Waspadai Racun dalam Makanan
Pekan lalu saya sempat masuk ke pasar. Di pasar itu, selain sumpeknya bukan main bahkan baju pun terus berbau pasar padahal sudah jauh dari pasar, saya lihat deretan makanan-minuman (makmin) warna-warni. Mereknya juga macam-macam, dari produk dalam negeri sampai luar negeri; dari produk rumahan sampai pabrikan; dari yang berwadah kertas, plastik sampai kaleng.
Pekan lalu saya sempat masuk ke pasar. Di pasar itu, selain sumpeknya bukan main bahkan baju pun terus berbau pasar padahal sudah jauh dari pasar, saya lihat deretan makanan-minuman (makmin) warna-warni. Mereknya juga macam-macam, dari produk dalam negeri sampai luar negeri; dari produk rumahan sampai pabrikan; dari yang berwadah kertas, plastik sampai kaleng.
Yang terlintas di benak saya saat itu adalah zat kimianya. Zat kimia yang ada di dalam makmin itu. Ada yang terang sekali warnanya, ada yang sedang-sedang dan ada yang redup. Tanpa uji laboratorium, niscaya sulit memastikan mana yang menggunakan zat kimia untuk makanan, mana yang bukan. Parahnya, sejumlah fakta berkata bahwa ada produk makmin yang berisi zat berbahaya, baik lantaran bahan kemasannya maupun pengawetnya.
Contohnya adalah dioxins. Inilah salah satu senyawa organik terklorinasi (organic chlorine compound) yang ada di dalam makanan. Nama ‘aslinya’: polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs), tergolong Bahan Berbahaya & Beracun (B3). Asalnya dari pembakaran tak sempurna sampah (temperatur < 800 oC) di dalam insinerator. Zat itu terbentuk dari dua benzene (dibenzo) yang dikait oleh dua atom oksigen dan beberapa atom hidrogennya diganti oleh klor. Berdasarkan jumlah dan posisi klor inilah lantas muncul 75 buah variasi dioxin (isomernya). Zat padat yang sulit larut dalam air ini memiliki titik lebur dan titik didih yang sangat tinggi dengan toksisitas (kemampuan meracuni) yang bervariasi, tapi semuanya sangat beracun (supertoksik).
Selain senyawa tersebut, masih banyak lagi ‘hantu’ jenis lain di makanan kita. Pertama, berasal dari makhluk hidup seperti mikroba (bakteri, virus, protozoa), binatang (kodok, kerang), tanaman (singkong, jamur). Keracunan jenis ini sering menimpa siswa SD akibat makan/minum produk kemasan kadaluwarsa yang diperoleh di sekolah. Juga pernah heboh keracunan karena makan mie instan, biskuit, tempe bongkrek, singkong genderuwo, jamur tertentu dan daging kodok ‘Brama’.
Kedua, berasal dari makanan yang terkontaminasi logam berat, pestisida, herbisida dan, sudah disebut di atas: dioxin. Keracunan jenis ini justru jauh lebih bahaya karena dampaknya tak langsung terlihat atau terasa, khususnya dalam dosis yang sangat kecil (trace). Namun kadarnya dapat berlipat-lipat di tubuh kita dalam waktu lama (biomagnifikasi). Contohnya, keracunan logam berat merkuri yang terkandung dalam ikan (kasus Minamata di Jepang). Juga dioxin yang dapat menyebabkan kanker (karsinogenik), penurunan kekebalan tubuh, gangguan organ reproduksi (kehamilan), mutagenik (mutasi gen, pembawa sifat keturunan) dan terratogenik (cacat lahir).
Kelompok ketiga adalah keracunan dari benda-benda yang kita butuhkan sehari-hari seperti deterjen, semir sepatu, bahan pemutih, kaporit, kamfer, batere, aki, cat, thinner, gas elpiji, minyak tanah, bahan makanan (alkohol, cuka), asam-basa kuat, obat-obatan (termasuk narkotik) dan rokok (sangat berbahaya bagi bayi). Zat tersebut jika termakan, terminum atau terhirup dapat menimbulkan keracunan. Bahkan jika kulit terkena sedikit saja (misalnya asam, basa kuat) bisa timbul iritasi (luka).
Bagaimana mencegahnya? Pilihlah makanan yang sehat (dahulukan kesehatan daripada gengsi, prestise), tidak mengandung zat additif (pengawet, pewarna), pilihlah yang segar, sajikan dalam keadaan tertutup agar bebas lalat, kecoa, debu, tikus. Cuci tangan sampai bersih setelah dari WC atau kebun. Letakkan semua benda kelompok ketiga di atas pada tempat yang tak terjangkau anak-anak. Jangan gunakan botol minuman (soft drink) untuk wadah cairan berbahaya seperti alkohol, thinner, spiritus, asam atau basa kuat karena bisa terminum akibat salah ambil.
Untuk kelompok pertama dan kedua, harus ada kontrol ketat dari pemerintah dalam hal ini Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Artinya, lembaga itu harus proaktif dan bukan reaktif setelah banyak jatuh korban.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar