• L3
  • Email :
  • Search :

29 Desember 2014

Memimpikan Alun-alun Ramah Lingkungan

Memimpikan Alun-alun Ramah Lingkungan

Oleh Gede H. Cahyana



Hampir 17 tahun usia artikel ini, dikirim ke koran Galamedia (GM). Alun-alun Bandung, dengan wajah barunya, akan diresmikan oleh Walikota Ridwan Kamil pada 31 Desember 2014. Mimpi 17 tahun lalu ini, mudah-mudahan saja betul-betul terwujud pada tahun 2015.
------------------------------------------------------

Rencana Pemda Kodya Bandung menutup Jl. Dewi Sartika - segmen di depan Masjid Agung - seperti diliput oleh “GM (20/3) dan tajuk rencananya (21/3) yang lalu, mendapat tanggapan pro dan kontra dari banyak kalangan. Yang kontra beralasan akan ada penurunan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan ancaman PHK bagi dua puluhan orang tukang parkir di kawasan tersebut. Gema protes keras itu, menimbulkan penafsiran negatif di kalangan masyarakat. Ada apa gerangan? Untuk perparkiran, “GM” menulis ada Rp 40 juta uang retribusi parkir raib per harinya. Atau sekitar Rp 14,4 miliar per tahun! Sebagai perbandingan, target pendapatan pada tahun anggaran 1998/1999 hanyalah Rp 4,2 miliar.

Berseberangan secara diametral, kelompok warga yang setuju pun tidak kalah banyaknya. Jumlah saran, usulan dan masukan via surat pembaca di media massa sudah tak terhitung. Mereka adalah kalangan yang kehilangan nuansa tumakninah sebagai warga Bandung yang pernah dibelai lembut oleh Bandung Tempo Doeloe! Sudah gerah melihat dekadensi moral yang mewujud di sekitar masjid itu. Dengan serius mereka menghujat kesemrawutan, kebisingan, kenyamanan dan keamanan di sekitar Alun-alun. Merekalah pencinta Bandung dengan motto Berhiber. Keinginannya kuat untuk meraih kembali Parijs van Java, Kota Kembang yang hilang.

Namun pada sudut yang lain, kalangan netral tanpa vested interest, mengkhawatirkan terjadinya penumpukan kendaraan di ruas jalan yang lain, khususnya pada pagi dan sore hari. “Pengalihan jalur,” katanya, “hanya memindahkan kemacetan!” Penambahan jalan, apalagi dengan area parkir, dianggap sudah tidak mungkin lagi. Kawasan hutan beton itu, memang tidak memiliki celah untuk ditata ulang. Artinya, kemacetan di jantung kota Bandung itu menjadi suatu keharusan. Jika dipaksakan maka social cost-nya akan sangat tinggi. Bayangkanlah, mega aktivitas padat di noktah sejarah (historical spot, Kunto 1984) mulai dari kegiatan di Masjid Agung, sekolah, perkantoran, hotel, trayek angkot, sentra bisnis dan hiburan di dalam radius 500 m. Terlebih lagi dekat stasiun, terminal Kebon Kalapa, Kantor Pos Besar dan dilewati oleh jalur bis kota. Itu semua menambah sareukseuk kawasan yang luasnya tidak lebih besar daripada lapangan sepak bola tersebut.

Sebenarnya keinginan menata kawasan Alun-alun sudah menjadi lagu lama. Haryoto Kunto (alm) telah mengkompilasi metamorfosis Alun-alun. “Sudah tiga kali ubah muka,” tulisnya. Hingga sekarang, mungkin telah lima kali wajah pusat budaya (baheula) itu “dioperasi”. Namun pada era reformasi ini, ketika semua orang bebas bicara, tuntutan itu menguat. Ulama dan kaum terdidik apik (akademisi dan pelajar) sering menggelar mimbar bebas di Alun-alun, yang “doeloe” menjadi arena budaya. Tuntutannya sama dan sebangun dengan pembubaran dan restrukturisasi daerah kelabu Saritem, yang akan dijadikan pesantren. Sejauh ini, gemanya memang masih terdengar sayup-sayup.

Namun demikian, aspek yang mengemuka sejauh ini adalah sisi sosioekonomi dan budaya saja. Sedikit - untuk tak menyebut tidak ada - kalangan yang meninjau aspek sosio ekologinya. Padahal aspek ini berpengaruh luas terhadap kondisi sosial, budaya dan ekonomi. Yang paling kentara di dalam masalah ekologi adalah kondisi vegetasi sebagai paru-paru kota, parameter utama kota bernuansa gunung. Ajakan di dalam motto Berhiber itu pun erat kaitannya dengan kawasan hijau.

Tidak Ramah lingkungan?
Alun-alun sudah tidak ramah lagi! Secara sosial budaya, dengan kasat mata dapat diyakini bahwa daerah tersebut menjadi ajang perjudian. Ada pula warga yang meniru mentah-mentah budaya “barat”. Westernisasi itu merasuk ke mode pakaian hingga ke cara bergaul. Tanpa rasa sungkan, para remaja - mulai dari pelajar hingga warga awam lainnya, berpesta moral di sana. Tidak sekedar berpegangan tangan. Kini telah jamak dilihat, pasangan nir-nikah itu, berpelukan dengan intimnya. Puncaknya akan terjadi menjelang tengah malam. Terutama pada Sabtu malam, malam tahun baru atau Hari Valentine. Semua kalangan, seolah-olah tumpah ruah di sana. Sangat biasa, jika petugas kebersihan menjumput CD (celana dalam), kondom dan bungkus pil KB, setiap hari!

Penganut “baratisme” yang sebagian besar adalah pemuda/di, mengalami sindrome familiar strangers. Mereka tidak saling kenal kecuali dengan konco-konconya, bergaya hidup AWOL (American Way of Life). Padahal, Dewi Sartika - yang dikenang dengan nama jalan di Alun-alun itu - sangat perhatian pada kemajuan wanita. “Sakola Istri” yang akhirnya diubah menjadi “Sakola Kautamaan Istri” adalah hasil obsesinya untuk memberdayakan wanita. Namun kini, hiburan dan lipuran di Alun-alun seperti bioskop dan amusement jika tidak selektif akan menunjang lost generation. Hal yang dihindari oleh Dewi Sartika. Dan di sana, dengan interaksi yang pekat di antara pengunjung namun miskin komunikasi, akan suburlah sikap kamu adalah kamu dan aku adalah aku.

Dari sisi sosial ekonomi, alun-alun - seperti halnya BIP - menjadi pusat jor-joran kapitalisme. Akibatnya, lokasi mejeng itu sering menjadi ajang penodongan. Pencopetan sudah menjadi keseharian. Kesenjangan ekonomi, dianggap pencetusnya. Namun, di sela-sela gemerlap kemewahan, tak terhitung jumlah pengemis (anak-anak) dan kalangan yang terpinggirkan secara sosial, ekonomi dan pendidikan. Mereka tak terimbas oleh perputaran miliaran rupiah kapital di sentra bisnis tersebut. Area Pendopo Kabupaten tengah mengalami krisis (urban crisis). Kawasan yang menjadi salah satu land mark Bandung itu, awal dekade 80-an ketika serbuan supermarket belum gencar adalah tujuan pelesir kaum muda. Selain berada di jantung kota, mudah dijangkau oleh angkot juga karena dekat masjid untuk shalat.

Namun, seperti disebutkan di atas, kondisi sosioekologinya sangat memprihatinkan. Entah berapa belas ribu kendaraan yang lalu lalang dan parkir per harinya. Selain bising dan mengurangi kenyamanan ibadah di Masjid Agung, limbah gasnya banyak mengandung CO (karbon monoksida), gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa dan sedikit larut di dalam air. Gas hasil dari pembakaran tidak sempurna mesin itu, sangat berbahaya. Metabolisme aerobik manusia dapat rusak karenanya. Ini diakibatkan oleh daya ikat (afinitas) CO terhadap hemoglobin (Hb) sangat besar. Dan, sekitar 48% pencemar udara di perkotaan berasal dari gas CO. Selanjutnya diikuti oleh gas SO2 (15 %), NOx (15%) dan Hidrokarbon (16%). Pada kondisi itu, kontributor utama CO adalah sektor transportasi, antara 70% hingga 85%.

Selain gas CO, ancaman serius juga datang dari keracunan kronis akibat timbal atau timah hitam (lead) yang berasal dari TEL (tetra etil lead). Keropos tulang adalah dampak akumulasi (penimbunan) timbal di dalam tulang akibat pertukaran dan reposisi ion kalsium. Keracunan sistemik pun dapat diderita oleh seluruh tubuh (hati dan pankreas). Bising itu, seperti disinggung di atas, dapat mengganggu kenyamanan dan konsentrasi kerja, mengganggu komunikasi, merusak pendengaran baik temporer maupun permanen.

Mencari solusi
Mencermati fenomena di atas maka sangat dituntut sikap lapang dada semua pihak. Tujuannya adalah mencari solusi dari opsi yang ada. Dan memang tidak akan ada satu pilihan (option) pun yang memuaskan semua pihak. Jadi harus ada pembagian rasa puas (sharing). Terutama mereka yang selama ini menangguk untung dari kondisi sekarang. Relakah dicap sebagai penopang “status quo”? Meskipun demikian, pihak yang “tergusur”, harus tetap diindahkan. Khususnya kalangan marginal, para PKL termasuk petugas parkir. Terlebih, menurut “GM”, ada 236 lokasi parkir di Kodya Bandung yang dapat dijadikan tempat “mutasi” yang bersangkutan.

Selanjutnya, taman Alun-alun itu bisa dikembangkan menjadi bentang hijau (green area) yang lebih baik lagi. Belum terlambat. Masih ada sedikit waktu. Membongkar kolam dan pot tanpa bunga dan menanaminya dengan pohon (bukan perdu) seperti di THR Djuanda adalah salah satu way out-nya. Pedestrian paving block (semoga di bawahnya memang tanah, bukan semen apalagi aspal) akan mendukung resapan air. Diharapkan hal ini mampu merestorasi wajah kelamnya dan mengukirnya menjadi paru-paru kota.

Untuk area parkir memang pelik. Sebagai opsi, dapat dipindahkan ke tempat yang lebih jauh dari Alun-alun, seperti kawasan Cikapundung dan Kebon Kalapa. Warga yang ingin ke Alun-alun dapat berjalan kaki atau disediakan angkutan ramah lingkungan. Misalnya kawasan bersepeda (akan memunculkan rental sepeda) atau trem listrik untuk masa depan. Tujuannya untuk mengurangi dampak negatif gas CO dan pajanan timbal. Karena selain pengunjung, keracunan juga mengancam para sopir angkot, penumpang, pedagang, petugas parkir dan polisi lalu-lintas. Mereka amat potensial terpajan gas CO dan timbal. Ini diperparah lagi oleh udara di Cekungan Bandung yang calm, berkecepatan rendah.

Opsi yang lain adalah upaya reverse urbanization. Membangun kawasan pemukiman, perkantoran dan pusat bisnis di daerah pinggiran, menyebar di delapan penjuru angin. Maksudnya adalah memecah konsentrasi massa dan kendaraan, sehingga kadar polutan dapat diminimalkan. Termasuk memperkecil kemungkinan bahaya sosial dan mengurangi beban lalu-lintas pada saat jam-jam puncak atau hari libur.

Dalam dimensi nasional, imporlah BBM yang rendah kadar sulfurnya dan gunakan bensin biru bebas TEL. Tentu cara efektif adalah pembatasan jumlah kendaraan bermotor (pribadi) yang masuk kawasan itu. Bagaimana mekanismenya, itulah tugas anggota DPRD dan eksekutif daerah untuk berfikir dan berkarya. Toh rakyat memilihnya memang untuk mencari solusi dari masalah yang ada, tanpa menimbang berapa gajinya.

Akhirnya, apa pun pilihannya, harus memberi andil dalam pelestarian fungsi lingkungan Alun-alun. Menjadikannya lebih ramah lingkungan dan warga yang peduli dan antusias dapat melalui hijaunisasi - Gerakan Penghijauan, Gerakan Sejuta Pohon! *

Catatan:

Pada masa itu, istilahnya adalah Kota Madya atau Kodya. Dulu Saritem masih “heboh” tetapi sekarang sudah berubah menjadi pesantren.
ReadMore »

8 Desember 2014

Surat Untuk Tuhan

Surat Untuk Tuhan
Oleh Gede H. Cahyana


Hujan deras pekan ini disertai angin puting-beliung, merusak sawah dan ladang di desa pinggir kota. Seorang lelaki paruh baya bermuram durja. Sambil bicara dengan istrinya, ia merapikan selimut usang ke dada anak keduanya lalu duduk di dekat Si Sulung yang murid SD.

“Enam bulan ke depan kita tidak punya bahan makanan. Singkong dan ubi belum jadi, keburu dihantam badai, bu” lirihnya.

“Ya pak,” singkat kata istrinya, perempuan asli desa di lereng gunung itu.

“Padi dua bulan, rebah ditutupi banjir. Tak ada yang bisa menolong kita.”

Meskipun ia dan istrinya tidak lulus SD, tidak pandai, tetapi ada secercah iman dan harapan.

“Tuhan akan menolong. Tidak akan mati kelaparan,“ gumamnya dalam yakin.

Ia lantas merobek selembar kertas dari buku lusuh anaknya, dan dengan terbata-bata, ia tulis satu-dua huruf, dua-tiga kata hingga menjadi kalimat. “Tuhan, sawah dan kebun rusak. Habis tak bersisa. Singkong dan ubi makin sedikit di dapur. Jagung habis. Tolong beri kami uang lima juta rupiah.”

Esoknya, ia berbegas ke kantor pos, pagi-pagi. Setelah ditempeli prangko biasa, ia serahkan kepada pegawai kantor Pos dan langsung pulang.

Begitu membaca alamat tujuan di sampul surat itu, pagawai kantor Pos tertawa lebar. Kepala cabang kantor Pos itu pun tidak bisa menahan tawanya. Berderai-derai tawanya sehingga perutnya makin menyembul ke luar sela-sela kancing bajunya.

Sejurus kemudian, ia terkesiap. Ia salut kepada lelaki itu. Imannya tinggi, pikirnya. Ia masih percaya pada adanya Tuhan. Lelaki dusun, bodoh, dan miskin itu, masih punya harapan. Ia lantas mengajak pegawai kantor Pos itu menyumbang sukarela dan meneruskannya juga ke warga di sekitar kantor, termasuk menelepon kantor pusat.

“Terkumpul juga uang tetapi tidak sejumlah yang diminta lelaki itu. Tak apalah.” Kepala kantor Pos lantas menulis surat untuk lelaki desa itu.

Dua hari berselang, lelaki itu mendatangi kantor Pos dan menanyakan surat balasan dari Tuhan. Dengan sopan, kepala kantor Pos memberikan surat yang berisi uang. Riang hati lelaki itu dan balik ke rumah.

“Tidak mungkin. Ini hanya dua juta rupiah. Sisanya ke mana?”

Ia pun merobek selembar kertas dari buku lusuh anaknya dan menulis lagi. Segera ke kantor Pos dan tanpa bicara langsung dimasukkan ke kotak surat.

Kepala kantor Pos langsung membuka dan membacanya. “Tuhan, terimakasih, uang sudah kuterima. Tetapi jumlahnya kurang. Tolong kirimkan kekurangannya langsung ke rumah. Jangan lewat Pos lagi. Sebab, pegawai kantor Pos kota ini pencuri semua.” *** 

(Ide dari: Surat Buat Tuhan, Gregorio Lopez y Fuentes). (Maaf kepada pegawai Pos di manapun, tiada maksud buruk, ini hanya tulisan fiktif atau cerita saja).

ReadMore »

5 Desember 2014

Surat Untuk Walikota Bandung: Banjir, 2 km = 3 jam

Surat Untuk Walikota Bandung: Banjir, 2 km = 3 jam
Oleh Gede H. Cahyana



Kepada Yth. Bapak Walikota Bandung

Hujan pada Jumat, 5 Desember 2014 hanyalah awal, belum puncaknya. Pada medio Januari - Februari 2015 nanti diperkirakan curah puncaknya. Kalau sekarang saja sudah banjir parah, apatah lagi pada bulan tersebut. Pak Walikota Bandung, kami hargai semua festival malam-kuliner yang sudah dilaksanakan. Kami hargai juga taman-taman yang disemai. Juga sejumlah komposter dan digester sampah miniplant.

Hanya saja, tolong diingat juga daerah genangan di Gedebage, Cisaranten dan sekitarnya. Di daerah ini, jarak tempuh dua kilometer bisa mencapai tiga jam. Ini rekor baru, catatan buruk tentang pemborosan BBM, waktu habis percuma, dan tingkatkan stres warga. Padahal di selatan daerah ini ada sungai besar yang bisa menjadi pematus genangan. Lantas, apa masalahnya? Kami harap, tolong prioritaskan program pemkot dan APBD untuk meniadakan banjir rutin ini. Petanya ada lengkap, tata guna lahan tercatat akurat, kondisi geologi, hidrologi juga tersedia, ilmu dan teknologi juga sudah klasik, lantas, apa masalahnya? Sampahkah? Wargakah? Tentu tidak elok terus-menerus menyalahkan warga dan sampah dan tidak akan tercapai solusi agar Bandung bebas banjir. 

Pak Wali, tolong jangan biarkan atribut Parijs van Java berubah menjadi Parit van Java. Bandung sekarang seperti kota parit atau selokan. Hanya dengan hujan ringan saja, tak sampai setengah jam, mayoritas ruas jalan dan lahan berubah menjadi parit, menjadi genangan, menjadi kolam dadakan. Parahnya lagi, air hujan yang “suci-bersih” dari atmosfer itu lantas bercampur dengan air limbah hitam, tahi ternak, tinja dan air kencing, juga belepotan dengan sampah. Belum lagi minyak, solar, oli, bensin, dan polutan dari pabrik besar dan skala rumah tangga yang menyebar di tatar Bandung.

Dengan fakta ini, masih layakkah sebutan Parijs van Java disandang oleh Bandung? Atau, atribut substitusi yang patut disematkan pada Bandung kini adalah Venezia van Java? Lagu Hallo-Hallo Bandung pun diubah dengan gubahan baru menjadi “sekarang sudah menjadi lautan cai (bukan api).

Namun demikian, bagaimanapun juga, Bandung tetap kami cinta. This is the city and I am one of the citizens, tulis Walt Whitman. Kami setuju.

Save Bandung City, save the citizens. *


(Foto: dok Antara, 2013)

ReadMore »

3 Desember 2014

Jonru, Sang Prof dan Prov(okator)

Jonru, Sang Prof dan Prov(okator)
Oleh Gede H. Cahyana


Namanya ramai dipercakapkan di banyak media, termasuk di media sosial semacam Facebook dan Twitter. Malah namanya menjadi trending topic di Twitter. Setahu saya, sejak awal kampanye pemilihan presiden, Jonru sudah memosisikan dirinya sebagai pro-Prabowo-Hatta dan kontra-Jokowi-JK. Sah-sah saja. Semua orang Indonesia berhak (bahkan wajib) ikut dalam pesta demokrasi pilpres tahun 2014, kecuali ada peraturan yang melarangnya, seperti yang diberlakukan pada anggota TNI dan PolRI dan narapidana dengan kurungan di atas lima tahun.

Bedanya, ada WNI yang malu-malu mendukung calon tertentu, ada juga yang lugas menyokong, bahkan menjadi tim suksesnya. Sah-sah saja. Ada yang malah berdiri di dua kaki, artinya, siapa yang menang, ke sanalah mereka bergerak dan mendukung. Ini pun sah-sah saja. Ingat, sah-sah saja. Sah-sah saja. Bukan syah-syah saja. (sah = absah, sesuai dengan hukum, syah = semacam raja, misalnya Syah Iran, maaf bukan ngajari lho, sengaja diulang-ulang karena ada juga kalangan yang belum tahu, hanya sekilas info, h hm m). :)  Keep smile … mari menuju bagian yang menegangkan.

Ini dia. Jonru! Mudah-mudahan pembaca bisa melemaskan otot dan syaraf masing-masing. Begini. Sembilan tahun atau hampir sepuluh tahun lalu, saya bergabung di milis penulislepas@yahoogroups.com, sebuah milis yang laris pada masa itu. Selain nama-nama penulis yang sudah beken, ada juga saya temukan nama Jonru di sana. Waktu itu tertulis JOnru. Saya tak kenal orang ini, macam apa pula dia, dari mana asalnya, tak ambil pusing lah aku. Namun tulisan demi tulisan dipostingnya oleh lelaki berkumis tipis ini. Wajahnya khas. Ya… khas dia lah. :)

Tapi ada satu hal, Jonru itu seorang prof. Ia juga prov. Prof: profesional di bidang tulis-menulis dan ajakan untuk menekuni dunia tulis. Prov: provokator di bidang goras-gores pena dan pensil. Ia sukses menghasut banyak orang dan sudah banyak jatuh korban. Pelatihannya, ada yang membludak pesertanya, ada juga yang sepi seperti sekian hari lalu dan menjadi ajang-bincang dan caci-leceh di medsos. Bukan Jonru kalau tidak punya senjata penangkal. Berbekal jejak-ilmu dan tapak-latih belasan tahun di dunia curah ide lewat tulisan, menekuni swapenerbit, motivator (provokator, komporer seperti kata Bambang Trim) di bidang penulisan buku, ia mampu menjelaskan dengan tepat dan menerangkan secara gamblang kepada parapihak yang pro dan kontra atas sepak-tendangnya di dunia politik dan politik kepenulisan.

Jonru, ia memang ada. Suka tak suka, cinta atau benci, ia sudah lama eksis di dunia kepenulisan Indonesia, jauh sebelum gonjang-ganjing pilpres dan heboh dari hari ke hari setelah pengumuman nama-nama menteri oleh Presiden Jokowi sampai detik ini. Jonru menabur benih, maka ia menuai. Apakah menuai badai? Ini bergantung pada posisi seseorang dalam pilpres. Yang pasti, ia semai bibit-bibit penulis lewat situs Penulislepas, Dapur Buku dan sejumlah media lainnya. Ia konsisten dengan langkah sejarahnya. Ia melepas foot print-nya di FB, di Twitter, dan barangkali di medsos lainnya. Konsistensi inilah yang menjadi nilai lebih dirinya.

Ia ajeg di “dunia sepi”, dunia para pencurah ide, untuk pencerahan ilmu pembacanya. Meskipun belum pernah bertemu langsung, saya menghargai Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap (PKS) Jonru di dunia tulis. Dalam kepelatihan atau training, tiga hal inilah yang menjadi tumpuan pijakan seorang trainer dan trainee. Semoga negeri nyiur melambai ini melahirkan penulis-penulis andal, selamanya. ***
Jonru dan Penulis Lepas

ReadMore »