Inilah Sebab Kegagalan Instalasi
Pengolahan Lindi
Oleh Gede H. Cahyana
Tak kurang dari 99,9% Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) gagal dalam tahap operasi dan pemeliharaannya. Bahkan ada yang sudah gagal dalam tahap desainnya (DED, Detailed Engineering Design) dan ada yang gagal pada tahap konstruksinya. Ada juga desain yang sudah sesuai dengan kaidah dalam DED IPL tetapi keliru, baik disengaja maupun tidak, dalam pembangunannya. Ada desain dan konstruksinya yang sudah sesuai dengan kaidah, tetapi salah dalam tahap start up-nya. Kesalahan ini tidak jauh berbeda dengan kesalahan dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Di Indonesia, IPL lebih banyak berjenis bioproses, nyaris
100%, hanya beberapa saja yang menerapkan gabungan antara bioproses dan kimia.
Yang kimia ini pun biasanya hanya berwujud penambahan unit kimia saja setelah
pada tahap awalnya berupa bioproses, tidak dirancang sejak awal sebagai
pengolahan kimia. Kondisi ini pun tidak bertahan lama, karena akhirnya gagal
kembali akibat kekurangan uang untuk pembelian zat kimia. Itu sebabnya, kegagalan
demi kegagalan terus terjadi di IPL, nyaris sama dengan di timbunan sampahnya (sanitary landfill atau controlled landfill).
Berkaitan dengan kolam pengolah lindinya, unit proses -
operasi yang biasa dibuat adalah kolam stabilisasi (anaerobik), kolam
fakultatif, dan kolam maturasi. Selain tiga unit proses tersebut, ada juga yang
melengkapinya dengan unit biofilter, wetland,
atau lahan sanitasi. Seperti tampak pada gambar terlampir, ada juga yang
menyediakan kolam seeding. Namun
demikian, unit yang lengkap itu tetap saja gagal dalam operasi
dan pemeliharaannya. Apa sebabnya?
Kata kunci agar IPL optimal operasinya sesungguhnya sama
persis dengan IPAL. Prosedur operasi dan pemeliharaan IPL harus dilaksanakan secara tepat, misalnya debit dan
kualitas lindinya harus rutin dipantau. Debit lindi
yang masuk ke IPL harus
terkendali sehingga tidak
menyebabkan gangguan pada proses pengolahan,
terutama fluktuasi debit lindi. Namun, debit lindi yang lebih kecil daripada debit
desainnya, biasanya tidak bermasalah selama kualitas lindinya relatif stabil. Yang
bermasalah adalah ketika debitnya di atas debit desain, apalagi kalau jauh
melampauinya. (Catatan: Berkaitan dengan lindi ini, Kepala TPA atau aparat setempat sebaiknya melarang warga yang mengambil lindi untuk air minum ternak karena lindi mengandung beragam zat berbahaya & beracun).
IPL
juga harus dipelihara dengan cara menjaga kebersihan bak atau kolam-kolamnya, bebas dari
sampah, rumput-rumputan, eceng gondok (seperti foto terlampir), tidak berbuih, bebas algae dan kedalamannya relatif tetap (tidak mendangkal akibat lumpur). Untuk mencapai
kondisi operasi dan pemeliharaan seperti itu, prosedur operasi IPL yang harus
diikuti meliputi: cara start up, pengukuran
debit lindi, pemantauan kualitas lindi di setiap unit operasi dan proses, pemeliharaan
sarana pendukung IPL.
Start-Up
Kegagalan IPL biasanya
diawali pada tahap start up. Ada IPL
yang dioperasikan tanpa tahap ini karena mengira bahwa IPL itu seperti sebuah
mesin yang siap bekerja setelah dibeli tanpa perlu pengondisian awal. Padahal,
untuk semua unit bioproses, tahap start
up diperlukan ketika memulai operasi dan setelah terjadi kegagalan proses
pengolahan (restart up). Ada beberapa
hal yang harus ditempuh untuk memulai langkah ini.
1. Isilah
bak Anerobik dengan air
sumur (sungai) sampai penuh. Cek dan catat pH-nya.
2. Alirkan
lindi ke dalam bak tersebut, cek dan catat pH-nya.
Pantaulah pH setiap hari atau setiap dua belas jam sekali.
3. Apabila
pH-nya kurang dari tujuh, tambahkanlah alkali (kapur tohor, NaOH atau yang
sejenis) sampai pH-nya menjadi tujuh atau lebih. Jika digunakan kapur,
pembubuhan dilakukan dengan mencampurkan kapur dan air di dalam ember sebelum
diituangkan di lokasi inlet.
4. Cek dan catat
BOD, COD setiap hari. Kondisi tunak tercapai kalau diperoleh perbedaan angka
BOD atau COD efluen sekitar 10%. Dalam kondisi normal proses ini berlangsung
dua sampai dengan tiga bulan.
5. Laksanakan cara
yang sama di bak fakultatif dan bak maturasi.
6. Selama start up, pantaulah parameter pH, BOD, COD.
a.
pH
cairan di bak (kolam) dijaga antara 7 – 9. Apabila kurang dari tujuh, maka
tambahkan alkali ke
dalam bak sampai pH-nya minimal tujuh.
b. BOD dan COD efluen dicek setiap hari sampai fluktuasi 10% (kondisi
tunak).
Fluktuasi Debit
Fluktuasi debit berpengaruh pada kualitas pengolahan. Debit
yang melebihi desain atau batas atas debit desain dapat menggagalkan
pengolahan. Oleh sebab itu, debit lindi ke Instalasi Pengolahan Lindi harus diketahui. Tetapi faktanya, nyaris
99,9% IPL tidak dilengkapi dengan alat ukur debit. Alat ukur ini ada yang
sederhana, seperti alat
ukur Thompson. Tetapi, apabila alat
ukur tersebut tidak dipasang, maka dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu
menggunakan ember dan stopwatch.
Prosedur pengukuran
debit di alat ukur Thompson:
1. Bersihkanlah sampah di sekitar alat ukur agar tidak menghalangi skala pada mistar.
2. Catatlah tinggi muka air lindi di bagian hulu alat ukur.
3. Hitung debitnya.
Prosedur dengan menggunakan ember:
1. Siapkan
ember yang diketahui volumenya.
2. Tampung
lindi di dalam ember sambil diukur waktunya.
3.
Debit lindi adalah volume lindi di dalam ember dibagi waktu yang dibutuhkan
untuk memenuhi ember.
Pemantauan
Unit
Unit IPL perlu dipantau agar kinerjanya
sesuai dengan kriteria desain. Pemantauan kinerja ini bisa secara fisika dan
biokimia. Parameter fisika yang dipantau adalah bau dan warna lindi sedangkan parameter
biokimianya adalah pH, BOD, COD.
Untuk mendiagnosis kinerja pengolahannya, ada tiga
kondisi yang dapat dijadikan acuan:
1. Apabila warna
lindi tidak berubah, bau tidak berubah, pH tetap, tetapi penyisihan BOD, COD
makin rendah maka disimpulkan bahwa waktu tinggal lindi di unit IPL terlalu
singkat. Cek kedalaman kolam dan kuraslah sebagian lumpurnya.
2. Apabila warna
lindi menjadi kuning (pucat) baunya menyengat, penyisihan BOD, COD rendah, pH
kurang dari 5, maka disimpulkan ada zat racun di dalam lindi. Cara
penanggulangannya ada dua:
a). Hentikan aliran lindi ke IPL, alirkan
lindi (bypass) ke kolam berikutnya,
ganti lindi dengan air sungai atau air tanah. Ulangi langkah start up.
b). Cara kedua: biarkan lindi yang kuning
tersebut (pH kurang lebih 5), kemudian tambahkan alkali ke dalam kolam lindi.
Jaga pH-nya agar lebih besar atau sama dengan tujuh. Dalam waktu dua sampai
dengan tiga bulan, kondisi akan pulih kembali.
3. Terjadi reduksi volume kolam karena akumulasi endapan. Kejadian ini dapat
mempersingkat waktu tinggal lindi sehingga kinerja IPL menurun. Tanggulangi
dengan cara mengecek tinggi endapan dengan tongkat (bambu, kayu) di bagian
inlet, tengah dan outlet unit IPL. Apabila endapannya tinggi, maka perlu
dikuras atau ditiriskan dengan pompa dan lumpurnya dibiarkan mengering. Setelah
kering, gunakan alat berat untuk mengeruknya atau dicangkul secara manual.
Tindakan di atas bersifat kuratif,
dilaksanakan setelah terjadi penurunan kinerja pengolahan. Upaya preventifnya
dengan cara memantau rutin. Prosedurnya sbb: 1. Gunakan pH-meter atau lakmus
untuk mengecek pH lindi di setiap unit IPL. 2. Jika pH lindi kurang dari tujuh,
maka tambahkan alkali (basa) untuk menaikkan pH hingga minimal tujuh. 3.
Pertahankan pH tetap minimal tujuh. 5. Cek BOD dan COD efluen IPL. Kalau
terjadi perubahan yang mencolok, ulangi prosedur start up.
Demikian secara garis besar upaya
mengurangi kegagalan dalam operasional IPL di Sanitary Landfill. Sebab, tahun 2014 nanti, semua unit IPL dan sanitary landfill wajib dioperasikan
secara efektif agar terhindar dari sanksi seperti tercantum dalam UU No. 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar