Fahri Hamzah,
Sang Singa DPR
Oleh Gede H. Cahyana
Panggilannya singkat saja, Fahri. Mudah diucapkan,
gampang diingat. Wajahnya lumayan, dengan postur dan warna kulit, pola sisiran
rambut, ia bisa disebut ganteng untuk ukuran orang Indonesia. Pasti banyak
cewek yang naksir dia. Sampai saat ini, ia monogami. Sejarah politiknya dimulai
pada era reformasi 1998. Ia dirikan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia) dan menjadi ketua umum. Lantas Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
menjadi labuhan hatinya. Di partai ini ia dipercaya menjadi wakil sekretaris
jenderal dan menjadi loudspeaker bagi
partai berlambang padi – kapas ini. Ia vokal. Bukan vocal group. Ia solo singer,
penembang tunggal di ranah politik. Berani karena benar, sudah menjadi darah
dan daging di tubuhnya. Siapapun diajak berdiskusi, berdebat, seperti karakter
demonya pada masa menjelang pelengseran Presiden Soeharto. Layak ia sandang
nama Hamzah, seorang pria sejati di tanah Arab pada masa kelam, lelaki kekar
yang berjaya pada perang Badar dan meninggal pada perang Uhud. Nabi Muhammad
menyebutnya Singa Allah, juga menjulukinya Pemimpin Syuhada.
Fahri Hamzah, lelaki kelahiran Sumbawa, 10 November
1971 ini tentu tidak sama dengan Hamzah bin Abdul Muthalib. Tetapi karakternya
searah dengan pilar kekuatan Hamzah, yaitu berani, tegas, dan jujur. Tanpa
topeng, tanpa tedeng aling-aling. Ia disegani oleh kawan dan lawan politiknya.
Ia menjadi sasaran tembak semua media di ranah liberal. Ia menjadi objek
gempuran orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) dan orang-orang yang
seolah-olah antikorupsi. Ia dijepit dari kanan dan kiri. Bukan Fahri kalau
tidak bisa lepas dari kepungan media dan orang-orang sekuler dan liberal. Ia
pernah dibombardir di media massa cetak dan elektronik serta media sosial
perihal korupsi lantaran ada inisial FAH. Kata Nazaruddin, itu inisial untuk
Fahmi, dan… sekali lagi…, itu inisial untuk Fahmi, bukan Fahri. Anehnya, di-bullying luar dalam, habis-habisan, pria
kalajengking (Scorpion) ini malah santai-santai saja. Jujur. Ini saja
prinsipnya. Ia malah menulis twit: “goreng terus, sampai goshong… “. Padahal di
bawah zodiak Scorpion, bisa saja ia layangkan ekor berbisanya, meracuni para
pembencinya. Tapi tidak ia lakukan. Banyak lagi sasaran tembak, bahkan yang
dibuat-dibuat untuk meruntuhkan tembok eksistensinya di dunia politik. Tapi
gagal. Pembencinya gigit jari, bahkan gigit dua jari.
Sinar Fahri kian benderang setelah ia dipercaya
menjadi wakil ketua DPR oleh Koalisi Merah Putih (KMP). Meskipun sifatnya
kolektif kolegial, jabatan wakil ketua DPR tentu jabatan bergengsi. Tidak
banyak yang memperoleh kepercayaan itu. Ia didudukkan oleh KMP di kursi “panas”
itu pasti dengan seabrek pertimbangan dan tarik ulur di antara anggota KMP.
Catatan sejarahnyalah yang menggiring dia ke posisi kursi wakil ketua DPR,
bukan ambisi jabatan. Kualitasnyalah yang menghela dirinya ke kursi itu. Salah
satu indikator kualitas adalah kemampuan seseorang dalam menuliskan pikirannya
lewat buku dan artikel. Apalagi ia bukan dosen. Tapi ia menulis buku tebal.
Judulnya, “Negara, Pasar, dan Rakyat, setebal 626 halaman. Buku yang lain
berkaitan dengan BUMN berjudul: Negara, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat.” Ada empat kata dalam frase itu: negara, pasar, rakyat, dan kesejahteraan. Negara, apapun bentuknya, bisa
kerajaan, kekhalifahan, kesultanan, keratuan, republik, persemakmuran, federal
dan lain-lain, ujungnya adalah rakyat sejahtera.
Fahri Hamzah, Singa DPR. Tak sekadar “omong-kosong”.
Tak hanya bacot. Bukan pencitraan. Bandingkan dia dengan politisi “lawan”-nya
ketika di acara-acara ILC (Indonesia
Lawyers Club) di TVOne. Ia vokal, ia juga menulis. Ia susun narasi politik
dalam kesantunan. Luncuran kata-kata negatif, semisal “sinting” adalah respons yang sudah meluber di kepalanya, sebuah tanggapan atas janji manis lawan politiknya
dan pencitraan Jokowi. Faktanya, semua janji itu dilanggar saat ini. Katanya
kurus, ternyata gemuk. Katanya tidak perlu partai lain, ternyata merayu partai
lain agar masuk ke koalisi PDIP. Katanya hanya 24 kementerian, ternyata 34,
sama dengan masa Presiden SBY. Kini menjadi 33, sekadar beda dengan SBY, tidak
ramping signifikan. Fahri juga mengkritik Jokowi karena terlalu mengurusi
legislatif. Sepatutnya Jokowi berorientasi di eksekutif saja, pilih menteri
yang bukan dari partai politik, politik transaksional. Faktanya, ada 15
(sebelumnya 16) yang akan dari partai politik. Ini pun menyalahi janji saat
kampanye dan debat dulu. Janjinya dilanggar lagi. Janji-janji tinggal janji…,
menteri kami, hanya mimpi… (plesetan lirik lagu). Yang seperti itulah yang
diungkap Fahri sehingga menuai atau panen kritik pedas cabe rawit atau cabe domba.
Sebagai penulis, atau “penulis” yang berproses menjadi
penulis, saya salut kepada lelaki peraih suara rakyat terbanyak di Dapil NTB
(125.083 suara). Begitu nyata kepercayaan rakyat kepadanya. Ia harus konsisten,
ia harus amanah. Tongkat “komando” sebagai jajaran pimpinan DPR sudah
digenggam. Ia wajib berada di koridor kebenaran. Hukum harus tegak, meskipun besok
langit runtuh. Artinya, sebagai legislator dari partai berlabel “keadilan”,
Fahri harus tegakkan keadilan. Adil terhadap KMP dan adil pula terhadap koalisi
PDIP, adil terhadap Jokowi-JK. Kalau pemerintahan Jokowi-JK sesuai dengan arah
haluan negara RI, maka Fahri dkk harus mendukung 100%. Adil terhadap lawan
politik, bahkan wajib adil kepada musuh dalam peperangan.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, mantan ketua
Mahkamah Konstitusi (MK), Fahri Hamzah termasuk pemuda Indonesia yang bersinar
terang. Ia pemimpin masa depan RI, ketika tantangan internal dan eksternal
terhadap NKRI kian kuat dan berat. Ia berlian di antara serakan kulit lokan di
pantai. Tapi ingat, Fahri tidak boleh terbuai sanjungan dan penghargaan.
Sanjungan adalah musuh nomor wahid bagi politisi dan negarawan. Hiduplah dalam
kesederhanaan. Ingatlah Hasan Al Banna, “ apakah kalian siap lapar agar orang
lain bisa kenyang, siap berlelah-lelah agar orang lain bisa istirahat ..?”.
Ikutlah ilmu padi, makin merunduk karena bulirnya
makin berisi. Jangan tiru politisi banyak omong, asal “ngecap” dan asbun dengan
mendongakkan kepala, layaknya bulir padi hampa seperti yang sering hadir di ILC
TVOne. Kamu bukan mereka, para politisi busuk. Tirulah Hamzah, meskipun
perutnya dikoyak, jantung – hatinya dikunyah, ia tetaplah bunga surga.
Ini twitmu. Setuju, bagus isinya.
….
Jangan takut
Bekerjalah memenuhi janji
Semua sudah tersedia
Buka cakrawalamu ya Rais
Munajatlah agar jiwamu besar
Kau takkan bisa memerdekakan
rakyatmu
Jika jiwamu kerdil dan penuh ketakutan.
Selamat berkerja ikhlas di DPR. Dukunglah Jokowi-JK
100% kalau arahnya untuk sejahterakan rakyat Indonesia. Awasilah, sebab, itulah
tugasmu. Pengawas itu mulia, karena ia seperti pembatu di rumah yang mengawasi
balita, agar balita itu tidak jatuh. Jangan sampai jatuh. Kawal “balita” itu
dengan selamat. Biarlah balita itu menjadi besar dan kekar, dan mampu
sejahterakan balita lainnya. Ia akan punya nama karena kawalan dan asuhanmu.
Tapi, sesungguhnya, di sisi Tuhanmu, kamulah yang berjasa, kalau balita itu
betul-betul besar dan kuat. Bayangkan, posisi politik berseberangan, tetapi
justru mengawal pemerintahan Jokowi-JK agar menapaki rel yang benar. Yang
selamat adalah pemerintahan dan pribadi Jokowi-JK dan koalisi PDIP. Mereka yang
punya nama di mata rakyat. Kamu pun punya nama, di mata Tuhanmu. Saatnya nanti,
kamulah harapan bangsa ini, memimpin negeri luas ini. Kesempatan itu pasti ada,
seizin Allah Swt. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar