• L3
  • Email :
  • Search :

7 Desember 2013

Inilah Sebab Kegagalan Instalasi Pengolahan Lindi

Inilah Sebab Kegagalan Instalasi Pengolahan Lindi
Oleh Gede H. Cahyana


Tak kurang dari 99,9% Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) gagal dalam tahap operasi dan pemeliharaannya. Bahkan ada yang sudah gagal dalam tahap desainnya (DED, Detailed Engineering Design) dan ada yang gagal pada tahap konstruksinya. Ada juga desain yang sudah sesuai dengan kaidah dalam DED IPL tetapi keliru, baik disengaja maupun tidak, dalam pembangunannya. Ada desain dan konstruksinya yang sudah sesuai dengan kaidah, tetapi salah dalam tahap start up-nya.  Kesalahan ini tidak jauh berbeda dengan kesalahan dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Di Indonesia, IPL lebih banyak berjenis bioproses, nyaris 100%, hanya beberapa saja yang menerapkan gabungan antara bioproses dan kimia. Yang kimia ini pun biasanya hanya berwujud penambahan unit kimia saja setelah pada tahap awalnya berupa bioproses, tidak dirancang sejak awal sebagai pengolahan kimia. Kondisi ini pun tidak bertahan lama, karena akhirnya gagal kembali akibat kekurangan uang untuk pembelian zat kimia. Itu sebabnya, kegagalan demi kegagalan terus terjadi di IPL, nyaris sama dengan di timbunan sampahnya (sanitary landfill atau controlled landfill).

Berkaitan dengan kolam pengolah lindinya, unit proses - operasi yang biasa dibuat adalah kolam stabilisasi (anaerobik), kolam fakultatif, dan kolam maturasi. Selain tiga unit proses tersebut, ada juga yang melengkapinya dengan unit biofilter, wetland, atau lahan sanitasi. Seperti tampak pada gambar terlampir, ada juga yang menyediakan kolam seeding. Namun demikian, unit yang lengkap itu tetap saja gagal dalam operasi dan pemeliharaannya. Apa sebabnya?

Kata kunci agar IPL optimal operasinya sesungguhnya sama persis dengan IPAL. Prosedur operasi dan pemeliharaan IPL harus dilaksanakan secara tepat, misalnya debit dan kualitas lindinya harus rutin dipantau. Debit lindi yang masuk ke IPL harus terkendali sehingga tidak menyebabkan gangguan pada proses pengolahan, terutama fluktuasi debit lindi. Namun, debit lindi yang lebih kecil daripada debit desainnya, biasanya tidak bermasalah selama kualitas lindinya relatif stabil. Yang bermasalah adalah ketika debitnya di atas debit desain, apalagi kalau jauh melampauinya.  (Catatan: Berkaitan dengan lindi ini, Kepala TPA atau aparat setempat sebaiknya melarang warga yang mengambil lindi untuk air minum ternak karena lindi mengandung beragam zat berbahaya & beracun). 

IPL juga harus dipelihara dengan cara menjaga kebersihan bak atau kolam-kolamnya, bebas dari sampah, rumput-rumputan, eceng gondok (seperti foto terlampir), tidak berbuih, bebas algae dan kedalamannya relatif tetap (tidak mendangkal akibat lumpur). Untuk mencapai kondisi operasi dan pemeliharaan seperti itu, prosedur operasi IPL yang harus diikuti meliputi: cara start up, pengukuran debit lindi, pemantauan kualitas lindi di setiap unit operasi dan proses, pemeliharaan sarana pendukung IPL.

Start-Up

Kegagalan IPL biasanya diawali pada tahap start up. Ada IPL yang dioperasikan tanpa tahap ini karena mengira bahwa IPL itu seperti sebuah mesin yang siap bekerja setelah dibeli tanpa perlu pengondisian awal. Padahal, untuk semua unit bioproses, tahap start up diperlukan ketika memulai operasi dan setelah terjadi kegagalan proses pengolahan (restart up). Ada beberapa hal yang harus ditempuh untuk memulai langkah ini.

1. Isilah bak Anerobik dengan air sumur (sungai) sampai penuh. Cek dan catat pH-nya.
2. Alirkan lindi ke dalam bak tersebut, cek dan catat pH-nya. Pantaulah pH setiap hari atau setiap dua belas jam sekali.
3. Apabila pH-nya kurang dari tujuh, tambahkanlah alkali (kapur tohor, NaOH atau yang sejenis) sampai pH-nya menjadi tujuh atau lebih. Jika digunakan kapur, pembubuhan dilakukan dengan mencampurkan kapur dan air di dalam ember sebelum diituangkan di lokasi inlet.
4. Cek dan catat BOD, COD setiap hari. Kondisi tunak tercapai kalau diperoleh perbedaan angka BOD atau COD efluen sekitar 10%. Dalam kondisi normal proses ini berlangsung dua sampai dengan tiga bulan.
5. Laksanakan cara yang sama di bak fakultatif dan bak maturasi.
6. Selama start up, pantaulah parameter pH, BOD, COD.
a. pH cairan di bak (kolam) dijaga antara 7 – 9. Apabila kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali ke dalam bak sampai pH-nya minimal tujuh.
b. BOD dan COD efluen dicek setiap hari sampai fluktuasi 10% (kondisi tunak).

Fluktuasi Debit
Fluktuasi debit berpengaruh pada kualitas pengolahan. Debit yang melebihi desain atau batas atas debit desain dapat menggagalkan pengolahan. Oleh sebab itu, debit lindi ke Instalasi Pengolahan Lindi harus diketahui. Tetapi faktanya, nyaris 99,9% IPL tidak dilengkapi dengan alat ukur debit. Alat ukur ini ada yang sederhana, seperti alat ukur Thompson. Tetapi, apabila alat ukur tersebut tidak dipasang, maka dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan ember dan stopwatch

Prosedur pengukuran debit di alat ukur Thompson:
1. Bersihkanlah sampah di sekitar alat ukur agar tidak menghalangi skala pada mistar.
2. Catatlah tinggi muka air lindi di bagian hulu alat ukur.
3. Hitung debitnya. 

Prosedur dengan menggunakan ember:
1. Siapkan ember yang diketahui volumenya.
2. Tampung lindi di dalam ember sambil diukur waktunya.
3. Debit lindi adalah volume lindi di dalam ember dibagi waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi ember.

 

Pemantauan Unit
Unit IPL perlu dipantau agar kinerjanya sesuai dengan kriteria desain. Pemantauan kinerja ini bisa secara fisika dan biokimia. Parameter fisika yang dipantau adalah bau dan warna lindi sedangkan parameter biokimianya adalah pH, BOD, COD.

Untuk mendiagnosis kinerja pengolahannya, ada tiga kondisi yang dapat dijadikan acuan:
1. Apabila warna lindi tidak berubah, bau tidak berubah, pH tetap, tetapi penyisihan BOD, COD makin rendah maka disimpulkan bahwa waktu tinggal lindi di unit IPL terlalu singkat. Cek kedalaman kolam dan kuraslah sebagian lumpurnya.
2. Apabila warna lindi menjadi kuning (pucat) baunya menyengat, penyisihan BOD, COD rendah, pH kurang dari 5, maka disimpulkan ada zat racun di dalam lindi. Cara penanggulangannya ada dua:
     a). Hentikan aliran lindi ke IPL, alirkan lindi (bypass) ke kolam berikutnya, ganti lindi dengan air sungai atau air tanah. Ulangi langkah start up.
     b). Cara kedua: biarkan lindi yang kuning tersebut (pH kurang lebih 5), kemudian tambahkan alkali ke dalam kolam lindi. Jaga pH-nya agar lebih besar atau sama dengan tujuh. Dalam waktu dua sampai dengan tiga bulan, kondisi akan pulih kembali.
3. Terjadi reduksi volume kolam karena akumulasi endapan. Kejadian ini dapat mempersingkat waktu tinggal lindi sehingga kinerja IPL menurun. Tanggulangi dengan cara mengecek tinggi endapan dengan tongkat (bambu, kayu) di bagian inlet, tengah dan outlet unit IPL. Apabila endapannya tinggi, maka perlu dikuras atau ditiriskan dengan pompa dan lumpurnya dibiarkan mengering. Setelah kering, gunakan alat berat untuk mengeruknya atau dicangkul secara manual.


Tindakan di atas bersifat kuratif, dilaksanakan setelah terjadi penurunan kinerja pengolahan. Upaya preventifnya dengan cara memantau rutin. Prosedurnya sbb: 1. Gunakan pH-meter atau lakmus untuk mengecek pH lindi di setiap unit IPL. 2. Jika pH lindi kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali (basa) untuk menaikkan pH hingga minimal tujuh. 3. Pertahankan pH tetap minimal tujuh. 5. Cek BOD dan COD efluen IPL. Kalau terjadi perubahan yang mencolok, ulangi prosedur start up.

Demikian secara garis besar upaya mengurangi kegagalan dalam operasional IPL di Sanitary Landfill. Sebab, tahun 2014 nanti, semua unit IPL dan sanitary landfill wajib dioperasikan secara efektif agar terhindar dari sanksi seperti tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar