• L3
  • Email :
  • Search :

26 Juni 2020

Gontor di Film Negeri 5 Menara

Film Negeri 5 Menara

Orang tua capel yang ingin mengetahui beberapa aktivitas di Gontor bisa melihatnya di film Negeri 5 Menara. Film Negeri 5 Menara ini diproduksi oleh Kompas Gramedia bekerjasama dengan Million Pictures yang diangkat dari novel karya Ahmad Fuadi berjudul sama. Skenario ditulis oleh Salman Aristo yang biasa menulis naskah film-film laris Indonesia dan disutradarai oleh Affandi Abdul Rachman. Film ini dibuat di 4 lokasi syuting, yaitu di Sumatera Barat, Pondok Pesantren Madani Gontor Ponorogo Jawa Timur, Bandung, dan London (Inggris).
Negeri 5 Menara mengangkat nilai-nilai persahabatan dan kebersamaan anak-anak remaja santri di sebuah pondok pesantren Islam dengan latar belakang adat dan suku yang berbeda. Mereka bersama-sama berjanji dan bersungguh-sungguh untuk meraih mimpi dengan filosofi Man Jadda Wajada (Siapa yang bersungguh-sungguh akan menuai hasilnya).

Kisah bermula dari seorang Alif (Gazza Zubizareta) yang baru saja lulus dari SMP di Maninjau yang harus berpisah dengan sahabatnya Randai (Sakurta Ginting) dan mengubur mimpinya melanjutkan studi ke Bandung serta cita-citanya untuk meneruskan kuliah di ITB agar seperti idolanya BJ. Habibie. Dia merelakan semuanya untuk menuruti amanat Amaknya (Lulu Tobing) dan Ayahnya (David Chalik) yang ingin agar Alif masuk pesantren di pulau Jawa dan berharap Alif bisa berguna bagi khalayak, seperti Buya Hamka dan Bung Hatta.

Singkat cerita, Alif pun merantau ke pulau Jawa dan diterima menjadi salah satu santri di Pondok Pesantren Madani. Di pesantren, pada mulanya Alif lebih sering menyendiri karena harus menguatkan hati merelakan keinginannya demi bisa membahagiakan orang tuanya. Tapi di kemudian hari, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya, yaitu Baso (Billy Sandy) dari Gowa, Atang (Rizky Ramdani) dari Bandung, Said (Ernest Samudera) dari Surabaya, Raja (Jiofani Lubis) dari Medan, dan Dulmajid (Aris Putra) dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul untuk berbincang membicarakan mimpi-mimpi mereka di menara masjid dan menyebut diri mereka sebagai Sahibul Menara.

Seperti naturalnya film yang diadaptasi dari novel tebal, ada kesulitan tersendiri mengingat ekspektasi pembaca novel yang selalu mengharapkan film harus lebih bagus dari novelnya. Kebanyakan pembacapun memiliki film tersendiri dan alur cerita di kepalanya masing-masing. Kesulitan ini terasa di film yang memang agak berjalan lambat di awal. Turning point film ini terjadi saat Alif dan kawan-kawan disentak oleh pedang dan kesan mendidik yang tak biasa dari Ustad Salman (Donny Alamsyah). “Ingat! Bukan yang paling tajam, tapi yang paling bersungguh-sungguh. Man Jadda Wajada!” Begitu katanya berulang-ulang hingga bergema dan diikuti seisi ruang setelah berhasil memotong kayu dengan sebilah pedang karatan.

Di bawah menara Madani, mereka berjanji dan bertekad untuk bisa menaklukkan dunia dan mencapai cita-cita menjadi orang besar, yaitu orang yang besar jiwanya untuk membuka dunia di pelosok-pelosok negeri dengan tanpa pamrih. Film ini sarat dengan pesan moral, inspirasi, tekad, dan bumbu konflik menarik yang membuat penonton terpingkal oleh ulah para Sahibul Menara. Juga pengetahuan bahwa pendidikan Islam khususnya pesantren tidak melulu terkungkung dari peradaban dan budaya lain. Di pesantren juga ada teknologi, seni, jurnalisme, bahasa Inggris, dan musik, bukan cuma pelajaran agama.

Ada sebuah petikan pelajaran dalam film ini bahwa harapan dan mimpi-mimpi yang besar mampu menciptakan orang-orang hebat. Hebat dalam menghidupkan mimpi dan mewujudkan harapan menjadi kenyataan. Man Jadda Wajada! *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar