• L3
  • Email :
  • Search :

24 Agustus 2019

Impor Rektor Untuk PTS?

Impor Rektor Untuk PTS?
Oleh Gede H. Cahyana
Lektor Kepala Universitas Kebangsaan
(Dimuat di koran Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2019)

Setelah ide impor rektor menuai kritik dan penolakan di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN), lantas muncul pernyataan dari Kantor Staf Kepresidenan (KSP) bahwa rektor asing akan diposisikan di perguruan tinggi swasta (PTS). Tahun 2020 yang hanya empat bulan lagi akan menjadi awal pelaksanaan ide tersebut. Perlukah PTS dipimpin oleh rektor yang berasal dari luar negeri? Luar negeri yang mana? ASEAN, Timur Jauh, Timur Tengah, Amerika, Australia, Eropa, ataukah Afrika?


Sebelum jauh berdiskusi tentang rektor di PTS, Kepala KSP dan stafnya perlu memahami dulu relasi antara pimpinan PTS dan yayasan. Yayasan adalah satu di antara jenis-jenis Badan Penyelenggara PTS seperti Paguyuban, Persyarikatan, Perkumpulan. Berbeda dengan rektor di PTN (misal ITB, UPI, Unpad) yang memang ada “tangan” Menteri Ristekdikti dalam memilih rektor, di PTS bergantung pada persetujuan Badan Penyelenggara. Senat di PTS, khususnya PTS yang sudah memiliki profesor dari kalangan dosen tetap yayasan atau katakanlah Associate Professor (Prof. Asc) akan memberikan resistensi pada ide rektor asing. 

Adakah yayasan yang setuju begitu saja terhadap orang asing yang memimpin kampus binaannya? Di mana peran yayasan dalam membina karir dosen tetap yayasan? Bukankah dosen tetap ini adalah aset SDM yang tak ternilai harganya? Sebab, karir dosen, katakanlah yang profesor membutuhkan waktu hingga 25 tahun kerja dan sekolah doktor yang mahal dalam waktu lima tahun. Aset ini yang tidak ternilai.

Itu sebabnya, kampus yang gagal dalam regenerasi dosen, yakni dosen yang berjabatan fungsional Prof. Asc. dan Prof, bisa turun akreditasinya di masa depan. SDM berjabatan fungsional ini harus ajeg ada sehingga harus rutin dikaderisasi. Tidak bisa dari bajak membajak dosen lantaran sekarang sudah ada homebase dosen. Akankah orang asing yang tidak dikenal jejak karakter akademiknya dipercaya oleh yayasan dan senat untuk memimpin kampus yang dirawat puluhan tahun oleh sivitas akademika dan yayasan?

Apa urgensinya?
Sampai saat ini belum ada urgensi untuk impor orang asing menjadi rektor di PTS. Di PTN boleh jadi ada lantaran Menteri Ristekdikti punya peran dalam pemilihan rektor. Cermati saja kasus pemilihan rektor Universitas Padjadjaran yang akhirnya diulang lagi. Jelas bukan? Bahkan beberapa anggota senatnya cenderung pada rektor yang WNI, bukan orang asing. Ini pertanda bahwa SDM Universitas Padjadjaran percaya diri, tidak inferior di bawah orang asing.  

Bagaimana di PTS? Yang dibutuhkan PTS adalah mitra asing yang mumpuni dalam penelitian (riset). Kemenristekdikti sebaiknya mendatangkan dosen asing dengan kaliber peneliti di bidang yang dibutuhkan oleh PTS. Kualifikasi dosen asing ini haruslah yang sudah dikenal di dunia riset dengan indikator Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), puluhan artikel di jurnal ilmiah bereputasi tinggi, diindeks Scopus atau Web of Science, dan memiliki paten yang sudah produktif di pasar komersial. Dosen asing yang secara kognitif sudah diakui internasional dan mencapai rekognisi tinggi inilah yang dapat memacu riset di PTS.

Tugas utama dosen asing adalah menjadi tutor bagi dosen di PTS agar bisa menulis artikel yang terbit di jurnal internasional dengan impact factor (IF) tinggi. Bukan sekadar internasional apalagi yang predator. Kemenristekdikti sudah paham persentase dosen yang menulis artikel di jurnal ber-IF tinggi. Ini tugas berat pendidikan tinggi kita. Maka, manfaatkanlah orang asing itu untuk mencapai dua target pokok perguruan tinggi, khususnya PTS.

Yang pertama adalah tema riset. Riset apa yang sedang pesat di luar negeri dan sejauh mana perkembangannya. Bahasa mudahnya, sudah sampai di mana temuan-temuan baru (innovation, novelty-nya). Bagi dosen PTS, tema riset ini seperti berlian terpendam yang sulit diangkat. Perlu tutor dan mentor dalam riset. Selaras dengan itu, penempatan dosen asing di PTS harus sekaligus dengan anggarannya. Jangan PTS yang disuruh membayar gajinya. Gaji dan dana riset sudah termasuk di dalam surat keputusan penempatan (dipekerjakan) di sebuah PTS.  

Yang kedua adalah masalah publikasi di jurnal ber-IF tinggi. Kendala bahasa, khususnya bahasa Inggris untuk jurnal sainstek dan bahasa Arab untuk jurnal di kampus swasta berbasis Islam. Di sinilah peran penting dosen asing yang rekognisinya dikenal luas di dunia riset dan jurnal internasional. Apalagi kalau dosen asing ini menjadi editor atau peer reviewer jurnal bereputasi tinggi. Tentu makin lapang jalan menuju publikasi internasional tersebut. Bukan dengan main koneksi, tetapi memanfaatkan kepakaran dosen asing untuk memperkenalkan para dosen PTS menjadi masyarakat akademik dunia. Tidak sekadar dicantumkan namanya di dalam artikel, tetapi ikut memberikan kontribusi substantif artikelnya. Dosen PTS harus diberi tanggung jawab dalam menulis bagian tertentu dari konten artikelnya. Inilah yang diperlukan dosen PTS untuk “memecahkan telor” publikasi di jurnal internasional yang terbit di negara-negara maju.
Proposal dan Laboratorium
Bagian akhir ini adalah sumber dari nilai rendah PTS dalam publikasi. Mayoritas kalah dalam kompetisi hibah di Kemenristekdikti. Kalah dalam proposal. Banyak dosen PTS yang berminat meneliti yang dilanjut dengan publikasi di jurnal ilmiah internasional bereputasi. Namun benturan yang terjadi adalah dalam mewujudkan ide menjadi proposal yang memenuhi pedoman dan standar Kemenristekdikti. Kontribusi dosen asing tersebut bisa di hulu proses riset selain di hilir berupa publikasi seperti dibahas di atas.

Yang dimaksud laboratorium bukanlah gedungnya. Tetapi isinya. Alat-alat dan bahan atau zat kimia, tanaman, hewan, dll. Seiring dengan ide impor rektor (dosen) asing tersebut, agar mereka bisa memajukan PTS maka bantulah PTS untuk melengkapi laboratoriumnya dengan alat, bahan yang dibutuhkan untuk riset. Adakah anggaran Kemenristekdikti dalam pembaruan alat dan bahan di laboratorium untuk semua PTS? Jika siap anggarannya, PTS justru yang akan berlomba-lomba meminta agar dosen asing bisa dipekerjakan di PTS. Menjadi rektor pun, mungkin saja disetujui oleh yayasan, senat dan sivitas akademikanya. * 


ReadMore »

20 Agustus 2019

Orang Papua

Orang Papua

Papua sangat luas, berbukit dan bergunung. Tetapi penduduknya sedikit. Tersebar dalam komunitas kecil dan suku mulai dari tepi laut hingga ke puncak gunung. Potensi kekayaan alamnya tak terhitung, baik yang di atas tanah maupun di dalam tanah. Kekayaan ini memerlukan orang-orang yang mampu memanfaatkannya. Tidak hanya oleh orang Indonesia non-Papua tetapi juga oleh orang asli Papua.

Itu sebabnya, banyak orang Papua kuliah di Jawa dan kembali pulang setelah bergelar sarjana. Ada bbrp mhs saya yang dari Papua. Tahun lalu ada yang lulus dan kembali ke Sorong. Tugas Akhir (TA) yang dibuatnya tentang persampahan di Sorong. Itu idenya. Sebagai pembimbing, saya sangat mendukung dan berharap TA-nya menjadi masukan untuk pemerintah di sana, kalau-kalau dia nanti menjadi PNS atau ASN di sana.

Uniknya, kata dia, semua anggota keluarganya dilibatkan dalam survey lapangan. Bapak, ibu, kakak, sepupu, teman diajak menyebarkan kuesioner. Juga mengumpulkan sampah, memilah, dan menimbang berat sampah, semuanya ikut membantu. Papua sangat perlu orang-orang terdidik yang asli orang Papua untuk membantu saudara sesama orang Papua di tanah kelahirannya.

Orang asli Papua pasti lebih bisa merasakan rasa hati orang Papua. Lebih semangat membantu sesama dalam bencana. Sebagai contoh, kelaparan masih juga terjadi di daerah yang sulit dijangkau. Akses jalan masih berupa perkerasan batu dan kerikil. Bahkan ada yang hanya tanah. Licin saat hujan dan membahayakan. Apalagi di kanan atau kirinya berupa jurang.

Papua masih harus dibantu dengan pendidikan, Sekolah dan kuliah. Pendidikan tentang cara bercocok-tanam, cara beternak, cara mengelola sumber air, hutan, dan tanah. Juga tambangnya. Juga pendidikan politik. Hukum. Tatanegara. Sangat bagus apabila orang Papua kuliah di IPDN. Di Jatinangor itu.

Akhir kata, orang Papua adalah WNI. Mereka bagian dari NKRI. Sila kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Untuk semua orang Indonesia. Termasuk orang Papua.

Berikut ini adalah kejadian kelaparan di Papua Tambrauw The Hidden Paradise

ReadMore »

17 Agustus 2019

Merdeka Adalah

Merdeka Adalah

Merdeka bukanlah pekik gempita
Bukan bentangan spanduk
Bukan pancangan baliho
Bukan rentangan kerlip lampu

Merdeka bukanlah kibar bendera
Bukan lengkung umbul-umbul
Bukan upacara bendera
Bukan pidato berjaz berdasi

Merdeka bukan tulisan di Facebook
Bukan cuitan di Twitter
Bukan perfotoan di Instagram
Bukan ungkapan di Telegram

Merdeka bukanlah hidangan prasmanan
Bukan tetabuhan drum band
Bukan tarikan tali tambang
Bukan loncatan karung goni

Merdeka bukanlah benda impor
Bukan rektor impor
Bukan sembako impor
Bukan segala impor

Merdeka adalah prioritas aksi
Dahulukan produksi dalam negeri
Kemudiankan barang luar negeri
Bukan anti-asing, bukan

Lagu Hari Merdeka
Penulisnya H. Mutahar
Orang keturunan asing
Turunan Arab, al Habib

Lokasi proklamasi
Pemiliknya H. F. Martak
Orang keturunan asing
Turunan Arab, saudagar

Merdeka adalah aksi
Pelaksanaan Preambule
Pembukaan UUD 1945
Empat alinea

Alinea satu: kemerdekaan
Alinea dua: merdeka,  bersatu,  berdaulat,  adil dan makmur
Alinea tiga: rahmat Allah,  keinginan luhur,  nyatakan kemerdekaan
Alinea empat: perdamaian abadi, kemerdekaan berdasarkan 5 kalimat dalam Pancasila.

Sabtu,  17 Agustus 2019
Atas nama pribadi
Gede H. Cahyana




ReadMore »

9 Agustus 2019

Format Proposal Tugas Akhir

Definisi Tugas Akhir (TA) secara umum, seperti tersirat dan tersurat di dalam nama mata kuliahnya, adalah tugas kuliah yang dikerjakan oleh mahasiswa pada bagian akhir masa studinya. Beban TA antara 5 – 8 SKS yang diwujudkan dalam bentuk karya tulis ilmiah berupa skripsi (naskah) atau karya lainnya (bergantung pada prodinya: lukisan, patung, model, dll) dan diujikan di depan dewan penguji pada sidang sarjana. Dengan demikian, semua syarat dan karakteristik karya ilmiah harus ada di dalam laporan TA tersebut.

Bagaimana karakteristik karya tulis ilmiah yang berwujud Tugas Akhir itu? Yang dimaksud Tugas Akhir di dalam kurikulum Teknik Lingkungan adalah karya tulis ilmiah berupa skripsi untuk program S1 (strata satu) dengan beban 5-6 SKS, termasuk  Seminar dan Sidang TA. Karya tulis ilmiah ini meliputi dua kelompok, yaitu (1) TA desain atau perancangan, bisa juga disebut perencanaan teknis; (2) TA penelitian (riset, research). Riset ini pun bisa dibagi menjadi dua, yaitu riset atau penelitian dasar (basic research) dan penelitian terapan (applied research). Tujuan utama penelitian dasar adalah menghasilkan informasi umum tentang fenomena di dalam aspek teoretis. Tujuan penelitian terapan adalah menghasilkan informasi yang dapat diterapkan dan memberikan solusi terhadap masalah hidup sehari-hari. Namun demikian, kerapkali sebuah penelitian berisi kedua jenis aspek tersebut, yaitu aspek teori dan aspek aplikasi.

Kembali ke perihal penulisan laporan TA. Laporan mata kuliah TA ini berupa karya tulis ilmiah yang memiliki format khusus, berbeda dengan laporan lainnya (laporan perusahaan, kantor, organisasi massa, dll). Meskipun isi sistematika laporan ini bisa berbeda-beda dari satu prodi dengan prodi lainnya, bahkan satu prodi yang sama tetapi berbeda perguruan tinggi juga bisa berbeda, tetapi mayoritas memiliki kesamaan isi. Ini bisa dimaklumi karena dosen-dosen pembimbing TA bisa berasal dari berbagai kampus di dalam dan/atau luar negeri yang berbeda-beda pula sehingga memiliki perbedaan (sedikit) dengan koleganya. Namun demikian, mayoritas isinya hampir sama. Meskipun prodi sudah memiliki panduan penulisan TA tetapi kerapkali terjadi format dan isi laporan TA berbeda (sedikit).

Ditegaskan lagi, penulisan karya ilmiah adalah karya tahap akhir bagi mahasiswa sarjana, baik TA desain maupun TA penelitian. TA desain memiliki format khas yang tidak dimiliki oleh TA penelitian, misalnya gambaran umum lokasi atau daerah perancangan atau daerah studi (sangat perinci sehingga ditulis di dalam bab khusus sedangkan di dalam TA penelitian bisa juga ditulis di dalam bab khusus terutama kalau banyak yang harus dipaparkan tetapi bisa juga menjadi salah satu subbab di Bab 1 Pendahuluan), kriteria desain (kriteria perancangan), gambar-gambar denah, potongan, detil, Bill of Quantity (BoQ), RAB (Rencana Anggaran Biaya), dan Spesifikasi Teknis. 

Silakan baca lebih lengkap di link atau folder TUGAS AKHIR-SKRIPSI. di sisi kanan blog ini.

ReadMore »

8 Agustus 2019

Ruang Parkir Mall Bahayakan Kesehatan?

Pencemaran udara di dalam ruangan tertutup menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia. Salah satunya berasal dari emisi gas kendaraan bermotor di lahan parkir tertutup. Dalam penelitian ini dilakukan identifikasi dan analisis konsentrasi CO yang terukur di breathing zone petugas parkir Mall X yang memiliki lahan parkir tertutup dan petugas parkir di lahan parkir semi terbuka di Mall Y. 

Pengukuran dilakukan dengan metode passive sampling  menggunakan Personal Dosimeter Tube. Hasil pengukuran kadar CO di lahan parkir Mall X berada pada rentang 25 – 81,25 ppm dengan rata-rata 50 ± 26,15 ppm. Sedangkan kadar CO terukur di lahan parkir Mall Y berkisar di rentang 3,13 – 12,5 ppm dengan rata-rata 7,88 ± 4,36 ppm. 

Nilai korelasi antara kadar CO dan intake CO di lahan parkir Mall X adalah sebesar 0,9983 sedangkan nilai korelasi kadar CO dan intake CO di lahan parkir Mall Y sebesar 0,9903. Disimpulkan, nilai kadar CO yang terukur di breathing zone petugas parkir memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan besarnya intake CO yang masuk ke tubuh petugas parkir.

Artikel lengkap bisa diperoleh dalam pdf di link di bawah ini.

URL Artikel Lengkap

ReadMore »

7 Agustus 2019

Semua Dosen adalah Profesor?

Semua Dosen adalah Profesor?
Oleh Gede H. Cahyana

Pada awal Agustus 2019, sempat viral cuplikan Keputusan MenRistekDikti No. 164/M/KPT/2019 tentang Penyebutan Jabatan Akademik Dosen dalam Bahasa Inggris pertanggal 8 Mei 2019. Namun demikian, sebetulnya sebutan itu sudah ada enam bulan lalu, ada di PermenRistekDikti No. 7/2019 tentang Perpindahan Dosen WNI dari PT LN ke PT DN. Permen ini resmi berlaku sejak 4 Februari 2019, yaitu enam bulan yang lalu. Tetapi heboh di medsos baru saja beberapa hari lalu. Yang dihebohkan adalah secuplik kalimat berkenaan dengan sebutan jabatan fungsional dosen dalam bahasa Inggris. Sebetulnya sudah sejak dulu, katakanlah sejak tahun 1990-an, misalnya di Jepang, istilah seperti Associate Professor itu memang sudah ada. Dosen ini belum mencapai derajat professor dalam makna Guru Besar di peraturan yang berlaku di Indonesia. Masih setingkat di bawahnya.

Namun demikian, ada sisi positif dari heboh tersebut. Sesungguhnya semua dosen adalah professor. Ini dimaknai sebagai sebutan. Hanya saja, selama ini, sejak dulu hingga kini, menyantumkan sebutan jafung di depan nama seorang dosen memang tidak biasa. Kecuali dosen yang sudah berjafung Guru Besar atau professor. Ini berbeda dengan di kepolisian dan ketentaraan. Setiap anggota polisi dan TNI selalu saja dicantumkan sebutan pangkatnya di depan namanya.

Ada Kolonel TNI Supangat. Ada Letkol TNI Supandi. Atau Letjen. TNI Prawiradirja. Bahkan yang sudah pensiun pun tetap menyantumkan pangkatnya disertai Purn (Purnawirawan). Tidak demikian dengan profesi dosen. Jarang yang menyantumkan misalnya: Lektor Surapati, S.T., M.T. Atau Lektor Kepala Dr. Susanto, S.T., M.T. Yang biasa adalah Prof. Dr. Widyawati, S.T., M.T. Jangankan di luar kampus, di dalam surat-menyurat internal kampus pun jarang penulisan tersebut selain untuk jafung Guru Besar. Yang ditulis tentu bukan Guru Besar Dr. Ir. Airlangga, M.T tetapi Prof. Dr. Ir. Airlangga, M.T.

Mari lihat PermenRistekDikti tersebut. Fokus permen ini adalah alih-abdi. Alih-abdi adalah dosen WNI yang sudah mengajar di kampus di negeri manca, kemudian ingin pulang ke RI, ingin mengajar di PT di RI dan ingin disetarakan profesi yang dilakoninya. Artinya, mbok ya jangan disuruh berkarir dari awal lagi. Hal ini menjadi no problem kalau ia mengajar di PTS. Ini bergantung pada yayasan, terutama rujukan pada Statuta. Bagaimana dengan statusnya sebagai PNS? Apakah harus dari awal lagi? Atau yang diakui adalah setengah masa kerja seperti yang berlaku di Indonesia? Artinya, dosen yang sudah mengajar di PTS selama 20 tahun (termasuk di LN), kemudian menjadi PNS, maka masa kerja yang diakui hanyalah 10 tahun. Ini perlu dikaji agar tidak terjadi cemburu-cemburu buta.. He he he….Sabar…sabar. Ini sudah dan sedang terjadi kok.



Mari lihat Kepmen 164/M/KPT/2019, fokus keputusan ini adalah sebutan seperti gambar di atas. Artinya, boleh saja dosen menyisipkan Assistant Professor di depan namanya. Misal Prof. Ast. Rosmawati, S.Si., M.Si. Atau Associate Professor, misal Prof.Asc. Dr. Purnamasidi, S.Pd., M.Pd. Juga Professor, misal Prof. Dr. Sudarman, S.Psi. M.Psi. Jadi…., semua dosen adalah professor? Ya …betul. Menurut istilah dan fungsinya. Tapi tentu berbeda dalam hak dan kewajibannya. Beda dalam tunjangan rupiahnya. Beda juga dalam prestisenya. Ajuan proposal riset, proposal PkM (Pengabdian kepada Masyarakat) juga membedakan stratifikasi jafung ini. Ada yang boleh menjadi ketua, ada yang hanya boleh menjadi anggota saja lantaran jafungnya masih asisten atau lektor misalnya, meskipun sebutan dalam bahasa Inggrisnya tetap saja Asisstant Profesor (Prof. Ast.)

Separasi ini bagus, baik, dan benar. Harus dibedakan dalam kualitas atau mutu dosen. Inilah yang akan memajukan pendidikan dan penelitian di Indonesia. Sivitas akademika akan makin sadar dan paham bahwa untuk memajukan kampus adalah dengan cara memajukan SDM atau dosen. Makin banyak dosen yang tinggi jafungnya maka makin maju kampusnya. Maju dalam makna peringkat akademik, bukan berdasarkan gaji. Sebab, gaji dosen banyak yang tinggi lantaran jumlah mahasiswanya membludak tetapi rating kampusnya tetap rendah. Ini harus dibedakan. 

Sekadar contoh, ada kampus yang fisik bangunannya biasa saja, hanya dua lantai, tetapi mendapatkan predikat akreditasi Unggul A atau Sangat Baik B. Jafung SDM-nya mumpuni. Banyak yang Lektor Kepala. Banyak juga yang Lektor. Asisten Ahli hanya segelintir. Guru Besar ada satu dua. Isi lab-nya tidak banyak tetapi semua alat yang dibutuhkan dalam praktikum sebagai latihan keterampilan sudah tersedia. Alatnya alat lama, bukan keluaran baru. Tetapi terawat oleh laboran dan personil di lab-nya. Hasilnya tidak kalah dengan kampus negeri. Jurnal-jurnal ilmiah bertebaran di dunia maya oleh mayoritas dosennya. Mereka produktif menulis. Dosennya punya self-confidence yang tinggi. Memang tidak banyak yang terbit dengan indeks Scopus atau WoS, tetapi ada yang di jurnal internasional. Banyak yang menulis di jurnal nasional. Baik berakrediatasi maupun yang tidak.

Kembali lagi, bagaimana dengan perihal viral cuplikan KepmenRistekDikti itu? Tentu tak apa-apa. Bagus malah. Saripati dari banyak komentar di grup medsos tentang semua dosen adalah profesor” itu bermakna bahwa sebutan itu penting bagi dosen. Secara psikologis bisa mendamaikan hati. Apapun jafungnya dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa Inggris disebut sebagai professor dengan tambahan satu kata di depannya (penulisannya Prof. Ast., Prof. Asc., dan Prof.). Ini saja sudah menyenangkan bagi dosen. Apalagi kalau tunjangannya juga dinaikkan. Bagaimana Pak Menteri RistekDikti, setuju kan? *

ReadMore »

3 Agustus 2019

Memahami Hakikat Barat

Memahami Hakikat Barat
Oleh: Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.A., M.Phil.

1). Sejauh ini arti Barat masih belum jelas bagi kebanyakan orang. Apa, siapa, dan di mana sebetulnya Barat itu?

Barat ataupun Timur itu sebenarnya bukan letak geografis. Sebab Australia terletak di Timur, Canada itu di Utara, Australia di Selatan, tapi digolongkan sebagai negara Barat. Sementara negara Turki separuhnya terletak di Barat tapi tetap dianggap Timur. Demikian pula Timur (Orient). Afrika itu di Selatan, tapi dikategorikan Timur. Negara-negara Arab itu tidak di Timur dan tidak di Selatan, maka mereka sebut Timur Tengah.

Itu semua sebenarnya identifikasi Barat terhadap dunia selain Barat. Barat sebenarnya mencerminkan sebuah pandangan hidup atau suatu peradaban dan terkadang ras kulit putih. Pandangan hidup Barat merupakan kombinasi Yunani, Romawi, tradisi bangsa-bangsa German, Inggris, Perancis, Celtic, dan sebagainya.

Maka orang Barat adalah orang-orang yang berpandangan hidup Barat dan kebetulan peradaban ini didominasi oleh orang berkulit putih, meskipun kini terdapat pula Barat berkulit hitam atau sawo matang. Itulah sebabnya mengapa Muslim yang hidup di Barat bukan orang Barat.

(2). Apa sebenarnya inti dari worldview Barat yang menjadi ciri khas mereka?

Kalau melihat sejarahnya worldview Barat modern itu, seperti yang diakui oleh beberapa pakar, adalah scientific worldview (pandangan hidup keilmuan). Artinya cara pandang terhadap alam ini melulu saintifik dan tidak lagi religius. Tidak berarti di zaman Barat modern tidak ada orang yang religius, mereka ada tapi yang dominan di Barat adalah saintis.

Hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara saintifik atau secara empiris tidak dapat diterima, termasuk metafisika dan teologi. Maka di zaman Barat modern sains  dipisahkan dari agama, oleh karena itu sains berkembang pesat.

Ciri dari worldview yang saintifik itu tercermin dari berkembangnya paham-paham seperti empirisisme, rasionalisme, dualisme atau dikotomi, sekularisme, desakralisasi, pragmatisme dan sebagainya. Paham-paham itu semua otomatis meminggirkan (memarginalkan) agama dari peradaban Barat.

(3). Akhir-akhir ini khususnya setelah peristiwa 11 September hubungan Islam dan Barat menjadi tegang. Bagaimana sejarah hubungan Islam - Barat?

Benar, ketegangan itu ada, bahkan setelah peristiwa 11/9 itu terjadi George W Bush, buru-buru dan penuh emosi menyebutnya sebagai New Crusade (Perang Salib Baru). Ini berarti persepsi Barat terhadap Islam masih diwarnai oleh sejarah perang salib.

Padahal tidak semua umat Islam melihat Barat dengan cara itu, meskipun dalam sejarahnya umat Islam mengalami pengalaman pahit diusir dari Spanyol. Umat Islam justru  lebih mengingat masa-masa dimana karya-karya saintis Muslim disumbangkan kepada Barat melalui proses penerjemahan dari Arab ke Latin. Tapi di sisi lain Barat justru melakukan gerakan orientalisme yang periode awalnya jelas-jelas merupakan serangan pemikiran (ghazwul fikri) yang sangat buruk sekali.

(4). Bagaimana seharusnya hubungan Islam dan Barat?

Seharusnya dikembalikan kepada hubungan keilmuan dan dialog peradaban. Barat dan Muslim sebaiknya diarahkan untuk sepakat saling belajar dalam berbagai masalah.

Jika kelemahan umat Islam adalah dalam bidang sains dan teknologi tidak ada salahnya umat Islam belajar dari Barat. Sementara kelemahan Barat dalam bidang moral spiritual tidak salah pula jika belajar dari Islam.

(5). Kalau melihat hubungan Barat dan Islam sekarang ini sebenarnya dimana letak masalahnya?

Pangkal masalahnya menurut saya karena sekarang ini Barat selalu memandang Islam sebagai agama dan agama dalam pengertian mereka adalah dogma-dogma yang dipegang secara keras dan kaku atau secara fundamental.

Barat tidak melihat Islam sebagai peradaban yang memiliki konsep ilmu, konsep hidup, konsep akhlaq dan bahkan konsep kemanusiaan yang tidak kalah dengan konsep HAM.

Kalau mau obyektif dan fair masalahnya dapat disarikan menjadi 4 kesalahpahaman: Salah paham Barat terhadap Islam; salah paham Barat terhadap Barat sendiri; Salah paham Muslim terhadap Barat  dan Salah paham Muslim terhadap Islam sendiri.

(6). Salah paham Barat terhadap Islam bisa dimaklumi, tapi bagaimana artinya salah paham Barat terhadap Barat sendiri?

Begini, orang Barat itu umumnya melihat nilai-nilai Barat sebagai terbaik dan universal yang bisa diterapkan ke seluruh dunia. Bahkan makanan Barat pun dianggap baik dan enak dimakan oleh orang non-Barat. Barat juga melihat dirinya sebagai peradaban yang maju dan peradaban lain mundur.

Padahal nilai-nilai Barat itu khas Barat dan kemajuannya baik dalam sains sosial atau fisik hanya diukur dari satu aspek. Aspek lain yaitu terutama aspek spiritual yang mereka akui sangat mundur di Barat tidak menjadi ukuran kemajuan.

Meskipun ukuran kemajuannya sangat timpang, Barat tetap menyebarkan nilai-nilai Barat ke dunia ketiga dan menganggap itu baik bagi dunia lain. Itulah nampaknya yang menjadi latar belakang gerakan westernisasi, globalisasi dan liberalisasi. Inilah yang dimaksud dengan kesalahpahaman Barat kepada Barat sendiri. Mungkin bisa disebut over-confident (terlalu percaya diri)

(7). Lalu bagaimana penjelasannya Muslim salah paham terhadap Barat?

Masih  berkaitan dengan kesalahpahaman Barat kepada Barat sendiri yang membawa dampak munculnya gerakan Westernisasi. Gerakan ini telah berhasil menanamkan worldview Barat kepada pikiran Muslim.
Reaksi Muslim dalam hal ini terbagi menjadi dua kelompok: 


Pertama, Melihat Barat seperti orang Barat, sehingga apa yang dari Barat dianggap baik untuk Islam dan bahkan mereka ini memahami Islam dengan cara Barat. Kedua, Melihat Barat dengan penuh antipati dan kebencian, sehingga segala sesuatu yang berasal dari Barat itu jelek dan negatif.

Kedua cara memandang yang sangat ekstrim ini tentu salah. Barat tidak sebaik yang dianggap pemujanya dan tidak seburuk yang diasumsikan pembencinya.

(8). Lalu dimana kesalahan umat Islam sehingga terbagi menjadi dua kelompok itu?

Salahnya terletak pada kemiskinan ilmu dan kelemahan iman. Yang melihat Barat secara positif bahkan hampir mendekati pemujaan Barat itu karena tidak tahu hakekat Barat dengan nilai-nilai dan worldview mereka. Atau kalau pun mereka tahu, mereka tidak tahu dimana salahnya menurut Islam karena ia tidak mengetahui worldview dan nilai-nilai Islam yang seharusnya digunakan untuk menilai Barat.

Misalnya sains di Barat itu sekuler, artinya memisahkan sains dari teologi atau telah menghilangkan jejak Tuhan di  muka bumi, (Syed Hussein Nasr). Tapi umat Islam yang belajar sains di Barat belum tentu tahu itu, kalau pun tahu mereka tidak tahu bagaimana menurut Islam.

Kelompok kedua yang antipati juga tidak tahu hakekat Barat dengan tradisi keilmuannya yang bagus, etos kerjanya yang tinggi dan ketertiban kehidupan sosialnya dan sebagainya. Yang mereka tahu hanya hegemoni ekonomi dan politiknya, moralitas masyarakatnya yang jauh dari agama.

Tapi itupun juga tidak menjadikan mereka semakin cerdas dan kritis sehingga segera bangkit dengan mengembangkan konsep-konsep dan sistem-sistem Islam. Ringkasnya, umat Islam belum menggunakan ilmu sebagai bekal untuk menghadapi Barat.

(9). Konon, kecenderungan pelajar Muslim untuk belajar Islam di Barat akhir-akhir ini cukup tinggi. Bagaimana Anda melihatnya?

Ini sangat wajar, sebab sistem dan metodologi pengkajian ilmu disana terkenal baik. Ini dapat dilihat dari koleksi bukunya yang cukup banyak, penelitian dan penerbitannya yang stabil dan jumlah profesor yang pakar dalam bidangnya yang memadai serta keseriusan dosen dan para mahasiswanya dalam belajar cukup tinggi.

Dalam bidang studi Islam kurang lebih juga demikian. Tapi sebaiknya para pelajar yang ingin kuliah studi Islam ke Barat dibekali dengan penguasaan metodologi dan framework studi Islam yang kuat. Artinya ilmu-ilmu tradisionalnya harus masak terlebih dahulu sebelum berangkat belajar ke Barat.

Sebab mahasiswa yang belum punya bekal ilmu hadis riwayah maupun dirayah, misalnya, kemudian membaca kritik dan framework studi hadis para orientalis, pasti dijamin akan banyak terhanyut oleh framework orientalis dan balik mengkritik hadis.

Demikian pula yang berangkat dengan Ulumul Quran yang lemah, kemudian membaca buku-buku Noldeke, Arthur Jeffery, apalagi Christoph Luxemburg dijamin akan berbalik menjadi pengkritik Mushaf Usmani. Sama halnya dalam bidang Fiqih, Kalam, falsafah, tasawuf dan sebagainya.

Jika Muslim belajar Islam ke Barat, dan belum memiliki bekal ilmu-ilmu keislaman dan bekal ilmu tentang metodologi Barat, maka ia tidak akan bisa bersikap kritis. Orang-orang seperti Muhammad Iqbal, Syed Mohd Naquib al-Attas, Mohammad Rasyidi dan banyak lagi lainnya adalah sedikit contoh dari cendekiawan Muslim yang belajar di Barat dengan bekal yang cukup sehingga tetap bersikap kritis.

(10). Kira-kira apa keuntungan Barat memberi beasiswa kepada mahasiswa Muslim?

Biasanya ketika seseorang diinterview untuk mendapat beasiswa ke Negara Barat pertanyaan yang perlu dijawab adalah “Mengapa kami perlu memberi anda beasiswa dan tidak kepada orang lain? Jika kami memberi anda beasiswa akan menjadi apa anda setelah sepuluh, lima belas tahun lagi?”.Apa yang tersirat dari pertanyaan ini adalah bahwa beasiswa ini untuk menjadikan anda kader pemimpin di negeri anda.

Jika yang jadi pemimpin suatu negara adalah alumni dari Amerika, Inggris, Perancis, Australia atau lainnya maka pengaruhnya terhadap hubungan Indonesia dan Negara-negara itu sangat besar.

Ketika pak Habibi menjadi Presiden yang paling mendukungnya adalah Jerman. Di Zaman Soeharto ekonomi Indonesia didesain dan diatur oleh alumni-alumni dari Berkley Amerika.

(11). Apa kelemahan dari belajar Islam di Barat?

Kelemahannya ada pada framework (manhaj) berpikir mereka dalam mengkaji Islam. Pertama dari prinsip obyektifitas mereka Islam dikaji bukan untuk ibadah atau untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam dikaji sebagai ilmu dan ilmu dalam kaca mata Barat harus berdasarkan fakta obyektif dan empiris.

Dalam mengkaji sejarah hadis dan al-Quran misalnya, mereka berangkat dari fakta dalam bentuk tulisan. Fakta dalam bentuk yang tidak empiris, seperti kuatnya hafalan para sahabat Nabi, kesalehan perawi, dan komitmen para sahabat dan tabiin terhadap Islam tidak mereka jadikan variable.

Dari cara pandang ini mereka tidak percaya mushaf al-Quran yang ada sekarang ini persis seperti yang diwahyukan kepada Nabi, sebab tidak ada bukti-bukti empiris tentang hal itu. Demikian pula hadis. Selain itu, para sarjana Barat adalah spesialis-spesialis dalam salah satu bidang studi Islam artinya mereka hanya memahami Islam dari bidang yang ditekuninya.

Jika mereka mengkaji syariah mereka tidak bisa mengaitkannya dengan aqidah. Padahal dalam Islam syariah tidak dapat dipisahkan dari aqidah. Karena cara pandang Barat yang sekuler maka Montgomery Watt misalnya, menganggap Nabi sangat religious ketika di Makkah, tapi menjadi sekuler ketika berada di Madinah.  Masih banyak lagi kelemahan studi Islam di Barat.

(12). Apa saja yang menjadi motivator bagi Barat hingga mereka serius mengkaji Islam dan memiliki Islamic Studies yang bonavid, dan apa pula tujuan akhir mereka?

Motif mereka berubah-ubah atau bermacam-macam. Dulu mereka mengkaji Islam karena kekayaan ilmunya. Mereka menerjemahkan karya-karya sains umat Islam untuk pengembangan sains dan teknologi,  sehingga mereka berhasil lolos dari zaman kegelapan (Dark Ages) menuju zaman pencerahan (Renaissance). 
Tapi selain itu juga untuk kepentingan teologi Kristen yang tidak mampu mengakomodir karya-karya Yunani kuno. Dan kemudian berubah menjadi untuk kepentingan kolonialisme yang berlangsung hingga kini.

Tapi tidak semua Islamic Studies di Barat itu bermutu.  Meski ada yang obyektif tapi keseluruhannya dirancang untuk tujuan know your enemy (mengetahui kekuatan musuh). Sekarang ini malah sudah berubah lagi. Kajian Islam difokuskan pada kajian kawasan.

Jika dulu masih banyak kajian tentang pemikiran ulama periode kejayaan Islam, kini studi Islam diarahkan pada studi Islam di Indonesia, di Malaysia, di Saudi, di Mesir dan sebagainya.

(13). Banyak yang bilang bahwa orang Barat skeptis terhadap agama. Apa kemajuan studi agama dan amalan keagamaan orang Barat memang berbeda (bisa disertakan contoh kongkritnya)?

Bukan hanya skeptis, kebanyakan mereka justru tidak percaya lagi pada agama. Agama bagi mereka bukan tempat yang baik untuk saling menghargai manusia. Maka dari itu mereka mengganti agama dengan humanisme.

Namun studi agama di sana masih dilakukan secara serius, meskipun peminat kajian bidang ini tidak sebanyak bidang sains dan teknologi. Tapi jangan dibayangkan keseriusan mereka mengkaji agama juga dibarengi oleh pengamalannya. Agama dikaji hanya sebatas ilmu. Dan ilmu disana untuk ilmu bukan untuk amal.

(14). Keilmuan Islam tidak bersumber dari Barat, peradaban Barat juga bukan peradaban Islam, tapi mengapa para ilmuwan Muslim banyak bilang “menemukan Islam” disana?


Istilah “menemukan Islam” menurut saya kurang tepat, sebab apa yang ditemukan itu hanyalah satu aspek dari kebaikan Islam. Jika seseorang melihat kebersihan di Singapura lalu menyimpulkan bahwa Singapura itu Islami, tentu salah. Sebab Singapura ternyata juga tidak bersih dari perjudian, pelacuran, penindasan ras dan ketidak adilan sosial.

Demikian pula jika orang melihat orientalis berpikir rasional, obyektif dan argumentatif lantas menyimpulkan orientalis itu Islami adalah salah. Ini lebih disebabkan oleh latar belakang dan kemampuan kritisnya yang rendah serta sikap inferioritasnya yang tinggi.


Sebelum ke Barat orang seperti ini mungkin belajar Islam dengan metode hafalan dan ketika sampai di Barat ia menemukan pemikiran orientalis yang menggunakan metode analisa yang kritis. Tanpa menyadari bahwa metode kritis dan analitis mereka itu justru bertentangan dengan tradisi intelektual Islam dan membingungkan.

Selain itu wawasannya tentang peradaban Islam juga rendah, sehingga apa yang dilihat di Barat itu sebagai kemajuan yang perlu ditiru Islam, padahal dalam sejarahnya umat Islam telah mencapai prestasi keilmuan yang lebih hebat dari Barat.

(15). Di antara para mahasiswa Muslim yang belajar di Barat itu semangat membawa ide rasionalisasi, sekularisasi dan liberalisasi Islam? Padahal ide-ide itu terasa asing bagi masyarakat Islam dan bahkan mengundang kontroversi. Mengapa ini terjadi?

Ini sisi lain dari mentalitas inferior itu. Mereka itu salah target dalam mengagumi Barat. Di Barat saja banyak yang telah mengkritik rasionalisme, sekularisme dan liberalisme. Ketika saya memberi kuliah umum di Universitas Salzburg, Austria, saya berjumpa dosen-dosen yang tidak suka pluralisme dan liberalisme.

Mestinya umat Islam meniru sikap orang Barat yang kritis, bukan justru mengadopsi paham-paham yang ada di Barat. Mengapa ini terjadi? Karena rendahnya pengetahuan tentang pemikiran dan peradaban Islam dan Barat sekaligus, maka jalan pintas yang paling mudah adalah melakukan adopsi dan justifikasi konsep-konsep asing tanpa sikap kritis-selektif.

Seakan mereka tidak mampu lagi melakukan ijtihad yang berdasarkan pada khazanah konsep dan ilmu pengetahuan Islam. Dengan jalan ini mereka berharap konsep-konsep dari Barat yang tidak terdapat dalam khazanah intelektual Islam itu bisa dianggap baru.

(16). Tapi seberapa besar salahnya jika seorang Muslim mengadopsi konsep-konsep Barat?

Kesalahannya akan ditemui pada hasil akhirnya. Dengan menggunakan paham-paham ini maka pemahaman Muslim terhadap Islam bisa berubah. Sebagai contoh, jika selama ini umat Islam memahami al-Quran sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad, maka dengan menggunakan framework berpikir Barat ia menjadi bukan wahyu yang murni dari Allah.

Dengan filsafat hermeneutika misalnya, al-Quran menjadi produk budaya, atau diwahyukan karena situasi budaya Arab, atau malah bukan murni wahyu Tuhan, tapi interpretasi (ta'wil) Nabi terhadap wahyu Tuhan.

Selain itu, paham liberalisme yang mengandung konsep relativisme meletakkan ijtihad ulama di masa lalu dalam posisi relatif, tergantung pada tempat dan waktu. Ijtihad ulama Timur Tengah tidak sesuai untuk Indonesia, ijtihad abad ke-16 tidak bisa dipakai lagi untuk kondisi zaman sekarang.

Dengan framework liberal ini maka khazanah intelektual Islam menjadi tidak ada artinya. Kitab-kitab yang dikaji di pesantren menjadi tidak sesuai lagi dan harus dibuang.

(17). Apa contoh yang lebih kongkrit dalam bidang pengambilan hukum?


Dalam studi Fiqih misalnya, kajian di Barat menekankan pada konteks sosial budaya manusia daripada teks. Maka dari itu dalil ushul fiqih: al-Ibratu bi umum al-lafz, la bikhusus al-sabab dibalik menjadi al-Ibratu bi khusus al-sabab la  bi umum al-lafz.

Konteks historis lebih penting dari kandungan teks ayat. Dan ketika membaca sejarah, mereka memakai hermeneutik, yaitu metode tafsir yang melihat teks dari konteks sosial, politik, psikologis, ontologis, historis dan sebagainya ketika teks itu diturunkan. Dengan  metode ini maka fiqih yang dipelajari di pesantren akan dianggap kuno dan dianggap maskulin serta bertentangan dengan HAM.

(18). Sebetulnya pada pihak mana salahnya: Pemahaman Islam para pengkaji Barat, atau cara mahasiswa Muslim yang mengadopsi dan menerapkan pemahaman mereka?

Kalau kita mau introspeksi, kita harus akui bahwa kita yang salah. Salah karena belajar Islam kepada non-Muslim, padahal kita tahu pemahaman Islam ala Barat banyak yang tidak sesuai dengan Islam. Jika dasarnya adalah hadis perintah mencari ilmu meski ke negeri Cina (meski ini Dhaif), itupun tidak dapat diartikan sebagai perintah belajar Islam ke negeri Cina.

Jika ada yang berkilah bahwa di Barat terdapat hikmah yang hilang dan karena itu harus kita cari, masalahnya apakah kita punya ilmu untuk mencari dan menemukan hikmah itu dari belantara pemikiran non-Muslim.

Persoalannya menjadi jelas sekarang, bukan salah karena belajar kepada non-Muslim, tapi karena dua hal: Pertama, Karena belajar kepada orang yang tidak memiliki otoritas. Saya dulu di ISTAC Malaysia diajar oleh orientalis tentang sejarah sains Islam, filsafat Islam dan hubungan Islam dan Barat.

Ini menurut al-Attas tidak berarti kita belajar Islam kepada mereka. Materi-materi tentang al-Quran, Hadis, worldview Islam, dan sebagainya tetap diajar oleh profesor Muslim yang otoritatif. Kedua, karena belajar kepada non Muslim tanpa bekal ilmu keislaman yang cukup sehingga membawa madharat daripada maslahat.

(19). Bagaimana pula kita mesti menyikapi ajaran Islam ala Barat yang terlanjur tersebar ini?

Konsep, ide dan ideologi tidak dapat dihadapi dengan sesuatu yang sepadan. Kita tidak bisa demo menentang pemikiran, kita tidak bisa menantang perang karena derasnya arus globalisasi, Westernisasi dan liberalisasi. Kita harus menghadapinya dengan konsep dan ide yang lebih kuat.

Maka dari itu sikap kita dua: Pertama: Mengkaji Islam lebih dalam dengan metode yang lebih canggih lagi. Kedua: Mengkaji pemikiran orientalis, khususnya dan Barat pada umumnya untuk mengetahui tantangan yang sedang kita hadapi.

(20). Apa saja hal-hal penting yang mesti kita lakukan guna memajukan pendidikan Islam dan melepaskan diri dari hegemoni konsep dan paham Barat?

Pendidikan Islam harus diprioritaskan dari bidang-bidang lain. Sebab peradaban Islam itu bangkit berdasarkan ilmu pengetahuan. Agar pendidikan Islam maju, pertama-tama, perlu dukungan semua pihak baik finansial maupun politik; Kedua, tujuan pendidikan Islam tidak hanya diarahkan mencari pekerjaan, tapi untuk mencetak insan kamil.

Ketiga, Pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pengkajian turath dalam berbagai bidang, baik ilmu naqliyah maupun ilmu aqliyah, namun turath perlu dipahami dalam konteks kekinian. Sesudah menguasai pemikiran Islam baru kita mengkaji Barat secara kritis. Apa yang baik di Barat kita ambil, dan yang tidak sesuai dengan Islam kita buang. Mestinya begitu. * Sumber: Dr. Adian Husaini (Facebook).
ReadMore »

2 Agustus 2019

Sampah Jakarta Sehari = 375 bis Trans-Jakarta

Sampah Jakarta Sehari = 375 bis Trans-Jakarta

Batavia, Betawi, atau DKI Jakarta hamil setiap hari dan melahirkan perhari. Ibukota melahirkan bayi sampah 7.500 ton. Seberapa banyakkah itu? Asumsikan saja dengan bus kosong Trans-Jakarta yang beratnya kira-kira 20 ton. Maka, 7.500/20 = 375 bis/hari. Anggap saja panjang bus itu 15 meter. Lebarnya kira-kira 3 m. Ini sudah termasuk jarak parkir antar bus di lapangan. Satu bus luasnya 15 m x 3 m = 45 meter persegi. 


Maka luas total kebutuhan lahan parkir adalah 375 x 45 = 16.875 meter persegi. Atau sama dengan 1,6875 hektar perhari. Andaikan luas lapangan sepakbola adalah 1 hektar. Maka luas lahan parkir untuk sampah Jakarta kira-kira 1,7 lapangan bola SETIAP HARI. Dalam tujuh hari, 1,7 x 7 = 11,9. Bulatkan menjadi 12 lapangan sepakbola.

Dalam satu bulan atau selama empat pekan, dengan asumsi tinggi bus Trans-Jakarta adalah 3,5 meter, maka tinggi total = 3,5 x 4 = 14 m. Bisa dibayangkan, ada 12 lapangan sepakbola yang berjejer, berisi bus Trans-Jakarta empat lapis dengan tinggi 14 m. Dalam setahun, atau 12 bulan, maka tingginya menjadi 12 x 14 = 168 meter

Tinggi Tugu MONAS = 132 meter. Tinggi tumpukan sampah 168/132 = 1,3 kali tinggi Monas. Pertahun, dengan asumsi semua sampah organik tidak terdegradasi dan sampah botol, kain, kertas, kardus, logam, dll tidak diambil pemulung, maka ada lahan seluas 12 lapangan sepak bola yang berisi tumpukan bus Trans-Jakarta, lebih tinggi daripada Monas = 1,3 kali ketinggian Monas.

Sampah tidak akan selesai masalahnya kalau masyarakat tidak ikut berperan. Minimal buang atau taruh sampah di bak sampah, di mana pun berada. Yang organik usahakan sesedikit mungkin ke luar rumah. Buatlah lubang di rumah untuk menampung sampah yang mudah busuk tersebut. Sisanya yang anorganik bisa diberikan kepada pemulung atau dibawa ke TPS, ITF, recycle center, dll. 

Kalau setengah warga atau 50% warga ibukota sudah peduli sampah, maka 75% masalah sampah sudah selesai. Tinggal 25% saja yang bisa ditanggulangi dengan terapan teknologi yang diupayakan ramah lingkungan.


ReadMore »