Ikan Nila Bakar Danau Ranau, Lampung Barat
Oleh Gede H. Cahyana
Hitam pekat kopi itu. Kopi asli
Liwa, Lampung Barat. Sambil memandang bebukitan di seberang danau, jemari kaki
terasa dingin disentuh air Danau Ranau. Saung di tepian, diiringi lantunan
vokal penyanyi karaoke, “serak-serak kering”, suasana sore itu menjadi temaram.
Gerimis masih menemani, tak lekang oleh waktu. Lalapan sudah terhidang,
sambalnya juga, tinggal ikan Nila yang belum. Sedang dibakar.
Berangkat dari Liwa, setelah
memberikan training of trainer
se-Provinsi Lampung dan Bengkulu, dengan mobil sewaan, kami melata di jalanan
aspal berkelak-kelok. Melihat warga setempat, teringat aku pada masa kecilku di
Bali. Suasananya serupa benar. Suasana awal tahun 1970-an. Murid SD
berlari-lari di tepi jalan tanpa alas kaki. Tas kain yang lumayan belel diselempangkan
di bahunya, segenggam kue kering di tangan kanan dan rambutnya berkibar ditiup
angin. Jalan menurun dan mendaki. Sehatlah anak-anak itu, semoga. Mudah-mudahan
mereka pun minimal berhasil menjadi sarjana, pada suatu saaat kelak. Lintasan
pikiranku menerawang ke kondisi nusantara ini. Tanah air nan kaya, tambang dan
hutan melimpah, tapi salah urus. Akibatnya, pelosok daerah, seperti di Lampung
Barat ini, daerah subur nan gembur oleh pertanian, penduduknya banyak yang melarat.
Pepaya berserakan di tepi jalan, kopi beronggok-onggok, bongkahan wortel nan
indah bunganya, tapi lamban diserap pasar.
Tak terasa, pesanan ikan nila bakar
sudah tiba. Masing-masing dapat seekor. Tanpa ba bi bu, setelah berdoa singkat,
diserbulah ia. Suara kecap dan erangan pedas berpacu dalam melodi pelantun lagu
di karaoke sebelah. Meskipun suaranya pas-pasan, sama seperti suaraku, tetap
perlu dalam keheningan danau. Anak-anak masih tampak di dekat tambak, ditemani
ibunya yang menggendong batita. Riak-riak lembut setia menemani kami sampai kembali
ke Liwa menjelang malam. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar