• L3
  • Email :
  • Search :

22 Oktober 2012

Bahasa Indonesia vs Bahasa Daerah


Bahasa Indonesia vs Bahasa Daerah
Oleh Gede H. Cahyana

Sekadar bisa berbahasa Indonesia, artinya paham maknanya, terutama dalam percakapan (bahasa lisan) tentu bagus atau baik. Namun demikian, orang yang bisa berbahasa Indonesia belum tentu paham tatacara dan aturan dalam berbahasa tulis. Bahkan banyak orang yang bisa berbahasa Indonesia tetapi tidak bisa menulis alias tunaaksara (buta huruf). Pada saat yang sama, pada masa kini, banyak murid dan mahasiswa tidak bisa berbahasa daerah, khususnya bahasa daerah tempat mereka lahir. Sekadar contoh, murid-murid sekarang lebih cenderung berbahasa Indonesia dengan sesama teman sekolahnya selama berada di luar sekolah. Pada jam sekolah mereka pun melisankan bahasa Indonesia. Ini positif saja kalau dipandang dari sudut bahasa Indonesia, pada peringatan Bulan Bahasa 2012 ini. Tetapi, malangnya, bahasa ibu akan kian terkikis, bahkan habis pada saatnya kelak.

Sekadar contoh, pekan lalu saya sempat ke kota Tabanan, Bali, dan saya dengar langsung, nyaris semua anak-anak balita, murid TK, SD, SMP, dan SMA melafalkan bahasa Indonesia dengan ayah-ibunya. Dengan logatnya yang kental, bercampur dengan kata dalam bahasa Bali, tetapi mayoritas percakapan itu berbahasa Indonesia. Saya, saudara saya, orangtua, tetangga, dan teman-teman tetap berbahasa Bali ranah pergaulan, tidak kasar dan tak juga halus, dan yang seusia dengan saya atau lebih tua daripada saya masih berbahasa Bali. Hal serupa terjadi juga di Bandung, terutama di sekolah-sekolah dan kampus yang heterogen. Pelajaran bahasa daerah secara langsung tersisih oleh serangan percakapan dalam sinetron dan berita televisi yang dominan berbahasa Indonesia.

Dipandang dari sisi bahasa Indonesia, fenomena itu tentu menyegarkan, bernilai positif. Namun nilainya menjadi negatif kalau ditilik dari pelestarian bahasa daerah. Lantas, apa yang mesti dilakukan? Idealnya, bahasa Indonesia makin luas digunakan dan bahasa daerah tetap mendapatkan porsinya sebagai bahasa ibu. Jika tidak demikian, kelak di kemudian hari, punah sudah tiada terperi. Aset budaya bangsa tergerus arus modernisasi. *

Gambar: badanbahasa.kemdikbud.go.id