Fajar baru saja menyingsing. Pagi-pagi, sekitar pukul 05.55 WIB, selama 57 detik, lempeng di dasar laut kidul, laut di Selatan Prov. Yogyakarta bergerak lalu menimbulkan gempa sekuat 5,9 skala Richter. Di kedalaman 33 km di bawah muka laut, sejauh 37 km dari Yogyakarta, adalah letak episentrumnya. Relatif dangkal, memang. Akibatnya, banyak bangunan rumah dan kantor di Bantul, sebuah daerah yang letaknya di Selatan Kota Yogyakarta, rubuh, rata dengan tanah. Jatuhlah 140-an korban jiwa (saat artikel ini dirilis dan diduga terus bertambah), luka-luka, patah tulang, berdarah-darah, dan trauma.
Tapi sayang, di tengah kepanikan itu, ada saja yang ingin menuai di air keruh. Mereka ingin membuat kekacauan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Mereka menghembuskan isu tsunami. Bahkan yang tidak masuk akal, tsunami itu katanya sampai Malioboro, sebuah jalan yang menjadi poros Alun-alun Utara keraton- Merapi- Parangtritis. Bisa diduga dampaknya, orang-orang lantas eksodus ke arah Utara, sampai mendekati Kaliurang. Padahal di Kaliurang pun sedang panas, yaitu Merapi terus saja menyemburkan wedhus gembelnya, meluncur sampai 4 km, merayapi kali-kali di dekatnya.
Yogyakarta, kota budaya masa Hindhu, Budha, dan Islam menapak sejarah panjang sampai zaman kolonialisme Belanda, kini diserang dari Utara dan Selatan. Merapi di Utara terus saja batuk, memuntahkan lava pijar dan uap panas, sementara itu di laut kidul terjadi gerakan lempeng Bumi dan diisukan ada tsunami oleh orang-orang ‘pintar’ yang berperilaku bodoh demi keuntungannya. Menurut pakar gempa Dr. Surono di Bandung, jika terjadi tsunami maka waktunya tak lebih lama dari 20 menit sejak getaran. Artinya, seperti yang berhembus di Bantul itu, isu tsunami menggema lebih dari sejam pascagempa, bisa diyakini sebagai hasutan agar orang-orang menjadi panik dan mereka leluasa merampok harta benda rakyat.
Namun demikian, apapun yang terjadi, erupsi Merapi dan gempa di Samudra Indonesia, memang tak lepas dari ketakmampuan manusia menduga apa yang bakal terjadi. Manusia memang bisa menduga kapan terjadi erupsi Merapi, bahkan sudah diduga dua bulan sebelum status ‘awas’-nya, tetapi untuk urusan gempa, sampai saat ini belum bisa diduga dan tak ada tanda-tandanya. Alat yang tersedia, baik di Amerika maupun di Swiss, adalah alat canggih yang hanya mampu menentukan magnitude dan titik getarnya. Belum ada alat yang mampu memberikan ‘warning’ seperti halnya ‘warning’ siaga Merapi. Yang menggelisahkan, negara kita tak memiliki alat canggih seperti itu padahal kita berpijak di atas apungan lempeng yang terus aktif bergerak.
Sudah Merapi, gempa pula. Itulah yang terjadi. Tapi semoga usai sudah dan tak pernah ada tsunami. Gempa susulan memang diduga akan terjadi karena sesar mencari kestabilan baru dengan skala yang lebih kecil. Namun demikian, lantaran trauma dan stres, sekecil apapun getaran itu pasti membuat panik, kaki gemetar tak kuat berdiri, wajah pias dan tatapan kosong. Hanya bibir dan hati saja yang terus berzikir dan tidak berani tinggal apalagi tidur di dalam rumah. Lebih banyak yang memilih membuat tenda di pekarangan. Ketika artikel ini ditulis, entah bagaimana masyarakat di Bantul, di Wates (Kulonprogo), di Wonosari (Gunung Kidul), di Wonogiri terutama di Pracimantoro, Giritontro, Baturetno, dan di Pacitan asal keluarga Presiden SBY dan daerah selatan lainnya di sekitar Parangtritis.
Yang Kuasa hanyalah Sang Kuasa. Manusia memang berkuasa tapi hanya sekejap. Itu pun lantaran jabatan, pangkat, kekayaan, gelar, dan jumlah pengikut. Ketika itu semua lenyap, lenyap pulalah kekuasaannya bahkan menderita post power syndrome, sindrom pascakuasa.
Hanya Sang Kuasalah yang Mahatahu kaitan antara patahan di lempeng yang menilami Merapi dan patahan yang mengusung lempeng laut kidul. Kepada-Nya-lah kita mengharap, bukan pada Nyi Roro Kidul. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar