• L3
  • Email :
  • Search :

28 Oktober 2008

Sumpah “Lingkungan” Pemuda

Usia delapan puluh tahun sudah termasuk uzur. Usia senja bagi manusia. Pemuda 1928 sudah tiada. Kalaupun ada, usianya mendekati 95-100 tahun. Tetapi tidak demikian dengan semangatnya. Orientasi spirit pemuda masa itu bukanlah pada lingkungan yang bermakna ekologis, melainkan pada makna geografis dan politis (geopolitis). Kepedulian pemuda saat itu pun sudah masuk ke dalam ranah linguis yang berkesadaran bahwa bahasa adalah alat pemersatu bangsa di tengah ratusan ragam bahasa etnis. Fakta sejarah ini mengedepankan kalangan muda terdidik yang mampu berpikir jernih akibat kepedihannya sebagai orang terjajah.

Bagaimana pemuda sekarang pada kwartal pertama abad ke-21 ini? Perlukah pemuda masa kini berikrar seperti pemuda pada paruh pertama abad ke-20? Jujur diakui, sepuluh tahun pasca-Orde Baru, ruang gerak pemuda sudah menemukan titik pendakiannya menuju puncak. Kaum muda mulai menapaki kursi legislatif di daerah dan pusat. Ada juga yang menjadi bupati, walikota, gubernur-wakil gubernur. Yang lainnya ada yang diamanahi sebagai pejabat di lembaga pemerintahan, BUMD, BUMN, menteri, kampus, LSM, atau organisasi masa. Tinggal satu lagi, yaitu pemuda dipercaya oleh mayoritas orang Indonesia untuk mengemban peran sebagai presiden dan wakil presiden, atau sebagai ketua MPR-DPR.

Lantas, adakah peran pemuda pada pelestarian fungsi lingkungan? Seorang atau sekumpulan pemuda/di di DPR-DPRD yang berhasil menelurkan undang-undang atau peraturan daerah yang arahnya melestarikan fungsi lingkungan adalah bentuk hakiki dari sumpah pemuda di bidang lingkungan. Ketika kaum tua yang memiliki pabrik dan kawasan industri, baik investor domestik maupun asing, merusak dan bermain mata dengan pejabat di pemerintahan kabupaten/kota, provinsi, dan pusat (kementerian), ada kalangan muda yang menjadi generasi penerusnya yang berani ambil tanggung jawab dalam lingkungan. “Sumpah” mereka ini dapat dilihat pada upayanya dalam menerapkan teknologi bersih, berandil dalam reboisasi, penyediaan air minum dan penyaluran air limbah. Patut pula diakui, jumlah pengusaha muda yang ekologis ini memang tidak banyak, namun sebagai tahap awal, sudah dapat dikatakan cukup baik.

Begitu pula, pemuda yang peduli lingkungan sudah masuk dalam kategori peduli hak asasi manusia. HAM, lingkungan dan pemuda erat pertaliannya. Oksigen yang menjadi produk utama fotosintesis adalah hak asasi manusia, terutama bagi orang yang tidak mencemari lingkungan. Cuaca yang labil, perubahan ekstrim iklim, kota yang memanas dari tahun ke tahun, dan banjir ketika hujan rintik-rintik adalah dampak buruk komersialisasi kawasan dan industri yang disetir kaum tua, terdiri atas direksi dan komisaris perusahaan. Di sinilah fungsi strategis pemuda sebagai agen pelawan petua yang tak mau berubah dan dipenjara oleh pola pikir lamanya bahwa produksi harus ditingkatkan tanpa peduli pada lingkungan. Gagasan pemuda di sini menjadi penting dalam tapak idealismenya yang peduli lingkungan dan ekologi.

Salah satu unsur pemuda adalah mahasiswa, kalangan belia yang energik. Tonggak waktu 1908, 1928, 1945, 1966, 1998 terbukti disetir oleh pemuda terpelajar dan/atau mahasiswa dan alumni baru. Memang, di antara pemuda itu ada yang kemudian menyimpang dari idealismenya, digerus oleh kepentingan keluarga, partai dan kelompoknya. Namun ada juga yang bisa terus bertahan dan menjadi kaum tua yang ajeg dalam perjuangan untuk masyarakat. Yang tersulit adalah tetap setia di jalan idealisme ketika muda dulu pada saat godaan materi, lawan jenis, dan eksistensi diri merubungnya. Ini digambarkan oleh hirarki Maslow yang menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak piramid. Ini pula yang menyebabkan kalangan tua saat ini, yang ketika muda juga terlibat dalam gerakan pemuda, ingin terus menggenggam jabatan dan menjadi elite di republik ini.

Perihal pemuda di atas, akankah semangatnya bertahan terus sampai beranjak tua dan mengemban amanah sebagai anggota dewan, kepala badan, lembaga, dinas, bupati, walikota, gubernur, menteri, bahkan presiden? Keajegan pikiran dan tindakan pemuda yang berangsur tua ini menjadi inspirasi bagi generasi muda berikutnya. Pemuda yang bersumpah untuk memelihara lingkungan adalah cermin orang berwawasan lingkungan yang sadar bahwa lingkungan ini (tanah, air) adalah milik anak cucunya. Pemuda ini berciri khas bebas, spiritnya tinggi, kreatif, idealis, ajeg (konsisten), inovatif dan berani merespon masalah lingkungan yang berpotensi merusak ekologi dan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Memang faktanya, ada juga pemuda yang terlibat korupsi, premanisme, dan prostitusi baik pelacuran intelektual (ijazah palsu, beli gelar, main sogok dalam akreditasi sekolah-kampus) maupun pelacuran ekopolitis. Hanya saja, peluang berubah masih ada dan masih dapat diubah bersama dengan dinamika pikiran dan gerakan massa yang diikutinya. Yang juga penting ialah masukan, petuah, dan contoh perilaku dari kaum tua agar mengurangi laku buruknya dalam pencalonan dirinya sebagai anggota dewan, kepala daerah, dan presiden. Perbaikan moral ini hendaklah ditunjukkan oleh generasi tua dengan cara memberikan bukti pada pemberantasan manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Akhir kata, lingkungan dapat menjadi pemersatu pemuda dalam gerakan bersama melawan pemerintah pusat dan daerah yang hanya mewacanakan lingkungan dalam tugasnya tetapi tidak membuat langkah riil di masyarakat. Bahkan langkah riilnya kerapkali ditunggangi nuansa ekonomis demi kepentingan segelintir orang dan investor sekaligus mengorbankan masyarakat umum. Gejala ini tampak di sejumlah kota besar. Oleh sebab itu, saatnyalah pemuda/di setia pada basisnya yang independen: kalau bergerak di LSM hendaklah independen, ormas dan kepemudaan yang independen sehingga tidak punya utang jasa yang harus dibayar dengan melunturkan idealismenya ketika bersumpah “lingkungan” pemuda.*
ReadMore »

27 Oktober 2008

Evaluasi PLH di Bandung

Sudah lebih setahun Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Tujuan pelajaran ini, seperti tertulis pada Peraturan Walikota No. 031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih, dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan oleh murid (juga gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek dalam mengelola lingkungan hidup.

Bagaimana pelaksanaannya di sekolah-sekolah? Dari hasil survey penulis dan tanya jawab dengan guru dan murid dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH ini belum mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah mengajarkan PLH tetapi hanya terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan maka tentu saja tidak mendapat perhatian yang mendalam dari siswa maupun gurunya.

Apalagi karena ada kata “lokal” maka murid dan juga guru-gurunya menganggap tidak penting atau dianaktirikan. Pelajaran “lokal” ini seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan jelas-jelas ditulis di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tidak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep-konsep dasar teknologi lingkungan. Masalahnya sederhana, yaitu guru tidak (belum) tahu ilmunya lantaran bukan lulusan Teknik Lingkungan.

Atas dasar fakta tersebut, mulok ini hanyalah ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung diharapkan mereposisi lagi mulok ini agar menempati posisinya sesuai dengan harapan DPRD Kota Bandung dan Pemkot Bandung sebagai institusi yang merilisnya. Pemkot Bandung hendaklah memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru dan murid dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan, yaitu sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).

Di sinilah peran Pemkot Bandung dalam memfasilitasi para gurunya sehingga dapat mengantarkan murid-muridnya memperoleh pengalaman positif yang mendukung pelestarian fungsi lingkungan. Guru diberikan training, seminar, atau bentuk lainnya tentang pelajaran PLH dari sudut rekayasa. Fokus materinya berupa masalah lingkungan seperti air minum, air bersih, air kotor, sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll yang terangkum dalam akronim watsan atau water and sanitation tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan (ekologi, “anak” dari pelajaran biologi).

Untuk implementasinya, Pemkot Bandung dapat memberikan Training Pendidikan Lingkungan Hidup (TPLH) dalam upaya mewujudkan Ecoschool di setiap sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kota Bandung. Titik berat PLH ini harus pada sisi afektif - psikomotorik sehingga murid tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Murid harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan apa dampaknya bagi kesehatan. Melihat sampah, yang ada dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan penimbul masalah.

Sekali lagi, materi PLH ini harus dibatasi agar tidak meluas menjadi persoalan biologi (dan harus dipisahkan dari pelajaran biologi) sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Ada satu kalimat kunci, yaitu: PLH haruslah praktis dan aplikatif.*
ReadMore »

21 Oktober 2008

Antara BaNdung dan Badung

Dua pekan terakhir ini, petak Babakan Siliwangi, sering disingkat dengan Baksil, selalu ramai dibincangkan terutama di koran-koran lokal Bandung. Sebelum fokus ke tulisan ini, akronim Baksil sungguh bukanlah nama yang bagus karena orang yang tahu ilmu kesehatan dan ilmu hayat (biologi) akan mengingatkannya pada bakteri, kuman penyebab penyakit. Lebih bagus akronimnya adalah Basil (tanpa huruf k). Mudah-mudahan media massa seperti koran, radio, dan televisi, juga kalangan pemerintah daerah dan anggota dewan, pemerhati lingkungan serta warga umum dapat menerima akronim yang lebih bernilai positif ini.

Satu hal yang perlu dicatat di Bandung pada lima tahun terakhir ini, pemerintah Kota Bandung selalu saja membuat langkah aneh dalam kaitannya dengan ekologi dan lingkungan. Padahal Bandung adalah kota gunung yang derap hidupnya dipengaruhi oleh pohon (hutan) dan sirkulasi udaranya. Ini berbeda dengan kota di dataran rendah yang lebih dipengaruhi oleh kondisi pantai atau laut. Pemkot Bandung seharusnya lebih peduli pada hutan dan pohon-pohonnya apalagi berada di cekungan raya. Ini tentu berbeda dengan pemerintah Kabupaten Badung di Bali. Badung adalah kabupaten yang wilayahnya meliputi pantai (laut), dataran rendah dan gunung berbentuk kukus. Dari sisi atmosfer, Kabupaten Badung Bali tidak mendapatkan masalah yang berarti karena tiupan angin lautnya terus menerus membilas polutan udara. Begitu juga kawasan hijaunya, sangat banyak. Sekadar contoh, Badung punya kawasan yang dihuni monyet di Sangeh. Daerah yang berpohon besar-besar ini tidak akan berani diutak-atik oleh pemerintah daerah di sana.

Begitu pula, sejumlah petak hijau bertebaran di sana-sini dan selalu saja dibuatkan sanggah sebagai hubungan transenden manusia dengan Pencipta. Tiada yang berani memotong atau menebang begitu saja pepohonannya. Ini berbeda dengan di Bandung yang pernah dijuluki kota Kembang dan Parahyangan. Tetapi Doel Sumbang justru menamainya kota Kambing dan tidak lagi menjadi kota para Hyang, yang menjadi basis transenden warga tatar Bandung. Kini kembangnya jauh berkurang dan petak hijaunya juga diubah menjadi bangunan untuk basis ekonomi. Semua daerah perlu pendapatan untuk modal membangun dan menata daerahnya, tetapi tetap wajib berorientasi pada lingkungan, berwawasan lingkungan. Kepedulian ini tidak sekadar wacana, ucapan ketika pidato belaka, tetapi betul-betul menjadi fakta lapangan. Mengubah daerah hijau menjadi daerah bagunan beton otomatis faktanya adalah menghilangkan pohon lalu menumbuhkan beton. Fungsi tangsap (tangkap-resap) air hujan pasti minimal kalau tidak bisa dikatakan lenyap.

Badung di Bali relatif lebih peduli pada lingkungan padahal wilayahnya berada di tiga matra, yaitu laut (pantai), dataran rendah, dan dataran tinggi. Andaikata pemerintah daerahnya cuek pada polutan udara pun sebetulnya tidak masalah. Sebab, polutan udaranya selalu terbilas habis oleh hembusan angin laut berlengas tinggi, kaya uap air, setiap hari. Di Bandung Jawa Barat tidak demikian. Sebagai kota pegunungan berbentuk cekung, polutan udaranya, terutama CO2, juga CO dan Pb (TEL: tetra etil lead), akan melayang-layang, berputar-putar di cekungan raya Bandung, sulit ke luar menuju alam bebas. Paru-paru setiap orang di dataran tinggi ini pasti berisi polutan berbahaya dan beracun dari polutan udara, apalagi kalau PLTSa jadi dibangun. Karena mudaratnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya, PLTSa bukanlah opsi solusi bagi sampah Bandung. *
ReadMore »

1 Oktober 2008

Taqabbalallahu



Perempuan-perempuan perkasa ini selalu setia pada pekerjaannya. Tengah hari terik membakar akar rumput, bersandal jepit belah-belah, perempuan desa yang senantiasa diiming-imingi ”kesejahteraan” untuk mencoblos saat Pemilu (legislatif, presiden) dan Pilkada (Pilgub, Pilbup, Pilwakot) lalu dibiarkan melarat selama lima tahun kemudian.

Haruskah kita percaya (lagi) pada pejabat pemerintahan ketika umbaran janji-janji itu berhenti di gerbang khianat?

Dini hari ini, menjelang detik-detik Shalat Shubuh dan Idul Fitri, mari doakan pejabat pemerintahan, mulai dari yang terbawah hingga teratas, agar mereka tak sekadar peduli pada diri dan keluarganya, tetapi juga ACUH pada perempuan (terutama yang miskin dan fakir), ACUH pada anak-anak yang tak bisa sekolah, dan ACUH pada remaja yang tak mampu kuliah karena tak berpunya.

Amtenaar semua, janganlah TAK ACUH pada rakyatmu!
ACUH-kanlah mereka, perhatikanlah mereka!


Selamat Idul Fitri

1 Syawal 1429 H
1 Oktober 2008


Taqabbalallahu
Minna wa Minkum
ReadMore »