• L3
  • Email :
  • Search :

28 Agustus 2014

Narasi Presiden Kartu

Narasi Presiden Kartu
Oleh Gede H. Cahyana


Di dompet biasanya ada uang dan kartu. Ada KTP, SIM, BPJS, kartu berobat, kartu sekolah, kartu mahasiswa, kartu TNI, Polri, kartu guru, kartu dosen, dst. Kini, akan bertambah lagi kartu itu, berkat rencana kerja presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi – Jusuf Kalla.

Ada banyak kartu yang dijanjikan sehingga ditafsirkan menjadi kisah perjalanan dalam narasi presiden kartu. Yang paling sering diperlihatkan adalah kartu pintar dan kartu sehat. Sejumlah bupati dan walikota sudah memiliki dan sudah menjalankan program beasiswa di pendidikan dasar dan menengah. Perlukah kartu pintar lagi? Tumpang tindih yang terjadi, program yang mana yang mesti dilaksanakan oleh pemerintah daerah? Kalau tidak sejalan dengan program kartu pintar, bagaimana hubungan (komunikasi politik) antara presiden dan bupati/walikota? Tegang dalam kesepian atau menjadi memanas?

Lantas, yang kartu sehat, di mana posisinya terhadap kartu BPJS? Di Jawa Barat saja peserta BPJS sudah 29 juta dan terus bertambah. Kartu sehat itu untuk siapa? Tumpang tindih? Yang terakhir dan sedang gonjang-hanjing adalah BBM. Justru BBM inilah yang jauh lebih penting daripada kartu sehat dan kartu pintar. Masyarakat tidak bisa bergerak dalam kegiatan sosial, ekonomi, kalau tanpa BBM. Minimal aksesnya menjadi terbatas. Nelayan apalagi, sebab mereka tidak mungkin menggunakan sampan dan dayung ke tengah laut. Mereka perlu solar. Truk, traktor, diesel listrik semuanya perlu BBM. Artinya, yang mendesak sekarang adalah kartu sakti yang disebut Kartu BBM. Sekali mengeluarkan kartu, maka keluar pulalah BBM. Sim salabim. Tiada lagi krisis BBM.

Semua masalah di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka solusinya adalah kartu dan e seperti e-govt, e-audit, e-proc, dan kini e-BBM. Mari kita tunggu kartu kartu yang akan menebalkan dompet kita. Dompet tebal menjadi indikator rakyat makin makmur? Semoga.  *

ReadMore »

24 Agustus 2014

Adakah Larangan Jilbab di Bali?

Adakah Larangan Jilbab di Bali?
Oleh Gede H. Cahyana


Agustus 2014 ini media massa cetak dan elektronik dipenuhi oleh berita tentang larangan jilbab di Bali. Sebetulnya menyebut Bali sebagai sebuah provinsi tentu tidak tepat. Sebab, larangan itu hanya terjadi di Hypermart menurut berita yang tersebar. Dalam hemat saya, kejadian ini karena salah paham dan kurang informasi di pihak pelarang. 

Menurut Ida Bagus Yudha Triguna, Dirjen Bimas Hindhu di Kementerian Agama, isu ini berawal dari surat perusahaan yang menyarankan agar karyawannya mengenakan jilbab selama bulan Ramadhan. Tentu maksudnya bisa diduga, yaitu agar mendukung suasana bulan suci, terutama untuk menarik simpati kaum muslim dan muslimah untuk belanja. Lantas, The Hindhu Center of Indonesia memberikan tanggapan dengan cara meminta agar substansi surat tersebut tidak berlaku di Bali.


Bagaimana ajaran Hindhu memberikan ruang dalam toleransi antarumat beragama? Dalam ajaran Hindhu, ada Tat Twam Asi yang artinya, menurut guru agama Hindhu waktu di SD, Ida Bagus Manuaba, “aku adalah kamu, kamu adalah aku. Adapun arti menurut Wikipedia, “itu adalah kau”. Tafsir atas kalimat tersebut adalah kesamaan antara setiap orang dalam hak dan kewajiban, saling menghargai, dan adil. Jika engkau saya sakiti, maka rasa sakitmu itu akan saya rasakan sama jika engkau menyakiti saya. Dengan satu kalimat tersebut dapat disimpulkan bahwa umat Hindhu yang mengamalkan ajaran tersebut akan toleran kepada umat agama lain, baik Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan aliran kepercayaan lainnya.

Terlepas dari kasus di Hypermart itu, secara umum kehidupan kaum muslim dan Hindhu di Bali, sepengetahuan saya, baik-baik saja. Ketika Jum’atan (shalat Jum’at), polisi yang beragama Hindhu pun mengatur lalu-lintas dengan baik. Begitu juga pada waktu Idulfitri, mereka mengamankannya dibantu oleh warga setempat yang beragama Hindhu. Anak-anak sekolah, misalnya di SMP dan SMA, selalu toleran. Guru pun begitu, tidak usil atas gerak tubuh dan gestur muslim saat shalat. Memang pertanyaan tentu ada, misalnya pertanyaan antarteman akrab, kenapa cara ibadah seperti itu. Kenapa harus pakai baju itu, kenapa ke Ka'bah dan sebagainya. Sekadar contoh, kalau saya bertemu teman, mereka mengajak makan, selalu saja mereka berusaha untuk menyajikan masakan yang non-babi, misalnya telur, dll.  Sepengetahuan mereka, orang Islam itu tidak boleh makan babi sehingga mereka pun tidak akan menghidangkan makanan yang demikian. Ucapan salam pun mereka fasih, dilontarkan saat bertemu atau bertamu di rumah, bahkan dalam rapat resmi di kantor pemerintah daerah, kalau ada kaum muslim di dalam rapat itu, mereka pun mengucapkan assalaamu'alaikum. Ini tentu saja terlepas dari pandangan Islam perihal salam. Mereka memang tidak tahu dan belum paham soal aqidah Islam. 

Secara historis, umat Islam dan Hindhu sudah lama bersaudara di Bali. Tidak hanya di "Kampung Jawa", muslimin - muslimah pun berbaur di dalam banjar, di tempat tinggalnya di perumahan atau permukiman. Bahkan ada daerah yang bisa dikatakan 99,99% beragama Islam seperti di Soka Tabanan dan Pegayaman Buleleng. Interaksi pun masif sekaligus cair. Dalam setiap Galungan dan Kuningan, umat Hindhu ngejot (memberikan makanan, kue, buah-buahan) kepada kaum muslim dan agama lainnya. Pada hari Idulfitri, kaum muslim membagikan makanan kepada pemeluk Hindhu dan agama lainnya, di sekitar rumahnya, yaitu para tetangga. Yang seperti ini menjadi kebiasaaan sampai saat ini. Banyak juga terjadi pernikahan antara pemeluk Hindhu dan muslimin - muslimah, baik lelaki muslim dengan wanita Hindhu atau lelaki Hindu dengan wanita muslimah. Ada yang menjadi mualaf, ada juga yang pindah agama menjadi Hindhu. Ini fakta di Bali dan sudah terjadi sejak lama.

Lantas, adakah larangan jilbab di Bali?

Kalau merujuk pada kasus di Hypermart itu, memang ada, dan itu terjadi lantaran salah paham atas surat yang menyarankan karyawan mengenakan busana muslim pada bulan Ramadhan. Karena suratnya dibuat satu lembar dan diartikan sebagai kewajiban juga bagi yang non-muslim - muslimah, maka ini yang menimbulkan “reaksi jawaban” dari The  Hindhu Center of Indonesia lantaran kurang informasi dan komunikasi (salah paham atas substansi surat). Artinya, larangan itu hanya di Hypermart saja dan tidak terjadi secara luas, apalagi di Bali sebagai sebuah provinsi.

Mari laksanakan pasal 29 UUD 1945 dan sila pertama Pancasila. Semua warga negara Indonesia mempersilakan setiap umat beragama untuk melaksanakan ajarannya masing-masing. Hindari isu yang merusak persatuan umat beragama. Umat beragama harus bersatu, sedangkan ajaran agamanya jangan disatukan. Ajarannya tetap ekslusif sesuai dengan petunjuk kitab suci dan nabi masing-masing. *


ReadMore »

12 Agustus 2014

Robin Williams, Fenomena Depresi Selebritis

Robin Williams, Fenomena Depresi Selebritis
Oleh Gede H. Cahyana

Robin Williams, aktor terkenal Hollywood dinyatakan meninggal karena bunuh diri. Beritanya luas tersebar dan menimbulkan kesedihan bagi penggemarnya. Sekian tahun silam, hal serupa terjadi juga pada penggemar Michael Jackson, Whitney Houston dan sejumlah lagi artis yang lain. Temuan forensik menyatakan, mereka mengonsumsi narkoba (misalnya kokain, ganja, dll), selain kecanduan minuman keras (alkohol). Pada saat yang sama, mereka pun memiliki masalah sosial di lingkungan rumah dan komunitasnya, seperti perkumpulan artis, arisan, olah raga (golf, layar, kapal pesiar, dll).

Menurut Stewart Wolf dan John G. Bruhn, kehidupan sosial sangat besar pengaruhnya pada kasus stres dan depresi di kalangan masyarakat umum, apalagi selebritis. Dalam laporan risetnya, Bruhn menyatakan, “… family and community support is disappearing. Most of the men who have hearth attacks here were living under stress and really had nowhere to relieve that pressure …. These people have given up something and it’s killing them.”  Sebelum itu, yaitu tahun 1961, Bruhn justru memperoleh hasil yang oposif dan menyatakan bahwa masyarakat Roseto terbaik kehidupan sosialnya sehingga disebut kota ajaib (miracle city).

Kemampuan merilis stres dan relaksasi dalam komunitas sosial, baik di kantor maupun di rumah, juga di perkumpulan sosial - ekonomi - budaya lainnya, menjadi kunci dalam pengendalian diri. Sikap egois, seperti kata aktor Todd Bridges, teman Robin Williams, dapat menjadi salah satu pemantik bunuh diri (racun diri). "Itu tindakan yang sangat egoistis," cetus Todd Bridges. "Mintalah kepada Tuhan untuk membantu Anda. Percayalah pada kekuatan doa." Seorang Todd pun, percaya pada kekuatan doa, menurut agamanya. Doa, dalam kehidupan ini, adalah representasi kegiatan sosial (jamaah) pada saat di gereja misalnya, atau di masjid. Kekerapan ibadah di gereja atau di masjid bagi muslim, bisa menjadi senjata ampuh menangkis depresi. Ibadah adalah manifestasi kehidupan sosial atau jamaah, saling membutuhkan antarsesama, antarumat dalam satu agama. 

Variasi kehidupan sosial begitu tampak nyata di kalangan selebritis. Selebritis kerapkali bertingkah aneh agar makin terkenal atau minimal tetap terkenal, misalnya gonta-ganti pacar, kawin-cerai, selingkuh, membuat kericuhan di mall, cafĂ©, atau media sosial dengan berbagai pose foto yang vulgar “menantang”. Inilah awal depresi. Sehat fisiknya, tetapi sakit psikisnya. Definisi sehat menurut organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), sehat adalah state of complete physical, mental, and social well-being, not merely the absence of disease or infirmity. Sehat ialah keadaan sejahtera sempurna jasmani, rohani, dan sosial, tak hanya tanpa adanya penyakit atau kelemahan saja. Agar bisa disebut orang sehat harus dipenuhi tiga syarat: jasmani, rohani, dan sosial.

Sejumlah gangguan jiwa yang bisa mengawali depresi antara lain:

1. Cemas. Rasa ini muncul karena kehilangan makna hidup. Secara fitri kita punya kebutuhan akan makna hidup yang hanya bisa dimiliki oleh pejuang yang menyumbangkan sesuatu untuk orang lain. Orang-orang cemas biasanya mengikuti trend dan tuntutan sosial yang belum tentu benar. Sesekali saja dia merasakan kenikmatan sekejap yang palsu. Akibatnya terjadilah gangguan jiwa.

2. Sepi. Ini muncul karena hubungan silaturahmi sudah tak tulus lagi tapi memakai topeng-topeng sosial yang palsu sehingga hubungan menjadi gersang, mengidap rasa sepi yang kronis padahal berada di keramaian. Tak bisa menikmati senyum orang lain sebab dianggap topeng belaka seperti ketika dia tersenyum kepada orang lain. Pujian dipandangnya sebagai basa-basi belaka.

3. Bosan. Inilah akibat rasa cemas dan sepi yang berkepanjangan. Hidupnya tak bergairah. Jiwanya kosong, mirip orang yang bermobil mewah tapi jiwanya becak; berponsel tapi memakai bahasa isyarat tangan. Makan makanan merek luar negeri tapi wawasan gizinya masih oncom (tak berarti oncom tak bergizi, ini sekadar misal). Harta, tahta, dan jabatannya tinggi tapi jiwanya hampa. Semua atribut, simbol, gelar, baju, sepatu, dasi, mobil, cincin, arloji, rumah, dan banyak lagi yang lain tampak modern namun pikirannya tidak menguasai ilmu-teknologi. Di pentas nikmat sekejap, sampai di rumah dia cemas dan sepi kembali.

4. Perilaku menyimpang. Kalau rasa cemas, sepi dan bosannya terus menggayut, maka dia mudah melakukan perilaku buruk tanpa sadar seperti merampok padahal dia tak butuh uang, memperkosa tanpa tahu siapa yang diperkosa, membunuh tanpa ada sebab kenapa harus membunuh sehingga hidupnya menjadi semrawut.

5. Psikosomatik. Empat hal di atas jika terus terjadi dapat menyebabkan sakit fisik, sakit lantaran faktor jiwa dan sosial. Menjadi psikosomatik. Yang sakit jiwanya, tapi dalam ujud sakit fisik. Makanya tak heran dia selalu mengeluh jantungnya berdeba-debar tanpa sebab, merasa lemah, tak enak badan atau tidak bisa konsentrasi dan sakit maag (tukak lambung). Akhir dari akumulasi tersebut adalah depresi yang tidak bisa lagi berbalik pulih (irreversible) dan berakhir dengan bunuh diri, racun diri, over dosis narkoba.

Semoga kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia. *

ReadMore »