• L3
  • Email :
  • Search :

29 Juni 2013

Vetiver Bukan Penyanyi Dangdut

Vetiver Bukan Penyanyi Dangdut
Oleh Gede H. Cahyana

Lagu Sedang-Sedang Saja pernah melambungkan artis Vety Vera menjadi penyanyi nasional “new comer” berbakat pada dekade 1990-an. Tetapi…., (si)-apakah sesuatu yang bernama Vetiver itu? Ia memang tinggi, tak hanya melambung, bahkan “melangit”. Ia tinggi menjulang dan dalam menghujam Bumi. Seperti Vety Vera, Vetiver juga mendunia, mendapatkan “award” karena perannya besar dalam memberikan manfaat bagi manusia.

Sebagai artis, Vety Vera tentu menyemprotkan minyak wangi ketika pentas, baik untuk mereduksi bau keringat maupun untuk memberikan aroma terapi dan kepercayaan diri saat menyanyi. Vetiver juga berkaitan dengan wewangian. Ia memiliki minyak atsiri yang bisa diekstraksi dari bagian akar dan batangnya. Ia pun lantas dikenal dengan sebutan Akar Wangi. Selain itu, ia juga digunakan dalam menahan longsor lereng bukit dan yang dekat dengan hidup manusia adalah limbah. Vetiver mampu mereduksi pencemar yang ada di dalam air limbah, tumpahan minyak di lahan tambang.



Vetiver kini pentas di banyak daerah, terutama di daerah yang menerapkan instalasi pengolahan air limbah secara biologi. Ia biasanya dipasang di bagian akhir proses pengolahan, sebagai polishing stage. Dalam IPAL yang lengkap, ia didahului oleh unit proses biologi, kimia dan unit operasi fisika seperti sedimentasi. Agar optimal perkembangannya sehingga optimal juga dalam mereduksi pencemar di dalam air limbah, maka media kerikil sebagai sandaran tumbuhnya harus dipilih dan bersih dari tanah pengotor. Kalau syarat lingkungannya nyaman bagi pertumbuhannya, maka Vetiver akan melambung tinggi dan akarnya menghujam dalam.

Di dalam akarnya itu juga melekat berbagai macam bakteri dan mikroba lainnya yang bersimbiosis mutualisme, saling untung. Tanaman membantu pertumbuhan mikroba seperti jamur, bakteri, algae dan protozoa. Batang, cabang dan daun tanaman yang berada di dalam genangan air akan memperluas area perlekatan mikroba. Akar tumbuhan melepaskan oksigen sehingga daerah sekitarnya menjadi aerob. Oksigen ini berasal dari udara yang berdifusi melewati pori-pori daun, batang dan dilepaskan di akar. Dengan demikian, di dalam unit ini terjadi kondisi aerob di sekitar perakaran tanaman, kondisi fakultatif dan kondisi anaerob.

Meskipun Vety Vera sekarang menjadi pekerja domestik, tidak lagi aktif menyanyi, tetapi perannya di dalam sejarah dangdut Indonesia tak bisa dihilangkan. Begitu juga Vetiver, ia berperan penting dalam mengolah air limbah domestik. Tak hanya domestik, air limbah non-domestik seperti air limbah pertanian, peternakan, perikanan, tambak, air lindi TPA, air  limbah  rumah  sakit pun mampu diolahnya.


Selamat menjadi legenda dangdut dalam Sedang-Sedang Saja untuk Vety Vera dan selamat menjadi legenda hijau dalam pengolahan air limbah untuk vetiver. *

Foto/gambar: herbariasoap.com, vetiversystem.com

ReadMore »

26 Juni 2013

Ronaldo Tanam Mangrove di Bali

Oleh Gede H. Cahyana

Ronaldo tak hanya terampil memasukkan bola ke gawang lawan, tetapi juga berusaha terampil memasukkan stek tanaman mangrove ke dalam tanah berair asin di Tanjung Benoa, Bali. Bersama presiden dan para menterinya, CR7 ini menyekop tanah yang disediakan panitia lalu menuangkannya di sekitar tanaman mangrove setinggi satu meter. Mengapa bintang tenar dunia sepakbola ini mau menjadi Duta Forum Mangrove Indonesia? Apakah ia seorang ekologis? Biologis? Environmentalis

Ternyata alasannya sederhana. Ia terkesan pada seorang bocah yang mengenakan kaos bertuliskan namanya. Ketika tsunami Aceh dulu, bocah ini selamat dari tarikan Smong karena tersangkut di pohon mangrove (bakau). Bisa dikatakan, lantaran itulah ia paham bahwa mangrove dapat menjadi penyelamat manusia dari hantaman gelombang laut nan dahsyat. Namun demikian, ada satu komponen yang juga perlu dikuatkan gemanya ke masyarakat, terutama warga di pesisir, yaitu terumbu karang. Mangrove dan terumbu karang ini saling mempengaruhi, mereka bersimbiosis secara tidak langsung. Mereka "pacaran" jarak jauh. 

Berbeda dengan mangrove, terumbu karang ini disusun oleh kalsium karbonat (CaCO3) dari hewan Coral dan Calcifying organisms yang lain. Jika mangrove rusak maka fotosintesis yang memanfaatkan karbondioksida di pesisir berkurang sehingga kelarutannya di dalam air membesar. Hipotesis lembaga nasional Jepang NIRE (National Institute for Resources and Enviromnet), 50% CO2 dari kegiatan manusia (antropogenik) dijerap (absorbsi) oleh laut. Inilah yang dapat menggerus dan menghancurkan terumbu karang. Dengan kata lain, peningkatan pemakaian BBM pun, yang baru saja naik harganya, akan meningkatkan kerusakan terumbu karang.

Menurut proyeksinya, konsentrasi CO2 tahun 2065 nanti menjadi duakali dari konsentrasinya pada era pra-industri (tahun 1800-an). Menurut Joan Kleypas (Science Vol. 284, April 1999) penurunan kalsifikasi (pengapuran) sampai tahun 2100 adalah 35% yang dampaknya pada penurunan potensi tumbuh karang (Reef-Building Capacity) sehingga karang menjadi getas (fragile coral skeleton), terjadi reduksi pertumbuhan dan peningkatan laju erosi. Muaranya adalah kehancuran terumbu karang.

Itulah peran sentral kawasan mangrove (the coastal green belt) yang luasnya di Indonesia pada dekade delapan puluhan sekitar 4,25 juta ha. Kini, taksiran optimisnya 3 juta ha sedangkan pesimisnya 2,5 juta ha. Itu terjadi akibat diserbu kepentingan komersial, pertambangan, tambak, pertanian dan pemukiman baru. Selain itu fungsinya ialah filter pencemar, pencegah intrusi air laut, penangkal erosi, sumber plasma nutfah dan habitat flora fauna. Floranya terdiri atas perdu, pohon, rerumputan, tumbuhan menjalar, merambat, jenis paku-pakuan dan tumbuhan epifit lainnya. Beragam jenis burung bersarang di hutan mangrove termasuk primata, reptil, amfibi dan serangga.

Tema acara di pesisir Benoa, Kab. Badung, Bali itu adalah Save the Mangrove, Save the Earth dengan upaya untuk merehabilitasi hutan mangrove agar berperan ekonomis dan memiliki jasa lingkungan. Terlihat betapa mangrove memberikan kontribusi positif bagi kawasan pantai, menahan pemanasan global, pelindung terumbu karang. Artinya, sikap bersahabat dengannya dapat mengurangi dampak bencana, sebagai sebuah ikhtiar.

Akhirnya, manusialah (bukan flora dan fauna) yang memperoleh amanat karena berpotensi membina dunia walaupun dia dapat menjadi lebih buas daripada binatang terbuas, dari the best menjadi the beast. The beast mentality. *
ReadMore »

14 Juni 2013

Mengenal Lebih Dekat Sanitary Landfill

Oleh Gede H. Cahyana

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), menurut UU no. 18 tahun 2008, adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Di sinilah sampah mencapai tahap akhir dalam pengelolaannya, setelah timbul di sumber sampah, pewadahan, pengumpulan, pemindahan, peng- angkutan, pengomposan, dan pembuangan. 

Sampah yang diurug di TPA ini harus diisolasi agar tidak mencemari lingkungan. Air lindinya diolah di Instalasi Pengolahan Air Lindi (IPALin), gas yang terlepas hasil dekomposisi anaerobik selayaknya dimanfaatkan menjadi energi atau dikonversi menjadi karbondioksida untuk mengurangi potensi polusinya terhadap udara dan mereduksi kontribusinya pada pemanasan global.

Kondisi TPA di Indonesia
Faktanya di Indonesia, mayoritas TPA berupa open dumping, yaitu sampah dibuang bebas tanpa ditangani secara ramah lingkungan. Akibatnya, timbullah masalah seperti:

1. Penyebaran vektor penyakit.
Sampah menjadi sarang dan sumber makanan bagi lalat, tikus, kecoa, nyamuk.

2. Pencemaran udara.
Selain metana (CH4) gas yang lain adalah karbondioksida, hidrogen sulfida dll yang dapat mencemari udara.

3. Merusak estetika.
Sampah yang berserakan memperburuk pemandangan sekitar dan berbau busuk, asam.

4. Pencemaran air tanah.
Air hujan yang melewati sampah melarutkan beragam zat organiknya sehingga angka BOD/COD-nya menjadi tinggi. Selain zat organik ini, juga berisi logam-logam berat sehingga membahayakan kualitas air tanah, terutama air tanah dangkal.

Untuk menghindari kejadian buruk di atas, maka TPA wajib dikelola secara baik dan benar, mengikuti kaidah baku pengelolaan TPA sanitary landfill, minimal berupa controlled landfill. Selain aktivitas penimbunan sampah, di TPA juga selayaknya ada kegiatan seperti 1) pemilahan sampah, 2) daur ulang sampah, 3) pengomposan, dan 4) pengurugan sisa sampah proses tersebut.

Di dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan TPA adalah yang berupa sanitary landfill atau controlled landfill. Mengacu pada namanya, sanitary landfill mengandung makna penimbunan sampah yang mengutamakan aspek kesehatan, penyehatan, aspek sanitasi atau saniter. Oleh sebab itu, tanah penutup lapisan atau sel sampah menjadi syarat penting dalam metode ini. Tanah penutup dan alat-alat beratnya menjadi komponen utama dalam pembiayaan TPA. Di dalam UU no. 18/2008 Bab VII pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Biaya ini, pada ayat (2) disebutkan bersumber dari APBN dan APBD.

Jenis Sanitary Landfill.
Jenis sanitary landfill ini dibedakan atas metode atau cara peletakan sampah di atas lahan.

1. Metode Lembah.
Diterapkan pada lahan yang berbentuk cekungan seperti tebing, jurang, atau bekas galian tambang misalnya. Sampah disebarkan, dipadatkan oleh gilasan buldozer, lalu ditutupi tanah.

2. Metode Trench
Diterapkan pada lahan yang permukaan air tanah dangkalnya relatif dalam. Lahan dikupas kemudian dilapisi geomembran dan/atau tanah liat yang rendah permeabilitasnya. Sampah disebarkan lalu dipadatkan dengan buldozer. Tanah kupasan tadi bisa digunakan sebagai tanah urug.

3. Metode Area.
Diterapkan pada lahan yang relatif datar dan permukaan air tanah dangkalnya relatif tinggi. Artinya, jarak dari permukaan tanah ke permukaan air tanah dangkal tersebut hanya dua – tiga meter. Sampah dihamparkan di permukaan lahan, dipadatkan dengan cara digilas buldozer lalu ditutup dengan tanah penutup setiap hari. *

ReadMore »

9 Juni 2013

Bergurau dengan Monyet di Sangeh

Bergurau dengan Monyet di Sangeh
Oleh Gede H. Cahyana

Bagaimana rasanya dinaiki monyet (monkey) atau raja monyet? Bagaimana rasanya bersenda gurau dengan monyet? Tegang, senang, takut, larut dalam kemelut atau gemetar menjalar di sekujur tubuh? Wisatawan yang belum tahu karakter monyet di Sangeh tentu kaget, bahkan menjerit-jerit. Anak-anak dan orang dewasa, apalagi kakek-nenek atau lansia (lanjut usia) bisa berdebar-debar bahkan berdentum-dentum jantungnya. Yang sudah tiga kali atau lebih ke Sangeh tentu tidak demikian. Mereka paham karakter monyet dan tahu cara “menjinakkannya”.

Sangeh adalah objek wisata yang berada nyaris di tengah-tengah Pulau Bali, di Desa Adat Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Badung adalah kabupaten terkaya di Bali dengan sumber PAD terbesarnya dari sektor wisata. Tak kurang dari 2,6 juta orang masuk ke Badung pertahun lewat Bandara Ngurah Rai, mayoritas dari Asia Pasifik. Belum lagi yang masuk lewat pelabuhan laut Gilimanuk dan Padangbai. Itu sebabnya, kabupaten ini memiliki kompleks perkantoran terpusat yang terluas, termegah dan artistik di Indonesia, mengalahkan Tenggarong. Namanya Mangupura, lalu sekarang menjadi Mangupraja, Sempidi. Betapa tidak, Kuta, Legian, Seminyak, Kerobokan, Sanur, Art Center, Benoa, Nusa Dua, Taman Ayun, Uluwatu, dan sederet lagi yang lain berpijak di Badung dan menjadi tujuan utama wisata biro perjalanan.

Kembali ke Sangeh. Secara legal formal, Sangeh dijadikan objek wisata pada tahun baru 1 Januari 1969. Dengan dana dari sumbangan wisatawan yang ke Sangeh, objek ini terus berbenah. Baru pada tahun 1996, tepatnya 1 Januari, resmilah penarikan retribusi berdasarkan Perda No. 20 tahun 1995 Kab. Badung dengan pengelola resminya adalah Desa Adat Sangeh. Awalnya, hutan seluas 10,8 Ha ini berupa cagar alam kemudian berubah menjadi Taman Wisata Alam berlandaskan SK Menteri Kehutanan no. 87/Kps-II/1993 yang luas hutannya ditambah 3,169 hektar. Selain populasi monyet yang terdiri atas 600-an ekor, daerah ini juga kaya dengan pohon pala, Dipterocarpus trinervis. Juga ada 54 jenis pohon lainnya, antara lain amplas (Tetracera scandens), Pule (Alstonia scholaris), buni (Antidesma bunius), cempaka kuning (Michella campaka), kepohpoh (Buchanania arborescens).

Selain monyet abu-abu tersebut (Macaca fascicularis), ada 22 jenis satwa lain, di antaranya alap-alap (Elanus hypoleuca), elang (Haliaster indus), burung hantu (Type java albanica), terocok (Gouvier ahalis), musang (Paradorurus hermaproditus), kucing hutan (Felis bengalensis), sendang lawe (Ciconia episcopus). Hanya saja, wisatawan harus sabar untuk dapat melihat hewan-hewan ini. Dengan bantuan guide, kita bisa minta tolong di mana saja lokasi hewan tersebut. Satu lagi, amankan atau simpan perhiasan, jam tangan, kaca mata, kamera, ponsel, dll agar tidak diincar oleh monyet. Meskipun tidak senakal monyet di Uluwatu, wisatawan sebaiknya waspada. Ia pun tidaklah sejinak monyet di Alas Kedaton, Tabanan.

Ingin merasakan diganduli monyet? Kira-kira, berapa persenkah wajah monyet ini serupa dengan wajah manusia? Hehehe. Satu…, dua…., tiga…, jepret. Foto saja, lalu cetak. Saksikan dan bandingkan. :) Lamakah ke sana? Dari Bandara Ngurah Rai, kalau naik taksi bandara, bisa kena 180-200 ribu rupiah dengan waktu tempuh 60-70 menit. Kalau lancar tentu saja. Kalau dari Gilimanuk, sekitar 4 jam, turun di Terminal Mengwi. Naik taksi resmi atau preman juga ada. Jadi…, mau nyoba menggendong monyet? *
ReadMore »