• L3
  • Email :
  • Search :

18 November 2013

Merapi Meletus Lagi

Merapi Meletus Lagi

Oleh Gede H. Cahyana


Semburan Merapi kembali mengepul di langit. Lava pijar memerah tumpah meleleh ke arah hulu-hulu sungai. Wedus gembel, campuran gas dan debu vulkanik bertemperatur 900o C (di puncaknya) meletup bak jamur lalu turun merayapi lereng. Seorang korban wedhus gembel erupsi tahun 1994 yang pernah kulihat, kaki dan tangannya tak berbentuk lagi, hanya seonggok tungkai lunglai akibat temperatur 400o C (di pemukiman). Jejarinya habis, telinganya hilang, pipinya.... sulit kukatakan dengan kata-kata. Monster di film pun tak separah itu.

Yang juga tak kalah bahayanya adalah hujan debu. Pagi ini, 18 November 2013, debu telah jatuh di perbatasan Boyolali – Solo, Klaten. Sakit pernapasan mulai terjadi. Radang tenggorokan mengancam. Sakit ini menyiksa penderitanya karena terasa sakit sekali saat menelan sesuatu. Menelan ludah saja sakit, mirip makan kulit rambutan, apalagi makan nasi yang agak keras atau sayur tanpa kuah terutama yang sakitnya sudah parah. Minum pun sebaiknya air hangat atau agak panas. Sayangnya, makanan jenis ini dan air minum dingin atau bahkan air tak bersih justru yang terbanyak tersedia di kam pengungsian. Batuknya memang jarang, tapi sekali batuk tak berdahak ini serupa dengan letusan peluru beruntun. Sakitnya bukan kepalang. Perut sampai terguncang-guncang dan melilit. Apa yang akan tampak andaikata ribuan orang berjejer dan batuk bersahut-sahutan saat malam?

Parahnya lagi, di daerah bencana biasanya sulit diperoleh obat-obatan dan tenaga medis, terutama dokter. Ada memang, tapi rasionya terhadap jumlah pengungsi sangat-sangat kecil. Yang kebetulan bisa dilayani dokter dan sakitnya ditangani dengan baik bisa dikatakan beruntung. Yang tak beruntung jauh lebih banyak. Apalagi di tengah kelangkaan makanan dan minuman itu ada yang ‘mengail di air keruh’ demi keuntungan pribadi.

Andaikata pengungsi itu punya cukup uang mungkin mereka bisa membeli obat yang dijual bebas di warung dekat barak di kam. Hanya saja, kalau salah obat yang terjadi malah mual-mual dan mulut terus mengeluarkan ludah. Siang malam mual dan tak bisa tidur. Lama-lama ketahanan tubuhnya melemah dan sakit lain pun muncul. Sakit bertubi-tubi. Diare dan sakit menular lainnya mengancam, kebutuhan masker meningkat, pengungsi dan relawan kian capek dan stres, begitu pun petugas di dapur umum dan tim medis.


Merapi, gunung setinggi 2.914 m dpl itu kini batuk. Gemuruh suaranya, luruh lavanya dan awan panasnya menyatakan dengan tegas bahwa manusia tak ada apa-apanya. Mampu apa manusia melawan Merapi sepanjang sejarahnya? Mampukah membatalkan atau menghentikan karakter Merapi? *
ReadMore »

15 November 2013

Grit Chamber, Pemisah Pasir di IPAL

Grit Chamber, Pemisah Pasir di IPAL
Oleh Gede H. Cahyana


Sedimentasi adalah unit operasi yang luas diterapkan di PDAM, baik untuk pemisah partikel diskrit maupun partikel flok dalam proses koagulasi – flokulasi. Fenomena serupa terjadi juga di unit Grit Chamber. Hanya saja, unit operasi ini biasanya diterapkan di IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Perbedaannya dengan sedimentasi, Grit Chamber berfungsi untuk menyisihkan partikel grit seperti pasir, serpihan halus kaca, kerikil kecil, lanau (silt), ampas kopi, dan material yang tak membusuk dengan berat jenis lebih besar daripada berat jenis air. Berat jenis grit tersebut juga lebih besar daripada berat jenis zat padat organik di dalam air limbah.

Tujuan penerapan Grit Chamber adalah untuk melindungi peralatan mekanis dari abrasi akibat partikel padat dan keras, mengurangi endapan di dalam pipa, terutama di belokan pipa. Pada instalasi digester aerob dan anaerob, unit Grit Chamber digunakan untuk mengurangi frekuensi pembersihan digester akibat akumulasi grit. Tanpa unit yang mengawali rangkaian IPAL ini (biasanya IPAL domestik, terutama yang combined sewer, yakni saluran air limbah yang juga berfungsi untuk menyalurkan air hujan) dikhawatirkan terjadi kerusakan pompa dan penyumbatan pipa atau kanal penyalur air limbah. Untuk IPAL industri, terutama industri yang air limbahnya lebih banyak mengandung senyawa terlarut dan koloid, maka Grit Chamber ditiadakan, diganti dengan equalization tank.

Seperti halnya unit sedimentasi di PDAM, setelah rentang waktu tertentu, terjadilah akumulasi grit di dasar Grit Chamber. Akumulasi endapan ini harus dikeluarkan secara gravitasi dengan membuka gate valve pengurasannya. Air yang mengalir bersama grit ini harus dialirkan kembali ke saluran air limbah untuk diolah karena kaya zat organik (BOD-nya masih tinggi). Dengan kata lain bisa disebutkan bahwa Grit Chamber tidak mampu menurunkan BOD atau COD. Efeknya kecil terhadap penurunan BOD. Inilah sebabnya, ia disebut sebagai unit praolah (pretreatment). Adapun grit yang terkumpul lantas diangkut ke tempat pembuangannya di lahan yang cekung atau di TPA sanitary landfill. Bisa juga distabilisasi dulu dengan kapur sebelum diurug di lahan TPA.

Tipe Grit Chamber yang biasa diterapkan di IPAL ada tiga, (1) Velocity Controlled Grit Chamber atau Horizontal Flow Grit Chamber dengan alat ukur Parshall Flume; (2) Aerated Grit Chamber, ada aerasi untuk mengurangi pembusukan; (3) Constant Level – Short Term Grit Chamber. Jenis yang dipasang bergantung pada maksud pembuatannya, apakah untuk air limbah yang tinggi beban organiknya (biodegradable) ataukah untuk air limbah yang mayoritas berisi pasir yang cepat mengendap. Yang dibahas selanjutnya adalah tipe pertama, yaitu horizontal flow karena bisa mudah dianalisis dengan hukum klasik partikel diskrit untuk unit sedimentasi, yaitu Stokes’ Law.

Pada tipe aliran horizontal, airnya mengalir secara horizontal dan kecepatan alirannya dikendalikan oleh dimensi unit, influent distribution gate, dan pelimpah di ujung efluen. Bentuk bak tipe aliran horizontal ini bisa segiempat, bisa juga lingkaran dan di bagian ujungnya (outlet) dipasang weir khusus. Yang pertama dibuat dan banyak diterapkan adalah berbentuk segiempat dengan pengontrol kecepatan aliran air. Minimum dibuat dua unit agar salah satunya dapat dibersihkan dan operasional tetap berjalan normal. Unit ini didesain untuk kecepatan mendekati 0,3 m/d (1 fps) dan untuk memberikan kesempatan kepada grit agar mengendap di dasar saluran. Dengan kecepatan tersebut maka mayoritas zat organik akan terbawa aliran, tetapi dapat mengendapkan grit. Pembersihannya dengan dua cara juga, yaitu secara mekanis dan dengan tangan (manual). Unit mekanis digunakan di instalasi dengan debit pengolahan di atas 40 liter/detik. 

Berkaitan dengan desainnya, faktor desain yang biasa diterapkan ialah kecepatan aliran air dan waktu tinggal (detensi: 45 detik s.d 1,5 menit). Kecepatan ini harus dikendalikan untuk meminimalkan endapan zat organik yang bisa membusuk di dalam ruang grit. Pada Grit Chamber tradisional, yaitu unit yang kali pertama dikembangkan dalam pengolahan air limbah, overflow rate yang digunakan adalah 900 kali kecepatan partikel terkecil yang akan disisihkan. Partikel ini biasanya berukuran 0,2 mm dengan berat jenis (specific gravity) antara 1,3 - 2,65. Meskipun demikian, ada saja zat organik yang ikut mengendap sehingga perlu dilengkapi dengan fasilitas pembersihan (washing unit) untuk menyisihkan zat organik dari grit.

                        Tabel 1. Rentang kecepatan endap dan waktu detensi.
Parameter
Satuan
Rentang
Tipikal
Waktu detensi
detik
45 – 90
60
Kecepatan horizontal
m/d
0,25 – 0,4
0,3
Kecepatan endap grit:



* diameter 0,21 mm
m/menit
1,0 – 1,3
1,15
* diameter 0,15 mm
m/menit
0,6 – 0,9
0,75
                          Sumber : Metcalf- Eddy, 2003

Terakhir, fasilitas yang perlu dilengkapi di bagian hulu Grit Chamber adalah bar screen dan kominutor (comminutor). Bar screen untuk menyisihkan sampah, ranting, dan kominutor untuk memotong benda-benda yang lolos dari bar screen sehingga ukurannya menjadi relatif seragam. Fasilitas screen dan kominutor ini dapat memudahkan operasi dan perawatan Grit Chamber. * 


ReadMore »

12 November 2013

Manusia Jawa = Homo erectus-kah?

Manusia Jawa = Homo erectus-kah?
Oleh Gede H Cahyana

Lokasinya sekitar tiga kilometer dari jalan Solo – Surabaya, ke arah kiri kalau dari Solo, di wilayah Kabupaten Ngawi. Akses ke lokasi bisa juga dari stasiun Kedunggalar kalau naik kereta api ekonomi atau stasiun Madiun jika naik kereta api bisnis atau eksekutif. Trinil adalah nama situs ini. Trinil pun, kalau di-“uthak athik gathuk”, adalah tri = tiga desa tempat temuan manusia purba, yaitu Desa Kawu, Ngancar, dan Gemarang yang berada di tepi Bengawan Solo. Di sinilah Eugene Dubois menemukan fosil Manusia Jawa (Java Man) pada tahun 1891 dan tahun 1893. Manusia ini hidup, berburu dan menangkap ikan di “desa-desa” di tepi Bengawan Solo pada zaman Pleistosen Tengah, satu juta tahun yang lalu.

Beberapa koleksi museum Trinil ini adalah replika (tiruan) dari Pithecanthropus erectus, berupa cranium (tengkorak), fosil gigi geraham atas gajah (Stegodon), fosil tulang paha manusia purba, fosil tanduk kerbau, tanduk banteng, dll. Selain fosil, ada juga tugu yang dibuat oleh E. Dubois, sebuah “prasasti” tentang lokasi titik temuan manusia purba dengan huruf: P.e. 173 M. ONO. 1891/93. Kode ini menerangkan bahwa lokasi penggalian berada pada jarak 173 meter arah timur laut pada tahun 1891 s.d 1893. Patung lainnya adalah gajah purba atau Stegodon yang diletakkan di dekat tempat parkir, tampak mencolok mata karena tinggi dan besar. 





Betulkah fosil di Trinil adalah manusia dalam arti manusia seperti kita? Kalau merujuk pada penjelasan Dubois, fosil tersebut bukanlah manusia seperti kita, yaitu Homo sapiens, tetapi ia tergolong manusia kera (Ape-man). Jadi, Manusia Jawa adalah Ape-man yang berdiri tegak, tidak terlalu bungkuk dengan tinggi antara 160 – 180 cm. Pertanyaan selanjutnya, betulkah tinggi dan ciri-cirinya tepat seperti itu? Betulkah sosok manusia purba ini seperti gambar terlampir? Gambar ini adalah rekonstruksi dari tengkorak dan tulang paha.  Bisakah dalil akal menerima bentuk wajah dan badan sosok makhluk hanya dari kepingan atas tulang tengkorak dan sebuah tulang paha?


Jika demikian, bagaimana sesungguhnya sosok makhluk yang fosilnya meninggalkan jejak untuk dipelajari manusia seperti kita sekarang? Homo erectus-kah ia? Manusia, bukan kera yang berdiri tegakkah ia? Kapankah kejelasan sosok ini terungkap? Sudah lebih dari 120 tahun, tetapi ilmu tentang sosok ini tetap misterius. Atau, perlukah tepi Bengawan Solo digali lagi seluas dan sedalam-dalamnya …? *

Gambar: johnhawks.net.

ReadMore »