Catatan Harian Seorang Bule
Dia orang Rusia. Kalau tidak, dari Kazakhtan. Cantik, seperti umumnya wanita Kaukasus. Tapi bukan ini yang menarik. Tangannya yang menarik. Betul…. Yang menarik tentu tangan. Bukan kaki. Tarik tambang saat 17 Agustus misalnya. Ditarik oleh tangan-tangan beberapa orang.
Ini memang tentang tangan. Tepatnya adalah tentang jari-jemari. Juga tentang pena. Pulpen sebutan populernya. Dia, bule itu, menulis catatan harian. Pulpen birunya terus bergetar. Setiap kelebatan ide yang bersentuhan dengan tapak-jejaknya sejak dari Gilimanuk - Bali, ia seratkan. Dalam hitungan setengah jam, dua halaman kertas di buku tulis ukuran standar itu sudah penuh tulisan. Jelas terlihat dari kursiku. Sisi kanan kursinya. Di sebelah seorang lelaki bule.
Lelaki bule yang duduk di sebelahnya itu lalu disodori lembaran tertulis itu. Dia tertawa sambil membaca tulisannya. Gembira. Mereka saling bicara, saling canda. Lalu wanita itu menulis lagi. Hurufnya miring ke kiri. Bukan ke kanan seperti umumnya tulisan guru-guru SD tahun 1980-an. Akhirnya Wijayakusuma berhenti di stasiun Probolinggo. Sepasang bule itu, juga beberapa bule lainnya, turun. Bromo adalah tujuan mereka selanjutnya.
Kebiasaan atau membiasakan menulis, ini yang sulit. Habitasi menulis ini yang
sukar. Menulis catatan harian ini yang susah. Facebook, isinya banyak kopitel (kopi
tempel = copy-paste). Twitter, tulisan terlalu pendek dan terputus. IG, nyaris
tanpa tulisan. Foto dan video saja. WA, ini hampir sama dengan FB. Blog, ini lebih
bagus karena bisa menulis panjang. Tapi butuh koneksi internet.
Kembali ke bule tadi. Ke spirit menulisnya. Pada zaman ponsel cerdas ini, ternyata bule itu tetap setia menulis Catatan Harian (diary) dengan cara lama. Menulis dengan pulpen di atas kertas berbuku, bersampul keras.
Kembali ke bule tadi. Ke spirit menulisnya. Pada zaman ponsel cerdas ini, ternyata bule itu tetap setia menulis Catatan Harian (diary) dengan cara lama. Menulis dengan pulpen di atas kertas berbuku, bersampul keras.
Ayo menulis. Catatan harian adalah hakikat menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar