Wabah, Sejarah Singkat
Oleh Gede H.
Cahyana
Kalau dirunut
jauh ke belakang, sudah ribuan tahun umur konsep sanitasi yang kini kita kenal.
Ia bukanlah barang baru. Dalam
arti yang paling sederhana bisa kita katakan bahwa konsep ini setua kehadiran
manusia di Bumi. Sebab, manusia yang selalu makan dan minum pastilah perlu
buang hajat (besar dan kecil) setiap hari. Ia perlu fasilitas dalam bentuk yang paling simpel sekalipun.
Kecuali tempat, ia tentu butuh air, kayu, daun, dan lain-lain dalam
peturasannya itu.
Hal tadi
diperkuat oleh fakta di berbagai
situs arkeologi. Banyak temuan di sejumlah situs di Asia,
Mesir, dan Timur Tengah yang menjadi saksi bisu tingkat ilmu penyehatan (sanitary) manusia kala itu. Perpipaan
air bersih, riul, sewerage atau koleksi air limbah dan cubluk dalam ujud
awalnya (prototipe) sudah ada. Tinggalan dan bekas-bekas sejarahnya membentang
dari Sungai Nil di Mesir, Tigris dan Eufrat di Irak hingga Sungai Kuning di
Cina. Luas nian sebaran budaya saniter itu.
Sebagai contoh ialah kebudayaan Minoan
di Kreta, 4.000 tahun lalu. Masyarakatnya telah menggunakan pipa lempung (tanah
liat) untuk air bersih dan air limbah. Toilet sederhana milik pribadi pun ada.
Di Roma juga sama. Kekaisaran ini punya sistem suplai air bersih dan drainase
di pusat kotanya. Saluran air (aquiduct)
sepanjang 50 km, Nimes Aquiduct
namanya, dibangun untuk fasilitas kota. Ada pula saluran untuk campuran air
hujan dan air cubluk (latrines) - mirip
saluran air limbah tercampur zaman sekarang - yang mengalir ke
luar kota. Yang mengagumkan, mereka sudah punya IPAL domestik. Mereka telah
menerapkan prinsip konservasi lingkungan.
Tetapi sayang,
biarpun seabrek tinggalan sejarahnya itu, ternyata sulit kita temukan literatur ataupun manuskrip
yang mencantumkan wabah apa saja yang terjadi pada masa itu dan berapa jumlah
korbannya. Nyaris tiada datanya. Yang bisa kita lakukan cuma menafsirkannya
bahwa saat itu kerap terjadi wabah pemula (penyakit menular lewat air, waterborne
deseases) sehingga dibuatlah sarana sanitasi tersebut.
Kini, mari kita
lompati waktu menuju abad ke-19, ke suatu tempat, tepatnya di sebuah sumur tua
di bilangan Broad Street, Gold
Square, London, Inggris atau United Kingdom. Kita perlu menengok sumur ini
karena dialah “penebar” wabah pemula di sana pada waktu itu. Korbannya
tak kurang dari 10.000 orang atau menjadi sekitar 20.000 orang bila wabah
akibat polusi di Thames, sungai
sepanjang 338 km dari Costwolds sampai North Sea, turut disertakan. Sebuah
angka fantastis dari 1,25 juta orang warga London pada masa itu.
Mason menulis,
polusi di sungai itu telah terjadi sejak abad ke-13 dan makin parah pada abad
ke-18 setelah dipasangi riul tahun 1843. Riul inilah yang melikuidasi 200
ribuan jamban warganya. Hanya sayangnya, kata Mason, air limbah riul itu langsung
dialirkan ke Thames tanpa pengolahan terlebih
dulu. Padahal sebelumnya isi jamban-jamban itu dikuras secara periodik lalu
dibuang ke ladang untuk pupuk. Maka, meledaklah wabah “hitam” pada 1849-1854
dan, untuk mengenangnya, dijadikan pilar klasik sejarah wabah pemula.
Adalah John Snow,
dokter kerajaan Inggris saat itu yang membuktikan bahwa ada korelasi positif
antara wabah dengan air sumur yang tercemari rembesan air limbah domestik (sewage). Pasalnya, yang sakit bukan cuma
warga di dekat sumur melainkan juga yang tinggal di luar kota dan pernah minum
air sumur itu ketika lewat di sana. Dengan hipotesisnya itu Snow lalu mencabut
tangkai pompa sumur agar airnya tak bisa diminum lagi. Terbukti! Sejarah kemudian
mencatat, wabah itu reda. Perlu dicatat, fakta itu terjadi sebelum konsep
penyakit menular lewat air berbasis mikrobiologi dari Louis Pasteur, seorang
ilmuwan Prancis, ditemukan pada akhir abad ke-19.
Dalam putaran
waktu terbukti bahwa wabah itu tidak hanya terjadi di Inggris tapi juga di
negara-negara lain, bahkan di benua lain selama kurun satu abad berselang.
Sekitar tiga puluh tahun pascawabah di London itu, di Tokyo Jepang juga terjadi
kolera. Penderitanya 162.637 orang (105.786 orang tewas). Ini terjadi tahun
1879. Kemudian, tahun 1886 wabah ini menyerang 155.923 orang (108.405 orang
tewas). Padahal pada era Meiji itu, kota Tokyo (Edo) mulai peduli pada sanitasi.
Malah di Amerika
Latin pada tahun 1991 wabah kolera kembali beraksi. Awalnya adalah penemuan Vibrio cholerae, bakteri kolera di
pantai Peru pada Januari 1991 yang akhirnya meluas ke segala arah di Amerika
Latin. Korbannya dari 1991 sampai 1995 mencapai 1,34 juta orang; 11.300 orang
di antaranya meninggal (sekitar 1% dari kasusnya). Di Afrika dan negara miskin
lainnya seperti Bangladesh dan India sama saja. Untunglah wabah di atas sudah
tidak ada lagi (mudah-mudahan demikian) di Indonesia, meski wabah lainnya,
secara sporadis kerap juga muncul.
Sebenarnya kasus pemula
tak mengenal musim kemarau dan musim hujan. Walau demikian, kasus muntaber
sering terjadi pada musim kemarau karena sumber-sumber airnya mengalami reduksi
debit dan buruk kualitasnya. Termasuk di sini adalah air tanah dangkal seperti
sumur gali. Bahkan di Jakarta nyaris 90% air tanahnya sudah tercemari bakteri
dan zat kimia di samping masalah intrusi air laut yang telah menyusup ke Monas.
Di kota lain tak jauh berbeda.
Maka, riwayat
wabah tersebut akan ajek ada, tak
terduga-duga. Ia bertandang ke rumah ketika kita tak peduli pada sanitasi.
Dengan tiba-tiba saja dia “merobek-robek” perut kita, perut anak-anak kita,
perut saudara kita, kemudian mengisap cairan tubuh kita, lalu lunglailah kita,
dan sekarat dalam tempo singkat. Sakaratul maut menjemput.
Gambar: en.wikipedia.org