• L3
  • Email :
  • Search :

12 Juli 2019

Fakultas Ekonomi, Asa Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo

Fakultas Ekonomi, Asa Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo
Oleh Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono

Pengantar
Sebelumnya perlu saya kemukakan bahwa saya tidak mengetahui bagaimana  dan mengapa dalam orasi ilmiah di tahun 1993 almarhun Professor Sumitro menyinggung perlunya didirikan Fakultas Ekonomi di Institute Teknik Adityawarman (ITA) yang sejak 2002 menjadi Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI). Sebagaimana diketahui UKRI mulai menyajikan Fakultas Ekonomi Prodi Management di tahun 2018.

Ulasan saya semata-mata merupakan pendapat pribadi. Akan tetapi ulasan ini dengan landasan pengetahuan yang saya miliki tentang pandangan-pandanngan Prof. Sumitro karena hubungan saya dengan almarhum sampai wafat beliau di tahun 2001. Secara formalnya saya pernah bekerja untuk almarhun dari 1969 -1972 sebagai Asisten Menteri Perdagangan. Dengan demikian ulasan ini subjektif, mungkin malah spekulatif, namum juga berdasarkan atas pengamatan yang dapat saya pertanggung jawabkan secara akademis.

Pernyataan Prof. Sumitro
Menurut yang direkam Bapak Rektor UKRI dr. Boyke Setyawan, pernyataan Professor Sumitro yang mengharapkan adanya Fakultas Ekonomi di ITA dilakukan pada waktu beliau menyampaikan orasi ilmiah di hadapan civitas akademica ITA tahun 1993. Pernyataan tersebut disampaikan setelalah beliau menguraikan adanya kebocoran APBN di Indonesia sebesar 60%. Sebagaimana diketahui istilah kebocoran 60% itu sendiri banyak dikutip dan dibahas di masyarakat, sering tanpa disadari bahwa mereka yang membahas mungkin memaknai arti kebocoran maupun angka 60% dengan persepsi sendiri-sendiri yang belum tentu sama.

Mengenai hal tersebut seingat saya Prof. Sumitro menggunakan perhitungan yang biasanya dilakukan para ahli ekonomi makro dalam membuat perkiraan tentang laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Ini merupakan cara konvensional sejak tahun lima puluhan. Pada dasarnya penghitungan ini mendasarkan atas konsep yang dikenal sebagai incremental capital output ratio atau ICOR, yang menunjukkan besarnya nilai penanaman modal atau investasi yang diperlukan untuk mencapai satu unit tambahan PDB.  Angka ICOR yang kecil menunjukkan jumlah yang relative kecil untuk meningkatnya nilai PDB, artinya perekonomian ini mempunyai tingkat efisiensi pemanfaatan penanaman modal yang relative tinggi; hanya memerlukan investasi yang relative kecil untuk meningkatkan PDB. Sebaliknya ICOR yang besar menunjukkan rendahnya efisiennya perekonomian (investasi). 

Jadi kalau misalnya dikatakan ICOR Indonesia adalah 4, artinya untuk meningkatkan PDB dengan Rp 1 T dibutuhkan investasi sebesar RP 4T. Nah pada awal sembilan puluhan tersebut ICOR Indonesia kalau tidak salah dibandingkan dengan ICOR untuk perekonomian negara2 ASEAN mungkin sepertiga lebih tinggi, misalnya 3 di philipina tetapi 4,5 di Indonesia.  Ini menunjukkan perekonomian Indonesia sepertiga atau 33,3 %  kalah efisien dengan tetangga. Angka ini banyak ditangkap dan berkembang menjadi  antara 30% sampai 60%. Persentasi ini menunjukkan tingkat tidak efisiennya perekonomian nasional dibanding dengan perekonomian negara tetangga. Kemudian ini diterjemahkan sebagai besarnya kebocoran ekonomi nasional. Secara kenyataannya, kebocoran itu bisa berasal dari status perekonomian nasional yang kalah dalam produktivitas tenaga, sumber daya manusia yang kalah terdidik, dll. Tetapi dapat juga dari segala bentuk korupsi dan kecurangan. Dalam ekonomi pembangunan kekurangan jenis pertama diistilahkan sebagai ‘ommission’ ; sesuatu yang terjadi karena sifat atau kondisi, sedangkan yang kedua ‘commission’ menggambarkan kekurangan yang dilakukan secara kesengajaan. 

Dalam percakapan sehari-hari atau dunia politik ketidak efisienan maupun perbuatan sengaja seperti pencurian dari APBN (embezzlement) dan penyuapan pihak ketiga kepada pejabat untuk berbuat atau tidak berbuat yang melanggar peraturan yang menguntungkan penyuap  (bribery). Keduanya merupakan unsur perbuatan yang secara umum di kebanyakan sistim/negara disebutkan sebagai perbuatan korupsi.  Semua ini  disebutkan sebagai kebocoran yang diidentikan dengan korupsi di Indonesia. Perlu disadari bahwa definisi korupsi di Indonesia jauh lebih luas dan kurang jelas dari bribery dan embezzlemen. Karena itu pemberantasan korupsi menjadi rumit dan kurang jelas.  

Kembali ke pokok pembahasan kita. Karena itu seperti diuraikan oleh Bapak Rektor, almarhum Prof Achmad Sumaryono menangkapnya pernyataan Prof. Sumitro waktu itu menyiratkan  kekecewaan beliau terhadap kinerja pengelola perekonomian makro Indonesia, para enokom. Atas dasar ini Prof. Sumitro mempunyai harapan dan menyampaikan pesan agar ITA mendirikan Fakultas Ekonomi yang menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni akan tetapi juga ketrampilan menerapkannya di masyarakat dan  memiliki jiwa patriot; memegang nilai-nilai luhur, mempunyai kepedulian terhadap rakyat terutama yang kecil dan menderita. Dengan lain perkataan menjadi teknokrat dalam arti yang sebenarnya atau action intellectuals, mempunyai commitment kepada cita-cita bangsa Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945.

Berbagai catatan
Yang paling mudah kita sepakati mengapa Prof. Sumitro mempunyai harapan dan usualan untuk didirikannya Fakultas Ekonomi tentu karena Ilmu Ekonomi adalah bidang keahlian, interest dan passion beliau. Ditambah pengalaman beliau di pemerintahan, akademi, dunia usaha dan pengamatan beliau dalam semua kegiatan yang menyibukkan beliau sampai akhir hayat. Mengapa dikemukakan di forum tersebut juga sangat mudah dilihat, beliau berbicara di depan civitas akademica ITA, suatu institut pendidikan tinggi yang beliau ingin bina dan kembangkan untuk mencapai cita-cita luhur.

Mungkin ada yang tetap heran bahkwa beliau seorang ekonom, tetapi menaruh harapan kepada suatu institut pendidikan tinggi teknik untuk membangun Fakultas Ekonomi? Terhadap mereka ini saya ingin menyampaikan berbagai catatan dan ulasan di bawah.

Bahwa Fakultas atau Departemen Ekonomi tidak hanya ada dan berkembang di lembaga pendidikan tinggi yang asalnya ataupun dikenalnya atau konsentrasinya di dalam pendidikan dan pengajaran teknologi dan natural atau hard science tentu kita semua mengenai Departemen Ekonomi MIT dengan nama-nama ekonom Paul Samuelson, Stiglitz  dan yang lain. Buat Indonesia nama-nama ekonom Benyamin Higgins dan Douglass Paauw yang membuat tulisan dan buku tentang pembangunan perekonomian Indonesia juga mengetahui mereka dari MIT. Selain itu juga Carnegie Melon dan yang lain semuanya mempunyai Fakultas Ekonomi yang sangat menonjol, meskipun asal mulanya maupun konsentrasinya lebih dalam teknologi dan hard sciences.

Tetapi mengapa Prof. Sumitro alm sepertinya secara kusus berpesan kepada ITA untuk menyelenggarakan pendidikan Ekonomi dengan mendirikan Fakultas Ekonomi? Mungkin di sini kita perlu melihat latar belakang proses pendidikan beliau sampai meraih gelas doktor dalam Ekonomi dari Universitas Rotterdam. Profesor Sumitro memang mengikuti pendikan tinggi di universitas dengan basis yang sering disebutkan sebagai continental (Eropa) yang sering dibedakan dengan “American style”.  Dalam pendidikan Ilmu Ekonomi, mungkin juga Ilmu-ilmu Sosial pada umumnya, cara Eropa ini sering digambarkan menggunakan pendekatan filsafat, deduktif dari yang umum kepada yang khusus. Pendidikan Ekonomi di AS sering lebih digambarkan melalui studi kasus, menggunakan model secara kuantitatif-matematis.  Ini gambaran sangat kasar dan stereotype untuk memudahkan narasi saya.

Akan tetapi, kalau ulasan di atas benar, mengapa Prof. Sumitro yang latar belakang proses pendidikan ekonominya melalui jalur Eropa, apalagi dalam kenyataannya beliau memang juga pernah belajar Filsafat di Sorbonne, justru mengusulkan kepada ITA yang merupakan pendidikan tinggi teknologi untuk membangun Fakultas Ekonomi?

Pertanyaan di atas jelas mempunyai dasar (valid). Akan tetapi kita perlu melihat yang lebih luas dari jalan pikiran linier demikian. Dari proses pendidikan Prof. Sumitro kita perlu mengingat bahwa beliau menulis disertasi beliau dibawah bimbingan seorang Guru Besar Ekonomi kenamaan, Professor Jan Tinbergen.  Prof. Tinbergen adalah pemenang Hadiah Nobel bidang Ekonomi yang pertama bersama Ragnar Frisch tahun 1969. Hadiah Nobel bidang Ekonomi diberikan kepada kedua guru besar tersebut karena kontribusinya dalam pengembangan dan penerapan model ekonomi dinamis dari proses ekonomi. Profesor Tinbergen juga dikenal sebagai bapak dari Ekonomi Matematik (Ekonometri) dan penyusunan model ekonomi makro.

Disertasi Profesor Sumitro – terjemahannya, Kredit Rakyat Dimasa Depresi  - bukan merupakan studi kuantitatif menggunakan model ekonomi, akan tetapi sebagai mahahsiswa dan memperoleh bimbingan dari Profesr Tinbergen yang membangun dan menerapkan model ekonomi dalam menjelaskan proses bekerjanya perekonomian dengan menggunakan model ekonometri tentu merupakan sesuatu yang  sangat membekas di dalam pemikiran Profesor Sumitro.

Karena saya menempuh pendidikan S1 saya di Gajah Mada saya tidak pernah secara formalnya menjadi mahasiswa Professor Sumitro. Akan tetapi sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi tentu saja saya membaca buku seminal beliau Ekonomi Pembangunan dan yang lain. Kemudian selama bekerja menjadi asisten beliau saya banyak sekali menyimak uraian-uraian beliau dalam rapat-rapat, brain storming dan ceramah serta kuliah umum yang banyak sekali beliau lakukan.

Dari semua ini saya melihat benang merah yang jelas. Profesor Sumitro adalah ahli ekonomi dan seorang patriot karena itu adalah teknokrat dalam arti yang sesungguhnya, action intellectual. Karena itu semua, piranti ekonomi praktis yang diperolehnya a.l dengan belajar di Universitas Rotterdam dengan bimbingan Profesor Jan Tinbergen sangat merasakan diperlukannya penyelenggaraan pendidikan ekonomi di tingkat universitas yang dapat menghasilkan kombinasi kemampuan akademis yang tinggi dari ilmu ekonomi yang dapat diterapkan melalui cara pendekatan seperti yang beliau belajar menyelesaikan program doktornya dengan bimbingan Profesor Tinbergen.  Hal ini secara eklektik lebih memungkinkan dilaksanakan melalui penyusunan program studi dalam Fakultas Ekonomi yang erat berkaitan dengan pengembangan teknologi dan science yang merupakan fokus utama pendidikan ITA waktu itu. Karena itu dalam suasana yang sangat tepat, orasi ilmiah di depan civitas akademica ITA gagasan dan harapan berdirinya Fakultas Ekonomi itu dicetuskan.

Dari banyak uraian beliau di berbagai kesempatan saya sangat melihat kecenderungan Prof Sumitro untuk semacam mengkombinasikan pendekatan Eropa seperti yang beliau peroleh akan tetapi dilengkapi dengan yang beliau pelajari mengenai pengembangan economic modelling dan perencanaan dari karya-karya Prof. Tinbergen yang lebih pesat berkembang di AS. 

Mungkin saja ada aspek eklektiknya, akan tetapi juga bukan kebetulan bahwa pada waktu kesempatan itu timbul, diwaktu Profesor Sumitro menjadi Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia beliau mengirim anak-anak didik beliau yang nantinya menjadi kelompok yang dikenal sebagai teknokrat, Professor Widjojo Nitrosastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Suhadi Mangkusuwondo (semuanya ke University of California, Berkeley) dan yang lain, lain seperti Mahoammad Sadli (MIT), Subroto (McGill), Sumarlin (Pittsburg), Saleh Affif (Oregon). Tetapi juga Radius Prawiro di (Rotterdam), dan lain-lain.

Dengan demikian buat saya bukan saja bahwa pernyataan Profesor Sumitro agar ITA mempunyai Fakultas Ekonomi itu tidak ada anehnya. Lebih dari itu jutru sangat tepat bahwa hal tersebut disampaikan Prof. Sumitro di ITA dalam suatu orasi ilmiah di depan civitas academica. Semuanya justru sangat sesuai dengan latar belakang dan pengalaman Profesor Sumitro dari proses pendidikan beliau sendiri menjjadi doktor Ekonomi dari Universitas Rotterdam maupun dari pengamatan beliau selama pendidikan dan berkarya menjadi action intellectual di berbagai kabinet di pemerintahan Sukarno dan Suharto, di dunia akademi maupun politik dan birokrasi Indonesia.

Demikian sekedar catatan saya tentang hal yang ditanyakan Dr. Boyke Setyawan mengenai pernyataan Profesor Sumitro agar didirikan Fakultas Ekonomi di ITA dalam suatu orasi ilmiah di depan citias akademika ITA tahun 1993.

Sebagai catatan terakhir, sekiranya dianggap ada manfaatnya saya bersedia untuk memberi uraian, mungkin dalam bentuk ceramah umum mengenai sejarah perkembangan pemikiran ekonomi yang mungkin dapat menjelaskan makna ekonom makro sebagai ilmuwan dan teknisi.

Sekilas Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar