• L3
  • Email :
  • Search :

25 Maret 2008

Proses Desain IPAM

Proses Desain IPAM
Oleh Gede H. Cahyana

Dimuat di Majalah Air Minum edisi 150, Maret 2008.

Lama sudah air minum dikenal manusia, katakanlah sejak Adam dan Hawa mulai mencari makanan dan minuman yang terhampar di hadapannya. Keturunan (zuriat) mereka lantas terus berkembang dan menyebar menjadi berbangsa-bangsa bernegara yang masing-masing mengembangkan cara khas dalam memperoleh air minum. Tak hanya untuk minum tetapi juga untuk mandi, cuci dan transportasi air.

Khusus untuk minum, dikembangkanlah alat yang bervariasi teknologi dan kinerjanya. Desainnya berkembang dari yang sederhana, yaitu hanya memanfaatkan pasir di tepi sungai hingga teknologi membran (elektrodialisis, mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, reverse osmosis). Yang disebut terakhir belum banyak diterapkan oleh PDAM, kecuali di zone khusus seperti Zone Air Minum Prima (ZAMP). Tetapi faktanya, tidak semua ZAMP menerapkan teknologi membran. Ia hanya digunakan oleh perusahaan air minum kemasan (amik) dan sekarang diterapkan juga oleh sebagian depot air minum kemasan ulang (amiku) yang populer disebut air minum isi ulang.

Dalam tulisan kali ini yang dikedepankan adalah pengolahan air minum untuk komunitas besar berteknologi konvensional, yaitu instalasi yang lumrah diterapkan di PDAM, kawasan industri, dan pabrik. Fokus materinya ialah proses kelahiran sebuah IPAM yang diharapkan bermanfaat bagi karyawan PDAM di bagian perencanaan, khususnya ketika berdiskusi dengan konsultan yang memaparkan pekerjaan desainnya.

Komponen Desain
Agar tercapai tujuan pengolahan, tahap awalnya ialah mendesain unit operasi dan unit proses. Desain itu pun harus fleksibel, mampu menangani keadaan air baku pada musim kemarau dan musim hujan. Desain juga wajib mampu menangani perubahan kualitas air jangka panjang, misalnya 20 tahun ke depan dan mampu mencapai baku mutu (termasuk kemungkinan revisi baku mutu yang menjadi lebih ketat pada masa depan).
Secara umum, ada lima tahap dalam merencanakan (planning), mendesain (designing), dan melaksanakan (implementing) pekerjaan IPAM, yaitu (1) Karakterisasi air baku dan air olahan, (2) Pradesain, membuat alternatif proses lalu memilih proses yang final, (3) Detail desain atas pilihan tahap 3, (4) Konstruksi, pembangunan, dan (5) Operasi-rawat instalasi. Dalam mewujudkan IPAM, jika betul-betul didesain dari nol dan tidak didasarkan pada instalasi paket, banyaklah sainstek yang terlibat, di antaranya: teknik lingkungan, kimia, biologi, fisika, mikrobiologi, geologi, geodesi, arsitek, sipil, ekonomi, dll. Sains berperan dalam formulasi materi sedangkan teknologi bertugas menerapkan formulasi demi mencapai solusi (masalah air bersih, misalnya).

Kelima tahap itu saling dukung dalam menghasilkan air yang sesuai dengan standar kualitas air minum dan telah melewati langkah evaluasi unit operasi dan proses. Sebagai satuan pengolah yang didominasi fenomena fisika (physical forces), unit operasi bersama dengan unit proses yang didominasi fenomena kimia dan biologi (chemical, biological reaction), bahu-membahu memperbaiki kualitas air. Kerja sama keduanya sudah tampak pada tahap awal desain, yaitu pada saat pembuatan alur pengolahan yang disebut process train, flow sheet, flow diagram, flow schematic, atau flow scheme. Selain penetapan alur air, IPAM pun mesti disertai dengan alur lumpur (sludge) agar tidak dibuang sembarangan tetapi disiapkan unit pengolahnya atau dibuang di tanah cekung dengan tujuan mengurugnya. Sudahkah PDAM menyediakan fasilitas untuk pengolahan lumpurnya sehingga layak disebut PDAM yang memiliki sense of enviro atau ecosensitive-nya tinggi?

Khusus untuk alur airnya (alur lumpur tidak dibahas di sini), ada sejumlah komponen penting dalam deretan awal sebelum memasuki unit pengolah. Yang pertama ialah intake, sebuah unit sadap air sungai, danau, atau waduk. Bentuknya ada yang sederhana seperti submerged intake pipe, ada juga yang floating intake. Juga ada yang berbentuk tower-like structure yang berisi intake gates, screens, control valves, pompa, dan chemical feeders. Submerged dan floating intake digunakan untuk debit kecil sedangkan tower-like intakes diterapkan untuk debit besar. Dimensi masing-masing bisa berbeda, bergantung pada kapasitas sadap air bakunya.

Komponen kedua ialah pompa yang dipasang di bangunan intake untuk menaikkan air sungai atau danau ke ketinggian tertentu lalu dialirkan secara gravitasi. Ada juga air yang dari intake ini langsung dipompa ke unit aerator lalu dialirkan secara gravitasi ke unit pengolah selanjutnya. Yang ketiga, raw water conveyance atau transmisi untuk mengalirkan air dari sumber ke IPAM. Biasanya IPAM berada di dalam atau di dekat kota sehingga perlu pipa yang panjang. Sebagai contoh, PDAM Kota Bandung memperoleh air bakunya dari Sungai Citarum sejauh lebih kurang 38 km dari kantor pusatnya di Jln. Badak Singa, Bandung. Yang keempat ialah flow measurement. Pengukuran debit air baku dan air olahan sangat penting untuk operasi instalasi, kendali proses, dan tarifnya.

Lepas dari semua komponen itu, barulah airnya masuk ke setiap unit operasi dan prosesnya yang masing-masing memiliki kriteria desain khas. Hanya saja, mengambil begitu saja kriteria desain tanpa melihat kualitas airnya dapat menjadi bumerang atau minimal tidak efisien atau boros dalam pengolahannya nanti. Tidak ada satu desain yang cocok bagi semua kualitas air baku di semua daerah (atau negara). Harus ada modifikasi unit operasi dan proses (penambahan atau pengurangan unit) juga perubahan jenis zat kimianya sesuai dengan riwayat kualitas air bakunya selama belasan tahun. Apalagi kriteria desain yang sumbernya dari textbook di negara empat musim yang notabene berbeda karakteristik hidrogeologinya dengan negara tropis. Lebih disarankan untuk menggunakan pendekatan pradesain dengan cara melaksanakan percobaan pengolahan air. Ini ditempuh dengan studi keterolahan yang dibahas di bagian akhir tulisan ini.

Sistem dan Spektrum
Pada masa sekarang, terutama di kota-kota besar, air baku sudah tercemar. Pencemar organik dan anorganik ini menjadi masalah utama dalam pengolahan air minum. Setelah pengolahan pun, sebagai efek sampingnya, selalu muncul sludge yang mesti dibuang dengan aman. Bisa juga di-recovery lagi untuk memperoleh alum, besi, kalsium, magnesium, dll. (Seperti ditulis di atas, adakah PDAM yang sudah menerapkan recovery ini?)

IPAM, terutama pengolahan lengkap (complete treatment) selalu disusun atas beberapa unit operasi dan proses. Karena banyak jenis unit pengolahnya, maka seleksi yang tepat menjadi kunci sukses pengolahan. Selain itu, seleksi yang tepat juga menghemat investasi dan biaya operasi-rawatnya. Kalaupun mahal, tetapi sepadan dengan kualitas air olahannya yang juga bergantung pada kualitas air bakunya. Begitu sebaliknya, salah dalam proses seleksi dapat mengubah proses pengolahan secara besar-besaran dan memboroskan uang.

Apa saja yang berpengaruh dalam proses seleksi unit di dalam IPAM? Memilih unit pengolah yang tepat bukanlah pekerjaan mudah. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan sehingga tidak sesimpel yang diperkirakan. Yang berpengaruh dalam seleksi tersebut ialah (1) Kualitas air minum yang bergantung pada kondisi air baku, (2) Topografi dan kondisi lokasi, tata guna lahan, hidrolika, (3) Evaluasi sistem keseluruhan, (4) Fleksibilitas operasi-rawat, (5) Kemudahan uprate, (6) Personal untuk operasi-rawat instalasi, mesin-mesin, dan zat kimia, (7) Fleksibel saat beban puncak, (8) Mudah dan murah ketika dibangun, (9) Mudah dan murah operasi-rawatnya.

Pada poin satu di atas disebut kondisi air bakunya yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu, perlu ada uji laboratorium dan studi instalasi eksisting untuk mendapatkan parameter desain yang cocok untuk jenis air tertentu. Studi itu meliputi bench-scale di lab., pilot plant testing, dan plant-scale simulation testing. Camp test (MAM edisi 145, Oktober 2007) adalah salah satu cara pendekatan dalam desain IPAM. Begitu juga unit koagulasi – flokulasi dengan Jar test dan unit filtrasi skala lab. Semua unit operasi-proses ini bertujuan untuk mereduksi spektrum parameter kualitas yang melebihi baku mutu air minum. Fenomenanya bisa berupa gejala fisika, reaksi kimia, biologi atau kombinasi ketiganya.

Spektrum yang dieliminasi atau sekadar direduksi itu dapat berupa ion, molekul, atau padatan zat organik dan anorganik. Spektrum zat organik dan anorganik yang tersebar di dalam air terdiri atas empat macam, (1) coarse solid = gross solid = padatan kasar, (2) suspended solid, SS = zat padat tersuspensi, (3) colloidal = koloid = umumnya bermuatan negatif, dan (4) dissolved solid = zat padat terlarut. Semuanya menjadi sasaran dalam pengolahan air. Berkaitan dengan spektrum partikel tersebut di bawah ini ditabelkan diameter padatan mulai dari ukuran 1 m sampai dengan 1 Angstrom (Ao). Tentu saja batu kali, gravel, kerikil tidak tepat disebut partikel jika dibandingkan secara relatif terhadap jenis padatan lainnya.

Yang paling sering menjadi sasaran pengolahan ialah SS, koloid, dan padatan terlarut. Rentang padatan tersuspensi pun beririsan dengan koloid, suprakoloid. Bahkan flok pun, khususnya yang halus, yaitu yang tidak mengendap di unit sedimentasi, dapat dimasukkan ke dalam kelompok suspensi. Kenyataannya, flok halus ini melayang-layang di dalam air dan nyaris tak terendapkan. Rentang material terlarut pun bergradasi, mulai dari ukuran molekul, atom dan ion. Ukurannya dinyatakan dalam nanometer (nm) dengan konversi sbb: 1 m = 1.000 mm. 1 mm = 1.000 μm (mikrometer). 1 μm = 1.000 nm. 1 nm = 1.000 Angstrom.
Tabel 1. Spektrum diameter zat padat organik dan anorganik.

Dia. m
100 m
10-1 m
10-2 m
10-3 m
10-4 m
10-5 m
10-6 m
10-7 m
10-8 m
10-9 m
10-10 m
Dia.
1 m
10 cm
1 cm
1 mm
100 μm
10 μm
1 μm
0,1 μm
10 nm
1 nm
1 Ao
Nama
Batu kali
gravel
kerikil
flok
suspensi
suprakoloid
koloid
subkoloid
terlarut
terlarut
terlarut

Biasanya, tidak semua zat padat dalam rentang tersebut harus dihilangkan. Ada yang masih diperlukan, khususnya yang berupa mineral atau ion-ion. Ion besi, kalsium, magnesium misalnya, tetap dibutuhkan tubuh sehingga memiliki batas maksimum dan batas minimum dalam standar kualitas air minum di semua negara di dunia. Yang tidak boleh ada ialah ion-ion beracun (umumnya logam berat) dan biomassa seperti bakteri, protozoa, virus, dll.

Studi Keterolahan
Kualitas air baku berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya sehingga perlu studi awal tentang keterolahannya. Studi ini untuk mendukung desainnya dan menetapkan parameter operasi setiap unit dan deretan proses keseluruhan. Studi awal ini sangat dibutuhkan apabila akan dibuat instalasi baru, berbeda dengan yang sudah ada (sumber airnya berbeda). Untuk maksud ini, desainer harus memahami metodologi: (1) percobaan laboratorium untuk menilai keterolahan air baku sampai tingkat yang diinginkan, (2) prosedur laboratorium dan studi pilot-plant, (3) menerjemahkan data laboratorium ke dalam parameter desain dan operasi.

Studi laboratorium bisa ditempuh secara batch (curah) dan/atau aliran kontinyu. Untuk maksud ini, Jar test masih dapat diandalkan. Cara klasik ini dapat menentukan dosis zat kimia yang tepat dan dapat menentukan kondisi terbaik koagulasi, flokulasi. Menerapkan pilot plant lebih bagus lagi karena mampu menentukan keterolahannya, parameter desainnya lebih tepat, dapat menguji efektivitas zat kimia dan optimasi dosis, mengevaluasi proses untuk meningkatkan kinerja instalasi dan hemat biaya. Secara umum, studi pilot plant digunakan untuk kondisi (1) menguji proses baru, (2) stimulasi proses, (3) prediksi kinerja proses, (4) mendata kinerja proses, (5) optimasi desain, (6) optimasi operasi dosis kimia, periode reaksi, dll.

Last but not least adalah dukungan data di daerah perancangan. Data ini meliputi data primer yang diperoleh dengan survey lapangan, meninjau calon lokasi IPAM. Berikutnya ialah data sekunder seperti sejarah perkembangan jumlah penduduk dan riwayat kapasitas dan kualitas air baku. Ini semua masih harus dilengkapi dengan studi kepustakaan (textbook, terutama jurnal ilmiah mutakhir) untuk eksplorasi dan pembanding kriteria perancangan. Selebihnya adalah kreativitas desainernya. *
ReadMore »

Slow Sand Filter

Slow Sand Filter, Filter Pasir Lambat 
Dimuat di Majalah Air Minum edisi 149, Februari 2008.

Renta sudah usianya, setua sejarah peradaban Babylonia, Mesopotamia, Sumeria, atau lebih lama lagi. Dari sudut transenden, sebetulnya pada zaman Nabi Ibrahim pun sudah ada filter pasir yang terjadi secara mukjizat-alamiah (dan sekarang bisa dikaji secara ilmiah, sainstifik), yaitu ketika Siti Hajar memperoleh air untuk bayinya: Ismail dari “filter di gurun pasir” antara bukit Shafa dan Marwah yang lantas dinamai mata air Zamzam. Sebuah georiset menyatakan bahwa filtrat Zamzam berasal dari air laut di seputar jazirah Arabia sehingga kandungan garamnya relatif tinggi. Betul atau salah, wallahu ‘alam

Terlepas dari substansi alinea di atas, menurut catatan yang penulis himpun dari sejumlah buku ajar (textbook), awal penggunaan slow sand filter atau filter pasir lambat (Fipal) di Amerika Serikat ialah tahun 1872. Adapun Inggris dianggap negara pertama yang membuat filter pasir pada 1829 untuk mengolah air sungai dengan cara infiltration gallery. Bisa dikatakan, inilah filter tertua yang dikembangkan manusia dan melibatkan embrio rumus hidrolika. Meskipun tua, prinsip tua-tua keladi makin tua makin menjadi ternyata dianut juga oleh Fipal. Malah Surface Water Treatment Rule rilisan US Environmental Protection Agency merekomendasikan Fipal ini untuk menghindari protozoa Giardia lamblia yang subur berbiak di air sungai dan danau.

Berkaitan dengan protozoa, ada kisah begini. Kota San Paulo (bukan Sao Paulo) heboh, 300.000 orang penduduknya cemas. Air ledeng dari Danau Chavez tercemar sehingga ribuan orang jatuh sakit dan ratusan meninggal. Semua penderitanya merasa sangat haus setelah minum air “PDAM” itu. Tak hanya dokter dan aparat keamanan yang sibuk, praktisi dan pakar sanitasi pun bekerja keras. Berbagai upaya dicoba dan akhirnya diduga penyebabnya adalah PAC (polyaluminum chloride) dan alum sulfat (tawas). Namun keliru dugaan itu. Bukan zat kimia tersebut penyebabnya tetapi sesuatu yang lain. Apakah sesuatu itu? 

Setelah lama diteliti dan dianalisis di laboratorium, diperoleh data bahwa sesuatu itu adalah zat bio alias biomassa jenis Cryptosporidium. Mikroba dari grup protozoa ini mampu membentuk spora di usus halus manusia sehingga menghalangi absorpsi air oleh usus. Mikroba ini pun tak mempan diklorinasi dan tahan di air mendidih lebih dari sepuluh menit. Tak hanya Cryptosporidium yang berbahaya, protozoa jenis Giardia lamblia pun tak kalah bahayanya. Beruntunglah penduduk kota itu karena biomassa tadi akhirnya bisa dibasmi dengan ozon. Mahal, memang, tetapi demi kesehatan maka cara ozonasi tetap ditempuh. Adakah cara yang murah dan dapat dilaksanakan bersamaan dengan pengolahan air? Ada! Selain ozon, unit Fipal ternyata menjadi salah satu solusi untuk mengolah air permukaan dan mampu menyisihkan bakteri, kekeruhan, Giardia, dan Cryptosporidium.

Patut pula diakui, kinerja Fipal untuk menyisihkan kekeruhan memang tak terlalu bagus. Unit ini hanya mampu menangani air yang rendah kekeruhannya atau temporer dengan konsentrasi kurang dari 50 NTU (nephelometric turbidity unit), bisa juga air baku yang mengandung algae. Air seperti ini dapat berasal dari mata air berakifer bebas dan dari air yang daerah tangsap (tangkap-resap) atau catchment area-nya masih bagus sehingga ketika hujan tak banyak suspended solid dan koloid yang hanyut atau rendah tingkat erosinya. Biasanya mata air dan sungai seperti ini berada di pegunungan yang relatif kurang dijamah manusia dan tidak banyak permukiman di sekitarnya. Andaikata ada indikasi pertumbuhan permukiman kian cepat dan meluas di daerah tangsap, maka pemerintah daerah dan DPRD (atas masukan dari PDAM) wajib memberlakukan kawasan konservasi di daerah itu dan segera mereboisasinya. Ini demi kelanggengan pasokan air untuk masyarakat di daerah tersebut. 

Mekanisme Filtrasi
Seperti umumnya filter pasir, air umpannya masuk dan menyusup di antara butir-butir pasir berukuran tertentu, biasanya kurang dari 0,35 mm. Air ini melewati lapisan porus yang disebut parasitas (perviousness). Teoretisnya, luas permukaan butiran media filter ini sangat besar. Tipikal parasitas satu meter kubik volume filter pasir dianggap 0,40 dengan nominal diameter 0,50 mm. Apabila diasumsikan semua pasirnya berbentuk bola maka jumlah pasir per m3 ialah 9,17 x 109 dan luas permukaan pasirnya 7,2 x 103 m2/m3. Hanya saja, luas permukaan efektifnya kurang dari nilai di atas karena pasirnya saling bersentuhan sehingga saling menutupi. Asumsi luas efektif yang biasa diambil adalah 1% dari luas tersebut.

Secara hidrolis, air umpan biasanya masuk dari atas filter (downflow) menerobos ruang antarbutir lalu dikumpulkan di bawah filter yang disebut sistem underdrain (kolektor). Laju filtrasinya sangat rendah seperti tampak pada tabel 1. Laju yang nilainya variatif ini bergantung pada gradasi media filter dan kualitas air bakunya. Ada juga Fipal yang didesain beraliran ke atas (upflow) tetapi dalam modus ini relatif sulit untuk menumbuhkan dan mempertahankan material biologis schmutzdecke di permukaan pasir. Padahal ciri khas Fipal adalah mekanisme biofisika dalam menyisihkan kekeruhan, bakteri, dan protozoa, termasuk reduksi besi dan mangan yang dapat terjadi dengan mekanisme biokimia dan biofisika. Dengan kata lain, mekanisme biofisikokimia dapat terjadi di unit Fipal konvensional. 

Umumnya Fipal (juga Fipat) terdiri atas tangki, lapisan pasir, kerikil (gravel) sebagai penopang pasir, sistem underdrain untuk mengoleksi filtrat, dan pengatur aliran atau laju filtrasi. Salah satu keunggulan Fipal dibandingkan dengan Fipat ialah tak perlu zat kimia (koagulan) dalam pengolahannya. Klorinasi pun hakikatnya tak diperlukan lagi. Walau demikian, agar ada upaya preventif maka Fipal biasanya dilengkapi dengan unit klorinasi. Itu sebabnya, unit ini termasuk murah biaya operasi-rawatnya, tidak ada kebutuhan energi untuk pompa dan kompresor sebagai mekanisme pencucian filter (scouring dan backwashing). Timbulan lumpurnya juga sedikit sehingga operatornya bisa sersan, serius yang “santai”. Bisa dikatakan, Fipal hanya butuh karyawan lokal dengan keterampilan minimal atau berpendidikan SMA, SMK (STM).

Selain pasir, karbon aktif butir pun (granular activated carbon) dapat dijadikan media sebagai penambah kemampuan Fipal untuk menyerap zat organik sehingga mayoritas pestisida, organik karbon, prekursor THM (trihalometan) dapat disisihkan. Media ganda ini mempertinggi kualitas air olahan. Kualitas airnya akan lebih baik lagi apabila lapisan biologi di permukaan pasir dapat berkembang optimal. Hanya saja, menurut catatan di sejumlah negara empat musim (terutama Kanada), aktivitas biolapis ini menjadi kurang aktif kalau temperatur airnya rendah. Ini terjadi lantaran mikrobanya kurang aktif dan aktivitasnya menurun pada temperatur dingin. Tapi untunglah kita tinggal di daerah tropis sehingga semua PDAM tidak memiliki kendala dalam hal kesesuaian temperatur air dengan kondisi optimum pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya.

Sebelum dioperasikan atau pada tahap awal operasinya, Fipal butuh beberapa minggu sampai pertumbuhan mikroba di biolapisnya dalam kondisi stabil. Di biolapis inilah banyak disisihkan koloid, SS, protozoa, dan bakteri, termasuk besi dan mangan. Setelah beberapa bulan beroperasi, headloss-nya mulai meningkat karena lapisan atasnya mulai kotor sehingga harus dibersihkan dengan cara disekop (scraped off). Yang disekop atau dibuang hanya lapisan atasnya sehingga biolapisnya masih ada yang tersisa dan ini akan cepat dapat memulihkan kinerjanya. Siklus ini terus berulang sampai pada kedalaman minimum media yang diizinkan. Semua media sekopan tadi lantas dicuci di bak cuci pasir (sand washing place) dan setelah bersih dikembalikan lagi ke unit Fipal.

Mekanisme cuci pasir itu pun menjadi salah satu pembedanya dengan Fipat. Telah disebut di atas, penyisihan SS, koloid, protozoa, dan bakteri hanya terjadi di lapisan atas Fipal sedangkan di Fipat dapat terjadi di sebagian besar lapisan medianya. Karena laju filtrasinya lebih besar pada Fipat maka lebih besar pula headloss-nya dan makin dalam pula penetrasi koloid dan SS-nya. Pada taraf tertentu dari penetrasinya, media Fipat perlu dibersihkan dengan aliran ke atas. Pada cuci-balik ini media filter diekspansi atau diangkat dengan mekanisme scouring oleh gaya hidrolis dan abrasive scouring oleh gaya gesek antarpartikel. 

Konstruksi Fipal
Biasanya Fipal terdiri atas tangki, lapisan air, media filter, sistem drainase, dan kontrol aliran seperti tampak pada gambar terlampir. Tangki berukuran kecil bisa dibuat dari bahan plastik, fibreglass dan yang besar biasanya berbahan beton. Jumlah tangkinya minimal dua buah agar yang satu dapat dibersihkan sementara satunya lagi tetap beroperasi. Jumlah total unit yang dibangun sangat bergantung pada besar-kecilnya debit air yang diolah. Yang juga penting adalah tinggi taraf muka air di atas media filter. Beda tinggi ini memberikan head untuk proses filtrasi melewati pasir. Kedalamannya bervariasi, antara 0,5 - 1,5 m atau 1 – 1,5 m.
Adapun medianya berupa pasir dengan ukuran efektif (effective size, ES) dan koefisien keseragaman (uniformity coefficient, UC) seperti ditulis di tabel 1. Tebal medianya antara 1 - 1.5 m atau 0,6 – 1,2 m. 

Data lain menyatakan, sebaiknya tebal minimumnya 0,8 m. Media pasir ini tidak boleh sembarangan tetapi memiliki karakteristik tertentu, yaitu diameternya antara 0,15 – 0,35 mm, ES = 0,25 mm dengan UC kurang dari 2 atau 3. Pasir ini pun harus dicuci sampai bersih, tidak mengandung tanah, lempung, dan zat organik. Partikel yang sangat kecil (halus) akan mempercepat penyumbatan sehingga frekuensi pembersihannya menjadi sering. Pasir yang tidak seragam dapat mereduksi parasitas antarpasir sehingga memperlambat aliran air. Pemasok (supplier) atau vendor pasir harus menuruti karakteristik pasir yang didesain oleh perancang (konsultan) agar kinerja Fipal sesuai dengan harapan. 

Setelah melewati lapisan pasir tersebut, air akan mengalir di lapisan kerikil (gravel) yang fungsinya sebagai penopang dan pencegah pasir agar tidak hanyut ke bagian outlet filter. Menurut kebiasaan desain di Eropa, spesifikasi kerikilnya terdiri atas tiga lapis, yaitu 2 - 8 mm, 8 - 16 mm, dan 16 - 32 mm. Tentu saja diameter lainnya bisa saja diterapkan, bergantung pada keputusan desainer dengan pertimbangan tertentu. Di bawah kerikil ini lantas dipasang sistem drainase (underdrain) atau kolektor air dengan pola jaringan pipa. Yang terakhir ialah kontrol aliran air. Pada filter besar, flowmeter (misalnya venturi meter) dipasang untuk memonitor aliran air. Aliran ini biasanya dinyatakan dalam liter per jam per m2. Debit akan berkurang seiring dengan penumpukan material di biolapis atau permukaan pasir. Untuk memonitor headloss-nya bisa dipasang piezometer. 

Pada gambar terlampir, unit Fipal diikuti oleh reservoir. Inilah konfigurasi umumnya, yaitu Fipal tanpa praolah (pretreatment). Namun pada kasus tertentu, misalnya pada air yang kekeruhannya lebih dari 50 NTU, maka sebaiknya diawali dengan Roughing Filter (MAM edisi 132, September 2006) untuk mereduksi beban yang diterima Fipal.*

Tabel 1. Karakteristik umum Fipal dan Fipat.
Karakter
Fipal
Fipat
Laju filtrasi
1 - 4 - 8 m3/m2/hari
100 - 475 m3/m2/hari
Tebal media
0,3 m koral; 1 - 1,5 m pasir
0,5 m koral; 0,75 m pasir
Ukuran pasir
ES 0,15 - 0,3 - 0,35 mm
UC 2 - 2,5 - 3 (unstratified)
ES ³ 0,45 mm
UC £ 1,5 (stratified)
Waktu operasi
20 - 30 - 120 hari
12 - 24 - 72 jam
Penetrasi kekeruhan
Hanya di permukaan pasir.
Lebih dalam (semua media harus dicuci dengan backwashing)
Pengolahan awal
Roughing filter, Prased, Aerasi
Perlu Koagulasi, Flokulasi dan Sedimentasi
Cara pembersihan
1).Scraping off lapisan pasir teratas lalu pasirnya dicuci sebelum dikembalikan lagi ke filter.
2).Mencuci permukaan pasir dengan washer travelling on site.
Scouring dengan alat mekanis, udara atau air. Kotoran dibuang dengan cara upward backwash flow.
Biaya konstruksi
Biaya operasi
Biaya depresiasi
Relatif mahal
Relatif murah
Relatif rendah
lebih murah
lebih mahal
lebih tinggi
Persentase air pencuci
0,2 - 0,6 % air produksi
1 - 6 % air produksi
Sumber: Theory and Practice of Water and Wastewater Treatment, Droste, 1997. Yang bergaris bawah adalah nilai reratanya.
ReadMore »