acara tabligh di sejumlah daerah.

Setahuku, wanita pun memiliki nafsu setara dengan lelaki. Hanya saja, wanita tak mau menunjukkan rasa tertariknya itu secara ekspresif dan eksplisit. Malu-malu... tapi mau. Lihatlah kasus Juleha dan Nabi Yusuf. Siapa yang hendak memperkosa? Siapa yang dilanda birahi tak terkendali? Yusuf bukannya tak berbirahi ketika itu. Dia juga tertarik, tapi bisa menahan dirinya. Tapi wanita cantik bernama Juleha itu malah tak tertahankan hasrat hatinya. Demi “kehormatan” permaisuri, Yusuf justru dijebloskan ke penjara. Juga, lihatlah betapa wanita-wanita “seteru” Juleha sampai teriris jejarinya lantaran terpukau melihat ketampanan Yusuf. Mereka tertarik pada pemuda Yusuf dan, dalam bentang hatinya, masing-masing ingin memilikinya, menjadikannya suami yang penuh gairah. Deburan hatinya itu tak bisa disembunyikan dan kisahnya abadi dalam Al Quran.

Bisa dibayangkan, berderet-deret wanita cantik dari kalangan bangsawan takluk tak berdaya melihat kegantengan Yusuf. Mereka begitu “tersihir” oleh keelokan paras pemuda yang pernah dibuang ke sumur tua oleh saudaranya itu. Andaikata, ini hanyalah andaikata saja, Yusuf hendak memperistri semua wanita itu, tentulah semua wanita itu mau-mau saja. Ini hanyalah dugaanku saja. Mereka akan saling bersaing merebut api cinta Yusuf sambil saling cemburu! Andaikata itu terjadi, ini sekadar andaikata saja, maka poligami lebih dari empat wanita pastilah sudah terjadi, dilakoni oleh nabi Yusuf.

Namun Al Qur’an tidak demikian. Barulah pada masa Muhammad menjadi nabi, Al Qur’an membolehkan kaum muslimin memperistri empat wanita dalam satu waktu. Namun tetap harus diingat, bahwa orang-orang masa lalu seperti raja sangat banyak istrinya. Orang-orang biasa pun berbilang istrinya. Justru kedatangan Islam lewat Muhammad untuk mengurangi jumlah istri. Hanya empat yang diizinkan, itu pun dengan wanti-wanti harus berlaku adil. Adil. Adil. Adil secara jasmaniah, minimalnya.

Perihal poligami tersebut, telah pula panjang dikupas oleh beragam kalangan. Yang paling sering kudengar, khususnya yang kontra adalah dari kalangan yang menyebut dirinya “pejuang perempuan”. Aku tak paham, dari mana saja dasar hukum dan pola pikir yang disadapnya itu. Sebab, pada saat yang sama kulihat mereka justru memorak-morandakan nilai-nilai seorang perempuan. Aku lihat mereka berdiri di atas ranting rapuh, tak kuat menyangga pendapatnya sehingga terkesan membabi buta, serampangan. Acuannya selalu saja ke dunia Barat, dunia yang terbukti rapuh dan gagal dalam melawan arus freesex, gay, lesbian, bisex, transgender dan hancur akibat HIV/AIDS. Betul-betul aneh ada wanita Indonesia yang tergila-gila mengambil pola hidup orang yang terbukti gagal menata rumah tangganya. Mereka justru mengambil pola hidup orang yang doyan seks bebas asalkan aman dengan memakai kondom misalnya.

Malah kudengar, ada wanita dari kalangan “pejuang perempuan” itu yang lebih rela suaminya “membeli sate saja” daripada harus memelihara kambing. Sebagai “pejuang” dia tentu malu suaminya berpoligami. Ini bisa merubuhkan reputasinya sebagai “pejuang” perempuan. Lebih senang suaminya “jajan” saja daripada harus dimadu. Alasannya macam-macam, salah satunya adalah soal harta waris, agar semua warisan suami jatuh ke tangannya. Jadi, alasannya tak jauh dari sisi ekonomi. Barangkali, kalau suaminya sudah meninggal, dia bisa mendapat warisan banyak dan bisa mudah memilih lelaki yang gagah nan tampan sekeinginannya. Ini, memang pernah kulihat di film buatan sineas Indonesia tahun 1990-an.

Lantas, bagaimana pandangan bule pada poligami? Sebab, laris sekali orang bule ini di kalangan artis Indonesia. Asal bule, maka jadilah! Tapi yang ini berbeda. Berikut ini kukutipkan seorang bule yang sangat dikagumi banyak orang, baik laki maupun perempuan. Begini katanya, “Muhammad mengurangi jumlah wanita yang boleh dikawini oleh seorang pria. Sebelum ia muncul, poligami itu tak terbatas. Orang-orang kaya terbiasa mengawini sejumlah besar perempuan. Jadi Muhammad membatasi poligami.” Inilah kalimat tegas dari Napoleon Bonaparte dalam Bonaparte etl’Islam oleh Cherfils, Paris.

Ada juga tulisan James A. Michener. Penulis barat telah mendasarkan tuduhan mereka yang penuh nafsu terutama pada masalah kewanitaan. Namun sebelum Muhammad, kaum lelaki dianjurkan supaya mengawini wanita-wanita yang tak terbatas jumlahnya. Muhammad memberikan batasan kepada mereka hingga empat saja. Qur’an terang-terangan mengatakan bahwa suami yang tidak sanggup berlaku seadil-adilnya di antara dua istri atau lebih, harus mengawini satu orang perempuan saja. (James A. Michener, Islam, The Misunderstood Religion, dimuat dalam Reader’s Digest, di USA pada Mei 1955 halaman 70)

Seorang pakar studi-studi Islam, seorang orientalis bernama Prof. H. A. R. Gibb berkata bahwa pembaruan Muhammad telah meninggikan status kaum wanita pada umumnya, sudah diakui dunia. “Hukum Al Qur’an tentang wanita lebih adil dan liberal. Islam sudah sejak dulu menghargainya.... Adalah suatu ketololan kalau orang mengatakan bahwa dalam Islam wanita itu dianggap tak berjiwa. (Annie Besant dalam The Life and Teaching of Muhammad).

Dari secuplik opini orang-orang bule itu, bisalah ditarik simpulan bahwa poligami memang alami ada di bumi. Hanya saja, jika lelaki tak mampu bertindak adil, maka jangan coba-coba bermain api. Bisa habis terbakar nanti. Nafsu haruslah dikekang, dikendalikan. Jika tidak, dia akan seperti kuda liar yang berlari kencang, menghamburkan debu terbang, membuat sumpek dan kabur suasana. Melihat jelas pun menjadi sulit jadinya. Meraba-raba saja yang bisa dilakukannya.

PNS atau bukan, silakan poligami dengan cara yang baik, kalau disuruh bayar ya harus bayar. Ekonomi harus kuat, begitu juga ruhani. Jika tidak mampu seperti itu, maka silakan monogami saja agar lebih selamat dan lebih mudah menjalani hidup berkeluarga. *

Hak Istri dalam Poligami


ReadMore »

14 Oktober 2014

Pikiran Rakyat, Guru Para Penulis

Pikiran Rakyat, Guru Para Penulis
Oleh Gede H. Cahyana


Kebakaran kantor redaksi Pikiran Rakyat menjadi berita utama di media elektronik dan media cetak terbitan Jakarta. Api yang melalap dokumen tua dan bersejarah itu mulai membesar pada pagi hari Sabtu, 4 Oktober 2014. Mendengar dan membaca berita duka itu, hati ini sedih. Sebab, koran inilah yang ikut memupuk semangat saya menjadi penulis. Mungkin saya belum layak disebut penulis, baik secara kuantitas tulisan maupun kualitas tulisan. Namun demikian, demi menyemangati diri sendiri, bolehlah saya menyebut diri sebagai penulis, minimal sebagai “penulis” yang berproses menjadi penulis.

Kunjungan saya terakhir ke redaksi koran rintisan Pak Atang Ruswita (alm) ini pada Rabu, 1 Oktober 2014. Waktu itu ada kunjungan anak-anak sekolah yang ingin belajar proses penerbitan koran, mulai dari dapur redaksi hingga ke distribusinya. Sudah banyak kalangan yang memperoleh ilmu dari eksistensi Pikiran Rakyat. Hanya koran inilah yang bisa eksis di Jawa Barat (Bandung) di tengah persaingan ketat penerbitan, apalagi setelah hadir berbagai koran online. Banyak kalangan yang menduga bahwa koran akan tinggal namanya.

Tetapi faktanya, koran ini tetap rutin menyambangi khalayak pembacanya setiap hari. Bahkan tetap terbit pada Senin, 6 Oktober setelah kebakaran itu. Mengharukan, khususnya bagi saya yang memang membutuhkan media cetak yang dikenal luas di masyarakat untuk menyalurkan dan membagikan ilmu dan teknologi lingkungan yang saya pelajari. Nikmatnya berbagi ilmu karena ada banyak orang yang bisa membaca, bahkan ikut mempraktikkannya. Misalnya, tulisan tentang filter air, begitu banyak yang bertanya dan ingin penjelasan cara pembuatan dan apa saja media filter yang cocok digunakan.

Dalam penilaian saya, Pikiran Rakyat sudah banyak membuat orang (rakyat) berpikir. Pikiran ini wujudnya adalah tulisan di bidang masing-masing: ada yang senang menulis cerita pendek, puisi, menulis berita kegiatan organisasi, menulis di kalangan guru, menulis sainstek, menulis opini, termasuk halaman khusus untuk anak-anak. Ketika masih anak-anak, yaitu di SD, tiga anak saya beberapa kali memperoleh hadiah kiriman dari Percil. Ada yang mewarnai, ada kuis, dan ada juga cerita pendek anak-anak. Setiap tulisan atau gambarnya muncul, tampak wajah mereka senang. Tambah senang lagi setelah kiriman uangnya diterima, bisa untuk tambahan beli buku cerita. Sebagai orangtua, saya berikan semangat untuk terus menulis dan membaca.

Pikiran Rakyat berperan besar menumbuhkan rasa percaya diri saya dalam menulis. Ini lantaran pengaruh dari para penulis artikel di Pikiran Rakyat. Penulis yang selalu saya nantikan karyanya pada masa-masa awal saya belajar menulis, yaitu tahun 1994 adalah Pak Unus Suriawiria (alm). Selain sebagai dosen saya waktu di ITB, beliau juga menulis artikel: tips agar tulisan ilmiah populer dimuat di koran. Berikutnya, Prof. Otto Soemarwoto (alm), dosen Universitas Padjadjaran. Karena latarnya ekologi, maka mayoritas tulisannya tak pernah luput saya baca. Beberapa saya simpan, dikliping, khususnya tulisan tentang lingkungan dan persampahan di Bandung. Hingga akhir hayatnya Pak Otto konsisten menulis di Pikiran Rakyat, bahkan terus menulis tentang bahaya insinerator (PLTSa) di Kota Bandung. Lewat artikel beliaulah saya tahu sebuah akronim NIMBY (not in my back yard), yang pernah beliau tulis menjadi judul artikel opini di Pikiran Rakyat.

Ada satu orang lagi, yaitu Pak H. Usep Romli, HM. Beberapa kali saya ikut pelatihan menulis yang salah satu pematerinya adalah beliau. Pikiran Rakyat pun pernah menggelar acara serupa di kantornya di Jalan Soekarno-Hatta. Selain acara tulis-menulis, sejumlah ceramahnya, terutama tentang Palestina pun pernah saya ikuti di beberapa tempat di Bandung. Kalau dicermati temanya, pria Asgar ini banyak menulis tentang materi di dalam ajaran Islam, biasanya disesuaikan dengan tema atau peringatan hari raya dan peristiwa di luar negeri yang berkaitan dengan Islam. Beliau concern di dalam tema ini.

Tentu ada lagi penulis artikel di Pikiran Rakyat yang menjadi contoh dalam menulis. Minimal, tiga nama itulah yang saya kenal lewat koran Pikiran Rakyat pada medio 1990-an. Merekalah yang menyulut api semangat saya dalam menulis, khususnya di koran, berbagi tentang ilmu dan teknologi lingkungan.

Mudah-mudahan Pikiran Rakyat mampu mempertahankan eksistensinya, sekaligus mengembangkan jangkauan pembacanya. Riwayat hari ini akan menjadi kekuatan pada masa yang akan datang, pada masa ketika teknologi internet begitu melesat tinggi dan seolah-olah dapat membenamkan media cetak. Apapun itu, media cetak berupa koran tetap dibutuhkan. Ia menjadi sumber berita terpercaya karena rekam-jejaknya yang mengoyak dalam hati warga Jawa Barat selama setengah abad.

Terakhir, ketahanan koran ini juga lantaran memiliki SDM yang kuat. Pak Budhiana dalam twitnya menulis: Pagi ini kantor Pikiran Rakyat terbakar. Tapi kami bertekad, Senin dan seterusnya koran PR tetap terbit! Begitu juga Pak Islaminur Pempasa yang kerapkali tayang di radio PRFM news channel, mengulas garis-garis besar isi koran di tengah deru debu kemacetan lalu lintas Kota Bandung.


Pikiran Rakyat, semoga selamat. *

ReadMore »

12 Oktober 2014

KMP-Fobia, Red White Coalition Syndrome

KMP-Fobia, Red White Coalition Syndrome
Oleh Gede H. Cahyana


Fobia ini sudah dalam taraf irreversible, tidak-dapat-balik, tak bisa kembali menjadi baik seperti sedia kala. Fenomena psikologis ini menyerang orang yang tidak mampu lagi berpikir positif, menakar logika secara baik dan seimbang. Ia jatuh ke dalam kungkungan rasa takut yang sangat. Itu sebabnya, fobia ini seperti drakula yang siap mengisap habis darah penderitanya sehingga, pada masa yang kritis, sang penderita bisa bunuh-diri. Minimal, “bunuh-diri” dalam bayangan ketakutan.

Dalam psikoanalisis, kegagalan seseorang dalam menghadirkan semangat dan keberanian menghadapi masalah bisa mengantarkannya ke jurang kecemasan tiada terperi. Dikaitkan dengan rasa takut dan khawatir berlebih dari Jokowi – JK dan KIH, fobia ini menjadi syndrome awal bagi sakit psikologis, yaitu KMP-fobia. Rumor penjegalan Jokowi deras mengalir di kalangan politisi KIH sehingga menjadi tekanan batin tersendiri yang akhirnya dilontarkan ke masyarakat lewat media sosial. Gayung bersambut, pendukung Jokowi-JK, KIH termakan isu atau rumor tersebut sehingga ikut memperparah perang di dunia maya antar-pendukung KMP dan KIH. Padahal, seperti disebut di bagian awal, ini adalah fenomena kegagalan Jokowi-JK dan tim di KIH dalam mengakomodasi ruhani atau mental atau dalam bahasa mereka: revolusi mental.

Lantaran itulah, tekanan psikologis yang sejatinya biasa-biasa saja, tidak ada upaya jegal-jegalan, menjadi tumbuh besar dan membahana, memenuhi hati “kerdil” Jokowi dan tim KIH. Memang dapat dimaklumi, orang atau sekelompok orang yang gagal berkali-kali dalam tempo singkat dapat merusak dan bahkan menghancurkan rasa percaya dirinya. KIH kalah 0 : 5 terhadap KMP. Atau ada yang berkata 1: 5. Skor pertempuran inilah yang merasuk dalam ke hati Jokowi – JK dan KIH sehingga menimbulkan syndrome yang luar biasa. 

Di alam bawah sadarnya, Jokowi-JK, KIH dan bahkan rakyat pemilihnya sudah sampai pada menyayat relung psikologisnya, ruang bawah sadarnya menjadi fobia akut. Meminjam istilah kedokteran, gejala ini dimasukkan ke dalam kategori Red White Coalition Syndrome atau RWCoS.  ***

ReadMore »

10 Oktober 2014

Fahri Hamzah, Sang Singa DPR

Fahri Hamzah, Sang Singa DPR
Oleh Gede H. Cahyana


Panggilannya singkat saja, Fahri. Mudah diucapkan, gampang diingat. Wajahnya lumayan, dengan postur dan warna kulit, pola sisiran rambut, ia bisa disebut ganteng untuk ukuran orang Indonesia. Pasti banyak cewek yang naksir dia. Sampai saat ini, ia monogami. Sejarah politiknya dimulai pada era reformasi 1998. Ia dirikan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan menjadi ketua umum. Lantas Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi labuhan hatinya. Di partai ini ia dipercaya menjadi wakil sekretaris jenderal dan menjadi loudspeaker bagi partai berlambang padi – kapas ini. Ia vokal. Bukan vocal group. Ia solo singer, penembang tunggal di ranah politik. Berani karena benar, sudah menjadi darah dan daging di tubuhnya. Siapapun diajak berdiskusi, berdebat, seperti karakter demonya pada masa menjelang pelengseran Presiden Soeharto. Layak ia sandang nama Hamzah, seorang pria sejati di tanah Arab pada masa kelam, lelaki kekar yang berjaya pada perang Badar dan meninggal pada perang Uhud. Nabi Muhammad menyebutnya Singa Allah, juga menjulukinya Pemimpin Syuhada.

Fahri Hamzah, lelaki kelahiran Sumbawa, 10 November 1971 ini tentu tidak sama dengan Hamzah bin Abdul Muthalib. Tetapi karakternya searah dengan pilar kekuatan Hamzah, yaitu berani, tegas, dan jujur. Tanpa topeng, tanpa tedeng aling-aling. Ia disegani oleh kawan dan lawan politiknya. Ia menjadi sasaran tembak semua media di ranah liberal. Ia menjadi objek gempuran orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) dan orang-orang yang seolah-olah antikorupsi. Ia dijepit dari kanan dan kiri. Bukan Fahri kalau tidak bisa lepas dari kepungan media dan orang-orang sekuler dan liberal. Ia pernah dibombardir di media massa cetak dan elektronik serta media sosial perihal korupsi lantaran ada inisial FAH. Kata Nazaruddin, itu inisial untuk Fahmi, dan… sekali lagi…, itu inisial untuk Fahmi, bukan Fahri. Anehnya, di-bullying luar dalam, habis-habisan, pria kalajengking (Scorpion) ini malah santai-santai saja. Jujur. Ini saja prinsipnya. Ia malah menulis twit: “goreng terus, sampai goshong… “. Padahal di bawah zodiak Scorpion, bisa saja ia layangkan ekor berbisanya, meracuni para pembencinya. Tapi tidak ia lakukan. Banyak lagi sasaran tembak, bahkan yang dibuat-dibuat untuk meruntuhkan tembok eksistensinya di dunia politik. Tapi gagal. Pembencinya gigit jari, bahkan gigit dua jari.

Sinar Fahri kian benderang setelah ia dipercaya menjadi wakil ketua DPR oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Meskipun sifatnya kolektif kolegial, jabatan wakil ketua DPR tentu jabatan bergengsi. Tidak banyak yang memperoleh kepercayaan itu. Ia didudukkan oleh KMP di kursi “panas” itu pasti dengan seabrek pertimbangan dan tarik ulur di antara anggota KMP. Catatan sejarahnyalah yang menggiring dia ke posisi kursi wakil ketua DPR, bukan ambisi jabatan. Kualitasnyalah yang menghela dirinya ke kursi itu. Salah satu indikator kualitas adalah kemampuan seseorang dalam menuliskan pikirannya lewat buku dan artikel. Apalagi ia bukan dosen. Tapi ia menulis buku tebal. Judulnya, “Negara, Pasar, dan Rakyat, setebal 626 halaman. Buku yang lain berkaitan dengan BUMN berjudul: Negara, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat.” Ada empat kata dalam frase itu: negara, pasar, rakyat, dan kesejahteraan. Negara, apapun bentuknya, bisa kerajaan, kekhalifahan, kesultanan, keratuan, republik, persemakmuran, federal dan lain-lain, ujungnya adalah rakyat sejahtera.

Fahri Hamzah, Singa DPR. Tak sekadar “omong-kosong”. Tak hanya bacot. Bukan pencitraan. Bandingkan dia dengan politisi “lawan”-nya ketika di acara-acara ILC (Indonesia Lawyers Club) di TVOne. Ia vokal, ia juga menulis. Ia susun narasi politik dalam kesantunan. Luncuran kata-kata negatif, semisal “sinting” adalah respons yang sudah meluber di kepalanya, sebuah tanggapan atas janji manis lawan politiknya dan pencitraan Jokowi. Faktanya, semua janji itu dilanggar saat ini. Katanya kurus, ternyata gemuk. Katanya tidak perlu partai lain, ternyata merayu partai lain agar masuk ke koalisi PDIP. Katanya hanya 24 kementerian, ternyata 34, sama dengan masa Presiden SBY. Kini menjadi 33, sekadar beda dengan SBY, tidak ramping signifikan. Fahri juga mengkritik Jokowi karena terlalu mengurusi legislatif. Sepatutnya Jokowi berorientasi di eksekutif saja, pilih menteri yang bukan dari partai politik, politik transaksional. Faktanya, ada 15 (sebelumnya 16) yang akan dari partai politik. Ini pun menyalahi janji saat kampanye dan debat dulu. Janjinya dilanggar lagi. Janji-janji tinggal janji…, menteri kami, hanya mimpi… (plesetan lirik lagu). Yang seperti itulah yang diungkap Fahri sehingga menuai atau panen kritik pedas cabe rawit atau cabe domba.

Sebagai penulis, atau “penulis” yang berproses menjadi penulis, saya salut kepada lelaki peraih suara rakyat terbanyak di Dapil NTB (125.083 suara). Begitu nyata kepercayaan rakyat kepadanya. Ia harus konsisten, ia harus amanah. Tongkat “komando” sebagai jajaran pimpinan DPR sudah digenggam. Ia wajib berada di koridor kebenaran. Hukum harus tegak, meskipun besok langit runtuh. Artinya, sebagai legislator dari partai berlabel “keadilan”, Fahri harus tegakkan keadilan. Adil terhadap KMP dan adil pula terhadap koalisi PDIP, adil terhadap Jokowi-JK. Kalau pemerintahan Jokowi-JK sesuai dengan arah haluan negara RI, maka Fahri dkk harus mendukung 100%. Adil terhadap lawan politik, bahkan wajib adil kepada musuh dalam peperangan.

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Fahri Hamzah termasuk pemuda Indonesia yang bersinar terang. Ia pemimpin masa depan RI, ketika tantangan internal dan eksternal terhadap NKRI kian kuat dan berat. Ia berlian di antara serakan kulit lokan di pantai. Tapi ingat, Fahri tidak boleh terbuai sanjungan dan penghargaan. Sanjungan adalah musuh nomor wahid bagi politisi dan negarawan. Hiduplah dalam kesederhanaan. Ingatlah Hasan Al Banna, “ apakah kalian siap lapar agar orang lain bisa kenyang, siap berlelah-lelah agar orang lain bisa istirahat ..?”.

Ikutlah ilmu padi, makin merunduk karena bulirnya makin berisi. Jangan tiru politisi banyak omong, asal “ngecap” dan asbun dengan mendongakkan kepala, layaknya bulir padi hampa seperti yang sering hadir di ILC TVOne. Kamu bukan mereka, para politisi busuk. Tirulah Hamzah, meskipun perutnya dikoyak, jantung – hatinya dikunyah, ia tetaplah bunga surga.

Ini twitmu. Setuju, bagus isinya.
….
Jangan takut
Bekerjalah memenuhi janji
Semua sudah tersedia

Buka cakrawalamu ya Rais
Munajatlah agar jiwamu besar

Kau takkan bisa memerdekakan rakyatmu                          
Jika jiwamu kerdil dan penuh ketakutan.


Selamat berkerja ikhlas di DPR. Dukunglah Jokowi-JK 100% kalau arahnya untuk sejahterakan rakyat Indonesia. Awasilah, sebab, itulah tugasmu. Pengawas itu mulia, karena ia seperti pembatu di rumah yang mengawasi balita, agar balita itu tidak jatuh. Jangan sampai jatuh. Kawal “balita” itu dengan selamat. Biarlah balita itu menjadi besar dan kekar, dan mampu sejahterakan balita lainnya. Ia akan punya nama karena kawalan dan asuhanmu. Tapi, sesungguhnya, di sisi Tuhanmu, kamulah yang berjasa, kalau balita itu betul-betul besar dan kuat. Bayangkan, posisi politik berseberangan, tetapi justru mengawal pemerintahan Jokowi-JK agar menapaki rel yang benar. Yang selamat adalah pemerintahan dan pribadi Jokowi-JK dan koalisi PDIP. Mereka yang punya nama di mata rakyat. Kamu pun punya nama, di mata Tuhanmu. Saatnya nanti, kamulah harapan bangsa ini, memimpin negeri luas ini. Kesempatan itu pasti ada, seizin Allah Swt. ***

ReadMore »

7 Oktober 2014

People Power, Setuju Bangeetzz

People Power, Setuju Bangeetzz
Oleh Gede H. Cahyana


People power, harfiahnya, kata per kata adalah daya, kekuatan rakyat. Indonesia tahun 1998 pernah merasakan kekuatan dahsyat itu. Begitu juga Filipina. Namun kini di negeri nyiur melambai ini, bangkit lagi frase tersebut. Pihak koalisi PDIP bersikeras akan mengajak pemilihnya untuk merongrong kekuatan politik yang dianggap oleh PDIP sebagai pembuat makar dan merusak jalan pemerintahan Jokowi-JK. Tak lain, yang menjadi sasaran tembak bukanlah tembok liberal, komunis, sekuler di negara Pancasila ini, melainkan koalisi Merah Putih (KMP).

Atas dasar apa PDIP begitu provokatif terhadap KMP? Apakah lantaran gagal menjadi ketua di DPR? Kenapa begitu kuat syahwat menjadi penguasa total, totaliter di Indonesia, negeri yang kebanyakan rakyat masih perlu pendidikan dan peningkatan kesejahteraan? Alangkah hancur negeri ini apabila DPR juga dikuasai oleh PDIP. Lantas MPR juga dikuasai oleh PDIP. Begitu juga KPK, tunduk pada koalisi PDI, minimal berpihak kepada PDIP. Ini faktanya. Lantas panglima TNI, Polri, Kejaksaan, MA, MK ikut dan patuh kepada PDIP. Kalau ini yang terjadi, Indonesia kembali ke zaman barbar. The Barbarians.

Oleh sebab itu, saya setuju bagetz pada people power, yaitu mengerahkan kekuatan rakyat untuk menghancurkan sifat egois, KMP-fobia, dan menggantinya dengan membangun sekolah, kebun, pasar, dan reboisasi. Kerahkan kekuatan rakyat untuk mengolah sampah, membuat kompos, meluaskan pertanian, dan menghalau kapal pukat harimau. Gunakan people power untuk memperbanyak beasiswa di tingkat pendidikan dasar dan menengah, juga pendidikan tinggi. People power yang utama adalah revolusi mental para abdi negara, termasuk anggota dewan dari semua partai, khususnya PDIP. Jangan terulang lagi anggota dewan yang memijat-mijat Ceu Popong dan menciumnya, jangan lagi menjadi “kumpulan anak-anak TK tanpa sopan santun naik ke meja”.  Mental seperti inilah yang mendesak direvolusi. (Catatan: sebetulnya saya tidak yakin pada istilah revolusi. Lebih tepat adalah evolusi. Tapi, silakan saja, apapun istilahnya, minumnya adalah the tubruk …. Hhm segerrr).

Begini ringkasnya. People power boleh-boleh saja, tetapi ingat, people power yang ada di KMP juga tak kalah banyak dan mereka kebanyakan dari kalangan terdidik apik. Kita paham, voting itu tidak membedakan manusia, apakah ia doktor politik atau preman pasar dan germo pelacuran. Sama saja, suaranya satu untuk masing-masing. Namun demikian, kekuatan Golput juga tidak sedikit. Mereka bisa bergerak ke PDIP juga bisa ke KMP. Apakah koalisi PDIP, khususnya PKB yang banyak ada kyai dan pemilik ratusan pesantren itu akan serta merta rela menjadi “pembunuh” kaum muslim yang lain lewat people power? Lupakah PKB pada wejangan Gus Dur tentang kerakyatan dan kesetaraan dalam hidup berbangsa, bernegara? Kalau lupa dan memang sudah tidak peduli lagi, berarti PKB yang sekarang ini bukanlah PKB yang dimiliki oleh warga NU. Ia sudah tercerabut dari ke-NU-annya.

Sekali lagi, saya setuju bangetz pada people power, yaitu memobilisasi kekuatan rakyat untuk memajukan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi di Indonesia. Setuju kekuatan rakyat untuk menghukum koruptor. Orang yang bersalah harus dihukum, dan hukuman ini akan dapat mengurangi tanggung jawabnya yang abadi di akhirat kelak. Hukuman justru adalah kasih sayang kepada terhukum. Kalau salah, maka mintalah segera dihukum di dunia agar berkurang atau bebas hukuman di akhirat yang abadi itu. Lebih baik di hukum di dunia sekian puluh tahun dan bebas di akhirat daripada bebas di dunia tetapi dihukum berat di akhirat. Pemahaman inilah yang disebut revolusi atau evolusi mental. Mental rela dihukum kalau berbuat salah, baik sengaja maupun tidak. Inilah revolusi yang sesungguhnya, sebuah revolusi atau people power di bidang moral. 


Kalau hal tersebut yang dimaksud oleh koalisi PDIP, semua pasti mendukung. Maka, saya setuju peple power versi yang satu ini. Power to the people for their welfare of the welfarestate. Ok? I love you all in humanity, and thanks. *


ReadMore »

1 Oktober 2014

Pak SBY, Cooling Down dan Istikharah

Pak SBY, Cooling Down dan Istikharah
Oleh Gede H. Cahyana


Jagat maya memanas. Tambah melepuh setelah Pak SBY berencana mengeluarkan Perppu untuk UU Pilkada yang baru saja di-voting di DPR. Menurut Prof. Asep Warlan Yusuf, alasan dan situasi – kondisi yang layak dipertimbangkan dalam merilis Perppu tidak terpenuhi. Negara tidak genting, belum gawat, tiada krisis. Apalagi UU ini belum diterapkan di sebuah kabupaten, kota, atau provinsi. Belum ada dampaknya di masyarakat. Yang ada hanyalah kehebohan di dunia maya dari kalangan yang merasa kecewa dan berbagai alasan ekonomi yang akan menimpanya. 

Sebaiknya Pak SBY cooling down dulu, dan laksanakan shalat Istikharah beberapa kali. Keputusan yang dibuat dalam jilatan api emosi dan kepayahan badan dan pikiran akibat perjalanan panjang dari negeri manca, tentu berbeda hasilnya ketika keputusan itu dibuat pada saat tenang, pikiran jernih, emosi stabil, dan dipayungi oleh usaha spiritual dengan minta tolong kepada Sang Khalik. Dia tahu yang terbaik, Dia tahu yang tertepat, Dia tahu remuk-redam hati Pak SBY, Dia pun tahu akan ke mana aliran dan gerak geliat NKRI. Dia Pengasih, Dia Penyayang. Ini perlu ditempuh Pak SBY agar tidak terjadi hal-hal dalam makna pepatah: “… sesal kemudian tak berguna…”.

Selain Prof. Asep Warlan, ada sejumlah pendapat dari pakar hukum tatanegara yang layak didengar dan dituruti. Apalagi “prinsip demokratis” sudah dipenuhi oleh UU Pilkada via DPRD. Selama Pilkada Langsung ini, ada juga walikota, bupati yang tidak dipilih langsung seperti di DKI. Ini tidak menimbulkan masalah. Artinya, Pak SBY hendaklah memberikan ruang gerak dan waktu kepada UU Pilkada via DPRD ini rilis dan dilaksanakan. Evaluasi tetap bisa dilakukan dalam lima tahun kedepan, apa dampaknya, adakah ekses negatif yang signifikan, lewat FPD di DPR. Apabila hal ini dinihilkan, lantas Perppu dirilis, selain menimbulkan blunder bagi Pak SBY juga dapat melanggengkan konflik di parlemen. Yang rugi, selain image terhadap Pak SBY menjadi buruk, juga Pak Jokowi - JK. Potensi konflik antar dua kubu makin tajam saja selama lima tahun ke depan, 

Hendaklah keputusan ditetapkan secara matang dan mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih luas, baik adanya potensi konflik di antara elite parpol koalisi KMP dan PDIP, maupun konflik di akar rumput. Apalagi sejumlah ormas, khususnya yang berbasiskan kaum muslimin, telah merasakan dampak negatif Pilkada Langsung dan mereka ingin bangsa ini mencoba lagi dengan perwakilan di DPR. Tidak ada yang abadi, semua keputusan bisa diubah, karena semuanya hanyalah hasil karya manusia. Kalau yang satu dinyatakan banyak ekses negatif, maka cobalah opsi yang lain. Begitu seterusnya. Yang cocok hari ini, belum tentu cocok dan tepat dilaksanakan pada masa depan lantaran produk manusia adalah fana dan sementara, juga lantaran manusia tidak bisa melihat kejadian pada masa yang akan datang.

Pak SBY, mari cooling down, istikharah beberapa kali, dalam kebeningan hati dan kejernihan pikir. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa memberikan petunjuk-Nya kepada bapak dalam kesehatan lahir dan batin dan mengakhiri jabatan presiden dalam kondisi husnul khatimah, akhir yang baik. *

ReadMore »