• L3
  • Email :
  • Search :

22 Oktober 2012

Wabah, Sejarah Singkat


Wabah, Sejarah Singkat
Oleh Gede H. Cahyana

Kalau dirunut jauh ke belakang, sudah ribuan tahun umur konsep sanitasi yang kini kita kenal. Ia bukanlah barang baru. Dalam arti yang paling sederhana bisa kita katakan bahwa konsep ini setua kehadiran manusia di Bumi. Sebab, manusia yang selalu makan dan minum pastilah perlu buang hajat (besar dan kecil) setiap hari. Ia perlu fasilitas dalam bentuk yang paling simpel sekalipun. Kecuali tempat, ia tentu butuh air, kayu, daun, dan lain-lain dalam peturasannya itu.

Hal tadi diperkuat oleh fakta di berbagai situs arkeologi. Banyak temuan di sejumlah situs di Asia, Mesir, dan Timur Tengah yang menjadi saksi bisu tingkat ilmu penyehatan (sanitary) manusia kala itu. Perpipaan air bersih, riul, sewerage atau koleksi air limbah dan cubluk dalam ujud awalnya (prototipe) sudah ada. Tinggalan dan bekas-bekas sejarahnya membentang dari Sungai Nil di Mesir, Tigris dan Eufrat di Irak hingga Sungai Kuning di Cina. Luas nian sebaran budaya saniter itu.

Sebagai contoh ialah kebudayaan Minoan di Kreta, 4.000 tahun lalu. Masyarakatnya telah menggunakan pipa lempung (tanah liat) untuk air bersih dan air limbah. Toilet sederhana milik pribadi pun ada. Di Roma juga sama. Kekaisaran ini punya sistem suplai air bersih dan drainase di pusat kotanya. Saluran air (aquiduct) sepanjang 50 km, Nimes Aquiduct namanya, dibangun untuk fasilitas kota. Ada pula saluran untuk campuran air hujan dan air cubluk (latrines) - mirip saluran air limbah tercampur zaman sekarang - yang mengalir ke luar kota. Yang mengagumkan, mereka sudah punya IPAL domestik. Mereka telah menerapkan prinsip konservasi lingkungan.

Tetapi sayang, biarpun seabrek tinggalan sejarahnya itu, ternyata sulit kita temukan literatur ataupun manuskrip yang mencantumkan wabah apa saja yang terjadi pada masa itu dan berapa jumlah korbannya. Nyaris tiada datanya. Yang bisa kita lakukan cuma menafsirkannya bahwa saat itu kerap terjadi wabah pemula (penyakit menular lewat air, waterborne deseases) sehingga dibuatlah sarana sanitasi tersebut.

Kini, mari kita lompati waktu menuju abad ke-19, ke suatu tempat, tepatnya di sebuah sumur tua di bilangan Broad Street, Gold Square, London, Inggris atau United Kingdom. Kita perlu menengok sumur ini karena dialah “penebar” wabah pemula di sana pada waktu itu. Korbannya tak kurang dari 10.000 orang atau menjadi sekitar 20.000 orang bila wabah akibat polusi di Thames, sungai sepanjang 338 km dari Costwolds sampai North Sea, turut disertakan. Sebuah angka fantastis dari 1,25 juta orang warga London pada masa itu.

Mason menulis, polusi di sungai itu telah terjadi sejak abad ke-13 dan makin parah pada abad ke-18 setelah dipasangi riul tahun 1843. Riul inilah yang melikuidasi 200 ribuan jamban warganya. Hanya sayangnya, kata Mason, air limbah riul itu langsung dialirkan ke Thames tanpa pengolahan terlebih dulu. Padahal sebelumnya isi jamban-jamban itu dikuras secara periodik lalu dibuang ke ladang untuk pupuk. Maka, meledaklah wabah “hitam” pada 1849-1854 dan, untuk mengenangnya, dijadikan pilar klasik sejarah wabah pemula.

Adalah John Snow, dokter kerajaan Inggris saat itu yang membuktikan bahwa ada korelasi positif antara wabah dengan air sumur yang tercemari rembesan air limbah domestik (sewage). Pasalnya, yang sakit bukan cuma warga di dekat sumur melainkan juga yang tinggal di luar kota dan pernah minum air sumur itu ketika lewat di sana. Dengan hipotesisnya itu Snow lalu mencabut tangkai pompa sumur agar airnya tak bisa diminum lagi. Terbukti! Sejarah kemudian mencatat, wabah itu reda. Perlu dicatat, fakta itu terjadi sebelum konsep penyakit menular lewat air berbasis mikrobiologi dari Louis Pasteur, seorang ilmuwan Prancis, ditemukan pada akhir abad ke-19.

Dalam putaran waktu terbukti bahwa wabah itu tidak hanya terjadi di Inggris tapi juga di negara-negara lain, bahkan di benua lain selama kurun satu abad berselang. Sekitar tiga puluh tahun pascawabah di London itu, di Tokyo Jepang juga terjadi kolera. Penderitanya 162.637 orang (105.786 orang tewas). Ini terjadi tahun 1879. Kemudian, tahun 1886 wabah ini menyerang 155.923 orang (108.405 orang tewas). Padahal pada era Meiji itu, kota Tokyo (Edo) mulai peduli pada sanitasi.

Malah di Amerika Latin pada tahun 1991 wabah kolera kembali beraksi. Awalnya adalah penemuan Vibrio cholerae, bakteri kolera di pantai Peru pada Januari 1991 yang akhirnya meluas ke segala arah di Amerika Latin. Korbannya dari 1991 sampai 1995 mencapai 1,34 juta orang; 11.300 orang di antaranya meninggal (sekitar 1% dari kasusnya). Di Afrika dan negara miskin lainnya seperti Bangladesh dan India sama saja. Untunglah wabah di atas sudah tidak ada lagi (mudah-mudahan demikian) di Indonesia, meski wabah lainnya, secara sporadis kerap juga muncul.

Sebenarnya kasus pemula tak mengenal musim kemarau dan musim hujan. Walau demikian, kasus muntaber sering terjadi pada musim kemarau karena sumber-sumber airnya mengalami reduksi debit dan buruk kualitasnya. Termasuk di sini adalah air tanah dangkal seperti sumur gali. Bahkan di Jakarta nyaris 90% air tanahnya sudah tercemari bakteri dan zat kimia di samping masalah intrusi air laut yang telah menyusup ke Monas. Di kota lain tak jauh berbeda.

Maka, riwayat wabah tersebut akan ajek ada, tak terduga-duga. Ia bertandang ke rumah ketika kita tak peduli pada sanitasi. Dengan tiba-tiba saja dia “merobek-robek” perut kita, perut anak-anak kita, perut saudara kita, kemudian mengisap cairan tubuh kita, lalu lunglailah kita, dan sekarat dalam tempo singkat. Sakaratul maut menjemput.

Gambar: en.wikipedia.org