• L3
  • Email :
  • Search :

28 Juli 2019

Orang-Orang POS 327

Orang-orang Pos 327

Begitu cekatan perempuan tua itu memasang bilahan-bilahan bambu untuk memperbaiki kandang. Bilahan-bilahan itu dipaku sedemikian rupa membentuk jalinan yang kuat, sehingga kambing-kambing piaraannya, dia berharap, akan betah tinggal di kandang.

Sambil beristirahat sejenak, ia mengamati cucu perempuan satu-satunya yang sedang memberi minum kambing-kambing itu. Gadis kecil itu menimba air dari sumur, lalu menuangkannya ke kaleng bekas minyak tanah, dan sebentar saja air telah dihabiskan oleh kambing mereka. Musim kemarau membuat hewan-hewan itu gerah oleh matahari yang menyala. Sebentar-sebentar mengembik ke sumur meminta air.

Ketika dirasakan tubuhnya telah kembali fit untuk bekerja, perempuan tua itu kembali mengambil palu, paku, dan bilahan-bilahan bambu untuk dipasangnya. Tepat ketika itu telinganya menangkap derap beberapa pasang langkah mendekat ke arahnya. Tetapi ia tak terlalu peduli. Tangannya masih saja asyik menekuni pekerjaan, sampai kemudian pemilik langkah-langkah itu telah berdiri dekat dan mengamati pekerjaannya.

Seolah ada yang aneh, orang-orang tersebut mengamati perempuan tua itu beberapa lama. Tak ada yang bicara. Tempat itu sepi di ujung kampung di tepi hutan. Hanya ada satu rumah milik perempuan tua itu, dan sebuah rangkang milik peladang di dekat rumpun bambu sebelah timur. Suasana lengang. Tak ada apa-apa yang terdengar, kecuali lengking palu memukul-mukul paku dan kambing yang sesekali mengembik.

Mereka berjumlah lima orang. Masing-masing berseragam tentara, lengkap dengan topi baja dan menyandang senapan. Seorang yang berkulit putih dan tampak lebih tua mengambil rokok dari kantong bajunya lantas menyulutnya dengan zippo loreng pudar. Dia menghirup asapnya beberapa kali lalu menghembuskannya membentuk lingkaran-lingkaran kecil. "Hei, perempuan tua!" sapanya tiba-tiba. Perempuan tua itu melambatkan pekerjaannya. Ia memandang tenang ke arah orang-orang berseragam itu. "Bisakah kau hentikan pekerjaan itu sebentar?"

Tanpa mengangguk atau menjawab 'ya' perempuan tua itu serta-merta menghentikan gerak palunya. Bambu terakhir yang hendak dipakunya dibiarkannya terlepas kembali dan terjatuh ke tanah. "Mendekatlah kemari!"
Perempuan tua itu berjalan perlahan dengan sedikit membungkuk. Pandangannya menekur tanah, sampai yang terlihat olehnya hanya rumput-rumput yang meranggas kering dan sepatu-sepatu lars milik mereka. Ia melihat sepatu kanan orang yang menyapanya tadi talinya hampir lepas. Ia ingin memberi tahu orang itu, tapi....


"Kau lihat seseorang melewati jalan ini?" tanya orang itu mendahuluinya. "Hana. Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini," jawabnya pelan dengan wajah tetap merunduk.
"Kau tadi sedang mengerjakan apa?"
"Memperbaiki kandang kambing."
"Itu semua kambing milikmu?"
"Itu semua kambing milik saya."
"Kau lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini."


Mereka diam sebentar. Dua dari mereka lalu bergerak ke belakang perempuan tua itu. Mereka mengamati sekujur tubuhnya dengan cermat.

"Sekarang berjongkoklah! Dan, buka kain yang meliliti kepalamu!" pinta seseorang yang berada di belakangnya.
Perempuan itu menurut. Ia duduk berjongkok lalu membuka kain kumal penutup kepalanya.
"Jangan merunduk. Ayo angkat wajahmu!" pinta orang yang pertama menyapa. Perempuan tua itu mengangkat pandangannya pelan-pelan dari tanah melewati sepatu yang talinya terlepas. Sekali lagi ia hendak memberi tahu keadaan tali sepatu tersebut, tapi....


"Telah berapa lama kau tinggal di sini?" orang itu bertanya sambil menatap matanya yang mendongak ke atas.
"Saya tinggal di sini telah peut ploh sa tahun." Orang itu berjalan lebih dekat ke arahnya. Kini ia berdiri persis di muka hidung perempuan tua itu sehingga aroma keringat dari celah-celah celananya bisa tercium. Sambil sedikit jongkok ia memandang ke kedalaman mata perempuan tua itu.


"Kau telah tinggal di sini empat puluh satu tahun?" ulang orang itu.
"Ya, saya telah tinggal di sini peut ploh sa tahun."
"Kau lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini."
Orang itu jongkok lebih dalam, hampir sejajar dengan perempuan tua itu. 


Lututnya tepat untuk menyangga di atas dagu perempuan tua. Sebentar ia memain-mainkan senapannya, membersihkan ujung larasnya yang tak berdebu, yang hanya berjarak lima centi dari mata perempuan tua itu.


"Kau tahu ini benda apa?"
"Karabin."
"Apa kau bilang? Karabin?"
"Suami saya dulu bilang begitu."
"Suamimu punya benda ini?"
"Dia dulu ikut serdadu di zaman DI/TII."
"Bagus, ini karabin. Apa yang terjadi jika pelatuknya ditekan?"
"Jika pelatuknya ditekan, ujungnya akan meluncurkan peluru."
"Bagus! Kau lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tak melihat seseorang melewati jalan ini."


Sekali lagi orang itu menatap mata perempuan tua itu dalam-dalam dan cermat. Kemudian ia melepas dagu perempuan itu dari sanggaan lututnya. Sambil menghela napas ia berdiri. "Kau boleh melanjutkan pekerjaanmu," katanya.

Perempuan tua itu kembali memasang kain kumal meliliti kepalanya. Ia berdiri dan berjalan tenang ke arah kandang. Sesaat kemudian hentakan palu dan jeritan paku kembali mengisi tempat tersebut.

Sementara orang-orang itu masih mengamatinya, sebelum kemudian beralih ke gadis kecil yang sedang mengurus kambing-kambing di dekat sumur. "Hei..., perempuan tua! Gadis itu cucumu?" seru seorang di antara mereka. "Ya, gadis itu cucu saya," sahut si perempuan tua di antara lengking suara palu.

Tiga dari mereka beranjak ke dekat sumur. Berdiri dalam jarak selangkah dari gadis itu, yang sepertinya tidak merasa terganggu oleh kehadiran mereka.


"Gadis kecil yang cantik, kau bisa hentikan pekerjaan itu sebentar?" tegur si kurus yang bermata agak sipit.
Gadis itu berhenti menimba.
"Berdirilah menghadap ke sini!"


Ia memutar badannya menghadap orang itu.
"Apakah perempuan tua itu nenekmu?"
"Benar. Perempuan tua itu masyik saya," jawab si gadis mantap.
"Kau tadi lihat seseorang melewati jalan ini?" lanjut si kurus.
"Saya tadi tidak melihat seseorang melewati jalan ini."
"Kau menimba air untuk kambing-kambing?"
"Saya menimba air untuk kambing-kambing."
"Berapa usiamu?"
"Tujuh tahun."
"Kau bersekolah?"
"Saya bersekolah."
"Kau bisa baca angka-angka ini?" Si kurus mencondongkan badannya untuk memperlihatkan lencana kain di pundak bajunya. Si gadis memperhatikan dengan seksama angka-angka itu.
"Ayo, bacalah!"


"Ti-ga...du-a...tu-juh...," si gadis mengejanya perlahan.
"Kau tadi lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tadi tidak melihat seseorang melewati jalan ini."
Si kurus agaknya kehabisan pertanyaan. Ia bergerak menjauhi gadis kecil itu. Si kulit putih, yang tampak lebih tua, menggantikan posisinya. Ia mendekat dan berdiri di samping kiri si gadis.
"Sekarang menghadaplah ke barat," perintahnya, "Duduklah!"


Si gadis membalikkan badannya ke barat dan duduk di tanah setelah sedikit menyingkap roknya yang kusam. Orang itu ikut duduk dengan berjongkok, lantas memeluknya dari samping serta mengusap-usap dahi dan rambut si gadis.


"Kau lihat, apa itu bola yang memancarkan sinarnya dari langit?" tanya orang itu seraya mengarahkan telunjuknya ke matahari. Gadis kecil itu menatapnya silau sehingga matanya berkedip-kedip beberapa kali.
"Itu matahari...," gumamnya kemudian.
"Kubilang itu bulan, kau dengar!"


Gadis itu tak menyahut. Ia tetap saja menatap matahari dengan mata berkedip-kedip silau.
"Kau lihat, apa itu bola yang memancarkan sinarnya dari langit?" ulang orang itu.
Lama gadis itu tak menjawab. Bibirnya bergetar dan matanya terpejam. "Anak manis, kau dengar pertanyaan saya?"
"Itu bulan...," ujar gadis itu setelah membuka matanya dan kembali menatap matahari.
"Sinar bulan itu dingin atau panas?"
"Sinar bulan itu panas," jawab si gadis cepat.
"Bagus! Kau tadi lihat seseorang melewati jalan ini?"
"Saya tadi tidak melihat seseorang melewati jalan ini."


Buat kali terakhir orang itu mengusap-usap kepala si gadis, kemudian ia melepas pelukannya dan berdiri. Mengambil rokok dari kantong bajunya, lalu menyulutnya dengan zippo loreng pudar. Menghirup asapnya beberapa kali dan menghembuskannya kembali membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Ia melirik teman-temannya satu per satu, memperhatikan si perempuan tua yang tetap asyik dengan pekerjaannya, dan terakhir menatap si gadis yang masih duduk di tanah. "Sekarang kau boleh bangun untuk melanjutkan pekerjaanmu," ujarnya. 


Gadis kecil itu bangkit sambil menyapu-nyapu debu pada belakang roknya dengan telapak tangannya.
Sementara si kulit putih memberi isyarat pada teman-temannya untuk meninggalkan tempat itu. Mereka mengambil jalan ke timur, melewati simpang di tikungan meunasah, lantas lenyap dari pandangan. Beberapa saat selanjutnya di tepi hutan itu yang terdengar hanya lengkingan palu dan gemercik air sumur yang ditimba oleh si gadis.*


Cerpen Oleh Muhammad Nasir Age

Cerpen ini memenangkan juara kedua Sayembara Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2005 yang diselenggarakan oleh Creative Writing Institute (CWI) bekerja sama dengan Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Terpilih sebagai juara pertama La Runduma karya Wa Ode Wulan Ratna, dan juara ketiga Abu Nipah karya Herman R. Terpilih sebagai juara harapan pertama cerpen Pulang karya Galang Lutfiyanto, juara harapan kedua Bersampan ke Seberang karya Satmoko Budi Santoso, dan juara harapan ketiga Perempuan itu Terlahir dari Doa karya Kukuh Yudha Kananta. Dewan Juri juga memilih 24 cerpen nomine untuk dibukukan bersama karya para juara. 
ReadMore »

25 Juli 2019

Rancangan PrasedVoir Intake Sabuga PDAM Kota Bandung

Rancangan bangunan baru di lokasi intake Sabuga bisa disebut sebagai preliminary treatment atau pengolahan pendahuluan menggunakan unit operasi prasedimentasi  kemudian ditampung di reservoir air baku. Prasedimentasi (selanjutnya disingkat: prased) berada di dalam unit reservoir. Prased difungsikan sebagai penampung air baku selain fungsi utamanya sebagai pengendap pasir dan partikel sejenis lainnya (grit). 

Dengan demikian, bangunan pengolahan air Sungai Cikapundung terdiri atas intake (unit sadap) yang dilengkapi barscreen (BS), prased dan reservoir, yang disebut Prasedvoir. Ini adalah akronim dan menjadi istilah baru dalam khazanah teknologi pengolahan air minum lantaran rancangan ini adalah yang pertama di Indonesia, mungkin juga di dunia, yang meletakkan unit Prased di dalam reservoir air baku dengan tetap mempertimbangkan kriteria desain masing-masing dengan modifikasi berdasarkan analisis hidrolis.
Bentuk denah bangunan baru Prasedvoir adalah trapezium, dengan dimensi:
Panjang sisi sejajar 1 (p1)= 18 m,
Panjang sisi sejajar 2 (p2) = 15 meter
Tinggi trapezium = 7,5 meter.
Luas = (18 + 15)7,5/2 = 123,75 m2.
Kedalaman bak air = 3 meter (dihitung dari level 0 eksisting ke bawah: -3 m)
Tinggi muka air di atas level 0 eksisting = +1,10 m dengan asumsi tinggi muka air S. Cikapundung pada musim kemarau = 10 cm di atas pelat dasar (anchor) barscreen eksisting. 

Menurut catatan operator intake PDAM, tinggi muka air S. Cikapundung = 30 cm di atas pelat dasar beton (anchor) barscreen pada awal musim hujan. Dengan demikian, total kedalaman air menjadi 3 +1,1 = 4,1 m.
Volume = 507,375 m3.
Debit pemompaan 500 l/d = 0,5 m3/d
Waktu detensi air di dalam bak 507,375/0,5 = 1.014,75 detik = 17 menit (waktu yang dibutuhkan pompa untuk mengosongkan Prasedvoir).
Apabila debit pemompaan 600 l/d = 0,6 m3/d, maka waktu detensi air = 14 menit. Tabel 1 menampilkan simulasi dan waktu detensi Prasedvoir.

Sebagai pemisah pasir dan grit, prased terdiri atas dua bagian, yaitu bagian primer dan bagian sekunder dengan dimensi sebagai berikut.

Dimensi Prased:
Panjang zone sedimentasi primer = 5,5 m
Lebar zone sedimentasi primer = 4,2 m
Dalam awal zone sedimentasi primer = 0,5 + 1,1= 1,6 m (tinggi air minimum 10 cm di barscreen).
Dalam akhir zone sedimentasi primer = 3 + 1,1 = 4,1 m.
Slope penampung lumpur (pasir, grit) = 24 derajat.
Panjang zone sedimentasi sekunder = 10,2 m
Lebar zone sedimentasi sekunder = 2 m
Dalam zone sedimentasi sekunder = 4,1 m
Lantai sedimentasi ini membentuk sudut 24 derajat terhadap horizontal. Permukaan lantai sedimentasi ini dilapisi material licin seperti keramik. Begitu juga lantai sedimentasi sekunder dan miring ke arah lokasi pompa lumpur.

Kompartemen Prased
Prased terdiri atas empat zone:
1. Zone inlet berupa saluran dengan lebar total 4,2 m, yaitu lebar bak bangunan eksisting.
2. Zone outlet adalah ruang di sekitar pompa benam (submersible), air ke luar dari reservoir dengan cara dipompa, dialirkan di dalam pipa transmisi eksisting menuju IPAM Badaksinga. Namun karena debit pemompaan lebih besar daripada debit sebelumnya, maka perlu dipasang pipa transmisi baru sebagai penambah pipa lama atau pengganti pipa lama (pipa lama tidak digunakan). Kalkulasi dimensi pipa dan debit yang mampu dialirkan sudah dilampirkan dalam laporan rapat.
3. Zone sedimentasi berupa ruang pengendapan pasir dan grit dengan dimensi seperti ditulis sebelumnya. Zone ini ada dua: zone primer dan zone sekunder.
4. Zone lumpur adalah ruang untuk menambatkan pasir dan grit, berada di bagian bawah zone sedimentasi. Lantai dimiringkan agar pasir dan grit mudah terbawa aliran air apabila dibilas. Arahnya adalah ke pompa lumpur untuk disedot dan dibuang kembali ke sungai tempat asalnya.   
  
Reservoir
Reservoir berfungsi menampung air yang sudah diolah di Prasedimentasi. Volume = 507,375 m3 - 143,7 m3  = 363, 675 m3. Waktu detensi pada debit 500 l/d adalah 12,12 menit. Pada debit 600 l/d = 10,10 menit. Namun karena reservoir ini bergabung dengan Prased maka waktu detensi yang sesungguhnya lebih besar daripada angka-angka tersebut, yaitu 17 menit pada debit 500 l/d dan 10 menit pada debit 600 l/d. Selengkapnya pada Tabel 1.

Di unit reservoir ini disediakan pompa benam (submersible) dengan kapasitas total pemompaan 500 l/ d dan 600 l/d. Pompa submersible = 3 unit, @220 l/d. Pengaturan debit pemompaan dengan cara mengatur debit dari tiga pompa tersebut. Dilengkapi juga dengan pipa piezometer untuk mengetahui level muka air di dalam ruang reservoir. Pipa piezometer ini diletakkan di bagian luar dinding reservoir dan harus mudah dilihat oleh operator. Bahannya dari material bening, seperti selang silicon atau plastic antipecah.

Pompa lumpur diletakkan di bagian ujung prasedimentasi sekunder (lihat gambar). Spesifikasi pompa disesuaikan dengan volume lumpur dan lama waktu pemompaan. Panel pompa diletakkan di atas reservoir. Ruang operator, gudang, toilet dan parkir motor juga di atas reservoir. Pelat atas reservoir ini (penutup reservoir) dilengkapi dengan beberapa manhole dan tangga (ladder), dan beberapa ventilasi. Ketinggian pelat atas = +2,50. Titik nol adalah pelat lantai dasar bangunan eksisting, sesuai dengan as bult-drawing.

Bangunan Intake
Unit intake terdiri atas barscreen 1 (BS1) dan barscreen 2 (BS2).
Lebar BS1 = 1 m, tepatnya 90 cm. Dilengkapi penstock.
Lebar BS2 = 1.90 m, panjang = 8 m, dengan 8 unit manhole.
Kedua barscreen ini tetap digunakan pada tahap awal. Apabila sekian tahun kemudian terjadi penurunan debit air, maka unit intake ini bisa dibongkar. Dasar eksisting sekarang diturunkan ke level +0.00 dan saluran inlet dilebarkan menjadi sama dengan lebar bak prased eksisting, kurang lebih 4,2 m.

Barscreen dan penstock baru kemudian dipasang di unit prased eksisting ini, dengan lebar 4,2 m. Saluran ini dibagi dua unit sehingga masing-masing lebarnya 2,1 m. Lebar bersih sesuai dengan ukuran dinding pemisah dan desain penstock. Untuk mengurangi cairan seperti minyak, oli, dan benda ringan lainnya, maka dipasang balok apung. Balok ini bisa naik turun mengikuti naik turunnya tinggi muka air. Balok harus material ringan sehingga sebagian balok tenggelam dan sebagian di atas permukaan air. *
ReadMore »

24 Juli 2019

Catatan Harian Seorang Bule

Catatan Harian Seorang Bule

Dia orang Rusia. Kalau tidak, dari Kazakhtan. Cantik, seperti umumnya wanita Kaukasus. Tapi bukan ini yang menarik. Tangannya yang menarik. Betul…. Yang menarik tentu tangan. Bukan kaki. Tarik tambang saat 17 Agustus misalnya. Ditarik oleh tangan-tangan beberapa orang.


Ini memang tentang tangan. Tepatnya adalah tentang jari-jemari. Juga tentang pena. Pulpen sebutan populernya. Dia, bule itu, menulis catatan harian. Pulpen birunya terus bergetar. Setiap kelebatan ide yang bersentuhan dengan tapak-jejaknya sejak dari Gilimanuk - Bali, ia seratkan. Dalam hitungan setengah jam, dua halaman kertas di buku tulis ukuran standar itu sudah penuh tulisan. Jelas terlihat dari kursiku. Sisi kanan kursinya. Di sebelah seorang lelaki bule.

Lelaki bule yang duduk di sebelahnya itu lalu disodori lembaran tertulis itu. Dia tertawa sambil membaca tulisannya. Gembira. Mereka saling bicara, saling canda. Lalu wanita itu menulis lagi. Hurufnya miring ke kiri. Bukan ke kanan seperti umumnya tulisan guru-guru SD tahun 1980-an. Akhirnya Wijayakusuma berhenti di stasiun Probolinggo. Sepasang bule itu, juga beberapa bule lainnya, turun. Bromo adalah tujuan mereka selanjutnya.

Kebiasaan atau membiasakan menulis, ini yang sulit. Habitasi menulis ini yang sukar. Menulis catatan harian ini yang susah. Facebook, isinya banyak kopitel (kopi tempel = copy-paste). Twitter, tulisan terlalu pendek dan terputus. IG, nyaris tanpa tulisan. Foto dan video saja. WA, ini hampir sama dengan FB. Blog, ini lebih bagus karena bisa menulis panjang. Tapi butuh koneksi internet.

Kembali ke bule tadi. Ke spirit menulisnya. Pada zaman ponsel cerdas ini, ternyata bule itu tetap setia menulis Catatan Harian (diary) dengan cara lama. Menulis dengan pulpen di atas kertas berbuku, bersampul keras.

Ayo menulis. Catatan harian adalah hakikat menulis. 
ReadMore »

14 Juli 2019

Cowboy, Hikmah Film Wild Wild West

Sejak SD suka nonton film cowboy. Film western dengan ilalang dan lolong srigala, juga coyote. Tentu saja dengan kaktus gurunnya. Ini hanya kisah. Setelah lelah bertempur, adalah skenario perdamaian. Sebagai starring dalam film tersebut, awalnya tersudut di cadas kering bebatuan. Dihalangi kaktus, tembak-menembak meletus. Lalu senyap. Malam larut.
Esoknya, starring sudah berada di sebuah gerbong kereta menuju kota sebelah. Di stasiun antara, kereta berhenti. Petugas mengisi air. Tampak naik serombongan cowboys. Seorang mendekat kemudian duduk di sebelah starring. Bercakap-cakap sebentar. Lalu pulang. Scene film beralih. Tampak Rocky Mountain di kejauhan. Bukan Rocky Gerung (he he he). Berkelebat juga Rio Grande. Sumber air kehidupan.

Cowboy kembali seperti semula. Sheriff tetap sibuk. Dar der dor tetap terdengar. Gaung dan gema dari bebatuan sekitar. Ternyata, perampokan di ranch dekat Rio Grande itu membekas dalam. Sedalam alur dasar sungai itu. Tak bisa hilang. Tenang di permukaan air, tapi deras bergolak di dasarnya. Di akar rumputnya.

Adegan beralih lagi. Hingga the end, starring tegak di pelananya  dalam siluet lembayung. Di ranch-nya, dengan kuda dan senapan, ditimpali lolong srigala. Begitulah kehendak sutradara film tersebut. 

Bagaimana dengen Sutradara kehidupan dunia? Dia yang Esa yang menulis skenario. Ke depan, Sutradara yang Mahatahu. Just wait and see. We will see the truth... .... Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Terlalu banyak nikmat-Nya. Napas. Sehat. Tertawa. Terkekeh. Tergelak. Terbersit dalam hati, adakah takdir yang menghendaki? Terlalu kalau tak hirau pada takdir-Nya. Terlalu mudah bagi-Nya 'tuk membolak-balik keadaaan dunia, keadaan makhluk-Nya. Let's see... once upon a time. 

We always be with you, Pak Prabowo. 

ReadMore »

12 Juli 2019

Fakultas Ekonomi, Asa Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo

Fakultas Ekonomi, Asa Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo
Oleh Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono

Pengantar
Sebelumnya perlu saya kemukakan bahwa saya tidak mengetahui bagaimana  dan mengapa dalam orasi ilmiah di tahun 1993 almarhun Professor Sumitro menyinggung perlunya didirikan Fakultas Ekonomi di Institute Teknik Adityawarman (ITA) yang sejak 2002 menjadi Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI). Sebagaimana diketahui UKRI mulai menyajikan Fakultas Ekonomi Prodi Management di tahun 2018.

Ulasan saya semata-mata merupakan pendapat pribadi. Akan tetapi ulasan ini dengan landasan pengetahuan yang saya miliki tentang pandangan-pandanngan Prof. Sumitro karena hubungan saya dengan almarhum sampai wafat beliau di tahun 2001. Secara formalnya saya pernah bekerja untuk almarhun dari 1969 -1972 sebagai Asisten Menteri Perdagangan. Dengan demikian ulasan ini subjektif, mungkin malah spekulatif, namum juga berdasarkan atas pengamatan yang dapat saya pertanggung jawabkan secara akademis.

Pernyataan Prof. Sumitro
Menurut yang direkam Bapak Rektor UKRI dr. Boyke Setyawan, pernyataan Professor Sumitro yang mengharapkan adanya Fakultas Ekonomi di ITA dilakukan pada waktu beliau menyampaikan orasi ilmiah di hadapan civitas akademica ITA tahun 1993. Pernyataan tersebut disampaikan setelalah beliau menguraikan adanya kebocoran APBN di Indonesia sebesar 60%. Sebagaimana diketahui istilah kebocoran 60% itu sendiri banyak dikutip dan dibahas di masyarakat, sering tanpa disadari bahwa mereka yang membahas mungkin memaknai arti kebocoran maupun angka 60% dengan persepsi sendiri-sendiri yang belum tentu sama.

Mengenai hal tersebut seingat saya Prof. Sumitro menggunakan perhitungan yang biasanya dilakukan para ahli ekonomi makro dalam membuat perkiraan tentang laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Ini merupakan cara konvensional sejak tahun lima puluhan. Pada dasarnya penghitungan ini mendasarkan atas konsep yang dikenal sebagai incremental capital output ratio atau ICOR, yang menunjukkan besarnya nilai penanaman modal atau investasi yang diperlukan untuk mencapai satu unit tambahan PDB.  Angka ICOR yang kecil menunjukkan jumlah yang relative kecil untuk meningkatnya nilai PDB, artinya perekonomian ini mempunyai tingkat efisiensi pemanfaatan penanaman modal yang relative tinggi; hanya memerlukan investasi yang relative kecil untuk meningkatkan PDB. Sebaliknya ICOR yang besar menunjukkan rendahnya efisiennya perekonomian (investasi). 

Jadi kalau misalnya dikatakan ICOR Indonesia adalah 4, artinya untuk meningkatkan PDB dengan Rp 1 T dibutuhkan investasi sebesar RP 4T. Nah pada awal sembilan puluhan tersebut ICOR Indonesia kalau tidak salah dibandingkan dengan ICOR untuk perekonomian negara2 ASEAN mungkin sepertiga lebih tinggi, misalnya 3 di philipina tetapi 4,5 di Indonesia.  Ini menunjukkan perekonomian Indonesia sepertiga atau 33,3 %  kalah efisien dengan tetangga. Angka ini banyak ditangkap dan berkembang menjadi  antara 30% sampai 60%. Persentasi ini menunjukkan tingkat tidak efisiennya perekonomian nasional dibanding dengan perekonomian negara tetangga. Kemudian ini diterjemahkan sebagai besarnya kebocoran ekonomi nasional. Secara kenyataannya, kebocoran itu bisa berasal dari status perekonomian nasional yang kalah dalam produktivitas tenaga, sumber daya manusia yang kalah terdidik, dll. Tetapi dapat juga dari segala bentuk korupsi dan kecurangan. Dalam ekonomi pembangunan kekurangan jenis pertama diistilahkan sebagai ‘ommission’ ; sesuatu yang terjadi karena sifat atau kondisi, sedangkan yang kedua ‘commission’ menggambarkan kekurangan yang dilakukan secara kesengajaan. 

Dalam percakapan sehari-hari atau dunia politik ketidak efisienan maupun perbuatan sengaja seperti pencurian dari APBN (embezzlement) dan penyuapan pihak ketiga kepada pejabat untuk berbuat atau tidak berbuat yang melanggar peraturan yang menguntungkan penyuap  (bribery). Keduanya merupakan unsur perbuatan yang secara umum di kebanyakan sistim/negara disebutkan sebagai perbuatan korupsi.  Semua ini  disebutkan sebagai kebocoran yang diidentikan dengan korupsi di Indonesia. Perlu disadari bahwa definisi korupsi di Indonesia jauh lebih luas dan kurang jelas dari bribery dan embezzlemen. Karena itu pemberantasan korupsi menjadi rumit dan kurang jelas.  

Kembali ke pokok pembahasan kita. Karena itu seperti diuraikan oleh Bapak Rektor, almarhum Prof Achmad Sumaryono menangkapnya pernyataan Prof. Sumitro waktu itu menyiratkan  kekecewaan beliau terhadap kinerja pengelola perekonomian makro Indonesia, para enokom. Atas dasar ini Prof. Sumitro mempunyai harapan dan menyampaikan pesan agar ITA mendirikan Fakultas Ekonomi yang menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni akan tetapi juga ketrampilan menerapkannya di masyarakat dan  memiliki jiwa patriot; memegang nilai-nilai luhur, mempunyai kepedulian terhadap rakyat terutama yang kecil dan menderita. Dengan lain perkataan menjadi teknokrat dalam arti yang sebenarnya atau action intellectuals, mempunyai commitment kepada cita-cita bangsa Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.

Berbagai catatan
Yang paling mudah kita sepakati mengapa Prof. Sumitro mempunyai harapan dan usualan untuk didirikannya Fakultas Ekonomi tentu karena Ilmu Ekonomi adalah bidang keahlian, interest dan passion beliau. Ditambah pengalaman beliau di pemerintahan, akademi, dunia usaha dan pengamatan beliau dalam semua kegiatan yang menyibukkan beliau sampai akhir hayat. Mengapa dikemukakan di forum tersebut juga sangat mudah dilihat, beliau berbicara di depan civitas akademica ITA, suatu institut pendidikan tinggi yang beliau ingin bina dan kembangkan untuk mencapai cita-cita luhur.

Mungkin ada yang tetap heran bahkwa beliau seorang ekonom, tetapi menaruh harapan kepada suatu institut pendidikan tinggi teknik untuk membangun Fakultas Ekonomi? Terhadap mereka ini saya ingin menyampaikan berbagai catatan dan ulasan di bawah.

Bahwa Fakultas atau Departemen Ekonomi tidak hanya ada dan berkembang di lembaga pendidikan tinggi yang asalnya ataupun dikenalnya atau konsentrasinya di dalam pendidikan dan pengajaran teknologi dan natural atau hard science tentu kita semua mengenai Departemen Ekonomi MIT dengan nama-nama ekonom Paul Samuelson, Stiglitz  dan yang lain. Buat Indonesia nama-nama ekonom Benyamin Higgins dan Douglass Paauw yang membuat tulisan dan buku tentang pembangunan perekonomian Indonesia juga mengetahui mereka dari MIT. Selain itu juga Carnegie Melon dan yang lain semuanya mempunyai Fakultas Ekonomi yang sangat menonjol, meskipun asal mulanya maupun konsentrasinya lebih dalam teknologi dan hard sciences.

Tetapi mengapa Prof. Sumitro alm sepertinya secara kusus berpesan kepada ITA untuk menyelenggarakan pendidikan Ekonomi dengan mendirikan Fakultas Ekonomi? Mungkin di sini kita perlu melihat latar belakang proses pendidikan beliau sampai meraih gelas doktor dalam Ekonomi dari Universitas Rotterdam. Profesor Sumitro memang mengikuti pendikan tinggi di universitas dengan basis yang sering disebutkan sebagai continental (Eropa) yang sering dibedakan dengan “American style”.  Dalam pendidikan Ilmu Ekonomi, mungkin juga Ilmu-ilmu Sosial pada umumnya, cara Eropa ini sering digambarkan menggunakan pendekatan filsafat, deduktif dari yang umum kepada yang khusus. Pendidikan Ekonomi di AS sering lebih digambarkan melalui studi kasus, menggunakan model secara kuantitatif-matematis.  Ini gambaran sangat kasar dan stereotype untuk memudahkan narasi saya.

Akan tetapi, kalau ulasan di atas benar, mengapa Prof. Sumitro yang latar belakang proses pendidikan ekonominya melalui jalur Eropa, apalagi dalam kenyataannya beliau memang juga pernah belajar Filsafat di Sorbonne, justru mengusulkan kepada ITA yang merupakan pendidikan tinggi teknologi untuk membangun Fakultas Ekonomi?

Pertanyaan di atas jelas mempunyai dasar (valid). Akan tetapi kita perlu melihat yang lebih luas dari jalan pikiran linier demikian. Dari proses pendidikan Prof. Sumitro kita perlu mengingat bahwa beliau menulis disertasi beliau dibawah bimbingan seorang Guru Besar Ekonomi kenamaan, Professor Jan Tinbergen.  Prof. Tinbergen adalah pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi yang pertama bersama Ragnar Frisch tahun 1969. Hadiah Nobel bidang Ekonomi diberikan kepada kedua guru besar tersebut karena kontribusinya dalam pengembangan dan penerapan model ekonomi dinamis dari proses ekonomi. Profesor Tinbergen juga dikenal sebagai bapak dari Ekonomi Matematik (Ekonometri) dan penyusunan model ekonomi makro.

Disertasi Profesor Sumitro – terjemahannya, Kredit Rakyat Dimasa Depresi  - bukan merupakan studi kuantitatif menggunakan model ekonomi, akan tetapi sebagai mahahsiswa dan memperoleh bimbingan dari Profesr Tinbergen yang membangun dan menerapkan model ekonomi dalam menjelaskan proses bekerjanya perekonomian dengan menggunakan model ekonometri tentu merupakan sesuatu yang  sangat membekas di dalam pemikiran Profesor Sumitro.

Karena saya menempuh pendidikan S1 saya di Gajah Mada saya tidak pernah secara formalnya menjadi mahasiswa Professor Sumitro. Akan tetapi sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi tentu saja saya membaca buku seminal beliau Ekonomi Pembangunan dan yang lain. Kemudian selama bekerja menjadi asisten beliau saya banyak sekali menyimak uraian-uraian beliau dalam rapat-rapat, brain storming dan ceramah serta kuliah umum yang banyak sekali beliau lakukan.

Dari semua ini saya melihat benang merah yang jelas. Profesor Sumitro adalah ahli ekonomi dan seorang patriot karena itu adalah teknokrat dalam arti yang sesungguhnya, action intellectual. Karena itu semua, piranti ekonomi praktis yang diperolehnya a.l dengan belajar di Universitas Rotterdam dengan bimbingan Profesor Jan Tinbergen sangat merasakan diperlukannya penyelenggaraan pendidikan ekonomi di tingkat universitas yang dapat menghasilkan kombinasi kemampuan akademis yang tinggi dari ilmu ekonomi yang dapat diterapkan melalui cara pendekatan seperti yang beliau belajar menyelesaikan program doktornya dengan bimbingan Profesor Tinbergen.  Hal ini secara eklektik lebih memungkinkan dilaksanakan melalui penyusunan program studi dalam Fakultas Ekonomi yang erat berkaitan dengan pengembangan teknologi dan science yang merupakan fokus utama pendidikan ITA waktu itu. Karena itu dalam suasana yang sangat tepat, orasi ilmiah di depan civitas akademica ITA gagasan dan harapan berdirinya Fakultas Ekonomi itu dicetuskan.

Dari banyak uraian beliau di berbagai kesempatan saya sangat melihat kecenderungan Prof Sumitro untuk semacam mengkombinasikan pendekatan Eropa seperti yang beliau peroleh akan tetapi dilengkapi dengan yang beliau pelajari mengenai pengembangan economic modelling dan perencanaan dari karya-karya Prof. Tinbergen yang lebih pesat berkembang di AS. 

Mungkin saja ada aspek eklektiknya, akan tetapi juga bukan kebetulan bahwa pada waktu kesempatan itu timbul, diwaktu Profesor Sumitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia beliau mengirim anak-anak didik beliau yang nantinya menjadi kelompok yang dikenal sebagai teknokrat, Professor Widjojo Nitrosastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Suhadi Mangkusuwondo (semuanya ke University of California, Berkeley) dan yang lain, lain seperti Mahoammad Sadli (MIT), Subroto (McGill), Sumarlin (Pittsburg), Saleh Affif (Oregon). Tetapi juga Radius Prawiro di (Rotterdam), dan lain-lain.

Dengan demikian buat saya bukan saja bahwa pernyataan Profesor Sumitro agar ITA mempunyai Fakultas Ekonomi itu tidak ada anehnya. Lebih dari itu jutru sangat tepat bahwa hal tersebut disampaikan Prof. Sumitro di ITA dalam suatu orasi ilmiah di depan civitas academica. Semuanya justru sangat sesuai dengan latar belakang dan pengalaman Profesor Sumitro dari proses pendidikan beliau sendiri menjjadi doktor Ekonomi dari Universitas Rotterdam maupun dari pengamatan beliau selama pendidikan dan berkarya menjadi action intellectual di berbagai kabinet di pemerintahan Sukarno dan Suharto, di dunia akademi maupun politik dan birokrasi Indonesia.

Demikian sekedar catatan saya tentang hal yang ditanyakan Dr. Boyke Setyawan mengenai pernyataan Profesor Sumitro agar didirikan Fakultas Ekonomi di ITA dalam suatu orasi ilmiah di depan citias akademika ITA tahun 1993.

Sebagai catatan terakhir, sekiranya dianggap ada manfaatnya saya bersedia untuk memberi uraian, mungkin dalam bentuk ceramah umum mengenai sejarah perkembangan pemikiran ekonomi yang mungkin dapat menjelaskan makna ekonom makro sebagai ilmuwan dan teknisi.

Sekilas Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo


ReadMore »

4 Juli 2019

Gontor Tak Terduga

Wisuda santri Gontor memang unik. Diadakan pada bulan Ramadhan selama dua hari satu malam. Hari pertama, orang tua santri dan warga sekitar diundang ke pondok dan berbuka saum bersama. Setelah Tarawih, walisantri diundang hadir pada acara Haflatul Wada’. Prosesi dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dilanjut dengan Hymne Oh Pondokku …. mendengar liriknya…. merinding dan tetes air mata, banyak orang tua yang berkaca-kaca. Bahkan mendengarnya di mana saja, terasa hangat pelupuk mata.

Lantas sambutan dari santri yang mewakili kelas 5 dan kelas 6 (yang akan diwisuda). Mereka fasih berbahasa Indonesia. Juga Inggris, Apalagi bahasa Arab. Dilanjutkan dengan sambutan oleh seorang walisantri kelas 6. Setelah sambutan oleh perwakilan Badan Wakaf, dibacakan jenis dan jumlah wakaf dari santri yang akan lulus. Puncaknya adalah wejangan dari Bapak Kyai. Wejangan diberikan oleh al mukarom K. H. Hasan Abdullah Sahal. Barangkali sesi inilah yang ditunggu-tunggu.
Kali pertama ikut hadir dalam Haflatul Wada’ pada masa Star Generation. StarGen. Generasi Bintang 689. Kode angka ini artinya kelas 6 pada saat usia Gontor 89 tahun. Acara berlangsung hingga lewat tengah malam, sekitar pukul 00.33 WIB. Usai acara dibagikan lagi nasi kotak tiga bungkus sesuai dengan tiga kupon yang diberikan untuk satu keluarga santri. Minta tambah pun, dikasi juga. Banyak nasi, banyak makanan. Sebelum acara tadi, hadirin diberi kotak snack berisi kue-kue dan air minum.

Pada pukul 07.00 WIB acara dimulai, yaitu pembacaan nama santri yang lulus. Ada juga yang tidak lulus, tetapi sedikit, kurang dari 5 orang. Yang menegangkan adalah menunggu nama santri disebut dan lokasi pengabdiannya. Ditunggu pada panggilan pertama…. sampai habis, tidak ada. Masuk panggilan kedua…. tidak ada juga. Entah panggilan ke berapa…. akhirnya nama anak disebut juga. Kami berharap anak mengabdi di pondok tempatnya belajar. Ternyata ditempatkan di pondok alumni di ujung barat Pulau Jawa. 

Suasana batin campur aduk. Gembira karena lulus dan sedih ditempatkan bukan di pondok Gontor. Apalagi, awal Syawal anak harus sudah di pondok pengabdian. Artinya, libur lebaran terlalu singkat. Bahkan waktu itu tidak sempat pulang ke Bali karena khawatir telat tiba di pondok pengabdian. Namun hikmahnya, kami punya pengalaman ke Banten, ke desa pedalaman dan tahu objek-objek wisata di sana. Juga mengalami betapa macetnya pada bulan Syawal karena banyak yang ziarah ke masjid lama Banten dan Keraton Surosowan.
Kali kedua terjadi pada masa Survival Generation. Prosesi acara serupa dengan sebelumnya. Yang menggetarkan tentu saja pembacaan nama lokasi pengabdian santri. Kali ini pun tetap berharap agar anak bisa mengabdi di Gontor. Hasilnya, anak ditempatkan di pondok alumni di bagian timur Pulau Jawa. Ada sebersit kecewa tetapi harus diterima. Seperti anak pertama tadi, kami justru yang harus semangat agar anak ikut semangat di pengabdiannya yang di luar harapan. Lebih tepatnya adalah harapan orang tuanya. Sebab, anak biasa-biasa saja, malah tertawa-tawa dengan teman-temannya.

Yang ketiga, Inspiring Generation. Karena sudah pengalaman dua kali, kami tidak lagi berharap anak mendapat tempat pengabdian di Gontor. Tetapi tetap berharap agar lokasinya di Pulau Jawa. Tanpa diduga, anak mendapatkan tempat pengabdian di Gontor. Bukan mengajar, tapi langsung kuliah. Surprised. Yang terbayang adalah lokasi pengabdian di pondok alumni, atau yang dikhawatirkan .. lokasinya di luar Jawa. Ternyata semuanya indah pada waktunya. Begitulah, Gontor sungguh tak terduga. 


Terima kasih Gontor. Terima kasih Bapak-Bapak Kyai dan keluarga besarnya. Terima kasih ustadz/ah. Terima kasih walisantri.yang kerapkali bertemu dan ngobrol di Bapenta. Terima kasih bapak - ibu pedagang, pewarung di dekat pondok. Terima kasih bapak pengojek dan pebentor. Terima kasih para dokter dan perawat. Trims untuk mbok-mbok di dapur dan kantin. Trims untuk Pak'e kebersihan pondok. Tentu trims untuk teman-teman anak-anak dari seluruh Indonesia, dari Malaysia, dari Thailand. 

Terima kasih anak-anak.... Sudah tuntas kalian belajar di KMI. Belajar teruslah di mana saja. Usiamu muda. Pikiranmu terang. Daya ingatmu kuat. Fisikmu fit afiat. Psikismu di puncak motivasi. Sahabatmu banyak dan muda semua. Mahasiswa semua. Pengajar ada. Pebisnis ada. 

Kalian boleh gunakan ponsel dan laptop untuk menambah ilmu. Tambanglah ilmu seluas dan sedalam-dalamnya. Gunakan FB, IG, TW, WA dll dengan bijak, ingat pesan Bapak Kyai dan ustadz/ah, menulislah untuk berdakwah, ceramahlah dalam amanah. Menikahlah dalam sunnah. Belalah negaramu seperti membela pondokmu. *
ReadMore »