Bahasa Indonesia vs Bahasa Daerah
Oleh Gede H. Cahyana
Sekadar bisa berbahasa Indonesia, artinya paham maknanya,
terutama dalam percakapan (bahasa lisan) tentu bagus atau baik. Namun
demikian, orang yang bisa
berbahasa Indonesia belum tentu paham tatacara dan aturan dalam berbahasa tulis. Bahkan banyak orang yang bisa berbahasa
Indonesia tetapi tidak bisa menulis alias tunaaksara (buta huruf). Pada saat
yang sama, pada masa kini, banyak murid dan mahasiswa tidak bisa berbahasa
daerah, khususnya bahasa daerah tempat mereka lahir. Sekadar contoh, murid-murid
sekarang lebih cenderung berbahasa Indonesia dengan sesama teman sekolahnya
selama berada di luar sekolah. Pada jam sekolah mereka pun melisankan bahasa Indonesia.
Ini positif saja kalau
dipandang dari sudut bahasa Indonesia, pada peringatan Bulan Bahasa 2012 ini. Tetapi,
malangnya, bahasa ibu akan kian terkikis, bahkan habis pada saatnya kelak.
Sekadar contoh, pekan lalu saya sempat
ke kota Tabanan, Bali, dan saya dengar langsung, nyaris
semua anak-anak balita, murid TK, SD, SMP, dan SMA melafalkan bahasa Indonesia
dengan ayah-ibunya. Dengan logatnya yang
kental, bercampur dengan kata dalam bahasa Bali, tetapi mayoritas percakapan
itu berbahasa Indonesia. Saya, saudara saya, orangtua, tetangga, dan teman-teman
tetap berbahasa Bali ranah pergaulan, tidak kasar dan tak juga halus, dan yang
seusia dengan saya atau lebih tua daripada saya masih berbahasa Bali. Hal
serupa terjadi juga di Bandung, terutama di sekolah-sekolah dan kampus yang
heterogen. Pelajaran bahasa daerah secara langsung tersisih oleh serangan percakapan
dalam sinetron dan berita televisi yang dominan berbahasa Indonesia.
Dipandang dari sisi bahasa Indonesia, fenomena itu tentu
menyegarkan, bernilai positif. Namun nilainya menjadi negatif kalau ditilik
dari pelestarian bahasa daerah. Lantas, apa yang mesti dilakukan? Idealnya,
bahasa Indonesia makin luas digunakan dan bahasa daerah tetap mendapatkan
porsinya sebagai bahasa ibu. Jika tidak demikian, kelak di kemudian hari, punah
sudah tiada terperi. Aset budaya bangsa tergerus arus modernisasi. *
Gambar: badanbahasa.kemdikbud.go.id