• L3
  • Email :
  • Search :

30 Mei 2006

Merapi atau Gempa, Kun Fayakun

Di Parangtritis dia menjadi nelayan, sama seperti orang tua dan kakeknya. Usianya memasuki 40 tahun. Pipinya cekung, tonjolan tulang pipinya jelas terlihat. Berkulit legam terbakar matahari, tiap hari dia melaut dan hasilnya dijual ke tengkulak. Demi kaderisasi, seperti umumnya nelayan, dia pun ingin tahu nasib anak lelaki satu-satunya. Pergilah ia ke seorang peramal. Hasilnya menggelisahkan. Pasalnya, peramal mengatakan bahwa anaknya akan meninggal sebelum remaja karena buaya. Ia tahu, di muara sungai dekat desanya memang banyak ada buaya. Ia malah sudah pernah menangkap dua buaya bersama tetangganya.

Itu sebabnya ia gelisah. Resah memikirkan nasib anaknya, tak rela anaknya tewas karena buaya. Membayangkan kulitnya yang kasar bergerigi, giginya yang besar, kuat dan tumbuh tak rata, mengerikan baginya. Setelah lama berpikir akhirnya ia putuskan untuk pindah. Gunung adalah tujuannya. Ia ingin tinggal di lereng Merapi, menjadi peladang di sana sambil merawat anaknya. Di gunung dekat hutan itu ia pastikan tak ada buaya. Ia yakin akan hal ini.

Hari berganti pekan, pekan menjadi bulan, bulan pun berganti tahun. Sampailah ulang tahun ke-10 anaknya. Menurut ramalan, anaknya meninggal tepat pada hari ulang tahun ke-10. Dijaganya anaknya pada hari H itu. Ketat diawasinya. Hingga siang tak tampak tanda-tanda ada buaya. Tak mungkin ada buaya di sini, pikirnya sambil menatap anaknya yang bermain dengan teman-temannya, seperti hari-hari biasanya. Mereka bermain sambil belajar di dekat pengolahan kayu. Ada yang menggambar Merapi, ada yang menggambar pohon, ada yang menggambar binatang. Melihat itu ia pun yakin anaknya aman. Ia lantas pergi ke ladang, menengok sapinya yang merumput.

Matahari sudah memerah, hari memasuki petang. Sejumlah anak masih tetap bermain di dekat tumpukan kayu yang penuh gambar. Para pekerja pengolahan kayu siap-siap pulang dan membereskan tumpukan kayunya. Mereka menumpukkan kayu-kayu itu seperti biasanya. Anak-anak tetap bermain di sisi sebaliknya. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Satu patok kayu patah karena tak kuat menahan beban yang makin berat. Arah rubuhnya ke arah anak-anak itu. Beberapa anak terjepit kakinya dan yang lain patah tangannya. Tangis meramaikan suasana.

Ada seorang yang tertimpa tumpukan kayu. Tujuh lembar papan besar bersilangan menindihnya. Satu per satu papan itu diangkat para pekerja. Yang tertimpa ternyata anak mantan nelayan itu. Lehernya patah. Darah ke luar dari telinga kirinya, berceceran di tanah. Seorang pekerja langsung mencari bapaknya. Mendengar pemberitahuan itu, ia tersentak dan lari ke tempat kejadian. Ia peluk anaknya, bersimbah air mata. Di sela-sela isak tangisnya dia teringat kata-kata peramal itu bahwa anaknya meninggal karena buaya. Ia tetap tak percaya. Mana buayanya? Di sini tak ada buaya, tegas hatinya.

Ia lalu melihat ke kiri. Dilihatnya balok kayu yang menindih anaknya. Ia balikkan balok itu. Jantungnya terkesiap. Di balok yang menindih anaknya itu, yaitu balok terbawah yang langsung bersentuhan dengan tubuh anaknya, ada gambar buaya!*

---***---

Mati adalah takdir, sudah tercatat kapan terjadinya dan tak seorang pun tahu kapan ia datang. Jika sudah waktunya, ia pasti hadir. Yang berbeda adalah caranya. Ada karena sakit, karena kecelakaan, karena perang atau karena bencana alam seperti letusan Merapi atau gempa.

Merapi, sampai saat ini, belum menjadi alat kematian bagi masyarakat di sekitarnya. Tapi yang pasti, masyarakat di sekitar Merapi pasti akan mati suatu saat kelak, sama seperti kita. Bisa karena sakit, bisa karena lain-lain sebab. Begitu pun korban gempa Yogya yang hari ini, Selasa 30 Mei, mencapai 6.200-an orang tewas. Mereka dijemput maut lewat alat bernama gempa. Tak seorang pun tahu akan ada gempa. Jangankan orang awam, pakar gempa pun tak tahu. Begitu pun kematian, tak ada yang tahu, tapi ia datang tepat waktu.

Mati tak bisa dihindari. Tak bisa diobati. Ia bukan penyakit. Sembunyi di lemari baja atau bunker sekalipun, tetap saja ia menjemput. Ia pun tak pernah pilih kasih. Siapa pun akan dijemputnya jika sudah waktunya. Tak bisa dimajukan, tak bisa diundurkan, tak bisa ditunda, apalagi dihilangkan. Jika demikian, perlukah kita takut akan kematian?

Takut mati memang masuk akal. Cinta keluarga, sayang orang tua, istri-suami dan anak-anak, dan cinta dunia menjadi sebabnya. Tapi takut mati takkan menjauhkan mati dari kita. Takut mati atau berani mati, tetap saja mati menjadi rahasia yang tak terungkap dan takkan pernah terpecahkan rahasianya. Rahasia mati mungkin akan terpecahkan jika ada orang mati lalu hidup kembali dan ingat apa yang terjadi selama dia mati. Jika kisahnya dibukukan, maka 100% menjadi buku best seller di seantero dunia.

Namun demikian, yang jauh lebih penting daripada itu adalah hidup sesudah mati. Hidup sesudah mati adalah hidup yang takkan mati. Kekal abadi. Hidup jenis ini harus diperjuangkan sekarang. Sebab, hidup sekarang ini tak sekadar main dadu, main untung-untungan. Hidup mirip lomba lari, lomba menuju garis finis dan berupaya menang. Menang melawan godaan dunia yang sarat nikmat, yakni nikmat semu fatamorgana. Tapi nikmat dunia tetap wajib dicari demi ibadah. Harta benda halal wajib dicari demi mengisi masa hidup ini, demi tabungan amal, demi menolong korban gempa misalnya.

Mati, baik karena Merapi maupun karena gempa, adalah soal cara. Mati, baik karena buaya maupun gambarnya, adalah soal cara. Hakikatnya, mati adalah takdir yang sudah tertulis di alam azali. Karena sudah tertulis dan kita tak tahu kapan terjadinya, juga tak bisa dimajukan maupun diundurkan, maka tak usahlah resah. Sebab, resah atau tidak, takkan mengubahnya. Jika sudah takdirnya, maka terjadilah. Sang Kuasa hanya berkata kun fayakun! Terjadi, maka terjadilah!

Kini kita sedang antri masuk kuburan. Jika kita sering menyalip ketika antri di loket PLN, PDAM, kereta api, bis, beli formulir, prapatan lampu merah, dll, kita tak mau tertib, maka pada jenis antri masuk kuburan ini mau tak mau kita harus tertib. Atau, adakah yang ingin menyalip mendahului?

Dan Allahlah yang Mahatahu. *
Gede H. Cahyana
ReadMore »

28 Mei 2006

Prediksi Merapi, Menduga Gempa

Dimuat di Pikiran Rakyat, Bandung.

Gempa Yogyakarta takkan menelan korban jiwa jika bisa diduga jauh-jauh hari sebelumnya seperti halnya erupsi Merapi. Sampai saat ini erupsi Merapi belum memakan korban jiwa meskipun berkali-kali lava pijarnya meluncur dan wedhus gembelnya merayapi lereng. Mudah-mudahan takkan ada korban apa pun apalagi korban jiwa. Tapi sebaliknya, dalam tempo satu menit saja, gempa Yogya per 28 Mei, pk. 18.00 WIB sudah menewaskan 3.400-an orang, 2.000-an luka berat dan 1.500-an luka ringan. Rugi harta benda tak terhitung jumlahnya sebab mayoritas bangunan, terutama di Bantul, tinggal puing-puingnya.

Prediksi Merapi
Dari dua peristiwa tersebut muncullah ‘dogma’ bahwa bencana alam yang tinggi frekuensinya, seperti letusan Merapi, dampaknya relatif kecil, cenderung diabaikan. Malah fenomena letusannya dijadikan objek wisata, dijual kepada turis sekaligus menjadi objek studi. Tak demikian dengan bencana alam yang jarang terjadi, seperti gempa Yogya, dampaknya bisa sangat buruk, korban jiwa dan hartanya banyak. Merapi adalah contoh menarik. Sejak dulu penduduk di sekitar Merapi enggan dievakuasi walaupun statusnya awas. Dalam taraf awas saja mereka tak hendak mengungsi, apatah lagi dalam taraf siaga. Ditambah lagi ada kepercayaan lokal turun-temurun yang menganggap Merapi punya kekuatan supranatural dan mereka sudah hafal kapan Merapi bakal meletus serius dan kapan hanya batuk-batuk kecil. Yang seperti ini memang sulit dijelaskan dengan logika orang-orang ‘terdidik’.

Masyarakat di sekitar Merapi tak mau percaya begitu saja kepada pakar sehingga banyak yang enggan dievakuasi dan lebih memilih menjaga ternak dan rumahnya. Sampai taraf awas pun mereka tak mau diungsikan. Malah ketika Merapi sedang aktif-aktifnya meletus, ada yang justru kembali ke rumahnya dan menengok ternak dan kebunnya. Apakah mereka tak sayang nyawanya? Tentu saja mereka sayang. Tapi masalahnya, mereka meragukan kredibilitas pakar yang dianggap orang pemerintah, sarat dengan kebohongan dan munafik serta bukan suruhan raja atau Sri Sultan. Kepercayaan seperti ini masih ada. Masyarakat lebih percaya pada pemimpin informalnya ketimbang pejabat negara. Apalagi terhadap orang yang dianggap juru kunci Merapi, mereka percaya total kepadanya. Oleh sebab itu, kapasitas seorang pejabat dan seorang pakar gunung api harus betul-betul tinggi agar setiap prediksinya mendekati kenyataan sehingga dipercayai oleh penduduk.

Lain Merapi, lain pula gempa . Ketika orang-orang di lereng Merapi waswas akan lava pijar dan uap panasnya, orang-orang yang tinggal jauh di Selatan Merapi mungkin merasa tak diintai bahaya dan merasa beruntung tinggal jauh dari Merapi. Namun apa nyana, gempa tektonik 5,9 skala Richter datang tiba-tiba bakda fajar selama 57 detik dan menggelar bencana yang jauh lebih parah daripada erupsi Merapi. Areanya luas, mulai dari bibir pantai sampai ke Magelang dan Klaten serta merusak candi Brahma, salah satu candi di situs candi Prambanan. Tak ada pakar yang menduga dengan presisi tinggi kapan suatu gempa akan terjadi. Jangankan memastikan dalam ukuran hari, jam, atau menit-detik, memastikan dalam ukuran bulan saja sulitnya bukan main.

Menduga gempa
Sekuensial erupsi Merapi sungguh menarik. Dimulai dari getaran yang hanya terdeteksi seismograf, terjadi intrusi magma, perluasan kubah, longsoran, erupsi awal dan lateral, lalu erupsi vertikal tapi tak terlalu kuat. Pertanyaannya, bisakah hal serupa terjadi pada gempa? Bisakah pakar gempa memberikan sinyal awal akan terjadi gempa? Di atas telah dijawab, tidak bisa! Ini pun sudah ditegaskan ketika ada konferensi tentang upaya peringatan dini tsunami. Kenapa bukan peringatan dini gempa? Sebab, gempa tak bisa diprediksi. Gempa Aceh dan Yogya adalah buktinya, datang diam-diam, pada pagi-pagi setelah fajar menyingsing. Tapi ini ada ‘untungnya’, sebab jika terjadi dini hari ketika banyak yang tidur nyenyak maka korbannya akan lebih banyak lagi.

Namun demikian, walaupun sulit dideteksi, ada sejumlah indikasi yang dianggap mengawali gempa. Misalnya, emisi gas radon dari sumur-sumur (pada kasus Merapi, seberapa banyakkah radon yang diemisikan dan bagaimana caranya mengetahui dan mengukurnya?), kenaikan abnormal muka tanah, hewan air dan darat berperilaku aneh dan panik. Tingkah hewan ini menyiratkan gempa akan terjadi beberapa saat lagi. Khusus untuk anomali kenaikan muka tanah, mari dilihat kasus di Niigata, Jepang. Proses gempa sudah dimulai sepuluh tahun sebelum hari H. Muka tanah di daerah pantai Nezugasaki di Timur Laut Niigata naik setinggi 12 cm lalu turun lagi menjadi 8 cm sebelum terjadi gempa. Begitu pun di sepanjang pantai Selatan dari Nezugasaki menuju Niigata. Sedangkan di Selatan Niigata, muka tanahnya justru turun antara 4 sampai 12 cm. Akhirnya, pada 1964 terjadilah gempa yang episenternya di Laut Jepang, di dekat Pulau Awashima sekuat 7,5 skala Richter.

Rentang waktu indikator gempa tersebut memang lama, sepuluh tahun. Di sinilah peran pakar gempa dalam menduga fenomena awal sebelum gempa dan berani memprediksikan kapan terjadinya sekaligus bertanggung jawab. Kredibilitas adalah taruhannya. Apabila sekelompok pakar gempa memprediksi akan terjadi gempa di laut kidul menyusul erupsi Merapi (terlepas dari ada tidaknya kaitan antara erupsi dan gempa itu) tentu kredibilitasnya kian tinggi. Masalahnya adalah ketika prediksinya meleset dalam jangka panjang, misalnya satu-dua tahun apalagi sepuluh tahun, maka hancurlah kepakarannya. Di sinilah pakar gempa merasa berada di simpang jalan. Itu sebabnya jarang pakar gempa berani menyatakan dengan lugas di media massa bahwa akan ada gempa di suatu tempat dengan waktu yang pasti. Mereka sebetulnya sudah menduga, tapi entah kapan waktunya, akan terjadi gempa di Selatan Jawa pascatsunami Aceh. Ternyata betul. Satu setengah tahun sejak gempa Aceh itu terjadilah gempa yang episenternya di laut kidul.

Artinya, data duga gempa sangat berguna bagi masyarakat dan pemerintah. Data ini bisa digunakan untuk membuat rencana pembangunan wilayah, tujuan wisata, dan kegiatan bisnis termasuk persiapan lokasi evakuasi. Bagaimanapun, peringatan dini gempa dan erupsi sangat bermanfaat sehingga upaya keras mesti ditempuh agar mampu memprediksi bencana demi mengurangi jumlah korban. Apapun caranya harus ditempuh. Maka, jika peringatan dini sudah melalui kajian saintifik, masyarakat janganlah menyalahkan pakar. Terjadi atau tidak adalah soal kedua. Yang pertama adalah soal adanya peringatan dini lewat kajian saintifik dan diputuskan oleh pemerintah. Anggap saja ini prakiraan gempa yang serupa dengan prakiraan cuaca. Kita biasa mendengar prakiraan cuaca bahwa di suatu tempat akan hujan. Andai pun tidak hujan, tak perlulah marah-marah. Tak rugilah orang-orang yang bersedia payung meskipun tak jadi hujan. Bisakah hal serupa itu diterapkan pada gempa?*

Gede H. Cahyana
ReadMore »

27 Mei 2006

Sudah Merapi, Gempa Pula

Fajar baru saja menyingsing. Pagi-pagi, sekitar pukul 05.55 WIB, selama 57 detik, lempeng di dasar laut kidul, laut di Selatan Prov. Yogyakarta bergerak lalu menimbulkan gempa sekuat 5,9 skala Richter. Di kedalaman 33 km di bawah muka laut, sejauh 37 km dari Yogyakarta, adalah letak episentrumnya. Relatif dangkal, memang. Akibatnya, banyak bangunan rumah dan kantor di Bantul, sebuah daerah yang letaknya di Selatan Kota Yogyakarta, rubuh, rata dengan tanah. Jatuhlah 140-an korban jiwa (saat artikel ini dirilis dan diduga terus bertambah), luka-luka, patah tulang, berdarah-darah, dan trauma.

Tapi sayang, di tengah kepanikan itu, ada saja yang ingin menuai di air keruh. Mereka ingin membuat kekacauan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Mereka menghembuskan isu tsunami. Bahkan yang tidak masuk akal, tsunami itu katanya sampai Malioboro, sebuah jalan yang menjadi poros Alun-alun Utara keraton- Merapi- Parangtritis. Bisa diduga dampaknya, orang-orang lantas eksodus ke arah Utara, sampai mendekati Kaliurang. Padahal di Kaliurang pun sedang panas, yaitu Merapi terus saja menyemburkan wedhus gembelnya, meluncur sampai 4 km, merayapi kali-kali di dekatnya.

Yogyakarta, kota budaya masa Hindhu, Budha, dan Islam menapak sejarah panjang sampai zaman kolonialisme Belanda, kini diserang dari Utara dan Selatan. Merapi di Utara terus saja batuk, memuntahkan lava pijar dan uap panas, sementara itu di laut kidul terjadi gerakan lempeng Bumi dan diisukan ada tsunami oleh orang-orang ‘pintar’ yang berperilaku bodoh demi keuntungannya. Menurut pakar gempa Dr. Surono di Bandung, jika terjadi tsunami maka waktunya tak lebih lama dari 20 menit sejak getaran. Artinya, seperti yang berhembus di Bantul itu, isu tsunami menggema lebih dari sejam pascagempa, bisa diyakini sebagai hasutan agar orang-orang menjadi panik dan mereka leluasa merampok harta benda rakyat.

Namun demikian, apapun yang terjadi, erupsi Merapi dan gempa di Samudra Indonesia, memang tak lepas dari ketakmampuan manusia menduga apa yang bakal terjadi. Manusia memang bisa menduga kapan terjadi erupsi Merapi, bahkan sudah diduga dua bulan sebelum status ‘awas’-nya, tetapi untuk urusan gempa, sampai saat ini belum bisa diduga dan tak ada tanda-tandanya. Alat yang tersedia, baik di Amerika maupun di Swiss, adalah alat canggih yang hanya mampu menentukan magnitude dan titik getarnya. Belum ada alat yang mampu memberikan ‘warning’ seperti halnya ‘warning’ siaga Merapi. Yang menggelisahkan, negara kita tak memiliki alat canggih seperti itu padahal kita berpijak di atas apungan lempeng yang terus aktif bergerak.

Sudah Merapi, gempa pula. Itulah yang terjadi. Tapi semoga usai sudah dan tak pernah ada tsunami. Gempa susulan memang diduga akan terjadi karena sesar mencari kestabilan baru dengan skala yang lebih kecil. Namun demikian, lantaran trauma dan stres, sekecil apapun getaran itu pasti membuat panik, kaki gemetar tak kuat berdiri, wajah pias dan tatapan kosong. Hanya bibir dan hati saja yang terus berzikir dan tidak berani tinggal apalagi tidur di dalam rumah. Lebih banyak yang memilih membuat tenda di pekarangan. Ketika artikel ini ditulis, entah bagaimana masyarakat di Bantul, di Wates (Kulonprogo), di Wonosari (Gunung Kidul), di Wonogiri terutama di Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, dan di Pacitan asal keluarga Presiden SBY dan daerah selatan lainnya di sekitar Parangtritis.

Yang Kuasa hanyalah Sang Kuasa. Manusia memang berkuasa tapi hanya sekejap. Itu pun lantaran jabatan, pangkat, kekayaan, gelar, dan jumlah pengikut. Ketika itu semua lenyap, lenyap pulalah kekuasaannya bahkan menderita post power syndrome, sindrom pascakuasa.

Hanya Sang Kuasalah yang Mahatahu kaitan antara patahan di lempeng yang menilami Merapi dan patahan yang mengusung lempeng laut kidul. Kepada-Nya-lah kita mengharap, bukan pada Nyi Roro Kidul. *
ReadMore »

24 Mei 2006

Saran Untuk Walikota Bandung

Belasan daerah yang direncanakan menjadi TPA sampah kota Bandung ditolak mentah-mentah oleh warga di sekitar lokasi. Yang terakhir adalah Pasir Bajing di Garut. Kemudian, pada Selasa 23 Mei lalu muncul nama Pasir Buluh seluas 100 ha di Lembang dan akan digunakan selama dua bulan ke depan. Tapi masalahnya, bagaimana dengan air tanah dangkalnya? Tidakkah ini seperti meludah ke atas lalu kena muka sendiri? Air tanahnya dicemari lalu lindinya mengalir ke bawah, ke arah Bandung?

Apa yang dapat disimpulkan dari semua penolakan itu? Yang pasti, tak ada orang yang rela lahan di dekat rumahnya dijadikan bukit sampah, apalagi sampah itu berasal dari daerah lain. Jika demikian, mungkinkah memperoleh lahan untuk TPA sampah Bandung? Bagaimana dengan sampah yang terus menumpuk, mencapai 7.000 m3 per hari dan makin busuk baunya? Presiden SBY pada 20 Mei lalu sudah mewanti-wanti walikota agar segera menuntaskan masalahnya dan walikota berjanji bahwa Selasa, 23 Mei sudah tuntas. Tapi faktanya tidak demikian. Maka, pada 23 Mei lalu Menneg Lingkungan Hidup mengultimatum walikota agar tiga pekan ke depan sejak 23 Mei itu sampah Bandung sudah selesai masalahnya. Mari kita tunggu.

Kerahkan PNS
Pelikkah masalah sampah Bandung? Sebetulnya walikota bisa mengerahkan PNS sekota Bandung untuk membantu mengurangi sampahnya. Cobalah adakan kerja bakti atau gotong royong setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Walaupun mengurangi jam kerja tapi ini kondisi darurat dan lebih baik daripada digunakan jalan-jalan tak karuan. Lewat PNS inilah pemerintah kota mengajak lurah dan aparatnya, juga RW untuk membuat pengomposan. Cara ini jika sudah ditempuh tiga bulan lalu, walikota takkan pusing-pusing mencari TPA dan tak disindir oleh presiden dan menterinya.

Akan berhasilkah gerakan tersebut? Optimislah sebelum bertindak. Gerakan Posyandu saja bisa rutin dilaksanakan. Kenapa gerakan hidup bersih tak mengikuti pola Posyandu? Terlebih lagi walikota punya aparat yang bisa dikerahkan kapan saja dan di/ke mana saja. Sebagai penguasa daerah, walikota berhak mengatur mereka. Cobalah terapkan pola olah sampah di tingkat kelurahan atau RW. Kerahkan saja dana untuk membeli TPA atau transportasi truk sampah itu ke pemberdayaan ini. Masyarakat diajak mereduksi sampahnya. Minimal di rumahnya dibuat lubang untuk menimbun sampahnya atau membakarnya untuk kertas dan plastik yang tak layak dijual atau tak diambil pemulung.

Sampah organiknya ditanam di lubang seukuran, misalnya, 100 cm x 60 cm x 60 cm. Agar cepat membusuk, setiap menaruh sampah segera lapisi dengan lumpur selokan. Dalam tempo sebulan akan berubah menjadi kompos dan bisa digunakan untuk memupuk tanaman, pot atau sekadar merabuki rumput. Buat lagi lubang serupa di sebelahnya dan gunakan bergantian. Cara ini dapat mereduksi sampah sampai 60%. Di RW juga bisa dilakukan hal yang sama secara kolektif. Tinggal walikota menugaskan siapa orangnya yang bertanggung jawab mengelola itu dan diberi honor. Honornya diambil dari retribusi sampah yang terus saja dikutip padahal sampahnya tak diambil oleh PD Kebersihan. Hal seperti ini adalah tindakan zalim yang sekarang lazim terjadi di Bandung.

Oleh sebab itu, walikota tak perlu jauh-jauh berpikir untuk menerapkan teknologi canggih. Tak usahlah berpikir tentang pengolahan sampah terpadu dengan teknologi tinggi. Teknologi bukanlah masalahnya melainkan korupsi, ini kata Menristek yang mantan rektor ITB. Tapi untuk sampah Bandung tak perlulah teknologi tinggi itu. Apalagi ada yang menyarankan insinerasi di tiap RW. Ini latar belakangnya pastilah bisnis. Apalagi insineratornya hanya bertemperatur rendah. Selain pencemaran udara oleh asap dan gas-gas lainnya, juga butuh waktu dalam instalasinya dan mahal biaya operasi-rawatnya. Jadi, janganlah berutang lagi demi teknologi canggih itu dan tak usah muluk-muluk. Jangan lagi ada pihak yang mengail di air keruh demi projek dan bisnisnya, berpura-pura memberikan solusi tapi tujuannya adalah bisnis. Cobalah cara tradisional yang diterapkan nenek moyang kita, yaitu dengan cara ditanam alias dibusukkan. Hal serupa juga secara alamiah terjadi di hutan. Semua daun, ranting dan pohon yang mati langsung dibusukkan oleh mikroba, berubah menjadi pupuk bagi pohon lainnya. Jika sudah menumpuk komposnya, walikota membelinya lalu gunakan untuk penghijauan di seluruh taman kota Bandung. Atau dibeli oleh dinas terkait, misalnya perkebuan, pertanian, dll.

Urungkanlah niat untuk mendirikan dan membeli teknologi yang belum tentu cocok diterapkan di Bandung. Apalagi sampah Bandung lebih banyak organik atau basah yang rendah kandungan energinya. Tak perlu tergiur membeli teknologi canggih dari berbagai negara itu meskipun sudah pergi ke berbagai negara untuk mencari tahu teknologi mereka. Jangan habiskan lagi uang rakyat demi wira-wiri seperti itu. Gunakan saja teknologi alami, yaitu biodegradasi. Tanah sudah disediakan oleh Sang Pencipta sebagai bioreaktor raksasa sampah manusia. Lupakanlah insinerasi, lupakan energi listrik, lupakan proses yang aneh-aneh itu. Muaranya memang boleh-boleh saja bisnis tapi harus layak dan sesuai dengan komposisi kimia sampah Bandung. Komposisi kimia ini menentukan energy content-nya dan ini dipengaruhi oleh kadar air, volatil, abu, combustible component dan heating value-nya. Sekadar contoh, energy/heating content kertas sekitar 16.750 kJ/kg dan sisa makanan 4.650 kJ/kg.

Berita terakhir, Gubernur Jawa Barat akan ikut turun tangan. Mudah-mudahan saja mampu memberikan solusi yang tepat. Tapi untuk kondisi lampu merah ini, cobalah manfaatkan tenaga PNS, TNI-Polri, Satpol PP, ibu-ibu PKK dll di kota Bandung, libatkan semua aparat abdi negara di berbagai dinas untuk membersihkan dan mengomposkan sampah di tempat masing-masing dan juga di kantornya. Mereka potensial mereduksi sampahnya. Wajibkan saja dan anggap ‘negara’ Bandung dalam kondisi bahaya. Bahaya bagi eksistensi kepala daerah, bahaya bagi eksistensi kepala dinas, dan terus ke jajaran di bawahnya. Jabatan adalah taruhannya jika setiap dinas, badan, dan lembaga tak bisa mengurangi sampahnya.

Hal tersebut akan ditiru oleh warga non-PNS, misalnya pedagang pasar dan warga umumnya. Apa yang dilakukan aparat kota akan berdampak pada warganya dan sekaligus mendidik mereka agar mengubah perilakunya dalam membuang sampah dan tahu cara sederhana dalam mengembalikan sampah ke sistem alaminya. Dan akhirnya adalah kembali ke goodwill, politicalwill, responsif dari walikota. Palu keputusan (masih tetap) ada di tangannya. Tunggu apa lagi? *
ReadMore »

23 Mei 2006

Bedeng Tarjo

Satu bilah bambu lagi selesai sudah dinding bedengnya. Satu paku lagi terpasang sudah semuanya, walaupun tak sebaik bangunan awalnya. Sambil duduk di alas koran, ia menatap Marno, anak lelakinya yang main kelereng. Tak sampai tiga menit didengarnya derap sepatu laras mendekat. Dengan wajah tegang, dipasangnya pendengarannya. Langkah itu menuju bedengnya. Dipalingkannya kepalanya, berbalik seratus delapan puluh derajat, tampaklah tiga orang berseragam, sama seperti tiga hari lalu.

"Tarjo... kamu belum kapok, ya! Sudah kubilang, kamu jangan ke sini lagi!" hardik pria berkumis Pak Raden, melengkung jauh ke bawah seperti kumis Wyatt Earp, tokoh protagonis film Tombstone.
"Belum kapok ya..!" pria berkulit kuning menimpalinya sambil menendang kresek berisi paku bekas. Kresek robek, paku berceceran. "Brengsek kamu!"

Tarjo menunduk, punggung telapak tangannya terkulai ke tanah, sementara Marno merapatkan badannya ke lengan kirinya. Wajah bocah yang belum sekolah meskipun usianya tujuh tahun itu memucat. Tiga hari lalu dia dan bapaknya diangkut ke kantor besar, tapi dia tak tahu kantor apa namanya. Di sana sudah ada orang-orang seperti mereka, orang-orang yang dianggap mengotori kota.

"Cepat pergi. Anjing!" gelegar suara pria yang lengan kanan dan kirinya penuh tatto.
"Cepaaattt... !" bentak yang berkumis.
"Bruk... prang.." yang berkulit kuning menendang tas dekat piring seng.

Dengan tubuh gemetar, menetes air matanya. "Saya harus ke mana, saya tak punya saudara, Pak."
"Bukan urusanku!" geram yang bertatto sambil menghentak bilah bambu. "Yang penting kamu harus pergi dari tempat ini. Sekarang juga!" Braakkk, suara bambu pecah.

Marno gemetar di tengah tangisnya. Tangannya memeluk bapaknya dan Tarjo mempererat pelukannya. Pria berkumis mendekati bedeng yang baru saja selesai diperbaiki. Dengan kakinya yang kekar, sepatu larasnya yang besar, dan dengan pentung hitamnya, dia menendang dan menonjok atapnya, lalu... brukk... Lubang besar menganga di dinding samping bedeng itu.

"Ampuun.. Pak, ampuunn.."
"Ampun apaan.., cepat pergiii...!"
"Pergi sekarang. Ini perintah bos. Pemilik kota ini. Kamu sampah brengsek. Berdiri!" lalu dia memanggil pria berkulit kuning dan yang bertatto. Sekali lagi terdengar bruk brang... seng berjatuhan. Sambil berjalan, yang berkulit kuning mendekati Tarjo dan menginjak telapak tangannya. Tarjo mengerang dan tangis anaknya kian keras. "Takuuuttt Paak...!"

Setelah berbisik-bisik sebentar, yang bertatto menjauh ke arah jalan. Dia naik ke truk mini lalu memundurkan truknya ke arah bedeng. Kira-kira lima meter dari bedeng, truk itu berhenti. Pria itu turun dan langsung menuju Tarjo.
"Cepat... bangsat! Berdiri!"
"Ampun Pak, ampun. Jangaaan..." Sementara itu Marno berteriak-teriak di tengah tangisnya. Brang ..bruk.. suara bedeng runtuh. Yang berkulit kuning menarik Marno yang terus saja memeluk bapaknya. Teriakannya lepas dibawa angin, tak dihiraukan.
"Naik. Cepat."
"Cepaaattt!"

Baru saja tangan Tarjo memegang alas di bibir bak truk itu, tubuhnya didorong dan dia terguling-guling. Marno mendapat perlakuan yang sama. Mereka berpelukan dalam tangis. Siku Marno lecet berdarah, kepalanya benjol terbentur dinding truk dan kaosnya robek melintang ke arah leher.

Tak berapa lama, datanglah sepasukan petugas lainnya dan langsung mengangkut bedeng itu ke truk sampah. Pembersihan besar-besaran dilakukan atas titah pejabat kota demi menghormati orang-orang besar yang akan berkonferensi di kota itu. Mereka adalah pejabat negara, pejabat yang fotonya pernah dicoblos Tarjo waktu pemilu lalu. Agar bisa memilih dia dibuatkan KTP oleh seorang anggota tim sukses dan diberi uang Rp 10.000 agar mencoblos foto sang tokoh.*
ReadMore »

TPS Balaikota

Luasnya tak lebih dari 50 m2. Untuk sebuah TPS, tak terlalu luas memang. Letaknya hanya selemparan batu dari balaikota, tepat di belakang agak ke kiri dari kantor walikota, pas di sudut jalan, di bawah beringin yang ditanam pada masa kolonial, seabad lalu. Pagar besi dua meteran berujung tajam berkarat di sana-sini membatasi TPS itu dengan selokan yang tersumbat sampah sehingga airnya tergenang. Ketika hujan, luapannya merendam jalan di sepanjang sisi kiri balaikota. Saat kemarau, angin menerbangkan plastik dan daun kering ke selokan dan ke jalan, lalu terbang lagi dihempas mobil lewat.

Sisa makanan adalah jenis sampah yang terbanyak di TPS itu bercampur dengan kertas dan karton. Di sela-sela busukan hitam kecoklatan kerapkali tersisa plastik dan kaleng-kaleng makanan instan. Remahan kue dan roti tersebar dari atas bukitan sampah sampai ke dasarnya di dekat bibir selokan. Semuanya dirubung lalat sebesar kacang polong berperut hitam, kuning, dan hijau. Di bagian atasnya segerombolan tikus mencicit berebut usus ayam. Yang satu mengejar yang lain, lalu dirampas lagi oleh tikus lainnya. Di dekat karton bermerek fried chicken tertentu segumpal belatung merubungi kepala kambing.

Dilihat dari jauh, dari jarak 30 m, keluarlah uap yang mirip asap. Bisa diduga uap itu mengandung gas metan, karbondioksida, dan amoniak. Juga ada H2S yang baunya sama dengan telur busuk. Itu semua bersatu dengan asam hasil busukan sampah organik seperti sisa makanan. Ada angin sedikit saja sesaklah napas, muallah perut. Untung ada beringin yang meskipun keropos batangnya dimakan usia, tapi mampu berfotosintesis sehingga agak mengurangi bau sampah. Yang pasti, air sampah yang kaya zat organik itu menjadi sumber makanan bagi beringin. Sampah dan beringin bersimbiosis mutualisme, saling menguntungkan.

Di belakang TPS, dua meter dari garis sempadan yang berupa pasangan bata ada tripleks bopeng penyangga atap seng berkarat, diikat dengan sabut ke terpal biru. Ujung atap satunya lagi diikatkan ke untaian akar beringin sebesar lengan orang dewasa menggunakan tambang. Sepintas mirip tenda rombengan, lebih buruk daripada kandang anjing. Dindingnya dari kardus rokok yang diperkuat bambu bekas tiang bendera. Di sebelahnya ada perapian dari bata berangkal; seonggok abu di sebelah kiri dan baranya masih tampak di antara kayu bakar hitam. Pancinya dari aluminum, penyok di dekat kupingnya, hitam berjelaga. Di atas perapian ada satu panci lagi, lebih bersih, digantung di dekat wajan berlapis teflon. Semuanya dipungut di TPS seperti halnya sendok, garpu, gayung, ember, dan kursi kayu. Semuanya berkah TPS.

Kinem, perempuan di bedeng belakang TPS itu, sedang menyiapkan makanan untuk anaknya. Rambut pendek kelabunya di jalin satu mirip ekor kuda, dan berminyak. Di selingi batuk-batuk kering kecil, tangannya gemetar ketika mengambil gayung penuh air. Tampak semangat dan mungkin gembira. Sebab, dua ikat buncis layu, bunga kol, dan segenggam bayam didapatnya dari plastik kresek di depan TPS tadi pagi. Di sebelah piring bergerigi terhidang ikan asin, juga dari kantong kresek yang sama. Inilah hari besar bagi keluarganya yang hanya terdiri atas tiga orang; satunya lagi adalah seorang pemulung keliling yang berperan sebagai ‘suami’ sebab mereka belum ijab-kabul. "Kumpul kebokah?"

Buah ‘perkawinannya’ adalah Tole, anak semata wayangnya, seusia anak SD kelas dua. Karena tak sekolah, sehari-hari mainnya hanya mengais-ngais di TPS. Sekali waktu Tole pernah menemukan arloji yang lantas dijual ibunya seharga Rp 20.000. Pada kali lain ia memperoleh ‘balon’ bekas pakai teman kencan seorang WTS yang sesekali mangkal di dekat beringin. Seperti umumnya anak-anak, Tole senang menyanyi. Berkaos singlet ‘Popeye’ yang robek lengannya, sebait-dua bait lirik lagu Radja yang didengarnya dari pengamen prapatan lepas dari mulutnya, menampakkan empat bekas lokasi gigi serinya yang ompong. Perut buncitnya naik-turun lalu menyembul di balik kaosnya. Lutut kirinya dikitari lalat yang tergoda oleh bau korengnya. Ia kelihatan senang-senang saja, tanpa beban.

Kini layangkanlah pandangan ke depan, ke arah gedung berpilar, berlapis-lapis, melengkung, bergaya Art Deco. Warna putih mendominasi gedung yang dijadikan pusat upacara pejabat itu. Setiap ada pejabat baru, seremonial yang tak ketinggalan adalah prasmanan. Makan-makan. Di aula seluas 400 m2 itu terhidang belasan stand makanan, mulai baso-tahu, es krim, sate, aneka buah, beragam sayur, dan ... banyak lagi yang lain. Lengkap semua, mulai makanan pembuka, utama hingga penutup.

Seperti biasa, seusai acara sisanya masih banyak dan selalu dibagi-bagi dalam bungkusan di antara pegawai. Baru setelah itu, dicampur dengan bekas makanan yang terserak di piring dan gelas, dibuang ke TPS. Inilah saat Kinem dan Tole berpesta menikmati makanan gedongan sekaligus sisa wadah karton dan plastik yang bisa dijualnya ke bandar rongsokan. Ini pulalah yang menyebabkan mereka bertahan di belakang TPS itu dan tak hendak bangkit.

Bangkit? Bangkit ke mana?

Kebangkitan keluarga? Anaknya tak sekolah. Hardiknas 2 Mei lalu tak berbekas, Harkitnas 20 Mei kemarin juga berlalu begitu saja. Sejumlah tokoh bersarasehan, yang lain lari-lari pagi dan ada yang ber-weekend. Dan kini, 21 Mei 2006, adalah Hari Reformasi. Membentuk kembali, membangun kembali serpihan negara....

Akankah Tole menjadi pemuda yang pekerjaannya lebih baik daripada bapaknya atau menjadi pengusaha yang memproduksi barang dari sampah dan mampu membuka lapangan kerja bagi pemulung? *
ReadMore »

Bioproses Pencemar Udara

Historisnya, pencemaran udara bukanlah masalah baru karena sudah terjadi ribuan tahun yang lalu. Letusan gunung dan kebakaran hutan adalah dua sumber pencemar alami yang menghasilkan asap, abu, debu, CO2 dan H2S. Dengan mekanisme swabersih, self-cleansing di atmosfer seperti dispersi, flokulasi, sedimentasi, absorpsi, adsorpsi dan hujan maka pencemaran udara tidak menjadi parah.

Jika ada satu atau lebih kontaminan di udara yang kadar, sifat dan durasinya merugikan flora, fauna dan manusia maka telah terjadi pencemaran udara bukan sekedar pengotoran udara. Sumber utamanya adalah aktivitas manusia seperti transportasi dan industri yang banyak mengemisi pencemar padat, cair dan gas. Penanganan limbah padat dan cair dengan teknik bioproses yang memanfaatkan mikroba sudah lama dilakukan. Sedangkan intensifikasi aplikasinya untuk limbah gas khususnya di Indonesia baru dasawarsa terakhir abad ke-20 yang lalu dimulai.

Ekonomis, itulah keunggulan rekayasa bioproses dibandingkan dengan proses fisikokimia seperti scrubber yang menggunakan pelarut (absorban) untuk menyisihkan limbah gas. Selain biaya investasi dan O-M yang tinggi, pengoperasian proses fisikokimia juga lebih rumit dan timbul masalah baru pada lingkungan akibat lumpur/sludge toksik yang dihasilkannya. Ide dasar bioproses limbah gas sama dengan limbah cair yakni pemanfaatan kemampuan mikroba untuk mendegradasi pencemar organik yang digunakan sebagai sumber karbon dan pertumbuhan sel. Pada kondisi ini, semua pencemar diubah menjadi produk akhir yang tidak berbahaya seperti CO2, H2O dan biomassa baru dan efektif untuk pencemar organik yang konsentrasinya relatif rendah, antara dari 1 - 5 g/m3.

Bioproses
Ide dasar bioproses adalah beternak mikroba pendegradasi polutan. Aplikasi dan jenis reaktornya mengalami perkembangan yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa di antaranya dibahas secara singkat berikut ini.

a. Biofilter.
Jenis ini adalah pionir bioreaktor yang mekanisme interaksi proses fisika dan biologinya menggunakan media kompos, tanah dan material kasar untuk mencegah penurunan tekanan yang terlalu tinggi. Luas permukaan gas-cairan relatif besar antara 300 - 1.000 m2/m3. Transfer massa polutan terjadi pada media yang diselimuti biofilm. Biofilter telah digunakan di industri untuk menyisihkan polutan seperti alkohol, senyawa aromatik, alifatik dan ester.

b. Trickle-Bed (Trickling Filter).
Tipe kedua adalah trickle-bed yang aplikasinya sangat luas di bidang pengolahan air limbah, terdiri atas kolom media untuk pertumbuhan mikroba. Air bernutrien secara kontinu disemprotkan ke dalam aliran udara. Dengan cara ini, kelembaban, temperatur, dan suplai nutrien dapat dikendalikan lebih baik daripada biofilter. Sangat baik untuk mengolah limbah gas seperti hidrokarbon terklorinasi, aromatik, alkohol, aldehid, keton, ammonia dan sulfur. Kekurangannya, terbentuk lapisan air yang menghalangi transfer pencemar yang sulit larut di dalam air dari udara ke biomassa.

c. Bioscrubber.
Pada jenis ini, air disemprotkan di atas media tetapi mikrobanya tidak ditumbuhkan di sini. Mikroba dibiakkan pada tangki lain tempat terjadinya biodegradasi pencemar. Air mengabsorbsi polutan gas lalu dibawa ke tanki lumpur aktif untuk didegradasi. Karena kontaminan harus larut dalam air maka tipe ini tidak cocok digunakan untuk senyawa yang sulit larut dalam air. Untuk meningkatkan transfer massanya perlu ditambahkan pelarut organik sebagai absorban.

d. Bioreaktor membran.
Inilah bioreaktor terbaru untuk menyisihkan hidrokarbon terklorinasi yang sulit larut di dalam air. Reaktor terdiri atas membran hidrofobik yang memisahkan fase gas dengan fase cair. Biomassa tumbuh pada bagian cair dan pencemar serta oksigen didifusikan melalui membran. Kelebihan tipe membran ini, ia merupakan gabungan antara biofilter dan trickle-bed. Seperti pada biofilter, membran bioreaktor memiliki kemampuan transfer massa yang sangat baik sehingga cocok digunakan untuk menyisihkan hidrokarbon yang sulit larut. Sama dengan trickle-bed, fase cair memungkinkan penyisihan produk akhir yang toksik dan suplai nutrien dan air.

Bioreaktor Membran
Aplikasi membran sudah luas digunakan dalam menangani limbah seperti penyisihan zat padat, retensi biomassa, aerasi bioreaktor dan ekstraksi pencemar dalam air limbah. Sekarang pengembangan bioreaktor membran untuk mengolah limbah gas juga makin banyak. Pada tipe ini pencemar gas ditransfer melalui membran menuju fase cair yang isinya mikroba pendegradasi pencemar. Dua tipe bahan membran untuk kontak gas-cairan ini adalah bahan hidrofobik dan dense material seperti karet silicone. Biomassa tumbuh dalam bentuk biofilm pada membran tapi dapat juga tersuspensi di dalam fase cair. Kekurangan tipe ini adalah biofilmnya tidak stabil dan/atau clogging pori-pori akibat biomassanya yang berlebihan.

Bioreaktor limbah gas memanfaatkan mikroba untuk mendegradasi pencemar gas organik yang didifusikan ke fase cair menjadi produk tidak berbahaya seperti CO2, H2O dan mineral. Sebagai contoh adalah Xanthobacter Py2 yang mampu mendegradasi TCE (Trichloroethene) dengan kehadiran substrat propene. Biomembran adalah alternatif tipe bioreaktor konvensional pengolah limbah gas seperti biofilter media kompos. Kelebihannya, ada fase air diskrit yang menyebabkan humidifikasi biomassa menjadi optimal dan penyisihan produk degradasi sehingga tidak terjadi inaktivasi biomassa.

Fungsi membran: sebagai interface antara fase gas dan fase cair. Interface (antarmuka) gas-cair tersebut dapat dihasilkan misalnya dengan membran hollow fibre yang interface-nya lebih besar daripada kontaktor gas-cair tipe lain. Bagian reaktor membran juga tidak ada yang bergerak (moving parts), mudah di scale-up, dan aliran gas dan cairan dapat divariasikan dengan bebas tanpa timbul masalah genangan (flooding), beban (loading) atau buih (foaming) seperti yang sering terjadi pada diffuser (bubble columns).

Kendala Bioproses
Meskipun bioproses sangat baik digunakan untuk mengolah bermacam pencemar tetapi ada beberapa pencemar yang sulit disisihkan.

a. Pencemar yang sulit larut di dalam air sehingga degradasinya menjadi terbatas karena driving force-nya kecil agar terjadi transfer massa. Dengan demikian, ketebalan lapisan air antara fase gas dengan mikroba menjadi kecil.

b. Kekurangan kedua adalah untuk pencemar yang sulit dibiodegradasi. Beberapa polutan organik terklorinasi tidak dapat didegradasi dalam kondisi aerob sehingga sulit disisihkan. Sedangkan sebagian hidrokarbon terklorinasi dapat didegradasi secara aerob tetapi perlu substrat tambahan untuk pertumbuhan mikroba (cometabolisme).

c. Aspek ketiga adalah toksisitas polutan akibat konsentrasinya terlalu tinggi. Sebagai contoh adalah konsentrasi tinggi senyawa-antara (intermediate) hasil biodegradasi seperti akumulasi senyawa antara asam-asaman di dalam biofilter yang kelebihan etanol. Tidak hanya yang berkonsentrasi tinggi, senyawa-antara yang rendah konsentrasinya pun dapat menjadi toksik bagi mikroba. Senyawa intermedit biodegradasi trichlorethene (TCE) yang karsinogenik dapat menghasilkan dampak buruk pada mikroba pendegradasi TCE. Senyawa TCE ini terdistribusi luas pada air tanah dan tanah sehingga menjadi bahaya potensial bagi manusia.

Derasnya penurunan kualitas udara terutama di sekitar kawasan industri dapat menimbulkan gangguan bau, estetika dan bahaya pada kesehatan. Peningkatan perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan, dapat mendesak pemerintah secara tidak langsung untuk lebih serius menangani masalah pencemaran khususnya polusi udara. Pihak industri pun dapat memanfaatkan teknologi ini yang relatif ekonomis dibandingkan proses fisikokimia jika ingin masuk ke pasar global karena audit lingkungannya memenuhi syarat. Dengan demikian, teknologi pemanfaatan mikroba menjadi alternatif yang baik di masa datang.**
ReadMore »

18 Mei 2006

Palestina: Tamu Menjadi Tuan

Lima orang datang dari jauh. Tak jelas asalnya dari mana. Mereka diaspora, menggelandang. Mereka tak bertanah dan berlabel buron. Mereka tiba di sebuah rumah. Di rumah itu, yaitu rumah tenang yang yang tak terlalu luas, mereka minta izin untuk istirahat dan menginap. Sebagai tuan rumah yang baik dan ingin melaksanakan ajaran agamanya, tuan rumah lapang hati menerimanya. Sandang dan pangan diberikan. Dijamin semuanya. Mereka dianggap saudara jauh meskipun buron statusnya.

Perlakuan baik itu berlangsung sekian waktu sampai akhirnya mereka berbuat sesuatu: air susu dibalas air tuba. Mereka sudah merasa nyaman tapi ingin jauh lebih nyaman lagi. Diputuskanlah sebuah kebijakan. Ada satu putusan politik mereka, yaitu devide et impera. Politik pecah belah lalu kuasai. Mereka lakukan itu. Tuan rumah ditakut-takuti, dinista, dan bahkan dibunuh. Ada yang terpaksa mengungsi ke rumah tetangga. Tetangga itu awalnya keras juga melawan penjarahan rumah itu, tapi lama-lama mereka tak kuasa lagi. Ternyata lima orang itu dibantu dari jauh oleh beberapa rumah gedongan.

Lima orang tamu itu terus saja membuat onar di rumah orang yang ditamuinya. Maksudnya jelas: ingin memiliki rumah itu. Dan mereka berhasil. Berhasil! Mayoritas tanah dan kamar-kamarnya dirampas dan dijadikan tempat tinggal sehari-hari sampai beranak-cucu di sana. Sedangkan tuan rumah dan keluarganya hanya disisakan di lahan sempit, di dekat kamar mandi-WC. Sudah itu sering pula ditakut-takuti akan dibunuh. Malah terjadi insiden pembantaian massal di sebuah kamar di sana. Mereka memperlakukan tuan rumah seenak perutnya. Apa kata yang tepat bagi lima orang dan keturunannya? Perampas! Ini sebutan layak buat tamu BIADAB itu.

Palestina, sebagai tuan rumah, memang menderita. Telah lama mereka menderita lantaran tindakan keji tamunya itu, yaitu Yahudi Israel atas dukungan saudaranya, AS dan kawan-kawan.

Mari dukung dan gemakan ujaran Dr. Yusuf Qardhawi: one man, one dollar. Satu orang, sepuluh ribu rupiah.

----------- * ------------
Hal sejenis terjadi di Palestina; ada warga Palestina yang benci Hamas tapi berterima kasih kepada Israel lantaran Jalur Gaza dikembalikan kepada Palestina tanpa berpikir ada udang di balik batu. Padahal Gaza bukan hal utama (2% dari jajahan Israel), melainkan Tepi Barat, Yerussalem. Apalagi itu baru tanahnya, belum wilayah udara dan pelabuhannya. Sepekan kemudian dengan santai zionis membombardir Gaza lewat F16 seperti dulu mereka membom kamp Shabra-Satila yang menewaskan ribuan pengungsi wanita, balita dan anak-anak....
-------------------------- *----------------------------
ReadMore »

Erupsi Merapi: Derita Pengungsi

Semburan Merapi makin berbahaya. Lava pijar memerah tumpah meleleh ke arah hulu-hulu sungai sepanjang empat kilometer. Sementara itu kawahnya terus meluas dan jangan-jangan nanti sama dengan kawah di Gunung Tangkuban Parahu di Bandung. Wedus gembel, campuran gas dan debu vulkanik bertemperatur 900o C (di puncaknya) meletup bak jamur lalu turun merayapi lereng sambil menghanguskan semua benda yang disapunya. Hanya arang yang tertinggal, tanpa tanda-tanda kehidupan. Mulai semut sampai monyet, jika mereka belum menyingkir, akan terpanggang mengkerut atau mengecil gosong, bukan terpanggang matang. Seorang korban wedhus gembel erupsi tahun 1994 yang pernah kulihat, kaki dan tangannya tak berbentuk lagi, hanya seonggok tungkai lunglai akibat temperatur 400o C (di pemukiman). Jejarinya habis, telinganya hilang, pipinya.... sulit kukatakan dengan kata-kata. Monster di film pun tak separah itu.

Yang juga tak kalah bahayanya adalah hujan debu. Kemarin debu telah jatuh di beberapa desa di Magelang. Sakit pernapasan mulai terjadi. Radang tenggorokan mengancam. Sakit ini menyiksa penderitanya karena terasa sakit sekali saat menelan sesuatu. Menelan ludah saja sakit, mirip makan kulit rambutan, apalagi makan nasi yang agak keras atau sayur tanpa kuah terutama yang sakitnya sudah parah. Minum pun sebaiknya air hangat atau agak panas. Sayangnya, makanan jenis ini dan air minum dingin atau bahkan air tak bersih justru yang terbanyak tersedia di kam pengungsian. Batuknya memang jarang, tapi sekali batuk tak berdahak ini serupa dengan letusan peluru dari senjata AK47. Beruntun. Sakitnya bukan kepalang. Perut sampai terguncang-guncang dan melilit. Apa yang akan tampak andaikata ribuan orang berjejer dan batuk bersahut-sahutan saat malam?

Parahnya lagi, di daerah bencana biasanya sulit diperoleh obat-obatan dan tenaga medis, terutama dokter. Ada memang, tapi rasionya terhadap jumlah pengungsi sangat-sangat kecil. Yang kebetulan bisa dilayani dokter dan sakitnya ditangani dengan baik bisa dikatakan beruntung. Yang tak beruntung jauh lebih banyak. Apalagi di tengah kelangkaan makanan dan minuman itu ada yang ‘mengail di air keruh’ demi keuntungan pribadi seperti di Aceh.

Andaikata pengungsi itu punya cukup uang mungkin mereka bisa membeli obat yang dijual bebas di warung dekat barak di kam. Hanya saja, kalau salah obat yang terjadi malah mual-mual dan mulut terus mengeluarkan ludah. Siang malam mual dan tak bisa tidur. Lama-lama ketahanan tubuhnya melemah dan sakit lain pun muncul. Sakit bertubi-tubi. Diare dan sakit menular lainnya mengancam, kebutuhan masker meningkat, pengungsi dan relawan kian capek dan stres, begitu pun petugas di dapur umum dan tim medis.

Merapi, gunung setinggi 2.914 m dpl itu kini batuk. Gemuruh suaranya, luruh lavanya dan awan panasnya menyatakan dengan tegas bahwa manusia tak ada apa-apanya. Mampu apa manusia melawan Merapi sepanjang sejarahnya? Mampukah membatalkan atau menghentikan karakter Merapi?

Itu sebabnya, di tengah kelemahan manusia, saling bantu adalah jawabnya. Yang mampu dan punya kelapangan waktu, rejeki, ilmu dan teknologi membantu yang mengungsi. Siapa lagi yang bisa meringankan derita mereka selain saudaranya sesama orang Indonesia?

Maka, salurkanlah bantuan Anda ke lembaga yang Anda percayai.*
ReadMore »

TPS... oh TPS...

Bukan Tempat Pemungutan Suara. Sebab, pemilu telah berlalu. Sebutannya, entah siapa yang memulai, adalah Tempat Pembuangan Sementara. Salah satu TPS yang parah berada di Kiara Condong, dekat jembatan layang yang melewati rel kereta api. Luasnya sekitar 30 m2. Tingginya bervariasi, mulai dari satu meter sampai empat meter. Isinya macam-macam. Yang terbanyak adalah sisa bahan sayur seperti kol, kubis, dan buncis. Kacang-kacangan juga banyak. Disusul oleh mangga, jeruk, alpukat, dan timun. Semuanya membusuk dengan aroma khas. Sudah lima pekan mereka ditumpuk di dekat pasar itu.

Dari 200 TPS di Bandung, yang disebut di atas itu belum seberapa. Cobalah datang ke Jl. Pagarsih sampai Astanaanyar. Panoramanya amburadul, aromanya sumpek busuk asam berbaur berkejaran. Kadang-kadang tercium asam dulu, pada saat yang lain tercium pesing diseling hawa pengap panas. Ketika hujan, air meluap sampai jauh, membenam jalan dan trotoir. Tiga mobil sedan mogok meruwetkan suasana, bising guntur dan raungan knalpot menderu-deru. Penjaja payung lari kian ke mari, tukang bakso menarik gerobaknya ke emper toko, di sela-sela pejalan kaki dan pengendara motor yang berteduh.

Tak ayal lagi, TPS seratus persen sumber penyakit. Busukan sampah mengundang lalat yang lantas bertelur dan berbiak di sana. Tikus-tikus rumah, juga tikus-tikus selokan dan celurut berpesta setiap saat, siang dan malam. Nyamuk bertelur di genangan air dalam pecahan botol dan kaleng atau plastik minuman. Ular? Boleh jadi ada ular kalau TPS itu letaknya dekat sawah atau tegalan. Anjing liar mengais-ngais sisa nasi bungkus. Semua binatang itu membuang kotorannya di sana, bercampur dengan buangan manusia. Seratus persen, penyakit dapat muncul dari TPS. Diare, demam berdarah, dipagut ular, pes, rabies, dan sakit saluran pernapasan. Aroma busuk mengandung beragam zat organik yang membahayakan paru-paru.

Kalau demikian, TPS itu masalah siapa? Disebut masalah rakyat, tentu boleh-boleh saja. Rakyat atau kita memang selalu menghasilkan sampah. Ada yang banyak, ada yang sedikit. Tanggung jawab rakyat memang ada dalam setiap timbulan sampahnya. Bayangkan saja, timbulan sampah per hari di kota Bandung mencapai 7.000 m3. Jika disusun di atas tanah seluas 200 m2, maka tingginya 35 meter, setara dengan gedung berlantai 9. Dalam satu bulan menjadi 1.050 m atau gedung 270 lantai. Pencakar langit tertinggi di dunia. Artinya, jika mau, Bandung sudah memecahkan rekor dunia dalam hal hotel sampah. Tapi kenapa MURI tak jua memasukkan rekor ini? Ini hal penting yang mesti disampaikan kepada anak-cucu orang Indonesia masa datang untuk dijadikan pelajaran. Bukan untuk ditiru. Dengan harapan, generasi akan datang bisa jauh lebih baik lagi dalam mengelola sampahnya.

TPS... oh TPS...

Tempat Pembuangan Sementara, Tempat Penitipan Sementara, Tempat Pengeraman Sementara, Tempat Pengolahan Sementara, Tempat Penampungan Sementara, Tempat Pameran Sementara... ... ?*
ReadMore »

Tujuh Grup Orang Sampah

Sebulan sudah sampah Bandung meresahkan warganya. Meskipun ini kejadian yang ke-3 kalinya, tetap saja masalahnya seperti dulu, seperti kejadian kedua dan kesatu, yaitu tak berhasil memperoleh lahan untuk TPA (Tempat Pembuangan Akhir; yang lebih tepat adalah Tempat ‘Pengolahan’ Akhir). Bahkan para pejabat di Bandung telah jalan-jalan ke Cina, Jerman dan Australia untuk melihat-lihat pengelolaan sampah di sana. Hasilnya nol besar padahal ratusan juta uang orang Bandung habis dalam langlang buana nirhasil itu.

Itulah faktanya. Fakta ketakbecusan aparat menangani sampah. Sampai-sampai seorang menteri dengan kesal berkata bahwa kita punya teknologinya! Tak hanya ITB yang bisa, tapi kampus lain pun bisa. Tak usah jauh-jauh ke luar negeri. Masalahnya, kata menteri itu, adalah soal korupsi. Korupsi. Korupsi retribusilah masalahnya, bukan teknologinya. Begitu katanya ketika sempat ke Bandung dan melihat bukit sampah di dekat kampus tempatnya menjadi rektor dulu. Di pinggir jalan ada sampah, di median jalan ada karung sampah, TPS meluas ke lahan parkir, bahkan lahan sekolah. Murid dan guru sudah protes karena bau busuknya membuyarkan konsentrasi belajar-mengajar. Apalagi anak SMA sedang ujian negara. Bisa banyak yang stres lantaran pusing oleh soal ujian dan oleh bau busuk.

Ada tujuh grup orang yang terkait dengan masalah sampah Bandung.

1. Tukang sapu. Penyapu sampah, kerapkali disebut pasukan kuning, yellow brigade, bekerja dari pagi sampai petang dan bahkan dinihari sudah mengumpulkan sampah. Ada yang mulai bekerja jam sepuluh malam sampai pagi. Mereka sering disebut manusia sampah dalam arti sebenarnya. Mereka dianggap orang hina sehingga jarang yang mau bertegur sapa dengannya. Jangankan menyapa, mendekatinya saja enggan. Padahal boleh jadi hati dan karakternya lebih bagus ketimbang orang yang menghinanya. Di antara mereka, yaitu yang muda-muda, ada yang sambil sekolah dan bahkan kuliah. Mereka tidak malu bekerja di tempat ‘bau’ dan dianggap rendah itu. Mereka lakoni hidupnya dengan semangat.

2. Pegawai administrasi. Ini adalah orang-orang yang bekerja di Dinas Kebersihan atau di PD Kebersihan. Mereka ada yang pernah menjadi tukang sapu sekian belas tahun lalu dan sekarang menjadi tukang tik. Ada juga yang berbekal ijazah setingkat SMA dan menjadi pegawai kelas menengah sampai pensiun. Juga ada yang sarjana, misalnya jebolan Teknik Lingkungan suatu PTN-PTS. Kebanyakan mereka bekerja di ruang bersih, tidak langsung berinteraksi dengan sampah. Mereka berada di lapis tengah manajemen di dinas atau perusahaan daerah. Mereka hanyalah pelaksana apa yang diputuskan atasannya, atau atasan dari atasannya. Mereka tak mampu berbuat demi membersihkan sampah domestik dan sampah pasar yang tersebar di sekujur pelosok Bandung. Kini pun mereka menanti ketakpastian lokasi TPA baru.

3. Pejabat teras Dinas atau PD Kebersihan. Secara umum mereka adalah sarjana dan bahkan magister. Ada yang memang berlatar Teknik Lingkungan tapi ada juga yang bukan. Bahkan sangat jauh latar ilmunya dari persampahan. Tapi lantaran telah lama berkarir di sana, bisalah mereka diangkat menjadi pejabat, baik karena kualitasnya yang memang bagus maupun karena pertemanan dekat dengan kepala daerah. Jalinan kolusif ini begitu gamblang terang benderang di setiap pemda. Sudah rahasia umum. Tak sedikit yang seperti ini. Mayoritas seperti ini, seperti yang terjadi di PD Air Minum alias PDAM. Akibatnya, semua sepak terjang pejabat itu tak bisa lepas dan selalu dikendalikan oleh kepala daerah. Tak bisa bebas total berkreasi.

4. Pejabat pemerintah. Inilah pejabat teras di pemerintah daerah. Mereka mengatur segalanya dan menjadi pemegang keputusan utama. Tentu saja ada orang-orang yang memberikan masukan tentang ilmu dan teknologinya, semacam staf ahli. Tapi andaikata masukannya salah, salah pulalah keputusannya. Bahkan pejabat di lapis bawahnya sering menjadi bulan-bulanan media: dari atas di tekan, dari bawah disodok. Maju kena, mundur pun kena. Tak bisa apa-apa dan serbasalah. Akhirnya mereka takut memberikan pernyataan di media massa, takut tak sesuai dengan atasannya. Jadilah mereka penunggu setia setiap hari. Mirip pahat, kalau tak diketok maka takkan jalan. Yang lebih memprihatinkan lagi, pejabat terasnya tak konsisten pada kata-kata yang diucapkannya, bahkan dikutip media massa. Hari ini bilang ada calon TPA di desa anu, sekian hari kemudian dibatalkan dan diganti dengan lokasi lain tapi masih dirahasiakan. Jika ada kepala negara yang datang ke Bandung, misalnya saat peringatan KAA, barulah sampah diangkut. Jika presiden ada rencana ke Bandung, sampah pun diangkut. Sedih sekali melihat aparat seperti itu.

5. Masyarakat dan Ormas. Kelompok inilah yang terbanyak jumlahnya. Kita pun termasuk di dalamnya. Tak bisa dimungkiri, kita selalu menghasilkan sampah setiap hari. Tubuh kita pun berisi sampah dan harus dibuang setiap hari.Kegiatan kita pun menghasilkan sampah dalam arti luas, yaitu sampah padat, cair, dan gas. Begitu pun perkumpulan orang-orang yang disebut organisasi. Ada yang langsung bergerak di sektor sampah, misalnya pemberdayaan masyarakat demi reduksi sampah. Ormas ini banyak bermunculan di Bandung setahun terakhir pascalongsor TPA Leuwigajah. Bahkan banyak yang membuat proposal untuk mendapatkan dana dan ujung-ujungnya masyarakat tetap saja tak berdaya. Uang itu sekadar uang proyek-proyekan. Sejumlah LSM begini perilakunya. Di lain pihak, masyarakat merasa tidak dirugikan karena merasa uang itu bukan uang dari sakunya. Padahal uang itu jelas-jelas adalah uang retribusi dan pajaknya.

6. Akademisi dan periset. Ini disebut kelompok ahli tapi sering mirip menara gading. Ilmunya tinggi sampai jauh di awang-awang, tak terjangkau, tak terpahami oleh masyarakat penggunanya. Mereka banyak paham soal sampah tapi tak mampu jua bicara banyak. Bukan lantaran ketiadaan ilmu dan ketiadaan teknologinya, seperti kata menteri di atas, melainkan lantaran kebijakan pemerintah yang tak proaktif atas ide-idenya. Ini sering terjadi. Mereka, periset dan akademisi itu telah berusaha menjadi ‘manusia sampah’, yaitu mempelajari sampah sampai sekolah S3, tapi tetap saja tak bisa berbuat banyak. Bahkan profesor sampah pun tak didengarkan kata-katanya. Bandung betul-betul luar biasa. Sekumpulan doktor dan profesor tak dianggap oleh anggota DPRD dan pemerintah kota yang, maaf, ‘hanya lulusan diploma, sarjana atau magister’. Kasus Punclut adalah yang paling jelas dan tragis. Luar biasa...... ....... ..... pandirnya.

7. Koruptor. Inilah jenis manusia sampah yang betul-betul sampah. Serakah dalam setiap langkah hidupnya. Apa pun diambilnya. Ketika di negeri seberang orang korupsi di bawah meja, di negeri jiran orang korupsi di atas meja, di Indonesia lain sendiri. Koruptor Indonesia tak hanya mengambil uangnya, tapi juga mejanya. Bahkan dengan tong sampahnya. Uangnya telah menjadi sampah. Perutnya penuh sampah dan juga ‘sampah’. Koruptor ini bisa siapa saja: bisa pejabat dan staf di pemda, bisa bos rekanan perusahaan swasta dan pekerjanya, bisa LSM, bisa aparat keamanan yang pagar makan tanaman, bisa juga warga masyarakat. Ia bisa muncul di mana saja dan berasal dari mana saja.

Itulah tujuh grup ‘orang sampah’ yang mengurusi tujuh ribu meter kubik sampah setiap hari di Bandung: 7 grup di dalam 7.000 m3 sampah per hari. *
ReadMore »

14 Mei 2006

Waspadai Racun dalam Makanan

Waspadai Racun dalam Makanan

Pekan lalu saya sempat masuk ke pasar. Di pasar itu, selain sumpeknya bukan main bahkan baju pun terus berbau pasar padahal sudah jauh dari pasar, saya lihat deretan makanan-minuman (makmin) warna-warni. Mereknya juga macam-macam, dari produk dalam negeri sampai luar negeri; dari produk rumahan sampai pabrikan; dari yang berwadah kertas, plastik sampai kaleng.

Yang terlintas di benak saya saat itu adalah zat kimianya. Zat kimia yang ada di dalam makmin itu. Ada yang terang sekali warnanya, ada yang sedang-sedang dan ada yang redup. Tanpa uji laboratorium, niscaya sulit memastikan mana yang menggunakan zat kimia untuk makanan, mana yang bukan. Parahnya, sejumlah fakta berkata bahwa ada produk makmin yang berisi zat berbahaya, baik lantaran bahan kemasannya maupun pengawetnya.

Contohnya adalah dioxins. Inilah salah satu senyawa organik terklorinasi (organic chlorine compound) yang ada di dalam makanan. Nama ‘aslinya’: polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs), tergolong Bahan Berbahaya & Beracun (B3). Asalnya dari pembakaran tak sempurna sampah (temperatur < 800 oC) di dalam insinerator. Zat itu terbentuk dari dua benzene (dibenzo) yang dikait oleh dua atom oksigen dan beberapa atom hidrogennya diganti oleh klor. Berdasarkan jumlah dan posisi klor inilah lantas muncul 75 buah variasi dioxin (isomernya). Zat padat yang sulit larut dalam air ini memiliki titik lebur dan titik didih yang sangat tinggi dengan toksisitas (kemampuan meracuni) yang bervariasi, tapi semuanya sangat beracun (supertoksik).

Selain senyawa tersebut, masih banyak lagi ‘hantu’ jenis lain di makanan kita. Pertama, berasal dari makhluk hidup seperti mikroba (bakteri, virus, protozoa), binatang (kodok, kerang), tanaman (singkong, jamur). Keracunan jenis ini sering menimpa siswa SD akibat makan/minum produk kemasan kadaluwarsa yang diperoleh di sekolah. Juga pernah heboh keracunan karena makan mie instan, biskuit, tempe bongkrek, singkong genderuwo, jamur tertentu dan daging kodok ‘Brama’.

Kedua, berasal dari makanan yang terkontaminasi logam berat, pestisida, herbisida dan, sudah disebut di atas: dioxin. Keracunan jenis ini justru jauh lebih bahaya karena dampaknya tak langsung terlihat atau terasa, khususnya dalam dosis yang sangat kecil (trace). Namun kadarnya dapat berlipat-lipat di tubuh kita dalam waktu lama (biomagnifikasi). Contohnya, keracunan logam berat merkuri yang terkandung dalam ikan (kasus Minamata di Jepang). Juga dioxin yang dapat menyebabkan kanker (karsinogenik), penurunan kekebalan tubuh, gangguan organ reproduksi (kehamilan), mutagenik (mutasi gen, pembawa sifat keturunan) dan terratogenik (cacat lahir).

Kelompok ketiga adalah keracunan dari benda-benda yang kita butuhkan sehari-hari seperti deterjen, semir sepatu, bahan pemutih, kaporit, kamfer, batere, aki, cat, thinner, gas elpiji, minyak tanah, bahan makanan (alkohol, cuka), asam-basa kuat, obat-obatan (termasuk narkotik) dan rokok (sangat berbahaya bagi bayi). Zat tersebut jika termakan, terminum atau terhirup dapat menimbulkan keracunan. Bahkan jika kulit terkena sedikit saja (misalnya asam, basa kuat) bisa timbul iritasi (luka).

Bagaimana mencegahnya? Pilihlah makanan yang sehat (dahulukan kesehatan daripada gengsi, prestise), tidak mengandung zat additif (pengawet, pewarna), pilihlah yang segar, sajikan dalam keadaan tertutup agar bebas lalat, kecoa, debu, tikus. Cuci tangan sampai bersih setelah dari WC atau kebun. Letakkan semua benda kelompok ketiga di atas pada tempat yang tak terjangkau anak-anak. Jangan gunakan botol minuman (soft drink) untuk wadah cairan berbahaya seperti alkohol, thinner, spiritus, asam atau basa kuat karena bisa terminum akibat salah ambil.

Untuk kelompok pertama dan kedua, harus ada kontrol ketat dari pemerintah dalam hal ini Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Artinya, lembaga itu harus proaktif dan bukan reaktif setelah banyak jatuh korban.***
ReadMore »

11 Mei 2006

Hai Remaja, Nge-Blog Yuk!

Kamu anak SMA? Kamu SMP? (SD juga boleh). Kamu ingin rajin nulis?

Salah satu cara agar kamu terlatih menulis adalah punya blog. Kamu bakal punya tugas wajib yang kudu kamu tepati sekaligus kamu cintai. Lewat tulisan ini kamu yang belum nge-blog diajak menjadi blogger. Ikuti caranya berikut ini.

Nge-Blog di Blogger.com
Blog mirip dengan buku harian kamu. Buku harianmu berupa lembaran kertas, blog berupa ‘kertas’ kaca di monitor komputer. Sama-sama lembaran yang bisa ditulisi apa saja. Bedanya, di blog kamu bisa memajang fotomu tanpa lem dan bisa diedit atau diatur sesukamu. Bedanya yang lain, blog adalah diary kamu yang rela kamu bagi-bagikan ke semua orang di Bumi ini. Siapa saja akan bisa membaca catatan harianmu dan bisa pula menulis komentar jika kamu izinkan ada perangkat untuk ‘comment’. Jika tak suka ada komentar, ya sudah... kamu setting aja no comment (gunakan opsi Hide, sembunyikan). Gampang banget.

Tapi perlu kamu ingat, komentar itu, apa pun ujudnya, sepedas apa pun dia, pasti ada gunanya. Telingamu bisa saja merah, panas dan hatimu geram, tapi jangan dihiraukan. Kamu mestinya berterima kasih karena ada orang yang rela meluangkan waktu, tenaga dan uangnya untuk memberikan komentar gratis. Apalagi kalau kamu mau merenung sebentar saja, boleh jadi semua kritik itu betul adanya. Malah mampu meningkatkan kualitas diri kamu, kualitas tulisan kamu dan kualitas kedewasaan (keremajaan) kamu.

Are you oke, remaja? So pasti, bukan?

Sebelum lanjut ke tatacara membuat blog, di dunia maya ada banyak penyedia layanan blog. Di sini dibahas satu saja, dan ini yang kulakukan, yaitu servis dari Blogger.com. Cukup mudah langkahnya. Setelah koneksimu ke internet siap, kamu bisa memulainya dengan mengetik alamat web site http://www.blogger.com atau kamu klik saja yang ini.

Setelah itu kamu dituntun masuk ke ‘pekarangan rumah’ Blogger.com. Di sini tertulis ‘Create a blog in 3 easy steps: (1) Create an account, (2) Name your blog, (3) Choose a template. Inilah tiga langkah dasar untuk memiliki blog, yaitu membuat ekaun alias rekening, menamai blog, dan memilih ‘kertas’ tulis. Di bagian bawahnya kamu temukan tulisan CREATE YOUR BLOG NOW. Kliklah ajakan membuat blog ini dan tunggu beberapa saat.

Sesaat kemudian muncullah formulir yang harus kamu isi. Tulislah Username dengan nama yang kamu sukai dan mudah diingat. Setiap akan masuk ke blog, kamu harus menuliskan Username tersebut. Jadi, harus diingat, jangan sampai lupa.

Berikutnya adalah mengisi Password. Isilah dengan kata rahasia yang hanya kamu yang tahu atau orang yang kamu percayai saja yang tahu. Atau, simpan di buku kamu, di HP-mu atau di mana saja asalkan bisa kamu dapatkan dengan mudah jika kamu lupa password-nya. Hati-hati jangan sampai diketahui orang lain, sebab dia atau mereka bisa meng-update atau malah men-delete blog kamu. Berabe nanti.

Kemudian kamu disuruh mengetik ulang Password tersebut di baris Retype Password. Ini semacam penegasan apakah password-mu betul atau salah. Di baris Display Name isilah dengan namamu. Lalu masukkan alamat e-mail kamu di baris di bawahnya. Teruskan dengan menyetujui aturan Blogger.com dengan mengisi ceklis di Acceptance of Terms. Terakhir, tekanlah ikon Continue. Tuntas sudah tahap satu.

Tahap dua juga mudah. Isilah Blog title dengan kata atau nama (misalnya sebagian namamu) atau sesuka hatimu. Tentu saja nama yang khas dan jelas agar mudah diingat. Kemudian isilah alamat blog (Blog address). Misalkan namamu Yulianto. Kamu bisa membuat alamatnya seperti ini: http://yulianto.blogspot.com. Kamu cukup menulis yulianto saja di baris yang tersedia. Yang lainnya sudah disediakan oleh Blogger.com. Begitu pun kalau namamu Yulianti, kamu cukup menulis yulianti saja. Selanjutnya kamu akan melihat sederetan huruf, namanya Word Verification. Salinlah huruf itu lalu klik Continue. Baris Advanced Setup diabaikan saja.

Kini kamu tiba di tahap tiga, yaitu memilih ‘kertas’ halaman blog atau template. Ada banyak opsi tapi tak usah pusing. Pilih satu tanpa ragu. Belakangan hari bisa kamu ganti lagi kalau merasa tak cocok. Bahkan kamu bisa ‘mengimpor’ template dari penyedia layanan template lainnya. Tapi ini sudah tingkat lanjut, setelah kamu terbiasa dengan blog.

Setelah ‘kertas’ blog-mu selesai, kliklah Continue. Dua-tiga detik setelahnya muncul pemberitahuan bahwa blog-mu sudah oke: Your blog has been created. Kini kamu resmi punya ‘buku’ harian di dunia maya yang kapan pun bisa ditulisi. Kamu bisa berbagi dengan teman-temanmu sekaligus mengajaknya nge-blog. Menjadi blogger. Tinggal kamu klik saja Start Posting, kamu bakal mulai bisa menulis jalan hidupmu, cerpenmu, atau opinimu tentang sekolah, sampah, dan pemerintah.

Setelah semuanya oke, yang tersisa adalah pengelolaan blog. Ini dapat kamu lakukan sambil nge-blog, kapan suka dan mana suka. Buat berbagi, kamu bisa lihat blog-ku di http://gedehace.blogspot.com (atau kamu memang sedang berada di blog-ku, bukan?) Blog ini untuk berbagi kepada siapa saja termasuk kamu dalam hal Writing, Water dan Waste alias seluk-beluk menulis, air dan limbah. Aku menyediakan waktu buat berdiskusi tentang blog sejauh yang aku ketahui dan tentang isi blog-ku, yaitu tatatulis, air dan limbah.

Hai remaja Indonesia, tunggu apa lagi? Ayolah menjadi blogger agar hidupmu berguna buat orang lain, lewat tulisanmu. Blog adalah komunitas masa kini dan pasti, masa depan! *
ReadMore »

6 Mei 2006

Bodoh atau Berperilaku Bodoh?

Bulan ini, yaitu Mei, ada empat peristiwa penting.

Yang pertama adalah Hari Buruh Internasional. Mayday, 1 Mei lalu. Banyak yang memvonis kaum buruh sebagai kaum marjinal, kaum pinggiran dan bisa dipermainkan oleh majikannya. Selama ini buruh selalu berada di bawah atau malah di telapak kaki majikan dan pemerintah. Padahal mereka sebetulnya saling butuh. Tripartit adalah segitiga sama sisi, sebuah ciri kesetaraan. Namun dalam penetapan upahnya, kaum buruh dianggap kumpulan orang bodoh dan dianggap akan menerima tanpa syarat setiap peraturan yang dibuat penguasa dan pengusaha. Demo buruh kemarin lusa adalah buktinya.

Peristiwa kedua terjadi sehari setelah Hari Buruh, yaitu Hari Pendidikan Nasional. Mendidik adalah poses pembelajaran. Proses artinya sedang berubah dan di sini diartikan sebagai proses perubahan dari tidak tahu (baca: bodoh) menjadi tahu atau berilmu. Selanjutnya, dengan ilmu itulah kalangan terdidik akan membuat alat dan teknologi demi mempermudah dan memajukan kehidupannya. Dan ini terkait erat dengan buruh di pabrik.

Namun demikian, adakah orang yang sudah sekolah bahkan sampai doktor disebut orang bodoh? Menurut saya, mereka adalah orang berilmu sampai batas-batas tertentu. Mereka tidak bodoh. Buruh pun tidak bodoh. Mereka pernah sekolah, minimal SMP. Bahkan jarang sekarang yang SMP. Banyak yang sudah lulus SMK atau SMA. Dengan parameter di alinea kedua itu bisa dikatakan bahwa buruh adalah kalangan berilmu. Sang majikan juga bukan orang bodoh. Mereka bahkan bergelar master, magister dalam ekonomi, akuntansi, dan manajemen. Mereka kalangan terdidik apik, kaum tercerahkan.

Momen ketiga adalah Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), sekitar tiga pekan dari Hari Buruh, tepatnya 20 Mei. Harkitnas adalah cermin perlawanan kaum buruh (petani) dan kaum borjuis melawan penjajah. Tapi yang memelopori perang memakai otak adalah kaum terdidik di kalangan ningrat. Orang-orang inilah yang bangkit lantaran mereka berilmu. Merekalah yang mengawali perjuangan lewat diplomasi bahkan sampai ke Belanda. Di Indonesia akhirnya muncullah Budi Utomo, didirikan oleh kaum terpelajar juga. Mereka memanfaatkan ilmunya untuk membantu pribumi yang kebanyakan buta huruf melawan penjajah. Mereka berperilaku pintar. Pintar perilakunya.

(NB. Namun ada satu hal yang ingin saya tambahkan di sini dan pasti terjadi silang pendapat. Lepas dari silang pendapat itu, saya hanya ingin kita punya wawasan yang jarang disebut-sebut di media massa. Berikut ini saya kutipkan tulisan dalam buku Menemukan Sejarah karya Prof. Ahmad M. Suryanegara. Begini bunyinya: Walau Kartini relatif muda usia, 20 tahun, George McTuman Kahin, dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, menilai Kartinilah sebenarnya pelopor pembaruan pendidikan dalam era Pergerakan Nasional, bukan Budi Utomo. Kartini bukan berjuang hanya untuk wanita, tetapi untuk kemajuan bangsanya).

Inilah peristiwa keempat. Peristiwa ini terjadi tanggal 21 Mei atau sehari setelah Hari Kebangkitan Nasional. Inilah Hari Reformasi. Adakah para pejabat masa 30 tahun Orde Baru berkuasa adalah orang bodoh? Sama sekali tidak. Mereka 100% pintar, bergelar doktor dan sebagian lainnya sudah profesor dari berbagai-bagai ilmu. Mereka pun kumpulan jenderal. Kabinetnya pun disebut Zaken kabinet, kabinet ahli. Luar biasa. Tapi kenapa negara ini tak jua maju? Alih-alih maju, kita justru kian dililit utang sampai 1.400 tiliun rupiah.

Bagaimana sekarang?

Sekarang, pada Mei 2006 ini, sudah ada jutaa kaum terpelajar. Ribuan profesor, puluhan ribu doktor, dan jutaan sarjana. Ahli madya apalagi, jauh lebih banyak. Dalam batas minimal, bisalah mereka disebut orang pintar alias tidak bodoh. Tapi kenapa kita masih saja dijajah lewat serbuan ekonomi, politik, budaya dan juga pendidikan? Dalam ekonomi kita tak berdaya. Dulu, sewindu lalu, kita dijajah IMF dan bahkan Michael Camdessus sampai angkuh bersidakep ketika Presiden Soeharto menandatangani Letter of Intent. Perih hati ini melihat perilaku kaum bule atas pejabat eksekutif tertinggi di negeri ini, di tanah ini. Rendah nian bangsa ini.

Tapi masalahnya, betulkah kita ini direndahkan ataukah merendahkan diri (bukan hati) di depan kaum bule atau kaum Asia Timur? Betulkah kita bodoh? Di atas sudah disebut, kita sudah terdidik. Kita kaum terpelajar bahkan jumlahnya sangat-sangat banyak. Kita tidak bodoh. Yang terjadi, kita berperilaku bodoh. Kita mau memperbodoh diri kita. Lihat saja, betapa bodohnya perilaku bangsa kita sampai-sampai tambang terbesar di dunia, yaitu di Irian Jaya diambil begitu saja oleh orang asing. Inilah yang menyodok hati Pak Amien Rais sehingga rasa nasionalismenya melonjak lalu keluarlah artikelnya yang berjudul Inkonstitusional dan menjadi artikel legendaris. Menyusul lagi kasus Exxonmobil di blok Cepu. Ada lagi illegal logging di semua pulau besar kita. Dan yang tak kalah aneh adalah impor limbah B3 dari Singapura untuk ditaruh di pulau kecil kita. Pelakunya 100% orang pintar, kaum terdidik, sering melancong ke luar negeri, tapi mereka bertindak bodoh. Tindakannya sangat bodoh!

Jadi..., kita tidak bodoh. Kaum buruh pun orang pintar. Kaum majikan juga pintar. Pejabat negara, dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah juga pintar. Guru, dosen, PNS lain, TNI-Polri, jaksa, hakim, pengacara, bahkan para pedagang adalah orang pintar alias tidak bodoh. Mereka bisa berhitung, mampu membaca dan juga lancar menulis. Yang terjadi adalah berperilaku bodoh. Bertindak bodoh dan bahkan bangga diperbodoh bangsa asing.

Ingat, kita tidak bodoh, tapi BERPERILAKU BODOH!!!*
ReadMore »

5 Mei 2006

Amien Rais, Sewindu Lalu

Bulan ini, yaitu Mei, memasuki pekan kedua delapan tahun lalu, Indonesia sedang genting-gentingnya. Pada pekan itu, saya lupa tanggal berapa, Presiden Soeharto akan atau malah sedang berada di luar negeri. Salah satu negara yang didatanginya adalah Mesir. Sementara itu, di dalam negeri kegawatan terus berubah dari detik ke detik. Percepatannya sangat terasa. Sejumlah aksi demo kian marak. Mahasiswa dari 99,99% perguruan tinggi bergerak. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di Bandung, di Yogya, Solo, Semarang, Surabaya, Makasar, Medan, Padang dll. Semuanya bersatu menyerukan perlawanan terhadap status quo yang dilakoni Orde Baru.

Bulan ini, yaitu Mei, memasuki pekan ketiga delapan tahun lalu, seorang dosen dari UGM, Amien Rais namanya, diisukan akan ditangkap. Orang Jawa sederhana ini memang sedang merancang pertemuan besar (saya tidak menyebutnya akbar karena hanya Allah saja yang Akbar) di Monas. Itu sebabnya, bala tentara telah disiapkan untuk menggagalkan acara itu dan bila perlu menindak tegas (baca: menembak) Amin Rais di tempat. Isu ini terus meletus dan sampai juga ke telinga rakyat kecil. Mereka tak rela pemimpinnya dinista seperti itu dan bersama mahasiswa mereka ikut bergerak. Gedung MPR-DPR dijejali ratusan ribu manusia, bahkan sampai sesak hingga radius satu kilometer. Luar-dalam gedung milik rakyat itu sarat rakyat. Mereka menagih miliknya kepada wakil-wakilnya yang tetap bersikukuh atas pilihan mereka.

Bulan ini, yaitu Mei, tepat pada akhir pekan ketiga, yaitu 21 Mei, terjadi peristiwa sejarah yang akan abadi selama-lamanya. Soeharto, presiden yang berkuasa nyaris 30 tahun, akhirnya turun. Lengser keprabon, tapi tanpa mandeg pandhito. (Kudengar tadi pagi bahwa beliau masuk rumah sakit karena pendarahan di perutnya). Kulihat semua orang yang ada di gedung DPR-MPR itu menangis. Menangis sejadi-jadinya... Kulihat mereka saling berpelukan, berbaur. Tua muda, anggota dewan dan mahasiswa, semuanya kulihat mengusap air mata. Bahagia tak terkira. Satu tahap perjuangannya telah berbuah. Mereka tahu, banyak pengorbanan yang telah keluar. Tak hanya tenaga, uang, pikiran, perasaan, tapi juga nyawa kawan mereka. Peristiwa Semanggi dan deretan lagi peristiwa lainnya. Entah berapa banyak orang yang hilang dan tak diketahui kabarnya sampai sekarang. Hanya Allah yang Mahatahu dan pasti akan mengganjar siapa saja yang bersalah, nanti di akhirat kelak.

Bulan ini, yaitu Mei, memasuki pekan keempat, Habibie mulai menjalankan tugasnya sebagai presiden. Pertentangan terjadi. Mekanismenya dianggap salah. Runyamlah lagi suasana. Namun akhirnya para politisi dan ekonom kita dapat memberikan pengertian kepada mayoritas pihak bahwa Habibie hanya sementara. Ia menjadi presiden sampai jangka waktu tertentu, yaitu sampai Pemilu. Dan ini sudah dilaksanakannya. Pemilu multipartai. Tapi sayang, satu kesalahan terbesar Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI. Tragis memang. Setelah puluhan ribu nyawa melayang, Timtim akhirnya bukan milik kita lagi. Ia menjadi negara baru bernama Timor Leste dan Xanana Gusmao, seteru Jenderal (Purn) Wiranto ketika perang dulu, malah menjadi presiden. Kini ia gagah berkunjung ke mana saja, ke PBB, dan juga ke Jakarta. Ketika lawannya mulai meninggal dan pensiun, ia justru menjadi presiden.

Begitulah sekilas peristiwanya. Mari kembali ke sosok Amien Rais. Dialah orang pertama yang berani menyuarakan isu suksesi tanpa huru-hara. Itu dilontarkannya tahun 1993, ketika baru saja Soeharto terpilih kembali menjadi presiden. Dalam rentang waktu lima tahun itu, yaitu dari 1993 sampai 1998, Amien Rais selalu berada di garda depan. Ia bahkan dicerca oleh semua lawan kampus dan lawan politiknya. Bahkan di PP Muhammadiyah pun ia dilawan, ketika ia menjadi ketuanya. Dari sekian poin kasusnya, artikel berjudul Inkonstitusional di Republika inilah yang melambungkan namanya dan dianggap kontra-Orde Baru padahal dia seorang PNS. Bagi Orde baru, PNS adalah Golkar, sebuah organisasi yang tak mau mengaku sebagai partai tapi selalu berpolitik. Aneh memang. ABRI pun masuk ke Golkar. Maka tak heran Golkar menang dengan suara mayoritas telak.

Bulan ini, yaitu Mei, delapan tahun lalu, Amien Rais berhasil membawa lokomotif yang menarik gerbong berisi 180 juta orang waktu itu. Ia antarkan sampai stasiun untuk kemudian berganti masinis dan melanjutkan perjalanan lagi. Mau ke mana? Tentu saja arahnya bergantung pada mayoritas rakyat Indonesia, lewat mekanisme Pemilu. Jika masih terus saja mau bodoh dan rela diperbodoh, maka hasilnya takkan lebih baik daripada masa Orde Baru dulu. Maka, berpikir dan berpikirlah.... Cuma akal dan pikir inilah yang mampu melepaskan diri kita dari kungkungan kebodohan, ketidakadilan, dan kenistaan. Bayangkan, sekarang kita sudah 220 juta orang! Sangat potensial untuk melawan kesialan selama ini, bukan?!

Bulan ini, yaitu Mei, delapan tahun lalu, Amien Rais membuktikan satu perkara penting. Yaitu, tetap berada di jalur kebenaran, sekuat apa pun badai menerjang. Ujungnya, semua berakhir. Mau sebagai pecundang atau pemenang? Itu semua adalah opsi kita. Jadi, pilihlah! Pilihlah seperti angsa memilih tumpahan susu di kolam lumpur. Akal sehat kuncinya.

Bulan ini, yaitu Mei 2006 ini, kuucapkan selamat buat Amien Rais, Bapak Reformasi. **
ReadMore »

3 Mei 2006

Bagir Manan

Berita yang menarik perhatian saya pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2006 adalah terpilihnya Prof. Dr. Bagir Manan sebagai ketua Mahkamah Agung. Ini kali kedua mantan rektor Unisba (Universitas Islam Bandung) itu memegang tampuk ketua MA. Yang menarik, dari 48 hak pilih Hakim Agung ada 44 orang yang memilih Bagir Manan, 2 orang memilih Gunanto Suryono dan 1 orang Paulus Lotulung. Ada 1 suara abstain alias memilih untuk tidak memilih siapa-siapa.

Saya tak mengenal Pak Bagir secara pribadi. Tapi waktu menjadi rektor Unisba saya tahu sejumlah informasi tentangnya. Sebagai rektor, ia disegani lantaran rendah hati dan perhatian pada dosen dan karyawannya. Ia memimpin dengan hatinya. Ini kata dosen-dosen yang mengajar di Unisba. Ketika terpilih sebagai ketua MA pun banyak orang yang setuju dan berharap banyak kepadanya. Sebab, selama ini MA diyakini sebagai ladang jual beli perkara yang melibatkan aparat hukum mulai dari jaksa, hakim, polisi, pengacara, pegawai administrasi dan orang yang berperkara. Ibaratnya, Pak Bagir masuk ke sarang penyamun. Akankah ia terseret arus-induk (mainstream) di sana? Sejawatnya bertanya diam-diam.

Maka, ketika meletus kasus suap oleh Probosutedjo, tak ayal lagi nama Bagir Manan dikait-kaitkan. Saya sempat kaget dan tak percaya. Hati kecil saya mengatakan Pak Bagir tak mungkin seperti itu. Media masa gencar memberitakannya dan bahkan ‘memvonis’ atau semacam ‘pembunuhan karakter’ atasnya. Beragam berita muncul sambil meyakini keterlibatannya dan tak mungkin ia tak tahu apa yang dilakukan bawahannya. Hati saya tetap pada pendapat awal, yaitu Pak Bagir tidak seperti itu. Akhirnya muncul juga komentarnya di media massa dan telah dilakukan penyidikan bahwa ia tak terlibat. Tak terlibat. Koleganya lega.

Kembali ke soal pemungutan suara di MA. Berkaitan dengan pemilihan ketua MA itu, saya yakin Guru Besar Universitas Padjadjaran Bandung ini pasti pernah mendengar hadis: jangan kau berikan jabatan kepada orang yang menginginkannya. Kalau ada yang ingin menjadi pejabat, jangan berikan jabatan itu kepadanya. Nanti kacau jadinya. Apalagi berupa jabatan publik, pasti akan kemaruk harta dan tahta. KKN pasti membelitnya dan sulit diusut karena semua orang sengaja dilibatkannya. Faktanya terlalu banyak di lapangan. Ada saja kasusnya yang terungkap setiap hari. Yang tidak atau belum terungkap pasti lebih banyak lagi.

Lalu bagaimana dengan Pak Bagir?

Melihat hasil pemungutan suara itu, yakinlah saya bahwa satu suara yang abstain itu adalah suara Pak Bagir Manan. Beliau tak hendak memilih dirinya, tak pula memilih orang lain yang tidak dipercayai karakternya.

Ia abstain!
ReadMore »

2 Mei 2006

Pembodohan Massal, Hardiknas

Guruku....
Kuingat, dalam ajaran Hindhu ada tiga macam guru, yaitu guru Rupaka, guru Wisesa, dan guru Pengajian. Yang terakhir adalah guru di sekolah; semua sekolah baik TK, SD, SMP, SMA, SMK, Madrasah, maupun perguruan tinggi. Mereka berjasa bagiku, sekecil apa pun jasanya.

Guruku...
Kuucapkan Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Kuingat sampai sekarang. Aku sangat terkesan pada guru-guruku ketika di Bali dulu. Mulai dari guru SD, SMP, sampai SMA, sebagian besar sangat mengabdi pada profesinya. Serius mengajarnya walau terkesan keras. Lebih tepat disebut disiplin. Mungkin semua guruku sudah pensiun sekarang dan sebagian juga sudah meninggal. Trims banyak guruku.

Tapi kini, pada 2 Mei 2006 ini, aku ingin sekadar mengeluarkan sepatah dua patah kata. Kutulis ini sebagai media berbagi dengan rekan-rekanku sesama bangsa Indonesia yang hari ini merayakan Hardiknas.
-----------------------------------------------------------

Ada kisah begini. Ini terjadi di sini, di tanah ini, di negara bernama Indonesia.

Begini. Banyak guru, juga kepala sekolah dan orang tua, tak ketinggalan anggota DPR yang menolak batas lulus Ujian Nasional. Mereka merasa terlalu tinggi dan takut banyak yang tidak lulus. Bahkan kalau bisa, harapan mereka, semua muridnya lulus dengan mudah dan nilainya tinggi-tinggi tapi tak peduli pada kualitasnya. Ini adalah proses pembodohan massal yang sangat melawan karakter baca-tulis. Baca dan tulis!

Bayangkan saja, nilai 4,26 masih bisa lulus dengan syarat nilai rata-ratanya tetap minimal 6. Berarti nilai 5,5 atau 5 atau 4,5 masih bisa lulus. Malah 4,26 pun bisa lulus. Dulu, saya masih ingat, nilai 5 saja sudah tidak naik. Apakah ini bisa dikatakan degradasi mutu pendidikan kita? Ketika negara lain makin maju sainsteknya, kita justru merosot ke jurang tak berdasar, ke alas abbysal.

Sering saya sedih, betapa rendah minat baca murid sekarang. Waktu saya sekolah di Bali dulu, setiap pekan ada saja pelajaran bercerita di depan kelas setelah membaca buku cerita pekan sebelumnya. Semua murid wajib ke depan kelas dan bercerita. Ini ada nilainya. Kami lantas berlomba-lomba membaca dan kebetulan ada sejumlah buku-buku cerita di perpustakaan. Kebiasaan ini ternyata tak ada sekarang. Tak ada pelajaran bercerita di depan kelas.

Yang paling menyedihkan, gurunya pun tak suka membaca. Mereka hanya berbekal ilmu lawas dan malas pula mengajarnya. Kenapa bisa begini? Padahal membaca adalah laksana obeng pembuka tempurung katak. Kalau dilanjutkan lagi, yaitu dengan menulis, maka ia akan punya pembuka langit semesta.***
ReadMore »

Buruh… Oh... Buruh

Siang hari, 1 Mei 2006, demo buruh di Gasibu Bandung berlangsung tertib. Tidak anarkhistis seperti yang ditakuti aparat. Semarak dalam damai. Lalu-lintas lancar-lancar saja dan kalaupun macet, macetnya terkendali, sama seperti hari-hari biasanya. Malah di Jakarta, kudengar lewat radio, jauh lebih cepat bubar. Berkah hujan?

Terlepas dari kondisi kondusif di atas, buruh sebetulnya sangat berjasa bagi majikannya. Tanpa buruh, tak adalah majikan. Tanpa buruh, tak ada produksi dan tak ada produk. Tanpa buruh, ekonomi mandeg. Begitu pun, tanpa majikan yang punya pabrik, buruh pun tak ada, atau tak bisa bekerja. Tanpa projek dari APBN-APBD, tak ada buruh. Tanpa putaran roda ekonomi, buruh pun tak dibutuhkan. Jadi..., bagiku, kedua belah pihak sama-sama saling membutuhkan, saling dibutuhkan. Idealnya, saling take and give.

Itu tadi sisi idealnya. Buruh-majikan saling butuh. Interaksi mutualisme. Hanya saja, seperti masa Orde Baru dulu, dan terus berlangsung sampai sekarang, terjadi rekayasa dalam kaitannya dengan segala macam undang-undang. Buruh selalu saja dikalahkan oleh pemerintah dan legislatif karena kekuatan uang. Undang-undang dimanipulasi, atau minimal dibelokkan dari arah sebenarnya. Lembaran fulus selalu saja memutar pikiran aparat negara sehingga tak waras lagi hatinya. Otaknya stabil, tapi hatinya beringas memandang uang. Terjadilah eksploitasi manusia atas manusia. Bahkan undang-undang adalah uang. Rancangan peraturan apa pun adalah projek bagi dewan dan eksekutif, menghabiskan uang rakyat. Padahal mereka dipilih oleh rakyat. Orang-orang seperti ini bukanlah pemimpin, mereka sekadar pejabat.

Kembali ke soal buruh. Bandung adalah gudangnya pabrik, terutama pabrik tekstil. Otomatis di Bandung banyak ada buruh. Wajar saja macet dan semrawut di titik-titik demo. Namun unjuk aspirasi buruh bisa disikapi dengan tenang oleh masyarakat Bandung. Tenang dan tampak bussiness as usual. Biasa-biasa saja. Ini luar biasa jika dibandingkan respon atau reaksi pemerintah pusat dan daerah yang demikian berlebihan. Ketakutannya sudah berubah menjadi paranoid, tampak dari pengerahan Satpol PP, Polisi, TNI, organisasi kepemudaan, PNS, dll. Semuanya dikerahkan sembari memboroskan uang rakyat (baca: buruh) demi konsumsi, BBM, uang berjaga-jaba (lembur) petugas. Pemborosan anggaran daerah dan anggaran negara. Atau, adakah ini disengaja demi bisnis segelintir kalangan yang mengeruk keuntungan dari demo buruh?

Salahkah kita berempati pada buruh? Jika kita bukan buruh karena merasa PNS, anggota TNI-Polri, pegawai BUMN-BUMD, guru-dosen, dll, coba bayangkan sebentar saja. Bayangkanlah ini. Mereka rata-rata pergi pagi pulang sore atau pergi sore pulang dini hari. Bahkan ada yang harus berangkat sebelum subuh untuk menanti bis jemputan. Terlambat lima menit saja, dia ditinggal dan harus keluar ongkos angkot atau bis kota. Jika tak berangkat kerja, tak lama lagi dia akan dipecat dengan alasan indisipliner. Bahkan kadang-kadang alasannya mengada-ada. Sebab, majikan dan manajernya sudah yakin pada kalimat bertuah ini: pecat satu, seribu melamar. Esa hilang seribu terbilang. Betul-betul buruh sudah tak berharga lagi di depan majikannya, terutama majikan dari negeri seberang. (NB. Menurut Robert T. Kiyosaki, penulis buku Cashflow Quadrant, kita semua adalah employee alias pekerja alias karyawan alias pegawai alias buruh jika kita bukan seorang pebisnis-investor).

Pelecehan seksual? Tak perlu lagi ditanyakan. Nyaris terjadi setiap hari jika ditelusuri di setiap pabrik. Tak hanya mereka yang dari luar negeri pelakunya, tapi juga orang asli Nusantara berkulit sawo masak. Malah ada yang kelakuannya jauh lebih bejat ketimbang ekspatriat itu. Ini mirip sekali dengan Nica Gandek semasa perang kemerdekaan, ketika clash kedua. Karakternya sama persis. Begitulah yang kudengar dari kakek dan orang tuaku dulu, ketika aku di SD.***
ReadMore »