• L3
  • Email :
  • Search :

20 Desember 2013

“Agamakan” Citarum, Solusi Limbah dan Banjir

“Agamakan” Citarum, Solusi Limbah dan Banjir
Oleh Gede H. Cahyana

If I were called in
To construct a religion
I should make use of ... water.
(Philip Larkin: Whitsun Weddings).


Air, secara epistemologi, begitu sakral. Ia asal kehidupan. Materi dengan rumus molekul H2O ini dominan di tubuh kita, mencapai 65%. Di tubuh anak-anak malah 75%. Kesakralannya tercermin pada untaian kata berikut: tirtha nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab), nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life, the liquid of life (Inggris), air suci (Indonesia).

Di India, dalam mitologi Hindu, Sungai Gangga diciptakan di surga. Fenomena kesakralannya bisa disaksikan dalam ritual Kumbh Mela. Prosesi ritus di sungai yang punya 108 nama-nama indah itu diziarahi oleh 30-an juta orang! Jumlah yang spektakuler kalau dibandingkan dengan jumlah jamaah haji di Mekkah. Dalam ritus itu, Gangga ialah jembatan ke surga, titian menuju nirwana.

Dalam Islam lain lagi. Air, kata Qur’an, adalah penyusun makhluk hidup. “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup,” demikian firman Allah dalam surat al-Anbiyya ayat 30. Intensitas kata yang terkait dengan air itu mencapai 63 kali, tulis Othman dan Doi dalam jurnal Thought and Scientific Creativity di bawah judul Islamic Principles of Environment and Development. Begitu pun agama Kristen (Katolik). Pada ritual baptis dan pencucian tangan, tulis Vandhana Shiva dalam buku Water Wars, terkait dengan air. Lokasi baptis dan pembangunan gereja pun dipilih dekat atau melintasi mata air.

Di Bali, pemeluk Hindu tak bisa pisah dari air. Di setiap tempat dan masa perayaan hari agama, selalu saja menyertakan air. Air ini, bagi penganut Hindu di Pulau Dewata adalah air suci yang dinamai tirta. Selain dikibas-kibaskan atau dipercikkan ke kepala peserta ritual oleh pemimpin prosesi (Bali: pedanda, mangku) air itu pun didekatkan ke mulut sambil dicicipi. Simbol air sebagai sumber hidup. Pada masa pra-Hindu, kerajaan Hindu, dan kerajaan Islam di nusantara air begitu diindahkan. Taman-taman raja selalu dilengkapi dengan pemandian asri dan kolam berair jernih dari mata air. Ada yang difungsikan buat mandi, ada yang sekadar hiasan atau untuk wudhu bagi kaum muslim.

Pada masa silam di mancanegara, nilai-nilai spiritual atau pendewaan air telah luas dikenal. Di Prancis, di dekat Sungai Seine, ada kuil suci untuk Dewa Sequana. Sungai Marne asal-usul namanya dari Matrona yang artinya Dewi Ibu. Cikal nama Sungai Thames di Inggris ialah Tamesa atau Tamesis yang terkait dengan makna ketuhanan. Sungai Nil di Mesir tak lepas dari Fir’aun dan Nabi Musa. Adapun Sungai Amazon di belantara Brasil, Amerika Latin dihuni suku pemulia dewa-dewi. Sungai Euphrates dan Tigris di Irak dihormati kaum Babylonia dan Mesopotamia.

“Pemuliaan” air tersebut, apabila kita bandingkan dengan zat lain, terasa masuk akal lantaran punya hal-hal “aneh”. Selain berbentuk pentagonal, ia pun berbentuk heksagonal. Air heksagonal, menurut sebagian kalangan, hanya ada di kutub utara dan selatan, dan juga di tubuh kita. Air dengan berat molekul 18 punya kelainan atau anomali. Pada temperatur dan tekanan standar semua dihidrida golongan VIA sistem periodik selalu berujud gas, yaitu H2S (berat molekul/BM 34), H2Se (BM 81), H2Te (BM 130). Tampaklah, air yang berat molekulnya paling kecil justru berujud cair. Yang lainnya, senyawa yang BM-nya lebih besar malah berujud gas.

Dalam molekul air, sudut antara dua kaki hidrogennya 105 derajat. Hidrogen bermuatan positif, sedangkan oksigen negatif. Ini disebut molekul dipolar atau dua kutub. Dua kutub tersebut tarik-menarik sehingga ada ikatan hidrogen yang lemah. Ikatan hidrogen ini berperan dalam perubahan ujud air, dari padat, cair, dan gas. Ketika membeku pada nol derajat Celcius, kerapatan air justru berkurang. Molekul air dalam es berikatan tetapi volumenya malah membesar atau merenggang. Jarak antarmolekulnya membesar. Molekul airnya saling merangkul atau berpegang-pegangan, namun membesar. Berbeda dengan kita, kalau kita merangkul seseorang maka jarak antara kita dengan yang dirangkul makin rapat.

Ketika air mencapai temperatur 100 derajat Celcius pada tekanan satu atmosfer, air mendidih dan mulai berubah menjadi gas. Pada kondisi ini, ikatan hidrogennya lepas. Yang melayang-layang di udara betul-betul molekul tunggal. Fenomena ini penting bagi siklus air yang mendatangkan hujan. Tanpa kemampuan trinitas, yaitu padat, cair, dan gas, mustahil kita bisa bertahan hidup di bumi ini. Sebab, air lama-kelamaan akan habis dan semuanya terkumpul di laut. Sudah itu, asin rasanya dan tak nyaman buat mandi lantaran terasa lengket di badan.

Yang luar biasa, berat jenisnya pada empat derajat Celcius sama dengan satu, tetapi volumenya terkecil. Kejadian ini ada hikmahnya bagi orang Eskimo. Orang kutub ini tetap bisa menangkap ikan yang hidup di bawah lapisan es. Permukaan lautnya memang beku tapi bagian bawahnya cair. Andaikata air mulai membeku dari bawah, maka tidak ada satu ikan pun yang dapat hidup dan sudah sejak dulu tidak ada lagi ikan di daerah kutub. Ternyata dengan keajaiban air ini, ikan-ikan justru menjadi makanan yang menyuplai protein bagi orang-orang Eskimo.

Kesakralan air berikutnya ialah air zamzam. Siapa nyana, di tengah gurun sejak zaman Nabi Ibrahim ada air tawar dan sampai sekarang tidak habis. Setiap jamaah haji pasti pernah mencicipinya. Ketika itu Hajar telah lelah lari bolak-balik antara Shafa dan Marwah. Hajar bukanlah dewa, melainkan budak. Lebih tepat, mantan budak yang diperistri Nabi Ibrahim. Seperti halnya Hajar, jamaah haji pun ingin dapat air setelah lari-lari kecil tujuh kali antara dua bukit itu. Dalam buku berjudul Haji tulisan Dr. Ali Shariati, orang Iran yang syahid tahun 1977 di Inggris lantaran ikut menjadi “kayu bakar” revolusi Iran menggulingkan tirani Syah Reza Pahlevi oleh Imam Khomeni, ditulis bahwa Sa’i itu pencarian. Secara sempit diartikan sebagai pencarian zat penopang hidup, yaitu air zamzam!

Berikut ini saya tuliskan komentar Dr. F.C. Harrison yang dikutip Shiva. Begini bunyinya. “Menurut fakta yang janggal, yang belum pernah dijelaskan secara memuaskan, adalah begitu cepatnya (tiga sampai lima jam) kuman kolera mati di Sungai Gangga. Ketika seseorang mengingat banyaknya kotoran yang dibuang para penduduk, yang sering merupakan penderita kolera, dan ribuan penduduk yang mencebur ke sungai, tampak sungguh luar biasa bahwa kepercayaan orang Hindhu, bahwa sungai ini memiliki air yang murni dan tidak bisa tercemar dan mereka bisa dengan aman meminum airnya dan mandi di dalamnya, bisa dibuktikan dengan alat penelitian bakteriologi modern”. Tentu sah-sah saja berpendapat lain, selain kata Harrison di atas.

Tidak mengherankan, lanjut Shiva, masyarakat India begitu sayang pada Sungai Gangga dan sungai-sungai lainnya dan percaya jika sungai-sungai itu memiliki kekuatan misterius. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana di Indonesia? Adakah perlakuan serupa diterima sungai kita? Apa kabar Cikapundung? Di sekitar Gedung Merdeka tempat peringatan Konferensi Asia Afrika, kamu disoleki. Bagaimana bagian hilirmu? Dan sekarang, tiga bulan pasca-KAA itu kamu seperti dulu lagi, dilupakan orang, ditakacuhi pemkot Bandung.

Sedangkan Citarum, bagaimana nasibmu? Setiap musim hujan kamu selalu dihujat dan disalahkan karena airmu merendam Bandung Selatan. Rugi harta tak terhitung jumlahnya dan korban jiwa pun jatuh. Kamu terima tuduhan itu? Yang pasti, kamu hanyalah air yang boleh jadi memang “sakral”. Ada inside power dalam tubuh lembutmu. Kejadian banjir bukanlah salahmu. Penghuni tatar Bandunglah yang salah.

Citarum, akankah kamu “diagamakan” oleh mukimin Bandung Raya? Akankah kamu “disakralkan?” Entahlah..., ini betul-betul gelap seperti menyelam di air keruh. You should never dive in the murky water! Ok?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar