• L3
  • Email :
  • Search :

24 Desember 2008

Pipa PDAM Pecah Lagi




Pipa Pecah, Adakah Solusi?

Siang tadi, pipa trasmisi air baku PDAM Kota Bandung pecah lagi. Kini lokasinya tepat di perapatan Jln. Martadinata dan Jln. A. Yani. Seorang ibu dan anaknya yang mengendarai mobil di TKP tidak tahu bahwa ada pipa air minum yang pecah di bawah kendaraannya. Ledakan itu menghebohkan warga di sekitarnya sehingga arus lalu lintas pun tersendat, terutama dari arah rel kereta api di dekat pasar Kosambi.

Foto terlampir diambil berselang lima menit setelah mobil yang terperosok dapat diderek oleh petugas. Untuk mengamankan situasi, polisi memasang police line di sekeliling TKP. Semoga manajemen dan pegawai PDAM Kota Bandung mampu segera memulihkan pelayanannya.*
ReadMore »

9 Desember 2008

Haji Tanpa Hati


Pagi-pagi sekali terjadi keributan di rumah Pak Dullah. Suara bentakan dan hantaman benda tumpul sejenis kayu menggema. Rupanya Pak Parno kembali datang menagih piutangnya ke pedagang kelontong di Pasar Anyar. Dalam ekonomi sulit dan daya beli yang terus menurun akibat krisis finansial global ini, dagangan Pak Dullah tak mampu bertahan. Dia kalah bersaing dengan sebuah toko serba ada, semacam mini market di kota itu. Ujung-ujungnya, modalnya tak bisa kembali dengan cepat dan tertanam dalam ujud barang-barang yang kian kotor berdebu. Pada saat yang sama, utangnya ke Pak Parno kian membengkak, terjerat erat.

Pekan lalu aku dengar Pak Parno berangkat lagi ke Mekkah untuk berhaji bersama istrinya lewat ONH Plus. Mereka menjadi dua orang di antara tiga juta orang jamaah haji pada 1429 H, tahun 2008 ini. Setahuku sudah lima kali mereka berdua ibadah haji. Aku tak heran lagi karena kekayaannya demikian banyak. Sawahnya berhektar-hektar, kebun kopinya telah panen dan tokonya ada lima, dua di desa sebelah dan tiga di kota. Istrinya mengelola pabrik tahu dan juga katering untuk pegawai di kota. Entah berapa milyar rupiah aset yang dimilikinya. Tambahan lagi dua orang anak lelakinya kuliah di Bandung dan satu orang perempuan kuliah di Yogyakarta.

Ada satu hal yang menurutku sangat mengganggu kehajiannya adalah perilakunya sebagai "bank" swasta. Pasangan suami istri asal Desa Tegalrejo di Jawa Tengah itu telah lama berpraktik sebagai bank swasta atau istilah umumnya rentenir. Orang-orang yang tak mampu membayar utangnya makin lama kian terjerat dan berakhir pada penyitaan sepeda, motor, sawah bahkan rumah. Itulah sebabnya, kekayaan Pak Parno terus bertumpuk-tumpuk di mana-mana. Perkebunan dan peternakan sapinya terus berkembang dan menjadi sumber “devisa” pada setiap hari raya kurban seperti tanggal 10 Dzulhijjah 1429 H atau 8 Desember 2008 kemarin.

Jika demikian adanya, demikian perilakunya, adakah mereka berhaji tanpa hati?
ReadMore »

SII di Salman ITB

SII (Studi Islam Intensif) di Salman ITB


Aku berdiri agak di tengah, wajah lurus menatap kamera, berambut panjang yang agak berkuncir di bagian belakang, berada di samping kanan Prof. A. Sadali. Kegiatan ini termasuk fase awal aku belajar tentang Islam, agama rahmat bagi alam, tetapi mayoritas manusia tidak menyadarinya lantaran bertekuk lutut di bawah kerling megah mewah nikmat dunia.

Studi Islam Intensif, disingkat SII, adalah salah satu kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh pengelola Masjid Salman ITB. Pada masa itu, ikhwan Yan Orgianus menjadi motornya, penggerak kegiatan kaderisasi di Salman, dibantu belasan orang lainnya.

Inilah kondisi koridor Timur masjid Salman pada masa itu yang nyaris tak beda dengan kondisinya sekarang, 2008.


++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++


Salman, bagi saya, begitu berjasa. Di masjid inilah kali pertama saya mendapat pencerahan Islam. Masjid kampus yang dikelola akademisi ITB ini mengajak saya lebih dalam menyelami dan lebih luas melayari samudra Islam. Berbagai ilmu saya dapatkan di masjid yang didirikan atas prakarsa Prof. T. M. Soelaiman, seorang Guru Besar Teknik Elektro ITB dan Prof. Achmad Sadali dosen FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain) ITB.

Lewat Studi Islam Intensif atau SII-lah saya makin tahu tentang Islam. Setelah SII dan menjadi panitia SII periode berikutnya mulailah saya betah di Salman. Nyaris tiap hari di Salman. Kawan-kawan meluas, ada yang dari Universitas Padjadjaran, STKS, IKIP Bandung (UPI), Univ. Parahyangan dan banyak lagi yang lain. Di antara kawan-kawan itu ada yang fasih baca Qur’an dan ternyata ada juga yang masih dalam taraf belajar bahkan tak tahu huruf Hijaiyah. Pendeknya, kami berasal dari bermacam latar belakang perguruan tinggi, jurusan dan suku. Yang sama ialah kami sama-sama mahasiswa muslim, sama-sama ingin memperbaiki diri dan melepas keburukan diri.

Saat SII itulah saya rutin shalat berjamaah. Apalagi yang dibaca ayat 27-29 al-Fath. Ayat ini begitu menggugah rasa keislaman saya terutama setelah mendengar dan membaca uraian sebab-sebab turunnya ayat tersebut. Saya berkali-kali membaca buku Kumpulan Materi LMD dan SII. Buku yang saya miliki ialah yang cetakan ketiga, tahun 1987. Bab I, Kemenangan berisi kupasan al-Fath 27-29, ditulis oleh Yan Orgianus dengan memikat. Senang saya jadi makmumnya lantaran ayat yang dibacanya al-Fath 27-29. Saat Maghrib dan Isya saya upayakan di Salman agar hafalan saya makin lancar. Maklum, baru belajar.

Selain Kak Yan, ada Prof. Achmad Sadali. Namun, tak lama setelah SII itu beliau pulang ke rahmatullah; saya sempat ke pemakaman beliau. Waktu itu saya bertanya dalam hati, mengapa orang sekaliber Prof. Sadali dimakamkan dengan acara yang sederhana. Menurut batin saya beliau seharusnya dihormati dengan cara pemakaman yang meriah layaknya pahlawan. Tapi pertanyaan itu tak jua terjawab. Saya lupa, apakah rektor ITB hadir waktu itu, entahlah anggota senatnya. Yang saya lihat hanya kalangan aktivis Salman dan penceramah atau pemateri di Salman.

Pada masa itu saya rutin mengikuti ceramah K.H. Rusyad Nurdin. Ceramah beliau selalu saya nanti-nantikan. Isinya selalu menggugah hati walau sederhana dan tak banyak istilah asing yang muncul. Beliau sering bercerita tentang baju besi Ali bin Abi Thalib, juga Newton dan Einstein. Juga pernah bertutur tentang persaingan bisnis teh. Ada dua perusahaan teh, tutur beliau suatu kali, yang bersaing. Yang satu berupaya membeli teh dari perusahaan yang lain lalu menaruh teh itu di gudangnya. Setelah busuk perusahaan ini mengedarkannya ke semua pasar sehingga image masyarakat terhadap teh itu menjadi buruk. Pembeli beralih membeli teh perusahaan satunya lagi sehingga perusahaan teh lainnya bangkrut. Inilah akhlak berdagang yang buruk, kata beliau.

Beliau juga berkisah tentang penguasa yang wajib dicontoh. Ini ada pada diri Umar bin Abdul Aziz yang tak mau menggunakan lampu minyak milik negara untuk urusan keluarga. Waktu itu saya merasa aneh pada pernyataan Pak Rusyad. Kok ada orang seperti itu? Apakah itu betul-betul terjadi atau sekadar kisah hikmah saja? Begitulah saya membatin. Inti kuliah beliau saat itu adalah jangan gunakan apa pun milik negara jika bukan untuk urusan negara. Pejabat, lanjutnya, akan berat tanggung jawabnya di akhirat kecuali sudah tak percaya lagi pada siksa neraka, merasa akan hidup selama-lamanya.

Akhlak memang inti utama bahasan beliau. Apakah akhlak? Akhlak, menurut Al Ghazali, ialah pembawaan atau sifat seseorang yang terpendam dalam lubuk hatinya yang dapat mendorongnya melahirkan amal perbuatan dengan spontan, tanpa dipikirkan lebih dulu.
Demikian.... adanya. *
ReadMore »

25 November 2008

Guruku... Guruku.... Guruku

Aku tidak tahu kapan tanggalnya, juga bulan apa dan tahun berapa beliau lahir. Setahuku, beliau sudah lama mengajar, bahkan pernah mengajar ibuku dan juga kakak dan adik ibuku. Berambut putih-kelabu, sering disanggul, berselip konde berbunga emas, berkaca mata minus, guruku ini begitu bersahaja. Kebaya yang dikenakannya, juga kambennya, memang membuat gerakannya tak sebebas orang yang bercelana panjang. Namun langkahnya termasuk gesit, baik ketika mengajar maupun saat berjalan pulang atau sekadar berkeliling menyaksikan murid-muridnya bermain.
Seingatku, beliaulah yang selalu mengajar murid kelas satu dan kelas dua. Yang kelas satu mulai sekolah jam tujuh, pulang jam sembilan. Yang kelas dua mulai sekolah jam sepuluh, pulang jam dua belas. Waktu itu Bali termasuk Waktu Indonesia Barat (WIB) bukan Indonesia Tengah (WITA). Rumahnya masih satu jalan dengan lokasi SD, ke arah Selatan, di depan SMEA sehingga beliau pergi-pulang ke-dari sekolah berjalan kaki meskipun punya mobil. Pada dekade 1970-an itu jarang orang punya mobil di Tabanan kecuali kalangan tertentu. Telefon pun beliau punya pada masa itu ketika pemilik telefon dapat dihitung dengan jari tangan dan kaki. Beliau pun berjualan di sekolah, berjualan kue, rujak, dan plecing kangkung. Yang menjualnya bukan beliau, tentu saja, tetapi murid-murid kelas empat atau kelas lima. Imbalannya berupa kue atau uang. Nyaris tak ada sisanya setiap pulang sekolah. Habis dibeli murid-murid.

Ada lagi guru yang lain, berperawakan kekar, tegap dan besar rangka tubuhnya. Menaiki vespa, beliau selalu datang pagi-pagi benar. Rumahnya pun masih satu jalan dengan lokasi sekolah, menuju arah Utara, ke Banjar Kamasan. Sebagai kepala sekolah, beliau selalu menjadi inspektur upacara. Suara baritonnya keras terdengar dalam jarak tiga kelas. Yang tak mungkin kulupakan adalah ketika beliau mengajak kami menyanyikan lagu-lagu wajib, lagu perjuangan pada siang hari menjelang bubar sekolah. Sambil bertepuk tangan, kami nyanyikan Garuda Pancasila, Maju Tak Gentar, dan lagu lainnya. Halo Halo Bandung pun tak ketinggalan. Pada waktu itu aku tak tahu bagaimana kondisi Bandung. Tetapi aku tahu dari pelajaran di sekolah bahwa Bandung terletak di Jawa Barat, berhawa dingin dan katanya..., gadis-gadisnya berkulit kuning langsat. Mojang Priangan..., begitu katanya.

Guru...., guru.... guruku.

Teman-temanku bilang, dan patutlah diakui, guru masa lalu... berbeda dengan guru pada masa kini. Aku mengiyakannya. Kutahu bedanya, misalnya dalam hal spiritnya, jenjang pendidikannya, kedalaman - keluasan ilmunya, fasilitasnya, dan... tentu saja..., gajinya. Guru anak-anakku pun sekarang berbeda dengan guru-guruku dulu dalam banyak hal. Yang pasti..., tak satu pun guruku itu bergelar sarjana. Mereka tamatan sekolah guru, semacam Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau Sekolah Guru Bawah (SGB), Sekolah Guru Atas (SGA). Kini mereka sudah pensiun, ada beberapa yang meninggal.

Layaknya manusia, memang ada guru yang baik dan ada juga yang buruk perilakunya. Mereka seperti profesi lainnya, ada yang saleh, ada juga yang salah sehingga menjadi tidak adil kalau yang disorot hanya sisi buruknya. Sisi baiknya juga wajib diapresiasi. Satu hal yang aku yakini, guru sekarang sudah jauh lebih maju, terutama pendidikannya. Ada guru yang bergelar profesor, ada yang doktor dan banyak guru yang menyandang magister. Yang bergelar sarjana pun terus bertambah karena ada poinnya dalam portofolio sertifikasi guru.

Kuakui, lantaran guru pula aku bisa membaca dan menulis. Adapun kritikku pada guru selama ini, terutama terhadap guru masa kini, lebih karena kecintaanku kepada mereka. Sejumlah temanku kini menjadi guru, ada yang sudah menjadi kepala sekolah. Adikku, saudaraku juga berprofesi sebagai guru. Dulu, ketika masih kuliah, aku dan adikku, juga dengan teman-temannya sering bergurau. Aku katakan bahwa aku akan jadi insinyur. Mereka pun lantang menjawab dengan mimik serius bahwa mereka akan menjadi gurunyur.

Akhir kata, untuk bapak dan ibu guru yang saya hormati, juga untuk adik-adik guru dan calon guru (yang sedang prajabatan), juga guru honorer, saya ucapkan selamat memperingati Hari Guru Nasional, 25 November 2008.

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
ReadMore »

Selamat Hari Guru Imajiner

Selamat Hari Guru Imajiner


Dalam amatan saya, guru itu ada dua. Yang kesatu, guru riil, yakni guru yang langsung bertatap muka secara formal dengan muridnya, memiliki kurikulum, diatur oleh undang-undang, dan diakhiri oleh ijazah atau sertifikat. Yang kedua, guru imajiner, yakni orang yang "dianggap" guru oleh "murid"-nya. Dalam kisah Panca Pandawa, Sang Karna yang perang tanding (duel) melawan Arjuna pun memiliki guru imajiner sehingga sepiawai Arjuna dalam memanah.

Kali ini, untuk menyambut Hari Guru Nasional pada 25 November 2008, saya merilis tulisan yang fokusnya pada guru imajiner. Area bahasannya dipersempit, hanya melingkupi guru yang memberi saya ilmu keislaman, khususnya ketika saya kuliah di Bandung. Artinya, alasan dan pandangan di bawah ini adalah subjektif dari sudut penulis sehingga boleh jadi bertentangan dengan opini pembaca.

Yang pertama, saya berkisah tentang guru saya, yaitu K.H. Athian Ali M. Da’i, M.A. Hal menarik yang saya ingat ialah ketika beliau menerangkan perbedaan antara ilmul yaqin, haqqul yaqin, dan ainul yaqin. Untuk menjelaskan ketiga istilah itu beliau mencontohkannya dengan buah-buahan.

"Ada yang tahu buah marissa?" tanyanya pada suatu siang.
Kami saling pandang, bertanya-tanya. Rasanya ada yang salah.
"Bukan marissa, Pak, tapi markisa," ralat kawan-kawan serempak.
Sambil tersenyum Pak Athian mengulang lagi, "Bukan markisa, tapi ini marissa!"
Semua terdiam.
"Ada yang tahu? Ciri-cirinya begini. Besarnya sebesar apel, warnanya mirip delima, isinya putih seperti ..., bijinya hitam sebesar...."

Lancar sekali Pak Athian memaparkan ciri-ciri khas buah yang baru kali pertama itu saya dengar. Sulit sekali saya membayangkan buah itu, buah yang namanya mirip dengan nama artis film. Waktu itu memang ada artis yang baru naik daun bernama Marissa Haque. Dia belum seterkenal sekarang. Saya pun berpikir ke nama artis itu. Ternyata bukan itu yang dimaksudnya. Saya jadi menduga-duga saja.

Karena semuanya diam, mulailah Pak Athian menjelaskan buah marissa yang ternyata memang hanya khayalan atau karangan beliau saja untuk menjelaskan ilmul, ‘ainul dan haqqul yaqin. Lewat analoginya yang pas dan segar, juga sosok dan kefasihannya melafalkan ayat Qur’an dan ketegasannya dalam berpendirian membuat saya betah menyimak ceramahnya.

Guru berikutnya adalah Dr. K.H. Miftah Faridl. Yang berkesan bagi saya ialah gaya bicaranya yang tenang dan lancar. Tangannya jarang bergerak-gerak kalau sedang bicara. Beliau bicara seperti membaca buku saja. Namun, intonasinya diatur sedemikian rupa sehingga nyaman.

Ada satu pokok ceramahnya yang saya ingat sampai sekarang, yaitu soal shalat. Kalau ada orang Islam yang tidak shalat, kata Pak Miftah, mungkin ada tiga hal. Yang pertama, dia masih anak-anak, belum dewasa. Belum baligh. Yang kedua, mungkin dia seorang wanita yang sedang haid atau nifas. Tapi kalau dia berkumis, tak mungkinlah dia haid karena dia pasti laki-laki (hanya saja waktu itu Pak Miftah tidak membahas yang bencong atau waria). Yang ketiga, dia pasti orang gila. Sebab, orang gila tak dikenai kewajiban shalat. Bagaimana mau shalat, siapa dirinya saja dia tak tahu dan tak sadar atas perbuatannya.

Jadi, kalau ada mahasiswa yang tidak shalat, katanya dengan mimik serius, dia pasti bukan anak-anak, juga bukan sedang haid karena dia laki-laki. Maka, dia pasti yang ketiga...... Kami pun lantas geerr tertawa. Orang gila, katanya, akan “melenggang” ke surga. Wah, enak sekali, pikir saya. Tapi adakah yang mau menjadi gila selama hidupnya?

Yang juga menarik bagi saya adalah ceramah Prof. Ahmad Mansur Suryanegara. Bicaranya pun lurus-lurus saja, agak datar. Tapi materinya luar biasa. Pelajaran sejarah yang biasanya bikin ngantuk, tapi yang ini malah bikin melek terus. Yang khas ialah kemampuannya menggambar benua Eropa, Asia, dan Afrika hanya dengan satu tarikan garis kemudian menerangkan betapa Indonesia begitu luas sambil menunjukkan bentangan dari kota di Eropa ke kota di Asia.

Juga ada Dr. Jalaluddin Rakhmat. Beliau dosen di Universitas Padjadjaran tetapi sering memberikan ceramah dan/atau kuliah Duha di Salman. Satu hal yang membekas ialah ketika Pak Jalal tampil dalam satu panel dengan Prof. Dr. Nurcholis Madjid (pendiri Paramadina yang menghebohkan lewat "Tidak ada tuhan selain Tuhan") di GSG ITB. Di samping itu, yang membuat saya ingat Pak Jalal adalah bukunya yang berjudul Islam Alternatif. Inilah salah satu buku-buku awal yang saya beli dan ikut mewarnai keislaman saya.

Kemudian, yang membuat hati saya makin berguncang-guncang dalam Islam ialah paparan K.H. Endang Saefudin Anshari ketika mengupas buku dosen Fikom Unpad itu di Salman. Saya orang awam dan saya melihat betapa terjadi beda pendapat yang tajam dalam menafsirkan hal-hal yang ditulis Pak Jalal dalam buku itu. Pada masa itu sama sekali saya tidak tahu apa itu Syi’ah, apa itu Sunni. Entah kebetulan, entah memang sudah terjadwal, esoknya Kang Jalal yang memberikan ceramah dan langsung menanggapi ulasan Mang Endang. Saya yang belum tahu apa-apa perihal Islam dan keislaman, hanya menjadi pendengar dan tak mampu berpendapat apalagi berpihak kepada salah satu di antara mereka.

Yang juga saya nobatkan menjadi guru imajiner adalah Dr. K.H. Asep Zaenal Ausop. Ceramahnya tak lepas dari hal-hal yang membuat saya tertawa, minimal tersenyum. Ada kasus menarik yang pernah diceritakannya, yaitu perihal orang "saleh", rajin shalat dan suka ceramah. Suatu ketika dia digoda wanita cantik dan akhirnya terjerumus perbuatan nista. Sejak saat itu, katanya, dia tak pernah tobat.

Kalau diteruskan, masih panjang daftar ini, seperti K.H. Agus Syihabuddin, M.A, K.H. Muchtar Adam, Pak Mustafid Amna, Pak Sakib Mahmud, dr. Rahman Maas, dr. Biben, Dr. Hamron, dll.

Selamat Hari Guru "Imajiner" Nasional juga. Minimal, kurayakan sendiri saja lewat blogku ini.*

ReadMore »

18 November 2008

Silabus Buku Kelautan



Ada 407 buku elektronik (bukel) atau e-book yang boleh digandakan secara bebas. Namun sayang, angin segar ini tidak segera direspons positif oleh guru dan muridnya. Ini juga berkaitan dengan masa-laku bukel tersebut. Buku yang biasanya berganti-ganti tiap semester, kini akan diganti per lima tahun. Memang, ide ini disambut gembira oleh orang tua murid yang selama ini merasa diperas sekolah (dan penerbit).

Namun demikian, ada yang perlu digarismerahi. Lamanya rentang waktu masa-laku buku paket (apapun wujudnya) itu akan berpengaruh pada isi dan mutu buku. Artinya, ilmu yang dikupas di buku itu bisa jadi sudah out of date alias lewat zaman. Jangankan lima tahun, dalam tempo semesteran saja tak terjadi perubahan isi yang signifikan. Yang berubah hanya sampulnya. Substansinya tak jauh beda dengan edisi sebelumnya.

Mari ambil sampel buku tentang laut dan kelautan. Bayangkan saja, kita negara bahari tetapi silabus yang berkaitan dengan laut sedikit sekali. Silakan lihat buku-buku paket SD s.d SMA dan taksirlah berapa persen muatannya yang berkait dengan laut dan kelautan. Kemudian, ajaklah anak-anak ke warung tepi jalan yang menjual "makanan-laut" atau sea-food lalu suruh mereka menyebutkan nama-nama hewan itu. Mampukah mereka?

Padahal, jualan di warung sea-food itu baru sebagian kecil dari dunia laut. Masih banyak lagi tumbuhan dan hewan lainnya. Kalau anak-anak kota saja tak mampu memPerikan (bukan memBerikan) nama-nama itu, apatah lagi murid sekolah desa. Lebih muskil lagi yang tak pernah ke laut lantaran sekolahnya di gunung atau pelosok. Sedih sekali ketika mayoritas anak sekolah, bahkan orang tuanya tak mampu memperikan barang sepuluh-dua puluh flora fauna laut. Ini ironis. Sebab, dua pertiga atau 5,8 juta km2 negara kita diselimuti laut dan 65% warganya tinggal di pesisir.

Lantas, bagaimana menyiasatinya? Buku, kurikulum, dan silabus adalah jawabnya. Anak-anak sekolah yang jauh dari laut dan tak pernah langsung melihat laut akan dapat mengetahuinya lewat buku paket. Kalau ada dana, siswa sebaiknya diajak ke laut sambil belajar atau semacam study-tour. Jangan sampai ada anekdot bahwa laut dan isinya hanya untuk kaum kaya. Betapa tidak, harga sea food dan ikan karang Napoleon atau kerapu misalnya, begitu tinggi. Scuba diving, snorkling, kapal pesiar atau kapal selam wisata tak terbilang lagi harganya. Bahkan untuk datang ke Sea World di Ancol saja, bagi rakyat kecil, mesti menabung dulu sekian lama.

Pembelajaran Kelautan
Bukel boleh ada, malah, menurutku, ini langkah jitu di rimba internet (sekaligus tantangan bagi penerbit buku pelajaran). Buku boleh terus diganti tetapi isinya harus diperbarui. Kalau ada temuan baru dan penting bagi siswa maka buku harus diganti, tanpa tunggu masa-laku. Atau, minimal ada tambahan (addendum) bagi guru dan siswanya. Ini untuk mencegah buta-laut. Selain itu, pembelajaran pun hendaklah ditekankan pada aspek kebaharian atau industri maritim seperti industri perikanan, pelayaran, pariwisata, pertambangan dan energi laut.

Sejauh ini, pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) alias Sains di SD atau Biologi di SMP dan SMA belum sarat akan informasi laut, termasuk kuliah Pengetahuan Lingkungan di perguruan tinggi. Tak kurang, studium general dan seminar lingkungan pun sering diadakan. Bahkan ada UU No. 9/1985 tentang perikanan yang eksplisit menegaskan potensi laut seperti ikan, algae, crustacea, coelenterata, echinodermata, mammalia, mollusca dll. Termasuk peraturan turunan dari undang-undang itu sampai ke tingkat peraturan daerah. Tapi kenapa ketunalautan tak jua surut? Adakah mata rantai yang putus antara otoritas kelautan dan pelaku pendidikan?

Terlihat betapa pendidikan formal belum optimal dimanfaatkan. Kita punya struktur dan instrumen seperti pengajar, kurikulum dan silabus serta evaluasi berkala sebagai alat ukur penguasaan ilmu. Tak mengherankan jika banyak pihak menginginkan perubahan paradigma pendidikan nasional yang lebih jauh juga berarti mengubah kurikulum, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Ini dilaksanakan di semua jenis jurusan, baik eksakta maupun noneksakta. Muatan lokal kelautan disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan boleh berbeda antarsatu daerah dan daerah lainnya. Spirit otonomi daerah boleh ikut mewarnai silabus kelautan sehingga potensi khas lokal dapat disebarkan dan yang lebih penting lagi adalah dikonservasi. Sekecil apapun lingkupnya, tetap harus ada aksentuasi, kekhasan utama dari potensi laut Indonesia.

Adakah gunanya langkah "kembali ke laut" ini? Apa yang akan kita panen nanti? Aku yakin, banyak gunanya. Minimal, ada pembukaan peluang usaha di bidang ini. Kutatap dengan mata kepala sendiri di Yeh Gangga, sembilan kilometer dari rumah ortuku di Bali. Nelayan di sini begitu semangat menjala ikan lalu menjualnya ke Tabanan, tempat kelahiranku. Kemudian, bisnis kapal pesiar atau kapal selam wisata sekalipun terbuka peluangnya. Tentu dengan perencanaan matang, tidak boleh merusak pantai apalagi hutan bakau. Termasuk penguatan jajaran angkatan laut dan polisi air yang mengamankan sudut laut dan pantai yang merupakan kedaulatan negara.

Silabus kelautan pun hendaklah mengarah pada pengembangan bioteknologi laut seperti pemanfaatan biotanya untuk listrik dan obat kanker, karang untuk obat tulang, dll. Hal ini akan dapat memberdayakan nelayan di 67.500-an desa pantai di Indonesia. Termasuk pengajaran potensi polusinya yang memang tak terlepaskan dari fungsinya sebagai bak sampah superraksasa yang menampung semua pencemar dari daratan.*
ReadMore »

P e s o n a L a u t

Adalah hutan mangrove (bakau) yang mengawali pesona laut. Tapi sayang, kita terlambat menyadari fungsi "sabuk hijau" pantai ini, yang luasnya pernah mencapai 4,25 juta ha atau 22% dari 17 juta ha di dunia. Sekarang luasnya tak lebih dari 3 juta ha! Malah boleh jadi sudah jauh berkurang. Meskipun begitu, ekosistem dengan 30-an spesies mangrove ini tetap berperan pada siklus biogeokimia, menjadi habitat flora-fauna dan penyedia 80% sumber perikanan komersial. Besar sekali perannya!

Sebagai "arsitek pantai", ia tumbuh menyebar tak merata di 17.000-an pulau, di sepanjang 81.000 km garis pantai dan melebar ke laut dangkal. Biasanya akarnya tumbuh di lumpur namun ada juga yang tumbuh di terumbu karang, sejenis hewan dari filum Coelenterata dan bersimbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Bakau perlu koral untuk tempat tumbuhnya sedangkan koral terhindar dari gerusan CO2 karena diambil oleh bakau untuk fotosintesisnya.

Hewan karang yang tersusun oleh kalsium karbonat ini kaya warna karena ada algae endozoik, yakni zooxanthellae di bagian "kepala" atau polip-nya. Perannya yang demikian penting itu, selain karena penghasil tak kurang dari 15 ton ikan per km2 luas terumbu karang, juga karena luasnya yang sangat besar antara 60.000 - 70.000 km2 atau 14% dari luas totalnya di dunia. Yang patut disayangkan, hanya 6,48% berstatus sangat baik, 22,53% baik, 28,39% cukup baik dan sisanya 42,59% sangat buruk.

Anggota Coelenterata punya tentakel mungil, mampu bergerak dengan tarian jarinya dan mata primitifnya yang berderet melingkar di bawah tubuhnya yang transparan, mirip kubah bola. Dengan tentakel atau bulu atau silianya itu ia bergerak, berenang sambil mengembangkempiskan tubuhnya. Tentakelnya yang bersengat itu digunakan untuk menangkap mangsa. Di antara terumbu karang itu juga ada anemon laut yang lebih mirip bunga. Ia sesungguhnya karnivora yang menipu calon mangsanya dengan lambaian tangan (tentakel) berbisanya.

Tak jauh dari habitat binatang berongga ini terlihat bintang laut yang membelai karang dengan lengannya yang jumlahnya bisa lebih dari lima untai. Mulutnya di bawah sedangkan duburnya di atas (uaneh ya!) dan mampu merangkak dengan kaki sedotnya. Dengan lengan itu ia mampu mengisap daging kerang. Ia mampu bertunas dari lengannya yang putus. Di bawahnya berserakan bulu-bulu babi yang tubuhnya penuh duri berbisa. Mulutnya juga di bawah tubuhnya. Ia termasuk filum Echinodermata yang artinya kulit berduri. Juga ada moluska, si hewan lunak dan beragam jenis ikan dan kepiting.

Bahkan ikan hiu yang terkenal ganas itu, untuk jenis tertentu kesukaannya makan algae dengan "lauk-pauk" ikan -ikan kecil. Kenyataannya, tak semua ikan hiu itu ganas. Dari sekitar 250 atau ada yang meyakini sekitar 350 jenis ikan cucut ini, hanya belasan jenis yang buas. Tiger shark, si macan loreng dengan panjang mencapai 3 m, termasuk yang buas. Juga cucut banteng (Carcharinus leucas) dan cucut putih (Carcharodon carcharias yang ganas, di Australia disebut si white dead. Cucut macan (Galeocerdo cuvieri) ini ada garis-garis lorengnya. Tapi ikan hiu buas ini tetap dibutuhkan untuk kelestarian ekosistem. Artinya, dalam perikehewanan, tiadalah yang termasuk hewan buas dan hewan jinak. Semua hewan yang bertingkah jinak dan ganas hanyalah demi kelestariannya.

Ada juga jenis hiu lain yang tak "sebuas" di atas seperti hiu raksasa Cetorhinus maximus dan hiu paus Rhinodon typicus. Hiu jenis ini pemakan plankton, ubur-ubur, dan ikan kecil lainnya. Tubuhnya besar sehingga malas, kurang lincah gerakannya. Cucut martil juga ganas, gesit dan rakus. Kepalanya aneh dengan mata di ujungnya sehingga mampu melihat ke depan dan ke belakang. Mereka hidup di laut bebas.

Yang juga khas adalah ikan paus. Ini nama keliru karena paus bukanlah ikan (pisces) tetapi mammalia. Ia melahirkan anak dan menyusuinya. Seperti halnya hiu, paus pun ada yang buas sebagai pembunuh tetapi tetap dalam lingkup pelestarian rantai makanan. Lumba-lumba, yang dianggap sebagai keturunan paus, termasuk mamalia cerdas.

Paparan di atas hanyalah contoh beberapa biota laut yang memesona dan tertulis di buku ajar. Banyak lagi yang belum disebut dan belum diketahui. Agar kita tergugah untuk mengetahuinya, pembelajaran adalah kuncinya. Kayakan buku dan bukel kita akan flora, fauna, tambang dan energi laut. Moyang kita orang pelaut. Jalesveva Jayamahe. Di lautan kita jaya. Semoga. *
ReadMore »

16 November 2008

IPAL: Salah Kaprah


Sudah menjadi rahasia umum, hanya sedikit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang optimal dalam mereduksi polutan. Mayoritas unit proses yang dibuat pun hanya untuk menurunkan konsentrasi zat organik dengan parameter BOD dan/atau COD. Padahal jenis polutannya, selain senyawa karbon dengan parameter BOD dan/atau COD itu, ada bermacam-macam. Sayangnya juga, petugas pemerintah dari kementerian, dinas, badan, kantor, lembaga yang berwenang dari berbagai instansi kesehatan dan lingkungan pun hanya fokus pada angka BOD dan/atau COD. Malah kebanyakan petugas tersebut dan juga masyarakat, termasuk wartawan cetak dan elektronik, hanya terpaku pada angka BOD, COD. Padahal ada sumber polutan lain yang lebih bahaya bagi lingkungan, yaitu nutrien yang terdiri atas senyawa nitrogen dan fosfat.

Historisnya, dalam silsilah pengolahan air limbah, kedua senyawa tersebut digolongkan ke dalam pengolahan tingkat lanjut (advanced treatment) dan menjadi bahasan penting bagi mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan mulai dasawarsa 1980-an. Hanya saja, materi pengolahan lanjut air limbah ini kurang maksimal dieksplorasi, bahkan juga di tingkat pascasarjana (magister). Dosen cenderung mengajarkan seluk-beluk teknologi pengolahan konvensional, tapi ini sah-sah saja, karena sejarah dan pola pengajarannya memang demikian. Di bidang riset dan pengembangan ilmu pengolahan nutrien, berbagai temuan baru bermunculan yang diikuti oleh terapannya di dunia praktis. Apalagi pada masa sekarang banyak produk rumah tangga, hotel, kantor, rumah sakit mengandung nitrogen dan fosfat. Berbagai produk pembersih pun tak lepas dari deterjen yang kaya fosfat sehingga signifikansi nitrogen dan fosfat dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL) cenderung menguat dibandingkan dengan senyawa karbon.

Melihat fakta tersebut, wajiblah petugas negara di berbagai departemen, kementerian, dan dinas-dinas di kabupaten, kota, dan provinsi mengawasi IPAL dengan bekal ilmu dan teknologi yang memadai dikaitkan dengan polutan senyawa nitrogen dan fosfat, tidak lagi hanya berpatokan pada angka BOD dan/atau COD. Kalangan wartawan pun hendaklah memiliki ilmu yang serupa itu agar dapat memberitakan secara betul dan berimbang tentang polutan dari suatu pabrik, kantor, kawasan permukiman, rumah sakit, hotel, dll. Lewat berita inilah masyarakat akan mulai bertambah ilmunya tentang air limbah dan teknologi pengolahannya sehingga “jargon” semacam IPAL adalah BOD, COD mulai berubah, ditambah dengan nitrogen dan fosfat, yang ketiganya bisa diolah secara biologi-lengkap (bioproses komplit).

Dengan pola pikir seperti itu maka IPAL yang hanya terdiri atas proses anaerob tidak akan mampu mengolah senyawa nitrogen dan fosfat secara optimal. Bahkan tak mungkin terjadi reduksi senyawa tersebut kecuali hanya sejumlah yang dibutuhkan oleh bakteri dan archaea untuk pertumbuhannya. Itu sebabnya, semua teknologi seperti septic tank, Imhoff Tank, digester, dan banyak lagi nama-nama merek yang dijual komersial di toko, supermarket berbahan fibre, dll tidak akan mampu mengolah N dan P. Produk itu hanya mampu mengolah senyawa karbon (C) dalam wujud BOD dan/atau COD. Ini pun masih rendah efisiensinya. Gabungan proses anaerob dan aerob pun tidak akan mampu mengolah secara tuntas nitrogen dan fosfat kalau tidak disediakan fasilitas resirkulasi internal dan eksternalnya. Persentase debit resirkulasi ini pun berpengaruh pada efisiensi reduksi polutan. Begitu pula halnya dengan fosfat yang memerlukan sejumlah modifikasi resirkulasi dan prasyarat kualitas air limbah.

Selain senyawa nitrogen dan fosfat, masih ada lagi polutan lainnya seperti logam-logam berat dan senyawa-senyawa yang sulit diolah secara biologi. Kelompok terakhir ini harus diolah secara kimia dengan melibatkan beberapa jenis zat kimia sebagai reagennya yang nilai investasi dan biaya O-M-nya jauh lebih mahal dibandingkan dengan bioproses. *
ReadMore »

11 November 2008

Pipa Pecah, Adakah Solusi?

Pembaca MAM yang terhormat, tulisan kali ini mengetengahkan salah satu masalah di PDAM. Walaupun tidak langsung berbicara tentang sainstek tetapi tetap berkaitan erat dengan sainstek yang diterapkan PDAM. Tulisan ini mengangkat kejadian di PDAM Kota Bandung. Tiada maksud negatif dalam tulisan ini kecuali berbagi kepada PDAM Kota Bandung dan agar dapat dijadikan ibrah bagi PDAM lainnya bahwa persoalan sumber air, transmisi air baku dan olahan, dan distribusinya tidak melulu diderita oleh PDAM kecil.

PDAM Kota Bandung dapat dikategorikan sebagai PDAM "raksasa" jika dipandang dari jumlah pelanggannya. Tak kurang dari 143.000-an pelanggan mengandalkan pasokan airnya dari PDAM yang sejarahnya bisa ditarik ke masa Technische Dienst Afdeling masa kolonial Belanda ini. Meskipun sudah berusia matang, namun masalahnya tetap banyak dan salah satunya ialah air baku. Mentransmisikan air baku dari luar kota ke pusat Kota Bandung bukanlah hal mudah. Pipa transmisi PDAM Kota Bandung berkali-kali pecah. Yang terakhir terjadi pada medio September 2008, tepat saat warga bersiap-siap makan sahur untuk puasa Ramadhan 1429 H.

Akibatnya, sekitar 105.000-an pelanggan PDAM tidak memperoleh air selama pipa yang pecah di Jalan Raya Banjaran, Kabupaten Bandung itu diperbaiki. Jumlah tersebut adalah pelanggan yang berlokasi selain di Bandung Utara. Dengan kata lain, jumlah pelanggan yang tidak kebagian air secara kontinu atau hanya memperoleh giliran singkat saja selama perbaikan pipa dan pemulihan aliran air mencapai 73% dengan asumsi jumlah pelanggan totalnya seperti di atas. Demikian menurut Kepala Seksi Distribusi, Ubang M. Besari, S.T yang juga alumnus Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan Bandung di sebuah koran lokal.

Menurut catatan, “ledakan” pipa itu memang sudah berkali-kali terjadi. Dalam hemat penulis, pipa pecah pernah terjadi pada Agustus 2001. Bahkan pada saat itu ada seloroh bahwa terjadi ledakan bom yang dikait-kaitkan dengan pelengseran Gus Dur oleh MPR dari kursi kepresidenan (Sumber: buku PDAM Bangkrut? Awas Perang Air). Ledakan juga terjadi pada Maret 2005 dan Juni 2005. Berikutnya pada 2006 dan pada bulan puasa 2008 ini ledakan yang memancurkan air baku setinggi dua meter (kata warga setempat) belum tentu menjadi ledakan terakhir. Sebab, ledakan atau pipa pecah tersebut dapat saja terjadi lagi pada masa yang akan datang. Adakah cara untuk mencegahnya?

Pipa Berlumpur
Cisangkuy adalah sungai yang menjadi sumber utama air baku PDAM Kota Bandung dengan debit sadapan mencapai 1.400 l/d. Panjang pipa transmisinya 32 km. Sumber air baku kedua berasal dari Sungai Cikapundung yang bangunan sadapnya berada di hilir jembatan Siliwangi, di dekat Sabuga ITB, berkapasitas 150 l/d. Sebetulnya ada lagi debit sadapan 600-an l/d dari Cikapundung ini tetapi instalasi pengolahan airnya berlokasi di Dago Pakar dan hanya untuk melayani pelanggan yang berada di Bandung Utara. Itu sebabnya, pelanggan Bandung Utara tidak akan (pernah) kekurangan air minum dari PDAM (selama hutan di Kawasan Bandung Utara (KBU) lestari). Apalagi ada sumber-sumber mata air yang banyak dieksploitasi PDAM untuk pelanggan Bandung Utara.

Hanya saja, Cisangkuy adalah sumber air baku utama bagi Kota Bandung. Itu sebabnya, ledakan atau pipa pecah seharusnya tidak boleh terjadi di sini. Kalaupun terjadi maka rentang waktu tercepatnya ialah 20 tahun masa desain. Namun faktanya tidak demikian, pipanya pecah berkali-kali. Menyalahkan usia pipa memang sah-sah saja, karena memang sudah tua. Akan tetapi, pipa yang ditanam di dalam tanah memiliki aturan khusus dengan syarat minimal lima meter sehingga praktis tidak terpengaruh oleh beban yang ada di permukaan tanah. Beban bergerak pun secara teoretis tidaklah besar pengaruhnya pada geseran pipa karena pipanya besar dan berisi air yang terus-menerus mengalir.

Lalu apa sebabnya? Ada sebab lain yang patut diduga lantaran airnya berlumpur. Kenapa berlumpur? Padahal di lokasi sadapan airnya sudah dilengkapi dengan fasilitas pemisah lumpur yang disebut prasedimentasi. Kalau lumpurnya banyak di dalam pipa transmisi berarti prasedimentasinya tidak berfungsi optimal. Apabila tidak berfungsi dengan baik maka dapat dicek di zone lumpurnya. Berapa kalikah frekuensi pembersihan lumpur prasedimentasi per pekan? Sedikitnya endapan lumpur di unit prasedimentasi ini, selain membuktikan disfungsi prasedimentasi juga mengindikasikan bahwa air sungai tersebut banyak mengandung koloid.

Hal ini bisa diduga andaikata di hulu Cisangkuy tidak sedang hujan. Koloid memang tidak akan mungkin diendapkan sehingga terbawa air dan mengalir di dalam pipa lalu masuk ke IPAM Badaksinga. Lumpur yang terbawa aliran ini akan banyak dibuang di IPAM Badaksinga. Lantas, betulkah banyak lumpur yang dibuang di Badaksinga? Kalau jawabnya tidak, patut diduga koloid itu sudah lebih dulu mengendap di sepanjang pipa transmisi. Endapan ini lama-lama bertambah banyak, bertumpuk-tumpuk sehingga suatu saat dapat menyumbat aliran air. Ketika tersumbat inilah terjadi tekanan air yang sangat tinggi, bisa berpuluh kali lipat dari tekanan normalnya ketika airnya mengalir lancar. Tekanan yang sangat besar ini, meskipun hanya sedetik dua detik dapat dengan mudah memecahkan pipa.

Pertanyaan berikutnya, kenapa koloidnya bisa mengendap di dalam pipa? Bukankah koloid tidak dapat diendapkan apalagi di dalam air yang mengalir? Memang betul, koloid tidak dapat diendapkan. Secara teoretis, sampai dunia kiamat pun koloid tidak akan bisa mengendap alamiah karena stabilitas muatannya. Namun demikian, ada hipotesis bahwa koagulasi-flokulasi dapat terjadi pada gerakan zig-zag dan akibat benturan dan gesekan secara fisika. Jadi, proses kogulasi dan flokulasi tidak hanya melulu dimonopoli oleh zat kimia koagulan seperti tawas dan polielektrolit (PAC) tetapi bisa juga akibat pusaran dan benturan antarkoloid ketika mengalir dengan kecepatan tinggi di dalam pipa transmisi air baku. Inilah yang menyebabkan banyak endapan di dalam pipa tersebut. Jika demikian, adakah jalan keluarnya?

Opsi Solusi
Ada beberapa opsi yang bisa ditempuh PDAM agar pipa transmisi air bakunya tidak lagi pecah pada masa yang akan datang. Opsi pertama, PDAM dapat merelokasi Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) di Badaksinga ke lokasi di dekat intake (unit sadap). IPAM dengan unit pengolahan konvensional yang dilengkapi unit koagulasi, flokulasi, sedimentasi, dan filtrasi dapat dibangun di sini. Air olahannya lalu dialirkan ke dalam pipa transmisi eksisting tanpa harus memasang pipa baru. Adapun IPAM Badaksinga bisa digunakan untuk mengolah debit tambahan dari Sungai Cikapundung atau menyadap air dari sungai lainnya yang berhulu di KBU.

Jika ditinjau dari sisi ekonomi, membuat IPAM di dekat intake memang mahal. Kalau air yang diolah 1.400 l/d maka diperkirakan pembangunanya memerlukan dana 120 Milyar. Begitu juga biaya operasi-perawatannya akan mahal karena harus memindahkan kantor operator dari Badaksinga ke lokasi baru. Belum lagi perumahaan bagi karyawan yang bertugas di instalasi, tentu lebih berat lagi beban finansialnya. Transportasi zat kimia pun menjadi lebih jauh sehingga menjadi mahal juga. Ini akan berakhir pada kenaikan tarif air minum kalau semua biayanya dibebankan kepada pelanggan. Gaji atau honor karyawan pun akan bertambah untuk memberikan insentif berupa honor daerah terpencil. Belum lagi urusan administrasi dan keluarga karyawan/operatornya.

Kalau berat memilih opsi pertama, masih ada opsi kedua. IPAM dibuat di suatu tempat yang menguntungkan secara hidrolis bagi PDAM sehingga aliran airnya masih tetap bisa secara gravitasi. Di lain pihak, tekanan sisa yang ditimbulkan akibat lokasi alternatif ini harus juga memenuhi kemampuan daya tahan bahan pipanya. Pipa air baku eksisting dialihkan fungsinya menjadi dua, yaitu ada yang berfungsi sebagai pipa air baku seperti sekarang dan satunya lagi beralih fungsi menjadi pipa transmisi air minum. Segmen pipa air minum ini akan sangat mengurangi beban pipa dan mengurangi erosi akibat lumpur sehingga daya tahannya lebih kuat. Pipa air baku sisanya tetap digunakan sebagai penyalur air baku tetapi tekanan sisanya sudah jauh berkurang sehingga ledakan pipa pun menjadi berkurang atau bahkan tidak akan pernah terjadi lagi. Selain itu beban yang ditanggung pipa akibat lumpur pun dapat dikurangi sampai batas toleransinya.

Cara ketiga, meskipun sepanjang pipa transmisi dilengkapi berbagai peralatan seperti pressure relief valve, wash out, air valve, dll PDAM masih perlu membuat sejumlah bak pelepas tekanan (BPT, break pressure tank) di lokasi yang tepat secara topografi. Selain memberikan efek aerasi dan reduksi tekanan, juga sebagai penjebak lumpur terutama saat hujan karena prasedimentasi tak mampu mengolahnya. Memang, perlu investasi dan perawatan untuk BPT ini. Selain itu, unit ini pun dapat menjadi bumerang bagi PDAM kalau teledor dalam pengawasan. BPT bisa saja dijadikan sumber air oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab atau bahkan menjadi tempat sabotase. Ini tentu berbahaya bagi pelanggan. Tapi kalau ada pengawasan ketat, kekhawatiran di atas tidak akan terjadi.

Yang keempat, PDAM Kota Bandung dapat mulai menata sistem distribusinya secara total. Katakanlah, sistem distribusinya harus “turun mesin” lalu dibuat dan dipetakan lagi secara akurat dengan memilah-milahnya menjadi beberapa zone. Minimal ada lima zone. Zone Bandung Utara sudah bisa dipisahkan dari zone lainnya dan tidak perlu ada interkoneksi pipa induk distribusi atau dari pipa sekundernya. Kalaupun terpaksa harus dikoneksikan, maka wajiblah dipasangi katup dan hanya dengan alasan yang kuat saja katup tersebut boleh dibuka dan mendapat persetujuan direksi dan badan pengawas.

Sesungguhnya, zonasi di Kota Bandung sangat perlu dibuat mengingat topografinya berupa cekungan dan area layanannya sangat luas. Tanpa zonasi, mustahil masalah K3T (kualitas, kuantitas, kontinuitas, tekanan) dapat tercapai dengan memuaskan. Pasti selalu terjadi masalah dari hari ke hari. Zonasi ini bisa disandarkan pada pembagian topografi dengan mengacu pada lereng tanah. Lerenglah penentu pola zonasi sekaligus menentukan lokasi, jumlah, dan volume reservoir distribusi di setiap zone. Pada saat yang sama, semua pipa distribusi harus dipetakan sekaligus memberikan keputusan mana pipa yang masuk ke zone satu dan mana yang masuk ke zone lainnya. Zonasi tidak perlu mengacu pada pembagian wilayah kecamatan. Zonasi hanya bergantung pada topografi, luas, dan bentuk lereng. Boleh jadi masih ada lagi opsi lainnya yang bisa dijadikan pertimbangan.

Demikian, semoga bermanfaat bagi PDAM Kota Bandung dan juga bagi PDAM lainnya. Bangkitlah PDAM! *

(Majalah Air Minum, edisi 157, Oktober 08)
ReadMore »

Zontech Water Treatment

Kawan karib air limbah adalah air minum. Di mana ada air minum, di sana pasti (akan) ada air limbah. Menangani air minum dengan baik berarti wajib juga menangani air limbah dengan baik. Namun tidak demikian faktanya. Orang lebih peduli pada air minum ketimbang air limbah. Keruh sedikit saja air minumnya, mereka lantas protes atas layanan PDAM. Tetapi kalau menyangkut air limbah, mayoritas masyarakat belum peduli. Dengan mudah mereka membuang air limbah di sembarang tempat, termasuk di selokan sehingga mencemari sungai. Tak hanya limbah domestik yang mencemarinya tetapi juga limbah pabrik.

Masyarakat sebetulnya bisa bebas dari tuduhan mencemari sungai kalau sudah berupaya membuat Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Begitu pun sumber pencemar lainnya seperti industri tahu, tempe, roti, dan rumah sakit. Limbah pabrik tahu sarat akan polutan organik seperti limbah pabrik makanan dan minuman lainnya, air limbah hotel, restoran, dan kawasan komersial. Di rumah sakit, air limbah domestiknya berasal dari kamar mandi, WC, dapur dan air bekas cucian yang kaya zat organik. Ada juga yang berasal dari aktivitas medis seperti operasi, pembersihan luka, darah, dan laboratorium. Laboratorium kimia dan farmasi pun sering membuang air limbah berbahaya-beracun.

Dari beberapa jenis sumber air limbah tersebut, limbah makanan dan minuman, juga limbah domestik, secara umum tidak berbahaya karena komponen utamanya zat organik. Namun demikian, air limbah ini menjadi polutan utama bagi perairan karena dapat mengurangi bahkan menghabiskan oksigen terlarut di dalam air sungai. Khusus rumah sakit, rata-rata 80% air limbahnya mengandung komponen tersebut. Sisanya 20% tergolong limbah B3 lantaran berisi virus, bakteri, zat berbahaya-beracun, sisa obat-obatan, dan limbah nuklir (isotop radioaktif).

Opsi Pengolahan
Umumnya pengolahan air limbah skala kecil dan menengah dilaksanakan dengan sistem setempat (on-site) seperti septic tank, cubluk, imhoff tank, dll. Pada skala besar kerapkali digunakan pengolahan konvensional dengan proses biologi seperti activated sludge dengan variasinya, trickling filter, dan oxidation pond. Hanya saja, kesulitan pengolahan konvensional ini terletak pada kebutuhan lahannya yang luas dan penggunaan mesin (aerator) yang mahal investasinya dan mahal juga biaya operasi-rawatnya. Kajian awalnya pun perlu intensif dilakukan, terutama menyangkut kuantitas dan kualitas air limbah, sumber air dan jenis bahan baku untuk memproduksi barangnya. Maka, untuk merancang unit yang akan diterapkan perlulah dibuat kajian opsi pengolahannya.

Kajian untuk menentukan jenis unit yang tepat dalam pengolahan air limbah perlu melibatkan pertimbangan di bawah ini.
1. Kondisi air limbah, menyangkut kualitas dan kuantitasnya.
2. Efisiensi unit, untuk menjamin kualitas efluen yang sesuai dengan baku mutu.
3. Aspek teknis, berkaitan dengan konstruksi, operasi dan perawatannya. Juga cara pelaksanaan, ketersediaan tenaga ahli, pengadaan material, dll.
4. Aspek ekonomis, menyangkut biaya konstruksi, operasi dan perawatannya.
5. Aspek lingkungan, berkaitan dengan potensi kerusakan lingkungan dan masalah kesehatan.
6. Luas dan kondisi fisik lahan berkaitan dengan konfigurasi unit dan topografinya.

Perlu pula dicatat bahwa jenis unit pengolah yang mesti dibangun sangat dipengaruhi oleh kualitas air limbahnya. Berikut ini adalah unit yang biasa diterapkan dalam IPAL konvensional, khususnya untuk mengolah air limbah pabrik. Adapun air limbah domestik lebih banyak diolah dengan oxidation pond (bukan oxidation ditch) seperti di Kota Bandung dan Cirebon yang dikelola oleh PDAM masing-masing. Inilah unitnya:
1. Skrining, pemisah sampah yang terbawa dalam aliran air limbah.
2. Prasedimentasi, pemisah pasir, grit, dll.
3. Ekualisasi, penyeragam beban air limbah secara hidrolis dan biologis.
4. Aerasi, reduktor polutan organik dengan sistem activated sludge atau modifikasinya.
5. Sedimentasi, pemisah sludge dari aliran air limbah olahan.
6. Disinfeksi, pembasmi bakteri sebelum air olahan dibuang ke perairan.
7. Sludge drying bed, pengering sludge dari prased dan sedimentasi.

Selain teknologi konvensional tersebut, ada opsi pengembangan teknologi yang tidak terlampau padat modal tetapi masih mampu menangani air limbah tipikal, khususnya limbah domestik, pabrik makanan-minuman, rumah sakit, klinik, dll. Yang relatif sulit hanyalah limbah elektroplating dan tekstil. Dua yang disebut terakhir ini sebaiknya (mau tak mau) diolah secara kimia meskipun menjadi padat modal, mahal biaya operasi dan perawatannya. Teknologi yang mampu mengolah dengan relatif murah ialah teknologi yang mengoptimalkan kemampuan mikroba aerob, fakultatif, dan anaerob. Teknologi ini disebut Zontech.

Zontech ialah teknologi pengolahan air limbah hibrid (hybrid) yang memadukan unit operasi fisika dan unit proses biologi (biofisika). Proses kimianya berupa opsional yang penerapannya bergantung pada kajian terhadap karakteristik air limbah institusi. Unit yang dibuat didasarkan pada kondisi air limbah masing-masing dan dipengaruhi oleh jenis kegiatan institusinya. Sebagai teknologi hibrid, Zontech memadukan beberapa unit operasi-proses yang ringkasannya diberikan di bawah ini. Pilihan dari alternatif yang tersedia bergantung pada karakteristik air limbah.

Bagian awal tahap pengolahannya dilaksanakan secara fisika dengan sedimentantion tank (seditank). Padatan dan busa dapat disisihkan di unit ini. Semua partikel, baik zat organik maupun anorganik, dapat diendapkan dengan syarat berat jenisnya lebih besar daripada satu. Selain syarat berat jenis ini ada juga syarat kecepatan endap (settling velocity) dan beban permukaan (surface loading) yang mesti dicapai sesuai dengan kriteria desainnya agar proses pengendapan berlangsung dengan baik. Fungsi seditank juga bisa diganti oleh septic tank atau jenis pengolahan awal skala kecil-sedang lainnya seperti imhoff tank, grit chamber.

Berikutnya ialah unit reaktor hibrid anaerob (Rehan). Bagian bawah reaktor hibrid ini berupa pertumbuhan tersuspensi (suspended growth) dan bagian atasnya pertumbuhan lekat (attached growth). Jenis reaktor ini merupakan cangkokan antara reaktor anaerobic filter dan upflow anaerobic sludge blanket sehingga keunggulan masing-masing dapat diakumulasikan. Unit filter anaerob ini adalah bagian dari fixed film process yang terdiri atas unit aerob seperti rotating biological contactor, oxidation ditch, trickling filter dan unit anaerobic filter.

Anaerobic filter ini berisi media lekat yang bahannya bisa bermacam-macam seperti plastik, batu, kayu, bambu. Modus alirannya bervariasi, ada yang aliran ke bawah, ke atas, dan horisontal. Bentuknya juga beragam, mulai dari persegi, segiempat, lingkaran, dan bahkan trapezium, bergantung pada bentuk lahan dan kreasi pembuatnya. Salah satu keunggulan unit ini adalah kemampuannya dalam mengolah air limbah pekat, sangat tinggi BOD dan COD-nya. Ia mampu menghasilkan biomassa lekatan dan butiran atau granular yang masif di dalam reaktornya.

Adapun bagian bawahnya (lihat gambar terlampir) berupa pertumbuhan tersuspensi. Unit ini bisa berupa unit terpisah tetapi bisa juga menjadi bagian dari anaerobic filter. Jenis mana yang akan digunakan bergantung pada luas lahan yang tersedia, jenis sumber air limbahnya, dan efisiensi yang diinginkan. Unit proses tersuspensi ini mampu menghasilkan biomassa aktif yang berat dan terkonsentrasi di zone bawah. Makin ke bawah makin aktif biomassanya sehingga degradasi zat organik dapat mencapai 80 persen. Hanya saja, dalam periode tertentu, sludge lapisan bawah ini harus dibuang agar terjadi penyegaran koloni mikroorganisme.

Selain bioproses anaerobik, Zontech pun dapat menerapkan bioproses aerob yang memerlukan oksigen lewat aerator dan unit operasi equalizing dan sedimentation. Unit yang dipilih didasarkan atas kualitas fisika air limbah institusi dan diterapkan sesuai dengan kebutuhan. Zontech pun memberikan opsi untuk mengolah air limbah secara kimia dengan menerapkan unit koagulasi, flokulasi, netralisasi, dan disinfeksi. Unit proses kimia ini dipilih dengan pertimbangan pada kualitas air limbahnya. Apabila rasio BOD terhadap COD-nya di atas 0,55 maka digunakan teknologi bioproses tanpa proses kimia.

Yang terakhir adalah unit Gramfil, biasanya diisi media kerikil. Di daerah yang jarang ditemukan kerikil dapat diganti dengan kayu, khususnya kayu ulin seperti di Kalimantan. Media plastik pun bisa digunakan seperti plastik bekas minuman kemasan. Ciri khas unit ini ialah tanaman yang mampu mengadsorbsi polutan, khususnya logam-logam berat. Di sini pun terjadi mekanisme biodegradasi aerob dan anaerob, selain photic disinfection. Air keluaran unit ini sudah dapat dibuang ke selokan atau sungai tanpa mencemarinya. Sebagai indikatornya bisa dibuatkan Fish Pond, sebuah kolam berisi ikan, khususnya ikan yang sensitif pada kadar oksigen rendah, bukan ikan yang kebal pada kondisi anaerob seperti gabus dan lele.

Pengolahan Lumpur
Semua unit di atas menghasilkan lumpur (sludge) yang perlu dikeluarkan dan diolah di sludge drying bed. Lumpur ini berisi campuran zat padat dan air dengan kadar padatan yang rendah, antara 0,25% s.d 5% berat. Karena rendah kadarnya maka sifat fisika lumpur sama dengan sifat air, berat jenisnya mendekati 1 dan mudah mengalir. Zat padat yang ada di dalam lumpur sebagian mudah terurai secara biologis. Yang tak terurai hanyalah bagian anorganik berupa abu dan mineral (inert material).

Media yang digunakan dalam sludge drying bed ialah kerikil dan pasir. Kerikil berguna untuk menahan pasir yang ada di atasnya sekaligus sebagai pendistribusi air yang ada di dalam lumpur. Adapun pasir berguna untuk menahan lumpur agar tetap berada di permukaan pasir dan dibiarkan mengering (drying) secara alami oleh terik panas matahari. Lumpur yang sudah kering ini lalu dikeruk atau dikikis dan dapat digunakan untuk bahan penimbun tanah yang cekung (legok).

Sludge drying bed umumnya berbentuk segiempat dan berdempetan dengan dimensi yang sama. Bentuk lain boleh saja kalau luas dan bentuk lahannya tidak memungkinkan. Walaupun dimensinya variatif, lapisan medianya sudah dibakukan dengan susunan per lapis seperti di bawah ini.
Lapisan paling atas : pasir halus : tinggi = 15 cm
Lapisan kedua : pasir kasar : tinggi = 5 cm
Lapisan ketiga : kerikil halus : tinggi = 5 cm
Lapisan keempat : kerikil sedang : tinggi = 5 cm
Lapisan kelima : kerikil kasar : tinggi = 10 cm

Kemiringan (slope) lantainya dibuat satu persen menuju pipa kolektor filtrat di tengah-tengah dan ukuran efektif pasirnya antara 0,3 – 1,2 mm dengan uniformity coefficient, UC < 4,0. Kerikilnya berukuran 3 – 25 mm. Pipa lateralnya (PVC) berlubang-lubang (bisa juga pipa tanah dengan open joint). Jika sludge drying bed diberi atap, maka waktu pengeringan dapat berlangsung 2 pekan sedangkan bila tidak diberi atap waktunya berkisar antara 2 dan 4 pekan, bergantung pada cuaca. Lumpur yang telah dikeringkan dapat dimanfaatkan untuk pupuk tanaman hias.

Demikianlah uraian ringkas teknologi pengolahan air limbah dengan metode Zontech Water Treatment yang contoh skema sistemnya dapat dilihat pada gambar terlampir.*


(Majalah Air Minum edisi 156, September 08)

 


 


 

ReadMore »

28 Oktober 2008

Sumpah “Lingkungan” Pemuda

Usia delapan puluh tahun sudah termasuk uzur. Usia senja bagi manusia. Pemuda 1928 sudah tiada. Kalaupun ada, usianya mendekati 95-100 tahun. Tetapi tidak demikian dengan semangatnya. Orientasi spirit pemuda masa itu bukanlah pada lingkungan yang bermakna ekologis, melainkan pada makna geografis dan politis (geopolitis). Kepedulian pemuda saat itu pun sudah masuk ke dalam ranah linguis yang berkesadaran bahwa bahasa adalah alat pemersatu bangsa di tengah ratusan ragam bahasa etnis. Fakta sejarah ini mengedepankan kalangan muda terdidik yang mampu berpikir jernih akibat kepedihannya sebagai orang terjajah.

Bagaimana pemuda sekarang pada kwartal pertama abad ke-21 ini? Perlukah pemuda masa kini berikrar seperti pemuda pada paruh pertama abad ke-20? Jujur diakui, sepuluh tahun pasca-Orde Baru, ruang gerak pemuda sudah menemukan titik pendakiannya menuju puncak. Kaum muda mulai menapaki kursi legislatif di daerah dan pusat. Ada juga yang menjadi bupati, walikota, gubernur-wakil gubernur. Yang lainnya ada yang diamanahi sebagai pejabat di lembaga pemerintahan, BUMD, BUMN, menteri, kampus, LSM, atau organisasi masa. Tinggal satu lagi, yaitu pemuda dipercaya oleh mayoritas orang Indonesia untuk mengemban peran sebagai presiden dan wakil presiden, atau sebagai ketua MPR-DPR.

Lantas, adakah peran pemuda pada pelestarian fungsi lingkungan? Seorang atau sekumpulan pemuda/di di DPR-DPRD yang berhasil menelurkan undang-undang atau peraturan daerah yang arahnya melestarikan fungsi lingkungan adalah bentuk hakiki dari sumpah pemuda di bidang lingkungan. Ketika kaum tua yang memiliki pabrik dan kawasan industri, baik investor domestik maupun asing, merusak dan bermain mata dengan pejabat di pemerintahan kabupaten/kota, provinsi, dan pusat (kementerian), ada kalangan muda yang menjadi generasi penerusnya yang berani ambil tanggung jawab dalam lingkungan. “Sumpah” mereka ini dapat dilihat pada upayanya dalam menerapkan teknologi bersih, berandil dalam reboisasi, penyediaan air minum dan penyaluran air limbah. Patut pula diakui, jumlah pengusaha muda yang ekologis ini memang tidak banyak, namun sebagai tahap awal, sudah dapat dikatakan cukup baik.

Begitu pula, pemuda yang peduli lingkungan sudah masuk dalam kategori peduli hak asasi manusia. HAM, lingkungan dan pemuda erat pertaliannya. Oksigen yang menjadi produk utama fotosintesis adalah hak asasi manusia, terutama bagi orang yang tidak mencemari lingkungan. Cuaca yang labil, perubahan ekstrim iklim, kota yang memanas dari tahun ke tahun, dan banjir ketika hujan rintik-rintik adalah dampak buruk komersialisasi kawasan dan industri yang disetir kaum tua, terdiri atas direksi dan komisaris perusahaan. Di sinilah fungsi strategis pemuda sebagai agen pelawan petua yang tak mau berubah dan dipenjara oleh pola pikir lamanya bahwa produksi harus ditingkatkan tanpa peduli pada lingkungan. Gagasan pemuda di sini menjadi penting dalam tapak idealismenya yang peduli lingkungan dan ekologi.

Salah satu unsur pemuda adalah mahasiswa, kalangan belia yang energik. Tonggak waktu 1908, 1928, 1945, 1966, 1998 terbukti disetir oleh pemuda terpelajar dan/atau mahasiswa dan alumni baru. Memang, di antara pemuda itu ada yang kemudian menyimpang dari idealismenya, digerus oleh kepentingan keluarga, partai dan kelompoknya. Namun ada juga yang bisa terus bertahan dan menjadi kaum tua yang ajeg dalam perjuangan untuk masyarakat. Yang tersulit adalah tetap setia di jalan idealisme ketika muda dulu pada saat godaan materi, lawan jenis, dan eksistensi diri merubungnya. Ini digambarkan oleh hirarki Maslow yang menempatkan aktualisasi diri sebagai puncak piramid. Ini pula yang menyebabkan kalangan tua saat ini, yang ketika muda juga terlibat dalam gerakan pemuda, ingin terus menggenggam jabatan dan menjadi elite di republik ini.

Perihal pemuda di atas, akankah semangatnya bertahan terus sampai beranjak tua dan mengemban amanah sebagai anggota dewan, kepala badan, lembaga, dinas, bupati, walikota, gubernur, menteri, bahkan presiden? Keajegan pikiran dan tindakan pemuda yang berangsur tua ini menjadi inspirasi bagi generasi muda berikutnya. Pemuda yang bersumpah untuk memelihara lingkungan adalah cermin orang berwawasan lingkungan yang sadar bahwa lingkungan ini (tanah, air) adalah milik anak cucunya. Pemuda ini berciri khas bebas, spiritnya tinggi, kreatif, idealis, ajeg (konsisten), inovatif dan berani merespon masalah lingkungan yang berpotensi merusak ekologi dan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Memang faktanya, ada juga pemuda yang terlibat korupsi, premanisme, dan prostitusi baik pelacuran intelektual (ijazah palsu, beli gelar, main sogok dalam akreditasi sekolah-kampus) maupun pelacuran ekopolitis. Hanya saja, peluang berubah masih ada dan masih dapat diubah bersama dengan dinamika pikiran dan gerakan massa yang diikutinya. Yang juga penting ialah masukan, petuah, dan contoh perilaku dari kaum tua agar mengurangi laku buruknya dalam pencalonan dirinya sebagai anggota dewan, kepala daerah, dan presiden. Perbaikan moral ini hendaklah ditunjukkan oleh generasi tua dengan cara memberikan bukti pada pemberantasan manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Akhir kata, lingkungan dapat menjadi pemersatu pemuda dalam gerakan bersama melawan pemerintah pusat dan daerah yang hanya mewacanakan lingkungan dalam tugasnya tetapi tidak membuat langkah riil di masyarakat. Bahkan langkah riilnya kerapkali ditunggangi nuansa ekonomis demi kepentingan segelintir orang dan investor sekaligus mengorbankan masyarakat umum. Gejala ini tampak di sejumlah kota besar. Oleh sebab itu, saatnyalah pemuda/di setia pada basisnya yang independen: kalau bergerak di LSM hendaklah independen, ormas dan kepemudaan yang independen sehingga tidak punya utang jasa yang harus dibayar dengan melunturkan idealismenya ketika bersumpah “lingkungan” pemuda.*
ReadMore »

27 Oktober 2008

Evaluasi PLH di Bandung

Sudah lebih setahun Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Tujuan pelajaran ini, seperti tertulis pada Peraturan Walikota No. 031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih, dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan oleh murid (juga gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek dalam mengelola lingkungan hidup.

Bagaimana pelaksanaannya di sekolah-sekolah? Dari hasil survey penulis dan tanya jawab dengan guru dan murid dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH ini belum mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah mengajarkan PLH tetapi hanya terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan maka tentu saja tidak mendapat perhatian yang mendalam dari siswa maupun gurunya.

Apalagi karena ada kata “lokal” maka murid dan juga guru-gurunya menganggap tidak penting atau dianaktirikan. Pelajaran “lokal” ini seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan jelas-jelas ditulis di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tidak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep-konsep dasar teknologi lingkungan. Masalahnya sederhana, yaitu guru tidak (belum) tahu ilmunya lantaran bukan lulusan Teknik Lingkungan.

Atas dasar fakta tersebut, mulok ini hanyalah ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung diharapkan mereposisi lagi mulok ini agar menempati posisinya sesuai dengan harapan DPRD Kota Bandung dan Pemkot Bandung sebagai institusi yang merilisnya. Pemkot Bandung hendaklah memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru dan murid dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan, yaitu sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).

Di sinilah peran Pemkot Bandung dalam memfasilitasi para gurunya sehingga dapat mengantarkan murid-muridnya memperoleh pengalaman positif yang mendukung pelestarian fungsi lingkungan. Guru diberikan training, seminar, atau bentuk lainnya tentang pelajaran PLH dari sudut rekayasa. Fokus materinya berupa masalah lingkungan seperti air minum, air bersih, air kotor, sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll yang terangkum dalam akronim watsan atau water and sanitation tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan (ekologi, “anak” dari pelajaran biologi).

Untuk implementasinya, Pemkot Bandung dapat memberikan Training Pendidikan Lingkungan Hidup (TPLH) dalam upaya mewujudkan Ecoschool di setiap sekolah di bawah Dinas Pendidikan Kota Bandung. Titik berat PLH ini harus pada sisi afektif - psikomotorik sehingga murid tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Murid harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan apa dampaknya bagi kesehatan. Melihat sampah, yang ada dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan penimbul masalah.

Sekali lagi, materi PLH ini harus dibatasi agar tidak meluas menjadi persoalan biologi (dan harus dipisahkan dari pelajaran biologi) sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Ada satu kalimat kunci, yaitu: PLH haruslah praktis dan aplikatif.*
ReadMore »

21 Oktober 2008

Antara BaNdung dan Badung

Dua pekan terakhir ini, petak Babakan Siliwangi, sering disingkat dengan Baksil, selalu ramai dibincangkan terutama di koran-koran lokal Bandung. Sebelum fokus ke tulisan ini, akronim Baksil sungguh bukanlah nama yang bagus karena orang yang tahu ilmu kesehatan dan ilmu hayat (biologi) akan mengingatkannya pada bakteri, kuman penyebab penyakit. Lebih bagus akronimnya adalah Basil (tanpa huruf k). Mudah-mudahan media massa seperti koran, radio, dan televisi, juga kalangan pemerintah daerah dan anggota dewan, pemerhati lingkungan serta warga umum dapat menerima akronim yang lebih bernilai positif ini.

Satu hal yang perlu dicatat di Bandung pada lima tahun terakhir ini, pemerintah Kota Bandung selalu saja membuat langkah aneh dalam kaitannya dengan ekologi dan lingkungan. Padahal Bandung adalah kota gunung yang derap hidupnya dipengaruhi oleh pohon (hutan) dan sirkulasi udaranya. Ini berbeda dengan kota di dataran rendah yang lebih dipengaruhi oleh kondisi pantai atau laut. Pemkot Bandung seharusnya lebih peduli pada hutan dan pohon-pohonnya apalagi berada di cekungan raya. Ini tentu berbeda dengan pemerintah Kabupaten Badung di Bali. Badung adalah kabupaten yang wilayahnya meliputi pantai (laut), dataran rendah dan gunung berbentuk kukus. Dari sisi atmosfer, Kabupaten Badung Bali tidak mendapatkan masalah yang berarti karena tiupan angin lautnya terus menerus membilas polutan udara. Begitu juga kawasan hijaunya, sangat banyak. Sekadar contoh, Badung punya kawasan yang dihuni monyet di Sangeh. Daerah yang berpohon besar-besar ini tidak akan berani diutak-atik oleh pemerintah daerah di sana.

Begitu pula, sejumlah petak hijau bertebaran di sana-sini dan selalu saja dibuatkan sanggah sebagai hubungan transenden manusia dengan Pencipta. Tiada yang berani memotong atau menebang begitu saja pepohonannya. Ini berbeda dengan di Bandung yang pernah dijuluki kota Kembang dan Parahyangan. Tetapi Doel Sumbang justru menamainya kota Kambing dan tidak lagi menjadi kota para Hyang, yang menjadi basis transenden warga tatar Bandung. Kini kembangnya jauh berkurang dan petak hijaunya juga diubah menjadi bangunan untuk basis ekonomi. Semua daerah perlu pendapatan untuk modal membangun dan menata daerahnya, tetapi tetap wajib berorientasi pada lingkungan, berwawasan lingkungan. Kepedulian ini tidak sekadar wacana, ucapan ketika pidato belaka, tetapi betul-betul menjadi fakta lapangan. Mengubah daerah hijau menjadi daerah bagunan beton otomatis faktanya adalah menghilangkan pohon lalu menumbuhkan beton. Fungsi tangsap (tangkap-resap) air hujan pasti minimal kalau tidak bisa dikatakan lenyap.

Badung di Bali relatif lebih peduli pada lingkungan padahal wilayahnya berada di tiga matra, yaitu laut (pantai), dataran rendah, dan dataran tinggi. Andaikata pemerintah daerahnya cuek pada polutan udara pun sebetulnya tidak masalah. Sebab, polutan udaranya selalu terbilas habis oleh hembusan angin laut berlengas tinggi, kaya uap air, setiap hari. Di Bandung Jawa Barat tidak demikian. Sebagai kota pegunungan berbentuk cekung, polutan udaranya, terutama CO2, juga CO dan Pb (TEL: tetra etil lead), akan melayang-layang, berputar-putar di cekungan raya Bandung, sulit ke luar menuju alam bebas. Paru-paru setiap orang di dataran tinggi ini pasti berisi polutan berbahaya dan beracun dari polutan udara, apalagi kalau PLTSa jadi dibangun. Karena mudaratnya jauh lebih banyak daripada manfaatnya, PLTSa bukanlah opsi solusi bagi sampah Bandung. *
ReadMore »

1 Oktober 2008

Taqabbalallahu



Perempuan-perempuan perkasa ini selalu setia pada pekerjaannya. Tengah hari terik membakar akar rumput, bersandal jepit belah-belah, perempuan desa yang senantiasa diiming-imingi ”kesejahteraan” untuk mencoblos saat Pemilu (legislatif, presiden) dan Pilkada (Pilgub, Pilbup, Pilwakot) lalu dibiarkan melarat selama lima tahun kemudian.

Haruskah kita percaya (lagi) pada pejabat pemerintahan ketika umbaran janji-janji itu berhenti di gerbang khianat?

Dini hari ini, menjelang detik-detik Shalat Shubuh dan Idul Fitri, mari doakan pejabat pemerintahan, mulai dari yang terbawah hingga teratas, agar mereka tak sekadar peduli pada diri dan keluarganya, tetapi juga ACUH pada perempuan (terutama yang miskin dan fakir), ACUH pada anak-anak yang tak bisa sekolah, dan ACUH pada remaja yang tak mampu kuliah karena tak berpunya.

Amtenaar semua, janganlah TAK ACUH pada rakyatmu!
ACUH-kanlah mereka, perhatikanlah mereka!


Selamat Idul Fitri

1 Syawal 1429 H
1 Oktober 2008


Taqabbalallahu
Minna wa Minkum
ReadMore »

14 September 2008

Ming Ming dan Eko Ramaditya Adikara

Ahad, 14 September 2008 ini, tepatnya tadi pagi, saya menonton tayangan TVOne. Ada wawancara yang menarik. Seorang wanita, Ming Ming namanya, mampu membiayai kuliahnya dengan uang yang berasal dari jualan sampah plastik. Meskipun pemulung pekerjaannya, dia tetap percaya diri dan berbaur biasa dengan rekan-rekannya sesama mahasiswa/wi. Uang yang diperolehnya dari sampah pulungannya digunakan untuk biaya kuliah dan menanggung enam orang adik-adiknya. Perempuan belia yang melalui ritme hidup seperti ini sungguh merupakan fakta fenomenal, menurut saya. Ketika teman-teman sebayanya berdandan rapi nan necis, ketika mereka ajojing, ketika mereka menikmati “terbang” di kelab-kelab malam dan dansa-dansi di ujung malam, Ming Ming sedang menghitung hasil kaisannya di tong sampah pada hari itu.

Ditempa oleh keadaan keluarga dan lingkungannya, belia ini bercita-cita menjadi pengusaha di sektor kolektor plastik, sampah botol, dll. Sangat mungkin dia sukses seperti para kolektor dan distributor sampah besi, plastik, dll yang bahkan ada yang mampu ibadah haji dan/atau umrah berkali-kali. Makin banyak yang bergerak di sektor “buangan” ini maka makin mudahlah urusan sampah. Pemerintah, pemkot, pemkab, juga pemprov, tak perlu susah-susah lagi memikirkan cara mengelola dan mengolah sampah meskipun tidak menihilkan keperluan sanitary landfill (urugan saniter) dan pengomposan (composting). PLTSa apalagi, sangat-sangat tidak perlu lantaran mayoritas sampahnya sudah disortasi dan dipilah-pilah dengan konsep 3R atau 7R.

Fenomena Ming Ming menjadi bukti bagi pemerintah daerah yang ngotot ingin membuat PLTSa dengan memanfaatkan power-nya. Sayang sekali, kalau sampah yang bisa membiayai sekolah dan kuliah manusia malah dibakar habis lalu diubah menjadi polutan berupa gas berbahaya beracun dan sisa pembakarannya (arangnya) juga menimbulkan masalah baru. Akibatnya, belia putus kuliah makin banyak, pencemar tanah, air, udara makin banyak, dan masalah sampah pun tetap banyak, tidak tuntas diolah oleh PLTSa. Sungguh, PLTSa mewujud menjadi keputusan yang antisosial, anti pendidikan, dan anti lingkungan.

Setelah Ming Ming, ada satu belia lagi yang fenomenal diwawancarai TVOne. Belia ini seorang pria tunanetra. Ia buta sejak lahir. Namun, kekurangan fisiknya itu tidak menghalanginya menjadi lelaki prestatif. Sejumlah komposisi musik sudah digubahnya dan sudah pula menulis buku. Musik gubahannya bahkan mencapai seratusan. Bukunya yang pasti inspiratif bagi pembacanya (saya akan membeli bukunya), berjudul Blind Power, Berdamai dengan Kegelapan. Ia pun sudah menjadi blogger sejak 2003 dengan alamat www.ramaditya.com.

Dua orang yang dihadirkan TVOne, bagi saya, berkemampuan “menohok” kalbu kita. Ming Ming “menghujamkan” sampah ke hati pemerintah daerah yang hendak membakar sumber daya uangnya lewat PLTSa dan Eko mengusik para penulis melek agar berkemampuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang “tidak melek”. Sungguh, dua belia ini adalah “parcel” Ramadhan kali ini, bagi saya.

Jadi, sampah adalah sumber daya, bukan musuh yang mesti dimusnahkan oleh PLTSa lalu menghasilkan gas pencemar yang sangat beracun. Begitu pula, orang “cacat” (saya ingat tuturan Aa Gym, bahwa tidak ada orang yang lahir cacat. Semuanya “sempurna” di mata Allah. Hanya manusia saja yang beranggapan bahwa mereka cacat), ternyata berpeluang menjadi prestatif sehingga orang “normal” perlu belajar kepadanya.*
ReadMore »

Asap “Rokok” PLTSa

Rokok kini berada di ambang haram lewat fatwa MUI. Menurut ulama (atau sebagian ulama), rokok sudah lama diharamkan, atau menurut jumhur ulama, dimakruhkan lantaran tak bermanfaat bagi si perokok apalagi bagi orang lain yang terpaksa mengisap asapnya. Perokok yang “nyandu” selalu berkilah bahwa dirinya tak bisa bekerja, tidak kreatif kalau tidak memilin-milin rokok. Idenya pun, katanya, tak bisa keluar kalau tidak mencium bau tembakau dan aroma cengkeh. Maka, apapun kondisinya, seorang perokok akan rela ke warung pada malam dingin berhujan deras untuk membeli rokok. Ia rela menggigil sambil terbatuk-batuk demi memperoleh “mainannya” sebagai teman di kala sunyi, dingin, dan suntuk.

“Fatwa” lain sudah ada, yakni dari ahli lingkungan dan kesehatan. Menurut mereka, rokok adalah sumber pencemar, ikut menaikkan temperatur Bumi (global warming) yang berasal dari asapnya. Di asap inilah terkandung 4.000-an zat kimia beracun per batang rokok, seperti nikotin, tar, asbes, arsen, radon, benzene, bermacam-macam gas, dll yang berbahaya bagi paru, jantung, mata dan kulit. Racun ini memicu kanker (carcinogenic), sakit jantung, darah tinggi, pewarna gigi, dan lain-lain yang berasal dari bahan penyusun rokok: tembakau, kertas, dan zat perasa. Apa yang akan terjadi kalau asap yang dihirup manusia mengandung lebih banyak lagi zat pencemar daripada asap rokok? Contohnya, asap kendaraan bermotor kaya akan karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), timbal, jelaga, dll.

Bagaimana kalau asapnya lebih bahaya daripada asap kendaraan, yaitu asap bakaran sampah? Efeknya jauh lebih banyak, tak hanya orang dewasa yang mengisapnya tetapi juga anak-anak dan bayi. Bahkan yang tidak merokok dapat menjadi “perokok aktif” setiap detik dari asap bakaran sampah. Itu sebabnya, mesin pembakar sampah (insinerator) atau PLTSa menjadi ancaman terbesar bagi masyarakat di cekungan Bandung. Kondisi atmosfer di cekungan ini menyulitkan sebaran pencemar ke luar cekungan. Kepulan pencemar yang berisi asap, gas, uap logam beracun dengan mudah masuk ke paru-paru manusia. Tak hanya paru orang dewasa, tetapi juga masuk ke paru, kulit, jantung, dan pembuluh darah anak balita, bahkan ke bayi yang baru saja lahir.

Apa yang akan terjadi pada anak dan cucu orang Bandung dua atau tiga generasi mendatang sejak PLTSa dioperasikan? Semua paru generasi muda itu akan dipenuhi pencemar beracun PLTSa yang melekat di bronkioli dan alveolinya. Insidensi kanker paru, kulit, tenggorokan, mata, dan bahkan usus akibat sayur, ikan, daging yang juga tercemari polutan beracun dari PLTSa. Umur harapan hidup orang Bandung otomatis turun dan usia produktifnya berkurang karena dalam usia tiga puluhan atau empat puluhan mereka sudah kena kanker paru, tenggorokan, usus, dll.

Mari jujur menakar bahwa potensi bahaya PLTSa jauh lebih besar daripada sampah yang ditangani secara sanitary landfill (urugan saniter). Polusi udaranya terjadi hanya karena penguraian anaerobik (anaerobic degradation) berwujud CO2 dan CH4. Tiada uap logam, tiada pewarna beracun yang melayang-layang di udara sehingga nihillah potensi polusinya bagi hidung, paru, jantung, pembuluh darah, usus halus, usus besar, dll. Insindensi kanker pun bisa dikurangi dan kesehatan masyarakat bisa ditingkatkan, minimal dipertahankan agar tidak memburuk dari bulan ke bulan.

Mari jujur menilai bahwa energi hasil PLTSa pun jauh lebih kecil taraf ekonominya jika dibandingkan dengan kerusakan dan kesakitan yang ditimbulkannya. Ini serupa dengan rokok. “Menghalalkan” rokok dapat menghasilkan uang Rp 50 triliunan. Namun menurut Kak Seto (Dr. Seto Mulyadi) dari Komnas HAM, biaya berobat akibat rokok justru mencapai Rp 100 triliun per tahun. Artinya, efek buruknya jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Serupa dengan itu, PLTSa pun jauh lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. PLTSa bak fatamorgana, dikira dapat memberikan solusi tetapi malah membuat letih dan payah saja.

Seorang spesialis paru menyatakan, ancaman rokok baru terasa setelah 15 s.d 20 tahun kemudian. Serangannya sangat mematikan. Tapi sedihnya, ancaman ini pun menyerang orang yang tidak merokok (perokok pasif)! Yah..., semoga dosa perokok pasif ini dialihkan ke para perokok yang menyebabkannya ikut kena kanker. Lantas, siapa yang menanggung biaya pengobatan orang yang menghirup asap, debu, dan gas pencemar beracun keluaran PLTSa? Sebab, dua puluh tahun lagi mungkin saja kalangan yang menggebu-gebu ingin membuat PLTSa ini sudah meninggal. Oh..., andaikata dosa penderita akibat PLTSa dapat dipikulkan kepada orang-orang yang membuat kebijakan PLTSa! Sebab, sesal kemudian tak berguna.*
ReadMore »

Modus Baru Jual Buku

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2008 ini ada 407 buku yang bisa digandakan dan dijual bebas dengan mengacu pada harga eceran tertinggi. Teoretisnya, murid dan guru makin mudah memperoleh buku atau memfotokopinya kemudian dipelajari lalu diajarkan di sekolah. Namun faktanya, buku-buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas itu tidak serta merta bisa dipelajari murid. Masalahnya bukan pada ada tidaknya akses internet, bukan lantaran tak ada toko fotokopi. Sebabnya ialah keengganan sekolah (guru) mengunduh e-book (electronic-book) atau buku elektronik (bukel) dengan alasan malas, tidak tahu caranya, belum punya akses ke internet, alamat situsnya belum diketahui, dll. Yang terakhir ini dapat disebut www.bse.depdiknas.go.id.

Namun alasan yang paling “masuk akal” ialah soal penghasilan. Bukel itu otomatis akan mengurangi, bahkan menghapus peluang memperoleh uang dari “royalti” penjualan buku yang dihadiahkan oleh penerbit atau supplier. Sejak dulu tentakel gurita penerbit atau pemasok ini masuk ke sekolah dan bukan isapan jempol. Dulu ada PP No. 11/2005 yang intinya pemberlakuan buku selama lima tahun. Tapi faktanya, buku tetap bergonta-ganti dari semester ke semester dan sekolah (guru) serta pemerintah daerah (Disdik) tak berkutik pada untaian uang yang dikibaskan penerbit. Godaan ini kian besar dari semester ke semester seiring dengan kian variatifnya jenis buku dan LKS yang diterbitkan pebisnis buku.

Aspek legal, mulai dari pemerintah pusat s.d pemerintah daerah sudah tak terhitung lagi. Sudah banyak peraturan tentang tataniaga buku pelajaran tetapi tak ada yang menyentuh substansinya atau tak diacuhkan oleh guru dan kepala sekolah. Apalagi ada iming-iming komputer, motor, alat-alat laboratorium atau uang jutaan dari penerbit kalau guru dan kepala sekolah mau menggunakan bukunya, baik berupa buku pelajaran maupun lembar kerja siswa (LKS). Pemerintah daerah (cq. Disdik) “seolah-olah” tak menggubris peraturan dan keputusan pemerintah pusat karena merasa punya hak otonomi. “Aku yang berkuasa. Akulah yang memutuskan”, begitulah barangkali.

Itu sebabnya terus bermunculan modus operandi baru dalam penjualan buku di sekolah, misalnya penerbit atau pemasok datang ke sekolah menggunakan mobil display atau van. Tentu saja sebelumnya utusan penerbit sudah kontak dengan kepala sekolah dan guru-guru. Bukunya memang tidak dijualkan oleh guru tetapi murid-murid disuruh membeli langsung ke penerbit. Mobilnya pun tidak masuk ke halaman sekolah tetapi penerbit menjual buku-bukunya di luar sekolah. Untuk soal latihan, guru menyuruh murid mengerjakan soal-soal di buku LKS. Murid yang tidak punya buku dan LKS harus menulis soalnya dulu sehingga sering tidak selesai dan nilainya kecil.

Murid yang lemah ekonominya tidak dapat mengerjakan pelajaran dan tidak dapat menjawab soal LKS. Mau tak mau murid ini merengek ke orang tuanya agar dibelikan LKS. Namun sayangnya, buku berkategori LKS ini kerapkali hanya dibahas dua-tiga halaman lalu tidak pernah lagi dibahas oleh gurunya. Selama satu semester buku LKS itu hanya menumpuk di meja atau di rak buku murid dan tak pernah dibuka-buka lagi. Parahnya lagi, tahun berikutnya tak bisa digunakan oleh adiknya karena sekolah (guru) sudah beralih ke penerbit lain. Begitulah setiap semester atau setiap tahun. Dengan kata lain, guru menyuruh murid membeli buku dan LKS hanyalah demi “royalti” dari penerbit. Harganya pun tidak main-main, antara Rp 200.000 s.d Rp 400.000-an per semester per orang/murid. Bayangkan kalau satu keluarga beranak dua atau tiga orang, berapa juta rogohan ke dompetnya yang justru terjadi ketika ada gembar-gembor sekolah gratis?

Sebetulnya tak masalah kalau sekolah (guru) menggunakan buku apa saja, yang penting sesuai dengan kurikulum pembelajaran. Yang lebih penting lagi, dan ini mendukung sekolah murah (apalagi sekolah gratis) adalah harganya murah dan mudah diperoleh. Mudah diperoleh berarti kuantitasnya banyak di pasar, ada di mana-mana, dari kota sampai ke pelosok. Bukel memenuhi kriteria ini karena bisa diunduh di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Apabila ada niat kuat dari pihak sekolah (guru) dan Disdik setempat, tentu akan lebih mudah lagi memasok buku ini ke murid-muridnya.

Semoga uang yang dibayarkan pemerintah pusat untuk 407 unit bukel itu tidak mubazir karena tiada yang menggunakannya sekaligus dapat mengurangi KKN buku dan LKS.*
ReadMore »