• L3
  • Email :
  • Search :

30 Oktober 2012

Qurban, Ketidakpastian Heissenberg


Qurban, Ketidakpastian Heissenberg
Oleh Gede H. Cahyana


Kilatan cahaya atau energi foton yang membawa pahala untuk orang-orang yang berkurban memang dijamin Allah dan dijelaskan dalam hadis. Lumrah bagi manusia sebagai pedamba surga, titik akhir yang diminati pekurban adalah dekat dengan Allah setelah ikhlas melepas uang dalam bentuk kambing, domba, sapi, kerbau, atau unta. Kedekatan ini atau quraba, qoruba, bukanlah secara materi jasadiah, melainkan esensi ruhiyah. Karena makna batiniahnya tidak kasat mata maka banyak orang yang tidak percaya bahwa pahala berkurban betul-betul ada. Keraguan ini timbul serupa dengan keraguan manusia pada eksistensi akhirat, pada surga-neraka. Ini pulalah yang selalu memunculkan pertanyaan sejak dulu hingga akhir zaman nanti, yaitu adakah surga, adakah neraka? Betulkah ada?
ReadMore »

25 Oktober 2012

Limbah Hewan Qurban: Polluters Pay


Limbah Hewan Qurban: Polluters Pay
Oleh Gede H. Cahyana

Limbah hewan qurban seperti sapi, unta, domba, kambing dibuang ke mana? Biasanya ditanam di dalam tanah. Semua darah dan kotoran perut hewan diurug dan ditutupi tanah. Tetapi ada juga yang dibuang ke selokan atau sungai. Karena kurang bersih pada saat dibilas, kotoran hewan itu menimbulkan aroma busuk esok lusa bahkan hingga sebulan ke depan.
ReadMore »

24 Oktober 2012

Tinja Selebritas Lebih Mencemari daripada Orang Biasa

Tinja Selebritas Lebih Mencemari daripada Orang Biasa
Oleh Gede H. Cahyana

Mawar, bayangkanlah harum bunga ini, kalau ingin membaca tulisan ini lebih lanjut. Semerbak mewangi kuntum kenanga di sisi puri, suci melati aroma terapi, metode relaksasi napas yang dilakoni selebritas. Lantas, bayangkan pula “harum” daleman perutnya. Tulisan ini hendaklah ditafsirkan sebagai sainstifik semata, tiada aroma penghinaan, apalagi penistaan karakter selebritas. Bukan, bukan itu maksud tulisan ini. Spirit tulisan ini adalah berbagi ilmu dengan khalayak pembaca, seperti tujuan pembuatan blog ini.

Faktanya, kerapkali ditayangkan di televisi, betapa pemain sinetron dan penyanyi sering merayakan pesta (celebrate, party) ulang tahun, pernikahan, tahun baru, dll dengan beragam makanan dan minuman. Tampak wah dan mewah. Di perutnya (tepatnya di lambung), baik yang langsing-singset maupun gendut berlipat, terjadi “pengunyahan” makanan secara peristaltis. Setelah saripatinya diserap untuk tubuh, maka sisanya masuk ke usus besar, menunggu saatnya dibuang di peturasan. Ampas yang dibuang inilah yang biasa disebut feses atau tinja. Istilah umumnya, “kotoran” dan istilah kasarnya, tai atau tahi.

Menurut hasil penelitian Japan International Corporation Agency (JICA) dan Dep. PU, diperoleh data bahwa kalangan kaya (selebritas) merilis air limbah dengan BOD 43,9 gram/orang/hari. Kelas menengah 31,7 gram/orang/hari, kelas ekonomi bawah (low income) 26,8 gram/orang/hari. Saya belum percaya 100% pada hasil penelitian ini. Apalagi ada kesan, angka ini adalah hasil generalisasi dan cenderung hasil dugaan logika saja, didasarkan pada tinggi-rendahnya penghasilan (gaji) seseorang. Namun kita gunakan saja data tersebut sekadar sebagai alat penjelas tentang kaitan antara selebritas dan pencemaran yang ditimbulkannya.

Prinsipnya, makin variatif jenis makanan yang dimakan (dalam pesta), makin variatif juga jenis zat organik yang hadir di dalam tinjanya. Hanya saja, tidak mungkin mengukur secara kualitatif dan kuantitatif semua jenis zat organik yang terkandung di dalam tinja. Itu sebabnya, digunakan analisis kolektif dengan mengasumsikan bahwa zat organik itu berkomposisi CHON, CHONS, atau CHONSP. Ada yang menulis lebih spesifik lagi, yaitu C18H19O9N. Dengan rumus kimia ini, dapatlah dihitung kebutuhan oksigennya (OD: Oxygen Demand), disebut sebagai Theoretical Oxygen Demand (ThOD) yaitu kebutuhan oksigen teoretis untuk mengoksidasi zat organik itu.

Angka BOD yang ditulis JICA-PU di atas tentu diperoleh dengan uji laboratorium sejumlah sampel, bukan kalkulasi matematis. Selain BOD (Biochemical Oxygen Demand atau Biological Oxygen Demand), ada juga parameter lain seperti COD (Chemical Oxygen Demand). Rasio BOD/COD ini menyatakan tingkat biodegradabilitas air limbah, yaitu keterolahan air limbah secara biologi. Makin besar rasionya, makin mudah diolah secara biologi dengan memanfaatkan mikroba. Umumnya semua tinja, tak bergantung pada asalnya apakah dari orang kaya atau miskin, sifatnya biodegradable. Inilah sebabnya, septic tank orang kaya dan orang miskin tak berbeda secara fungsional. Septic tank di kantor boleh saja menampung tinja dari direktur dan tinja dari tukang kebun. Tak masalah.

Tinja orang kaya yang tidak suka pesta (celebrate) tentu berbeda angka BOD, COD-nya dengan yang senang pesta. Jenis makanan dan minuman sangat mempengaruhi besar kecilnya angka BOD, COD. Yang doyan pesta pasti tinjanya lebih mencemari lingkungan daripada yang sekadar makan ala kadarnya. Namun yang makan ala kadarnya, misalnya nasi dan pete atau jengkol berbeda juga aromanya dengan yang makan nasi, tempe, dan sayur saja. Berapa BOD, COD-nya tentu harus dicek di lab. Malah sesekali, orang yang ekonomi lemah tetapi makan makanan pesta seperti kaum selebritas, dapat mengubah karakteristik tinjanya menjadi serupa dengan tinja selebritas.

Ditilik dari sudut kekuatan pencemar, tinja selebritas umumnya lebih besar polusinya terhadap lingkungan daripada orang biasa yang makanan dan minumannya juga biasa-biasa saja. Logislah, pajak lingkungan bagi selebritas harus lebih besar daripada orang biasa, apalagi orang yang miskin yang sering tidak makan. Namun positifnya, tinja pun dapat dijadikan pupuk. Makanan selebritas kaya akan protein dan lemak yang menjadi sumber nutrien bagi tanaman. Daging dan ikan, juga susu dan produk nabati yang dimakan selebritas menjadi stimulan bagi perkebunan, tentu saja setelah bakteri patogennya dibasmi lewat pengolahan di septic tank. *


Foto: sagalana.com
ReadMore »

22 Oktober 2012

Wabah, Sejarah Singkat


Wabah, Sejarah Singkat
Oleh Gede H. Cahyana

Kalau dirunut jauh ke belakang, sudah ribuan tahun umur konsep sanitasi yang kini kita kenal. Ia bukanlah barang baru. Dalam arti yang paling sederhana bisa kita katakan bahwa konsep ini setua kehadiran manusia di Bumi. Sebab, manusia yang selalu makan dan minum pastilah perlu buang hajat (besar dan kecil) setiap hari. Ia perlu fasilitas dalam bentuk yang paling simpel sekalipun. Kecuali tempat, ia tentu butuh air, kayu, daun, dan lain-lain dalam peturasannya itu.

Hal tadi diperkuat oleh fakta di berbagai situs arkeologi. Banyak temuan di sejumlah situs di Asia, Mesir, dan Timur Tengah yang menjadi saksi bisu tingkat ilmu penyehatan (sanitary) manusia kala itu. Perpipaan air bersih, riul, sewerage atau koleksi air limbah dan cubluk dalam ujud awalnya (prototipe) sudah ada. Tinggalan dan bekas-bekas sejarahnya membentang dari Sungai Nil di Mesir, Tigris dan Eufrat di Irak hingga Sungai Kuning di Cina. Luas nian sebaran budaya saniter itu.

Sebagai contoh ialah kebudayaan Minoan di Kreta, 4.000 tahun lalu. Masyarakatnya telah menggunakan pipa lempung (tanah liat) untuk air bersih dan air limbah. Toilet sederhana milik pribadi pun ada. Di Roma juga sama. Kekaisaran ini punya sistem suplai air bersih dan drainase di pusat kotanya. Saluran air (aquiduct) sepanjang 50 km, Nimes Aquiduct namanya, dibangun untuk fasilitas kota. Ada pula saluran untuk campuran air hujan dan air cubluk (latrines) - mirip saluran air limbah tercampur zaman sekarang - yang mengalir ke luar kota. Yang mengagumkan, mereka sudah punya IPAL domestik. Mereka telah menerapkan prinsip konservasi lingkungan.

Tetapi sayang, biarpun seabrek tinggalan sejarahnya itu, ternyata sulit kita temukan literatur ataupun manuskrip yang mencantumkan wabah apa saja yang terjadi pada masa itu dan berapa jumlah korbannya. Nyaris tiada datanya. Yang bisa kita lakukan cuma menafsirkannya bahwa saat itu kerap terjadi wabah pemula (penyakit menular lewat air, waterborne deseases) sehingga dibuatlah sarana sanitasi tersebut.

Kini, mari kita lompati waktu menuju abad ke-19, ke suatu tempat, tepatnya di sebuah sumur tua di bilangan Broad Street, Gold Square, London, Inggris atau United Kingdom. Kita perlu menengok sumur ini karena dialah “penebar” wabah pemula di sana pada waktu itu. Korbannya tak kurang dari 10.000 orang atau menjadi sekitar 20.000 orang bila wabah akibat polusi di Thames, sungai sepanjang 338 km dari Costwolds sampai North Sea, turut disertakan. Sebuah angka fantastis dari 1,25 juta orang warga London pada masa itu.

Mason menulis, polusi di sungai itu telah terjadi sejak abad ke-13 dan makin parah pada abad ke-18 setelah dipasangi riul tahun 1843. Riul inilah yang melikuidasi 200 ribuan jamban warganya. Hanya sayangnya, kata Mason, air limbah riul itu langsung dialirkan ke Thames tanpa pengolahan terlebih dulu. Padahal sebelumnya isi jamban-jamban itu dikuras secara periodik lalu dibuang ke ladang untuk pupuk. Maka, meledaklah wabah “hitam” pada 1849-1854 dan, untuk mengenangnya, dijadikan pilar klasik sejarah wabah pemula.

Adalah John Snow, dokter kerajaan Inggris saat itu yang membuktikan bahwa ada korelasi positif antara wabah dengan air sumur yang tercemari rembesan air limbah domestik (sewage). Pasalnya, yang sakit bukan cuma warga di dekat sumur melainkan juga yang tinggal di luar kota dan pernah minum air sumur itu ketika lewat di sana. Dengan hipotesisnya itu Snow lalu mencabut tangkai pompa sumur agar airnya tak bisa diminum lagi. Terbukti! Sejarah kemudian mencatat, wabah itu reda. Perlu dicatat, fakta itu terjadi sebelum konsep penyakit menular lewat air berbasis mikrobiologi dari Louis Pasteur, seorang ilmuwan Prancis, ditemukan pada akhir abad ke-19.

Dalam putaran waktu terbukti bahwa wabah itu tidak hanya terjadi di Inggris tapi juga di negara-negara lain, bahkan di benua lain selama kurun satu abad berselang. Sekitar tiga puluh tahun pascawabah di London itu, di Tokyo Jepang juga terjadi kolera. Penderitanya 162.637 orang (105.786 orang tewas). Ini terjadi tahun 1879. Kemudian, tahun 1886 wabah ini menyerang 155.923 orang (108.405 orang tewas). Padahal pada era Meiji itu, kota Tokyo (Edo) mulai peduli pada sanitasi.

Malah di Amerika Latin pada tahun 1991 wabah kolera kembali beraksi. Awalnya adalah penemuan Vibrio cholerae, bakteri kolera di pantai Peru pada Januari 1991 yang akhirnya meluas ke segala arah di Amerika Latin. Korbannya dari 1991 sampai 1995 mencapai 1,34 juta orang; 11.300 orang di antaranya meninggal (sekitar 1% dari kasusnya). Di Afrika dan negara miskin lainnya seperti Bangladesh dan India sama saja. Untunglah wabah di atas sudah tidak ada lagi (mudah-mudahan demikian) di Indonesia, meski wabah lainnya, secara sporadis kerap juga muncul.

Sebenarnya kasus pemula tak mengenal musim kemarau dan musim hujan. Walau demikian, kasus muntaber sering terjadi pada musim kemarau karena sumber-sumber airnya mengalami reduksi debit dan buruk kualitasnya. Termasuk di sini adalah air tanah dangkal seperti sumur gali. Bahkan di Jakarta nyaris 90% air tanahnya sudah tercemari bakteri dan zat kimia di samping masalah intrusi air laut yang telah menyusup ke Monas. Di kota lain tak jauh berbeda.

Maka, riwayat wabah tersebut akan ajek ada, tak terduga-duga. Ia bertandang ke rumah ketika kita tak peduli pada sanitasi. Dengan tiba-tiba saja dia “merobek-robek” perut kita, perut anak-anak kita, perut saudara kita, kemudian mengisap cairan tubuh kita, lalu lunglailah kita, dan sekarat dalam tempo singkat. Sakaratul maut menjemput.

Gambar: en.wikipedia.org
ReadMore »

Bahasa Indonesia vs Bahasa Daerah


Bahasa Indonesia vs Bahasa Daerah
Oleh Gede H. Cahyana

Sekadar bisa berbahasa Indonesia, artinya paham maknanya, terutama dalam percakapan (bahasa lisan) tentu bagus atau baik. Namun demikian, orang yang bisa berbahasa Indonesia belum tentu paham tatacara dan aturan dalam berbahasa tulis. Bahkan banyak orang yang bisa berbahasa Indonesia tetapi tidak bisa menulis alias tunaaksara (buta huruf). Pada saat yang sama, pada masa kini, banyak murid dan mahasiswa tidak bisa berbahasa daerah, khususnya bahasa daerah tempat mereka lahir. Sekadar contoh, murid-murid sekarang lebih cenderung berbahasa Indonesia dengan sesama teman sekolahnya selama berada di luar sekolah. Pada jam sekolah mereka pun melisankan bahasa Indonesia. Ini positif saja kalau dipandang dari sudut bahasa Indonesia, pada peringatan Bulan Bahasa 2012 ini. Tetapi, malangnya, bahasa ibu akan kian terkikis, bahkan habis pada saatnya kelak.

Sekadar contoh, pekan lalu saya sempat ke kota Tabanan, Bali, dan saya dengar langsung, nyaris semua anak-anak balita, murid TK, SD, SMP, dan SMA melafalkan bahasa Indonesia dengan ayah-ibunya. Dengan logatnya yang kental, bercampur dengan kata dalam bahasa Bali, tetapi mayoritas percakapan itu berbahasa Indonesia. Saya, saudara saya, orangtua, tetangga, dan teman-teman tetap berbahasa Bali ranah pergaulan, tidak kasar dan tak juga halus, dan yang seusia dengan saya atau lebih tua daripada saya masih berbahasa Bali. Hal serupa terjadi juga di Bandung, terutama di sekolah-sekolah dan kampus yang heterogen. Pelajaran bahasa daerah secara langsung tersisih oleh serangan percakapan dalam sinetron dan berita televisi yang dominan berbahasa Indonesia.

Dipandang dari sisi bahasa Indonesia, fenomena itu tentu menyegarkan, bernilai positif. Namun nilainya menjadi negatif kalau ditilik dari pelestarian bahasa daerah. Lantas, apa yang mesti dilakukan? Idealnya, bahasa Indonesia makin luas digunakan dan bahasa daerah tetap mendapatkan porsinya sebagai bahasa ibu. Jika tidak demikian, kelak di kemudian hari, punah sudah tiada terperi. Aset budaya bangsa tergerus arus modernisasi. *

Gambar: badanbahasa.kemdikbud.go.id
ReadMore »

Gelar Akademik dan Bulan Bahasa


Gelar Akademik dan Bulan Bahasa
Oleh Gede H. Cahyana
Bulan Bahasa identik dengan Oktober dan peringatan Sumpah Pemuda. The Hunt for Red October bisa juga diambil spiritnya menjadi The Hunt for “Bulan Bahasa” October. Berkaitan dengan itu, satu hal yang penting tapi sering disepelekan adalah penulisan gelar akademik, baik gelar strata satu, dua maupun tiga. Misal, Dewi Venusia, S.T., M.T., Ph.D., Dr. dr. Oktavio Bruno, M.P.H., Nikita Inulio, S.E., M.M. dst. Betulkah cara penulisan gelar seperti itu? Memang, ada yang berkata, “Gitu aja dipikirin, yang penting orang ngerti!”. Kalau begitu, apa dong esensi pelaksanaan Bulan Bahasa?

Faktanya, surat-surat resmi di tingkat legislatif, yudikatif, dan eksekutif sarat dengan kesalahan dalam penulisan, tidak menuruti aturan baku yang ada di dalam EYD. Begitu juga surat-surat dari Dikti, Kopertis yang sering diterima perguruan tinggi, sarat dengan kekeliruan penulisan, tidak sesuai dengan aturan baku dalam EYD. Kalau dunia pendidikan saja belum betul menjadi penjaga gawang bahasa Indonesia, lantas siapa yang menjadi “keeper-nya?”

Adakah masukan dari sanak saudara, pembaca tulisan ini?

Gambar: balairungpress.com
ReadMore »

15 Oktober 2012

Bakerma Teknik Lingkungan


Bakerma Teknik Lingkungan
Oleh Gede H. Cahyan

RINDU, inilah kata yang pas untuk merepresentasikan suasana hati peserta Dies Emas Teknik Lingkungan ITB, Sabtu 13 Oktober 2012. Bertempat di Aula Barat, acara dimulai dengan sejumlah sambutan pejabat ITB, Provinsi Jawa Barat, dan Wamen PU. Dihadiri juga oleh Dirjen Cipta Karya yang juga sesepuh alumni TL ITB. 

Namun acara di aula itu tidak lama saya ikuti karena wajib hadir pada acara lokakarya bertempat di Gedung Rektorat ITB. Acara ini pun penuh dengan suasana keakraban sebagai orang yang “senasib” menjadi dosen di prodi atau jurusan Teknik Lingkungan. Sebab, di pundak dosen inilah akan dirumuskan “nasib” dan masa depan keahlian Teknik Lingkungan di Indonesia. 

Lewat kurikulum yang akan dirombak dan rumusan Kompetensi Utama jurusan (prodi) ini akan menjadi jejak aliran mutu menuju alumni yang baik kualitas penguasaan ilmu dan teknologinya serta mampu menerapkannya secara maksimal. Justru inilah poin utama dalam setiap pengembangan kurikulum, yaitu implementasinya yang bermanfaat untuk warga dan mudah pula dalam pengembangan ilmu dan teknologinya. 


Foto ini diambil pada sesi diskusi setelah paparan oleh Kaprodi TL ITB, yaitu Dr. Ir. Herto D. A, M.T dan ketua program pascasarjana TL ITB, Dr. Ir. Dwina Roosmini, M.S (membelakangi kamera). Di sebelah kiri tas, duduk Prof. Dr. Ir. Joni Hermana dari TL ITS. Yang berdiri di dekat jendela kaca adalah mantan koordinator Kopertis Wil IV, Prof. Dr. Ir. Tresna Dermawan Kunaefi.

Sebelum bubar, peserta lokakarya Badan Kerjasama TL ini sempat pula foto bersama. Bapak dan ibu dosen inilah yang mewakili 30 perguruan tinggi yang memiliki jurusan atau program studi Teknik Lingkungan di Indonesia. 

Semoga pada pertemuan berikutnya, Desember nanti, dapat dihasilkan rumusan tentang Kompetensi Utama yang menjadi redefinisi Teknik Lingkungan setelah 50 tahun usianya di negeri kita ini. Vivat TL, Vivat Academia. *
ReadMore »