• L3
  • Email :
  • Search :

22 November 2010

Demokrasi dan Pemilu

Demokrasi dan Pemilu

Demokrasi dan Pemilu pernah menorehkan sejarah abu-abu hingga hitam di berbagai negara termasuk di Indonesia. Dalam kasus di Indonesia, pernah ada istilah demokrasi liberal, terpimpin hingga demokrasi Pancasila. Begitu pula pemilu, mulai dari Pemilu multipartai 1955 hingga pemilu zaman Orde Baru yang hanya tiga partai (termasuk Golkar) dan kembali ke multipartai pascareformasi 1998.

Dalam acara Seminar Sehari ini sebagai pembicara tamu adalah Dr. Yudi Latif. 

 

 












ReadMore »

16 November 2010

Ketika Gunung Antri Erupsi?

TRIBUN JABAR

ADA apa dengan Merapi? Setelah letusan (erupsi) Merapi pada 26 Oktober 2010, delapan gunung dinyatakan dalam taraf waspada, termasuk Papandayan dan Anak Krakatau. Gunung Anak Krakatau pun mulai aktivitas vulkaniknya sehingga dilarang didekati dalam radius tiga kilometer (Tribun, 30/10).

Antri Erupsi
Mayoritas gunung berapi kita terpasak pada satu sabuk, mulai dari Aceh menuju Selat Sunda, menyusuri Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku hingga Sulawesi Utara. Jumlahnya 13 persen dari semua gunung berapi di Bumi. Kalau satu saja menggeliat panas, yang lain pun ikut-ikutan sehingga semua gunung di ladang gunung berapi itu bisa meletus bersamaan atau berurutan.

Merapi, Kelud, Semeru, Guntur, Krakatau dan "anaknya" termasuk grup agresif dari 35 gunung berapi aktif yang menjadi pasak Pulau Jawa. Jumlah itu setara dengan 27 persen dari 129 gunung berapi aktif di Indonesia. Yang tidur (dormant) sekitar 50-an buah.

Sebagai negara gunung, Indonesia disabuki gunung berapi sepanjang 7.000 kilometer, melintang di pulau-pulau seperti disebut di atas. Hanya saja, kaya gunung tak berarti akrab dengannya. Masih banyak aspek kegunungapian yang asing di telinga kita, kecuali bagi kalangan di Vulkanologi atau Geologi saja. Mendengar kata gunung berapi, yang terbayang ialah lahar, lava, debu, dan awan panas saat erupsinya. Sebagai contoh, erupsi Galunggung (1982-1983) telah merusak aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, tak hanya di daerah setempat tapi juga di daerah lainnya.

Berikutnya ialah letusan Gunung Agung di Bali (1963) dengan korban tewas 300-an orang. Sisa-sisanya dapat dilihat sekarang, di sela-sela kebun salak di sekujur Kabupaten Karangasem, terutama ke arah pura utama di Bali, yaitu Besakih. Konon pada waktu itu ada bintang Kukus (Kemukus) di Timur Pulau Bali dan warga lantas mengaitkannya dengan kasus besar yang bakal terjadi, yaitu G30S/PKI. Adapun korban erupsi Kelud tahun 1935 tak kurang dari 5.000-an orang. Yang paling menyejarah ialah letusan Gunung Krakatau (1883).

Selain letusan, bahayanya yang lain ialah gas beracun. Kawah Sinila tahun 1979 di Pegunungan Dieng menjadi contoh klasik. Minimal 150 orang meninggal tercekat pada bencana pagi itu akibat gas CO (karbon monoksida). Potensi bencananya juga terjadi karena akumulasi gas di atmosfer yang menyebabkan hujan asam dengan pH kurang dari 5,5 akibat larutnya gas belerang oksida (SOx), asam sulfida (H2S), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen oksida (NOx) lalu menghasilkan asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3), dan asam karbonat (H2CO3). Dampaknya, pH tanah menjadi rendah, gangguan ekosistem, kerusakan bangunan & monumen serta iritasi kulit.

The Silent Killer lainnya ialah polusi air tanah dan air permukaan oleh logam-logam berat erupsian dan aktivitas kawahnya. Polutan jenis ini sering terjadi di Sungai Ciwidey dan Waduk Saguling di Jawa Barat yang airnya berasal dari Gunung Patuha dengan Kawah Putihnya dan Gunung Tangkuban Parahu di Bandung. Maka, yang patut diwaspadai ialah efeknya pada manusia kalau meminum airnya, memakan ikannya dan sayurmayur yang ditanam di dekat bencana itu karena kaya dioksin dan logam berat.

Peluang Ekonomi
Gunung berapi serupa dengan pedang bermata dua. Satu matanya dapat menebas eksistensi manusia dan satunya lagi justru bisa menambah tingkat ekonominya. Ancaman diubah menjadi peluang ekonomi, disublimasi menjadi keuntungan. Dari sisi pendidikan, erupsi juga peluang untuk evaluasi teori dan hipotesis sains mutakhir, menjadi bahan studi saintis kegunungapian, pertanian, kesehatan, lingkungan dan antropologi.

Dari sisi ekonomi, magmanya (liquid magma) berpeluang dijadikan opsi sumber energi. Pada temperatur 1.150 Derajat Celcius, estimasi energinya 9 x 1014 kcal/km3. Sebagai pembanding, potensi energi Gunung Mauna Loa di Hawaii dan Avachinsky di Kamchatka Peninsula masing-masing 4 x 1018 kcal dan 2 x 1017 kcal. Bandingkan dengan cadangan minyak mentah dunia yang "hanya" 1018 kcal. Contoh di Indonesia, energi yang dirilis erupsi Tambora di Sumbawa (1815) sekitar 3,5 x 1016 kcal sedangkan energi erupsi Krakatau (1883), menurut Hedervari dalam Bulletin Volcanologique, mencapai 4,3 x 1015 kcal. Getarannya mendunia dan energinya yang luar biasa besar mampu melontarkan setengah massanya ke angkasa sehingga debunya menutupi area seluas 827.000 km2. Dengan periode erupsi 101 hari, yang tewas tak kurang dari 36.000-an orang.

Manfaat lainnya ialah bidang kesehatan seperti efeknya terhadap penyakit kelenjar gondok, gigi dan pernapasan, termasuk sakit jantung, fibrosis, dan fluorosis. Semuanya bisa diriset yang dikaitkan dengan karakteristik zat-zat erupsian mineralnya. Sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan juga diuntungkan oleh debu vulkaniknya yang subur walaupun ketika erupsinya menjadi material sangat berbahaya. Instalasi pengolah air minum (IPAM) pun mesti dimodifikasi untuk menangani unsur yang berbahaya di dalam air dan emisi gas beracunnya sekaligus memanfaatkan mineralnya dalam konsentrasi tertentu sesuai dengan baku mutu air minum untuk kesehatan kita.

Peluang pencetak uang lainnya ialah pasir-batu (sirtu). Sirtu erupsian terbukti menaikkan ekonomi masyarakat setempat seperti pasir Galunggung. Manfaat berikutnya ialah wisata gunung berapi (volctourism), tetapi belum banyak dikelola. Hanya di gunungapi-gunungapi tertentu saja yang sudah dieksploitasi seperti Bromo, Tangkubanparahu dan Batur di Bali.

Khusus di Gunung Batur, selain Danau Baturnya yang eksotis juga karena ada komunitas khas, yaitu orang Trunyan. Aspek geologinya juga menarik minat peneliti dari luar negeri, termasuk wisata flora, fauna dan mata air panas (hot spring) yang merupakan komponen tak terpisahkan dari gunungapi.

Tampaklah, selain letusannya, gunungapi pun bisa bermanfaat. Bisa dikatakan, bencana (baca: musibah) adalah jarum akupuntur bagi ruhani. Berat sesaat, manfaat setelahnya. (*)
ReadMore »

18 Oktober 2010

Baffled Fluidized Reactor

Baffled Fluidized Reactor

Mengacu pada nama atau istilahnya, reaktor ini berjenis reaktor biologi (bioreactor) yang memberikan kesempatan kepada bakteri anaerobik untuk tumbuh-kembang optimal dan berlangsung di dalam reaktor yang bersekat-sekat (baffled), bermedia melayang-layang (fluidized). Selain bioproses, minimal ada dua unit operasi yang berlangsung di dalamnya, yang fenomenanya berlawanan, yaitu sedimentasi dan fluidasi. Sedimentasi berkenaan dengan bioflok yang besar massanya dan padatan (coarse solid, suspended solid) tanurai (nonbiodegradable) yang dapat diendapkan secara gravitasi.

Fluidasi berhubungan langsung dengan kecepatan ke atas aliran airnya yang mampu mengapungkan atau melayang-layangkan material tertentu seperti mikroflok, padatan, atau media lekat sintetis ringan. Secara tidak langsung, dalam tempo tertentu, biasanya setelah tiga bulan sejak reaktor dioperasikan, terbentuklah lapisan microbioflocc (sludge blanket) di tengah-tengah reaktor. Lapisan ini mampu memperbaiki kualitas pengolahan air limbah, mempertinggi efisiensinya sehingga harus dijaga agar lapisan ini tetap bertahan dan tidak rusak selama proses pengolahan. Kerusakan biasanya terjadi selama dan setelah pemompaan sludge-nya apabila operatornya ceroboh dalam memasukkan pipa lumpurnya sehingga mengoyak lapisan tersebut.

Karakteristik Reaktor
Kata kunci (keyword) dalam Baffled Fluidized Reactor adalah kecepatan ke atasnya (upflow velocity) yang nilainya kurang dari 2 m/jam. Dengan kecepatan ini biasanya reaktor dibuat agak besar tetapi relatif dangkal, kurang dari 2 meter sehingga lahan yang dibutuhkannya menjadi luas. Inilah yang menyebabkan BFR kurang dikenal dan tidak menjadi pilihan di instalasi yang besar debit air limbahnya. Namun kekurangan ini bisa diminimalkan bahkan dihilangkan kalau di dalam reaktornya diberi media lekat yang terfluidasi. Media ini bergerak dinamis di dalam reaktor dan memberikan peluang kepada bakteri yang cenderung melekat (attached growth) dalam pertumbuhannya. Pada saat yang lain, bakteri yang hidupnya tersuspensi pun bisa berkembang dengan optimal di ruang antarmedia.

Gradasi bakteri yang terlekat atau tersuspensi atau kombinasi keduanya pada BFR ini dipengaruhi oleh pH, temperatur air limbah, beban organik, dan asupan nutrisinya serta material seperti deterjen, logam berat, dan lemak-minyak. Nutrien sangat dibutuhkan oleh biomassa sehingga harus senantiasa tersedia sepanjang waktu tetapi tidak boleh melebihi kebutuhan total biomassanya. Di sinilah letak kesulitan mengelola bioreaktor agar nutrien yang dibutuhkan biomassanya ekivalen dengan asupan atau kandungan nutrien yang ada di dalam air limbah. Menjadi lebih sulit lagi apabila terjadi fluktuasi beban hidrolik (hydraulic loading) dan beban organik (organic loading) yang tinggi setiap hari. Oleh sebab itu, beberapa IPAL, terutama yang kapasitasnya relatif kecil seperti rumah sakit dilengkapi dengan unit ekualisasi (equalization) untuk merata-ratakan aliran airnya sehingga unit ini disebut tangki aliran rerata (TAR). Apabila pengoperasian unit dengan debit kecil itu dipandang kurang efisien maka dapat diterapkan sistem Sequencing Batch Reactor.

Berkaitan dengan media lekat bakterinya, bisa dikatakan bahwa BFR termasuk bioreaktor hibrid yang berada di tengah-tengah antara reaktor terlekat (attached reactor) dan reaktor tersuspensi (suspended reactor). Selain medianya yang dinamis bergerak melayang-layang di dalam air, sekatnya juga menjadi tempat tumbuh bakteri, bahkan semua pipa dan aksesorisnya pun menjadi media tumbuh. Inilah yang dapat mempengaruhi efisiensi pengolahannya, menjadi lebih efisien dengan menghasilkan konsentrasi biomassa yang pekat. Kemampuan retensi biomassanya itu berada di antara fase terlekat dan fase tersuspensi yang terbentuk di permukaan media (porositas, porosity) atau di ruang antarmedia (parasitas, perviousness).

Sejumlah penelitian menyatakan bahwa BFR bermedia lekat terfluidasi ini mampu menanggulangi beban hidrolik dan beban organik yang tinggi secara tiba-tiba (shock loading, baik limbah domestik, pabrik maupun rumah sakit, balai pengobatan, klinik) tanpa mengganggu efisiensinya secara signifikan. Selain media tersebut, peran ini pun diemban oleh sekat, dinding, dan sedimen bioflok. Malah bioflok yang hanyut (washout) dari ruang (chamber) pertama dapat ditangkap kembali di ruang berikutnya. Di ruang terakhir, misalnya ruang ketiga atau keempat dapat dilengkapi dengan skrin di bagian atasnya untuk menahan agar biofloknya tidak hanyut. Tetapi skrin ini tidak dibutuhkan apabila di dalam rangkaian pengolahannya dipasang unit biofilter anaerobik atau aerobik dengan aliran upflow.

Kinerja BFR dapat lebih ditingkatkan lagi dengan cara mendistribusikan debit airnya lewat jaringan pipa perforasi di bagian alas (dasar) reaktor. Konfigurasi “underdrain” ini serupa dengan jaringan pipa yang dipasang di alas filter air minum PDAM. Tentu saja susunan pipanya bisa dimodifikasi dan diameter lubangnya disesuaikan dengan keperluan dan kondisi reaktor. Secara tak langsung, jaringan pipa “underdrain” ini juga berfungsi menumbuhkan mikroba yang karakternya melekat pada media. Hanya saja, endapan yang tinggi setelah reaktor beroperasi lebih dari lima tahun dapat menghilangkan kemampuan biodegradasinya karena tertimbun lumpur sehingga kekurangan nutrisi. Namun kejadian ini tidak terlalu berpengaruh pada kinerjanya karena kuantitasnya dapat diabaikan dibandingkan dengan jumlah total biomassa terlekat lainnya di dalam reaktor.

Dimensi dan Aklimasi
Pendimensian BFR bergantung pada debit air limbah dan waktu detensi yang diterapkan, yang sudah terbukti berhasil dalam mengolah air limbah. Selain bersumber dari hasil penelitian, juga dapat digunakan kriteria desain yang sudah ada, tetapi harus dicek ulang agar tidak keliru. Selain itu, perlu dilihat juga kesamaan jenis air limbahnya dan lokasi geografisnya. Sebab, tidak sertamerta desain yang sukses di satu tempat dapat otomatis sukses dengan hasil yang sama di tempat lain. Beberapa parameter lingkungan ikut mempengaruhi kinerja reaktornya, selain keberadaan unit operasi-proses lainnya.

Dimensi reaktor juga perlu disinkronkan dengan bentuk dan posisi aksesoris lainnya seperti pipa, sekat, alirannya apakah horisontal atau vertikal, posisi inlet-outlet, dll. Sekat bisa berbahan beton, batubata, pelat antikarat, papan yang tak mudah lapuk, atau yang lainnya dengan satu fungsi yaitu, menambah intensitas pengadukan hidrolis tanpa alat mekanis. Jarak antarsekat pun harus dipertimbangkan agar pengadukan bisa optimal dan mudah dalam pelaksanaan pembangunannya. Perhatikan rasio antara tinggi reaktor dan panjang ruangnya (chamber). Bagian penting lainnya ialah media pengisi ruang sebagai tempat melekat mikroba. Media ini bisa berbahan plastik dengan beragam bentuk dan ukuran, tempurung kelapa tua, bambu, kayu, dll. Hanya satu syaratnya, berat jenisnya kurang dari satu agar mampu bergerak melayang-layang di dalam air (fluidized bed) atau melayang karena pengaruh upflow aliran airnya. Volume medianya maksimum 20% dari volume ruang kosong reaktor.

Dalam beberapa penelitian, BFR dibuat serupa dengan baffled flocculator dalam IPAM di PDAM tetapi ada juga yang berbeda, yaitu setiap ruang dipisahkan oleh sekat sehingga airnya dilewatkan melalui pipa berbentuk huruf H. Salah satu “kaki” pipanya (di bagian kiri) berfungsi sebagai inlet dan “kaki” lainnya sebagai outlet. Perlu diperhatikan, kaki-kaki pipa H ini berbeda panjangnya. Bagian inlet lebih panjang, yakni ujung bawahnya mendekati sludge yang mengendap di lantai reaktor. Ini memberikan kesempatan kepada air limbah untuk kontak dengan bioflok yang mengendap sehingga efisiensinya makin tinggi. Sedangkan kaki lainnya lebih pendek agar air yang baru masuk ke dalam bak tidak langsung menuju pipa keluar (short circuit) sehingga cukup waktu bagi mikroba untuk mengolah pencemarnya. Dengan konfigurasi pipa tersebut akan diperoleh waktu detensi yang berlipat-lipat lamanya.

Agar perkembangan biofloknya optimal, perlulah diatur lingkungan airnya, seperti asupan nutrisi dan pH. Pada tahap awal operasinya, harus dimasukkan bibit bakteri (seeding) yang dapat diperoleh dari biakan murni di balai penelitian atau dibeli dari pemasok, bisa juga dari rumen, tangki septik, atau lumpur filter anaerob. Bersamaan waktunya, diinjeksikan pula N dan P (NH4Cl dan K2HPO4). Setelah tiga hingga empat pekan, start-up dapat dimulai dengan memompakan sejumlah tertentu benih ke dalam reaktor untuk mengondisikan bakteri di dalam reaktor dengan air limbah. Proses ini relatif lama, bisa mencapai tiga bulan. Perlu ditambahkan juga larutan penyangga (buffer) pH, misalnya NaHCO3 agar pH-nya dalam rentang netral. Tanpa asupan alkalinitas ini, proses pengolahan dikhawatirkan gagal karena pH-nya menjadi rendah sehingga tidak nyaman bagi metanogen.

Dalam praktiknya, dosis injeksi NaHCO3 tersebut bervariasi, bergantung pada beban organiknya. Sudah diperoleh bahwa air limbah yang kaya karbohidrat dengan beban 10.000 mg/l COD dan menghasilkan 50% CO2 membutuhkan 2.300 mg/l alkalinitas sebagai CaCO3 agar pH-nya berkisar antara 6,8 - 7,0. Karena 1 g NaHCO3 = 0,6 g alkalinitas sebagai CaCO3 maka NaHCO3 yang dibutuhkan = 3,83 g. Jika efektivitas NaHCO3 (teknis) 75% maka dibutuhkan 5,1 g NaHCO3. Penambahan zat kimia tersebut tentu saja menambah biaya operasional instalasi. Oleh sebab itu, standar operasi prosedur (SOP) wajib diikuti oleh operator agar proses yang sudah berlangsung baik dapat bertahan lama. *

(Gede H. Cahyana, Majalah Air Minum, September 2010)
ReadMore »

4 Oktober 2010

Ekosistem Akuatik


Ekosistem Akuatik
Mengacu pada definisinya, ekosistem akuatik ialah ekosistem yang mayoritas terdiri atas air, menjadi habitat makhluk hidup. Contohnya ialah ekosistem air tawar yang bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu ekosistem Lentik: ekosistem yang airnya tergenang (relatif diam) seperti danau, waduk, kolam, rawa, embung, dll. Lentik diturunkan dari kata lenis (bahasa Latin) yang artinya tenang. Ekosistem Lotik (Latin: lotus , artinya alir), ialah ekosistem yang airnya mengalir, seperti: sungai, selokan, dll. Fungsi ekosistem akuatik ini antara lain sebagai sumber air minum, pengairan, air industri, perikanan, PLTA, rekreasi, sumber riset ilmu dan teknologi, juga penerima air olahan IPAL rumah sakit atau efluen IPAL.

Ekosistem Lentik - Lotik 
Hal penting di dalam ekosistem Lentik ini adalah zonasi yang berkaitan dengan kedalaman airnya dan daya tembus sinar matahari di dalam air. Ini dibedakan menjadi tiga, yaitu Zone Litoral, nama yang diberikan untuk zone di tepi danau, waduk, kolam dan sinar matahari dapat menembus sampai ke dasar, tempat perakaran tumbuhan air. Zone Limnetik, berada di antara permukaan air dan lapisan air yang masih dapat dicapai oleh sinar matahari. Di bagian terbawah zone ini, laju fotosintesis tumbuhan masih sama dengan atau lebih besar daripada laju respirasi. Zone Profundal, terletak di bagian dalam atau dasar badan air sehingga tidak dapat dimasuki oleh sinar matahari. Andaipun cahaya masih bisa masuk, tetapi tidak efektif untuk fotosintesis.

Proses kelahiran ekosistem Lentik berbeda-beda. Danau, misalnya, ada yang terbentuk karena patahan formasi geologi lalu berisi air, seperti Danau Toba. Ada juga yang terbentuk karena peristiwa vulkanik, seperti Danau Lamongan. Danau buatan seperti Saguling, biasa disebut waduk, sengaja dibuat dengan cara membendung Sungai Citarum. Seperti ekosistem Lentik, ekosistem Lotik pun berperan penting sebagai sumber makanan, yaitu udang, ikan, dll. Minimal ada tiga kegunaan ekosistem air ini, yaitu produsen pangan, penyedia lapangan kerja, dan penghasil devisa. Namun demikian, pengurangan produksi ikan dapat saja terjadi yang disebabkan oleh beberapa kejadian, seperti teknologi budidayanya belum optimal, penangkapan ikan terlampau berlebih sehingga pemulihannya menjadi lamban, terjadi pencemaran air yang mempengaruhi perkembangbiakannya.

Ekosistem Laut 
Laut adalah badan air terluas dan terbanyak volumenya. Dalam rasanya yang asin, air laut sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Rentang suhunya adantara 26 – 30 derajat Celcius dengan kadar garam antara 27 – 33 permil. Hal ini mengakibatkan pemisahan antara lapisan bawah dan lapisan atas air laut.

Ciri ekosistem / Lapisan atas / Lapisan bawah
- Suhu air laut : Tinggi / Rendah
- Kadar garam : Rendah / Tinggi
- Tembus sinar matahari: Tinggi / Rendah
- Kadar oksigen : Tinggi / Rendah
- Fotosintesis : Cepat / Lambat
- Kadar unsur hara : Rendah / Tinggi

Laut di Indonesia dipengaruhi oleh angin Muson yang berubah arah pada setiap musim. Musim Barat terjadi pada September s.d Maret, musim Timur antara Juni dan Agustus dan terjadi dua pancaroba atau peralihan, yakni April - Juni dan September - November. Pada musim Barat biasanya arus laut bergerak dari Barat ke Timur, Indonesia bagian Barat mendapat curah hujan relatif tinggi sehingga kadar garamnya menjadi rendah, dan angin bertiup kencang sehingga ombaknya tinggi. Pada musim Timur terjadi fenomena yang berlawanan dari uraian di atas.

Berdasarkan kedalamannya, laut di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu laut dangkal dan laut dalam, memiliki dua paparan benua, yaitu paparan Sunda di bagian Barat, dan Sahul di Timur, keduanya dipisahkan oleh selat dan palung. Besar sekali peran laut ini untuk perkembangan ekonomi, sosial, budaya, ilmu, dan teknologi, bahkan pertahanan, dan keamanan negara. Beberapa poin pentingnya adalah:
• Sumber bahan makanan: udang, cumi-cumi, paus, ganggang, dll.
• Sumber kekayaan alam: garam, mineral, minyak bumi, dan bahan tambang lainnya.
• Sumber energi non-minyak: gas alam, energi gelombang, arus pasang surut.
• Sarana transportasi antarpulau & negara, penghubung dua benua, dua samudra.
• Sebagai sarana pertahanan dan keamanan.
• Pariwisata dan olah raga.

Selain manfaatnya, ada juga masalah lingkungan di laut Indonesia. Kerusakan lingkungan ini terjadi karena dampak negatif kegiatan pembangunan. Banyak terjadi pelumpuran pantai karena air sungai membawa lumpur dari kegiatan pertanian, perkebunan, industri, dan perkotaan. Terjadi pencemaran yang makin masif, seperti pencemaran minyak yang dampaknya pada kematian makhluk dan kerusakan rantai makanan dan menurunkan oksigen terlarut (dissolved oxigen). Masalah lainnya ialah pembabatan mangrove untuk memperoleh kayu atau untuk kebutuhan lahan permukiman, pertanian, pertambangan dll.

Agar dampak buruk di atas bisa dikurangi atau dihentikan, bahkan dipulihkan, ada beberapa upaya yang dapat dilaksanakan, yaitu pengaturan eksploitasi hasil laut dengan melarang penggunaan pukat harimau untuk menangkap ikan. Mencegah dan menanggulangi pencemaran, terutama oleh minyak bumi. Beberapa caranya ialah:
Cara mekanis :
• Melokalisir tumpahan minyak dengan oil boom
• Pengumpulan tumpahan minyak dengan oil skimmer
• Penyerapan dengan oil sorbent
Cara kimia:
• Pemecahan dengan zat kimia yang tidak beracun bagi biota laut
Cara mikrobiologi:
• Pemecahan senyawa hidrokarbon oleh mikroba.

Ekosistem Pantai Tropis 
Pada ekosistem pantai ini dapat ditemukan berbagai ekosistem yang berdekatan satu dengan yang lain, yaitu hamparan rumput laut dan ganggang, terumbu karang, pantai pasir, delta, estuarium, teluk, laguna, hutan mangrove, hutan rawa pasang surut, dataran berlumpur, dan rawa payau. Ekosistem tersebut biasanya berdekatan dan bahkan dihuni manusia dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Karena itu, ekosistem ini menjadi sasaran berbagai kegiatan manusia sehingga berdampak pada lingkungannya.

Ekosistem pantai yang populer disebut wilayah pesisir ini merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam. Beberapa ekosistem pantai tropis itu sbb.

Estuarium 
Lokasinya ialah di mulut sungai atau muara sungai, sebagai penghubung antara laut dan darat. Secara ekologis, muara sungai ini memiliki fungsi penting, yaitu tempat bertelur dan pemijahan ikan dan hewan akuatik lainnya, tempat ikan dan hewan akuatik mencari makanan, pintu masuk bagi ikan dan hewan akuatik lainnya yang migrasi dari laut ke perairan tawar atau sebaliknya.

Di ekosistem estuarium ini terjadi pertemuan antara air asin dan air tawar. Air tawar dari darat membawa unsur hara dan mineral yang memperkaya kondisi lingkungan sehingga tinggi produktivitasnya. Kekayaan bahan makanan di estuarium ini tidak hanya terbatas di muara sungai, tetapi bisa sampai ke laut lepas. Di Laut Jawa misalnya, produktivitasnya bisa meluas hingga ke laut lepas asalkan tidak tercemari oleh kegiatan manusia.

Delta  
Delta ialah pembentukan lahan secara alami yang menjorok ke garis pantai sebagai hasil dari proses pengendapan lumpur di muara sungai. Ini bisa terjadi di mana-mana. Di kawasan tropis yang sering memiliki daerah aliaran sungai yang landai di sekitar muara, perkembangan Delta tampak jelas. Delta selalu dipengaruhi oleh kondisi laut dan darat. Delta, dalam mata ajar atau mata kuliah matematika, kalkulus, disimbolkan dengan segitiga, artinya adalah tambahan. Jadi, Delta adalah tambahan lahan di muara. 

Hutan Mangrove 
Hutan mangrove di wilayah pesisir merupakan ekosistem yang kaya dan banyak tersebar di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hutan ini ditumbuhi oleh banyak jenis pohon dan perdu, juga ada rumput, tumbuhan menjalar dan merambat, paku-pakuan dan tumbuhan epifit lainnya. Pohon-pohon di hutan mangrove bisa mencapai ketinggian 10 m, memiliki kekayaan jenis hingga 20 - 30 spesies. Keistimewaannya, tumbuhan yang hidup di hutan ini acapkali mampu tumbuh di tempat asin (laut) dan air tawar, dan tempat-tempat yang terpengaruh oleh kawasan pasang surut air laut.


Tugas Selanjutnya adalah menulis RESUME artikel di bawah ini. 

Siklus Hidrologi

PESONA LAUT

Silabus Buku Kelautan

Banjir Sejagat

Global Warming
ReadMore »

27 September 2010

Peta Hijau, Kado Ultah Kota Bandung

Genap 200 tahun usia Kota Bandung pada 25 September 2010. Tanggal ini berkaitan dengan keputusan pemerintah Hindia Belanda pada 1810 lewat gubernur jenderalnya: Daendels untuk mulai membangun daerah pegunungan ini. Pada waktu itu Bandung dipimpin oleh Bupati R. A. Wiranatakusumah II yang berkedudukan di Dayeuhkolot. Atas perintah Daendels kepada bupati yang bergelar Dalem Kaum tersebut, ibukota lantas dipindahkan ke Alun-alun Kota Bandung (sekarang).

Kalau dibandingkan dengan manusia, usia 200 tahun tentu usia renta. Nyaris tiada manusia yang usianya 200 tahun. Namun demikian, bagi sebuah kota, usia belum bisa dijadikan parameter linier terhadap kemajuan dan ketertiban kota. Ada kota yang baru beberapa puluh tahun usianya tetapi sudah lengkap fasilitas umum dan sosialnya, kawasan komersial dan permukimannya ditata dan warganya taat-tertib pada peraturan. Ada juga yang sudah tua tetapi belum bisa disebut sebagai kota maju atau modern, malah kantong-kantong kumuhnya (slum area) bertebaran. Ada satu kekhasan kota-kota besar termasuk Kota Bandung, yaitu masalah kependudukan dan lingkungan.

Agenda Lingkungan
Dalam hal lingkungan, ada lima agenda krusial di Kota Bandung sehingga mendesak dibuatkan solusinya, yaitu air minum, air limbah, polusi udara, drainase, dan sampah. Lima agenda ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk Kota Bandung yang mencapai 2,4 juta orang dan menjadi kota terpadat di Jawa Barat, nomor empat terpadat di Indonesia. Apabila ditambah dengan pekerja yang domisilinya di luar Kota Bandung tetapi bekerja di Kota Bandung maka jumlahnya menjadi lebih banyak. “Warga siang” ini ikut menambah beban lingkungan di Kota Bandung, baik di sektor air minum, air limbah, pencemaran udara, dan persampahan.

Drainase mulai terasa manfaatnya ketika hujan, terutama hujan deras yang menimbulkan genangan, bahkan banjir di beberapa lokasi. Kemacetan lalu-lintas yang terjadi akibat banjir ini memperparah polusi udara di Kota Bandung yang selanjutnya berdampak langsung-tak langsung pada pencemaran sayuran dan produk pertanian-peternakan di tatar Bandung. Dengan jumlah penduduk 2,4 juta orang itu, belum termasuk “warga siang”, beban pencemaran sungai menjadi berat dan banyak membutuhkan air minum. Apabila 80% air minum berubah menjadi air limbah maka dapat dibayangkan, betapa luas kebutuhan lahan untuk IPAL-nya. Lantas, mampukah instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Bojongsoang mengolahnya?

Agenda berikutnya ialah persampahan. Mengelola sampah, faktanya, jauh lebih rumit dibandingkan dengan mengelola air limbah. Air limbah (liquid waste, wastewater) jauh lebih mudah dikelola dibandingkan dengan sampah atau limbah padat (solid waste). Itu sebabnya, pengelolaan sampah lebih “heboh” daripada air limbah yang sebetulnya juga parah tetapi “tak tampak” nyata di mata masyarakat. Namun air limbah ini pun diam-diam bisa menjadi musuh, tiba-tiba “meledak” lantas menimbulkan masalah besar bagi lingkungan dan manusia, persis kasus longsor TPA Leuwigajah.

Peta Hijau Persampahan
Persampahan adalah tema pokok artikel ini yang dikaitkan dengan upaya pembuatan Peta Hijau (Green Map) Persampahan Kota Bandung. Karena masih rintisan atau baru kali pertama dibuat, bisa dikatakan bahwa Peta Hijau Persampahan Kota Bandung ini menjadi peta pertama di Indonesia, bahkan di dunia, demikian rilisan draft peta Forum Hijau Bandung yang diamanati tugas oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Ditjen Penataan Ruang. Seperti halnya peta biasa, Peta Hijau ini pun didasarkan pada peta geografis Kota Bandung. Bedanya, Peta Hijau ini dilengkapi dengan ikon (gambar, simbol) yang dikaitkan dengan pengelolaan dan pengolahan sampah. Ikon yang dihadirkan di dalam peta tematik persampahan ini merujuk pada Green Map International. Ikonnya sama, hanya bahasanya yang berbeda dan sedikit perbedaan pada deskripsinya agar lebih komunikatif dan mudah dipahami oleh masyarakat yang tidak berlatar ilmu dan teknik lingkungan.

Ada delapan ikon yang diadaptasi untuk merepresentasikan persampahan di Kota Bandung. Ikon kesatu untuk Usaha Produk Hijau. Sesuai dengan namanya, lokasi di peta yang ditandai oleh ikon ini menyatakan bahwa di tempat ini diproduksi dan dijual produk-produk berwawasan dan ramah lingkungan. Masyarakat Kota Bandung dapat memberikan apresiasi dengan cara membeli dan menggunakan produk yang dijual di tempat ini. Kedua, Lokasi Barang Bekas. Daerah yang diikoni oleh gambar tersebut adalah lokasi transaksi jual-beli barang bekas, tukar-menukar barang bekas, baik barang bekas campuran maupun barang bekas khas seperti kertas saja, botol plastik saja, logam saja, elektronik saja, dll.

Ikon selanjutnya ialah Lokasi Daur Ulang. Di lokasi ikon ketiga ini ditampung semua barang bekas yang dapat diolah kembali menjadi barang seperti semula atau barang baru. Misalnya, bungkus bekas menjadi barang kerajinan, kertas bekas menjadi kertas daur ulang, dll. Transaksi jual-beli pun bisa dilaksanakan di sini atau sebagai tempat belajar dan percontohan tatacara - tatakelola daur ulang sampah. Yang keempat, Lokasi Pengomposan. Pengomposan adalah bagian penting dalam pengelolaan sampah kota, terutama di Kota Bandung yang kaya sampah organik dan lokasinya di pegunungan yang bercurah hujan tinggi. Ikon ini menyatakan bahwa di lokasi inilah disediakan fasilitas pengolahan sampah organik (sisa makanan, daun, sampah mudah busuk lainnya) menjadi kompos. Di sini juga dijual biota cacing, bakteri, dll yang berperan dalam pengomposan.

Sekolah Hijau adalah ikon kelima. Persampahan selalu berkaitan dengan karakter orang atau masyarakatnya. Pendidikan karakter ini pun menjadi penting jika dikaitkan dengan persampahan. Oleh sebab itu, sekolah yang dilabeli ikon ini dianggap sudah berkomitmen pada pengelolaan sampah dan aktif dalam klub atau ekstrakurikuler yang berwawasan lingkungan. Keenam, LSM atau Organisasi Masyarakat. Tak dapat dimungkiri, LSM atau ormas ikut berperan aktif yang positif dalam pengelolaan sampah kota. Simbol ini menyatakan bahwa di lokasi tersebut ada LSM atau ormas yang berkomitmen pada pengelolaan sampah dan dapat memberikan informasi serta kegiatan rutin di bidang persampahan.

Ketujuh, Ahli Lingkungan. Lokasi di peta yang diikoni oleh gambar ini menyatakan bahwa masyarakat dapat memperoleh informasi, ilmu dan teknologi di bidang lingkungan, khususnya persampahan di tempat tersebut. Perguruan tinggi, LSM, dan ormas dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat. Kedelapan, TPS Terpadu. Daerah yang berikon ini dianggap sudah memiliki TPS (Tempat Penyimpanan Sementara Sampah) dan sudah melaksanakan kegiatan 3R (reduce, reuse, recycle) dan pengomposan sehingga dapat dijadikan contoh bagi TPS lainnya yang belum terpadu.

Masih ada beberapa poin lain di dalam draft Peta Hijau yang belum ditulis dalam artikel ini. Intinya, tulisan ini bermaksud memberikan informasi kepada masyarakat bahwa Kota Bandung yang berusia 200 tahun ini akan menjadi kota pertama di Indonesia yang memiliki Peta Hijau Persampahan. Peta ini mudah-mudahan sebagai wujud keseriusan masyarakat (dan pemerintah) dalam membuat solusi masalah sampah di Kota Bandung. Seluruh kota dan kabupaten di Indonesia diharapkan ikut membuat peta ini sebagai media informasi dan pendidikan bagi masyarakatnya.

Akhir kata, Peta Hijau yang bertema sampah hanyalah tahap awal dari serangkain Peta-Peta Hijau lainnya yang harus dimiliki oleh Kota Bandung agar masyarakat ikut terlibat dalam kepedulian terhadap lingkungan. Peta Hijau tematik selanjutnya yang harus dibuat ialah Peta Hijau Air Minum, Peta Hijau Air Limbah, Peta Hijau Polusi Udara, dan Peta Hijau Drainase.

Selamat ulang tahun Kota Bandung, Bunganya Kota-kota Pegunungan di Nusantara (der bloem der indische bergsteiden).
ReadMore »

26 Agustus 2010

Wacana (Baru) Per-TA-an di Teknik Lingkungan

Wacana (Baru) Per-TA-an di Jurusan Teknik Lingkungan
Kecil itu Indah

Oleh Gede H. Cahyana
----------------------------------------------------
Latar Belakang
Ceruk pasar yang membesar terus di bidang Teknik Lingkungan, khususnya air limbah, air minum, pencemaran udara, persampahan, dan kesling-K3. Lebih khusus lagi di sektor air limbah yang menjadi fokus bahasan tulisan ini (di bagian akhir). Fenomena tersebut disebabkan oleh berbagai peraturan dalam wujud undang-undang, PP, kepmen, hingga peraturan daerah di berbagai kabupaten/kota yang muaranya sama, yaitu upaya pelestarian fungsi lingkungan, yang menjadi isu nasional Indonesia, regional ASEAN, dan global.

Maksud
Tulisan ini bermaksud membuka wacana (baru) per-TA-an di tingkat strata satu jurusan Teknik Lingkungan di Indonesia yang dikaitkan dengan muatan inti kurikulumnya dan pasar kerja yang berubah (cenderung membesar).

Tujuan
Memperluas dan memperdalam ceruk pasar kerja alumni Teknik Lingkungan yang bisa dimulai dari Tugas Akhir mahasiswanya, sebagai penguatan terhadap kurikulum.

Pendahuluan
Mengikuti tradisi historis di ITB, setiap mahasiswa diwajibkan menyelesaikan satu mata kuliah terakhir, yaitu Tugas Akhir yang satu paket keberadaannya dengan MK Seminar. Walaupun ada perbedaan (sedikit) dengan beberapa perguruan tinggi yang membuka jurusan atau program studi Teknik Lingkungan, tetapi hakikatnya sama, khususnya dalam pembagian jenis-jenis Tugas Akhir.

Secara garis besar TA di TL bisa dibedakan menjadi dua grup, yaitu (1) penelitian dan (2) perancangan (desain). Penelitian ini masih dibagi lagi menjadi dua: penelitian di laboratorium dan penelitian di lapangan. Penelitian di laboratorium lebih menekankan pada aspek kinerja sebuah objek penelitian yang sampling dan analisisnya dilaksanakan di laboratorium. Penelitian lapangan juga bisa saja memanfaatkan laboratorium sebagai pusat analisis karakteristik fisika, kimia, dan biologi objek penelitian tetapi samplingnya diambil di lapangan, baik dalam skala pilot plant maupun full-scale. Juga sampling di bidang sosial ekonomi yang dikaitkan dengan layanan prasarana air minum, air limbah, persampahan, dll.

Perancangan (desain) lebih banyak berorientasi pada desain di bidang air minum, baik berupa sistem transmisi dan distribusi, maupun sistem pengolahannya. Begitu juga di sektor air limbah, ada yang mendesain sistem pengumpulan air limbah (kolektor), yakni sewerage-nya, bisa juga pengolahannya. Dianggap masih berkaitan dan sering dibuat dalam satu paket dengan sewerage, terutama TA master-plan adalah sistem penyaluran air hujan, pematusan air hujan atau drainase. Hanya saja, di dunia kerja, porsi ini lebih sering dimanfaatkan oleh sarjana Teknik Sipil atau Pengairan.

Sistem pengolahan air limbah atau IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) menjadi topik menarik berikutnya. Objek studinya lebih mengarah pada sistem pengolahan air limbah domestik sebuah kota sehingga kapasitasnya menjadi besar. Selanjutnya ialah subsektor persampahan, baik segmen transportasinya maupun pengolahannya, misalnya desain sistem lahan urug saniter (sanitary landfill, sanfil) atau lahan urug terkendali. Bidang pencemaran udara lebih menekankan pada aspek kualitas dan kuantitas polutannya, belum memberikan opsi solusi kecuali sumber polutannya dari sebuah pabrik, minimal skala menengah ke atas. Pabrik kecil nyaris tidak memikirkan cara untuk mengurangi pencemaran terhadap udara. Adapun kesling-K3 lebih mengarah ke industri dan perusahaan-perusahaan besar di sektor minyak, gas, dan pertambangan lain.

Perubahan Ceruk Pasar
Dalam pandangan yang klasik-konservatif, keahlian sarjana Teknik Lingkungan ada di bidang air dan sanitasi (watsan, water – sanitation). Dulu, pada periode 1962-1984, sejak berupa embrio dan mulai melepaskan diri dari jurusan Teknik Sipil ITB, jurusan ini bernama Teknik Penyehatan (TP). Keahlian yang diinginkan terhadap alumninya tercermin di dalam kurikulum TP pada masa itu yang banyak mengadopsi kurikulum Teknik Sipil. Bahkan nuansa kesipilannya begitu kental, sampai-sampai alumninya ada yang mampu merencanakan, merancang, dan membuat bangunan-bangunan (khususnya bangunan air) lengkap dengan perencanaan strukturnya yang memenuhi kaidah-kaidah kesipilan tanpa dibantu sarjana Teknik Sipil. Kemampuan tersebut diperoleh sebagai akibat logis dari struktur kurikulumnya yang memang kuat di bidang kesipilan, seperti menggambar teknik, drainase, mekanika teknik, mekanika tanah, perencanaan struktur, konstruksi beton-baja, hidrolika, bangunan air, dan mata kuliah kesipilan lainnya. Selain perkuliahan, masih ditambah pula dengan intensitas asistensi yang ketat dari mahasiswa Teknik Sipil, selain dosen-dosennya memang dari jurusan Teknik Sipil.

Oleh sebab itu, dapat dimaklumi apabila alumni TP pada dekade sebelum 1990 lebih banyak yang berkecimpung di bidang Pekerjaan Umum (PU) dan PDAM. Meskipun belum mayoritas, banyak direktur utama di PDAM berasal dari alumni TP atau minimal menjadi direktur teknik. Tetapi ini pun masih dipengaruhi oleh “rasa-hati” para bupati dan walikota yang memegang posisi menentukan dalam pemilihan direksi PDAM, sebelum masuk ke era “pemilu” lewat fit & proper test di DPRD. Bisa dikatakan, alumni gelombang pertama ini masih memegang posisi menentukan di beberapa departemen atau dinas-dinas PU atau apapun nama dinasnya sampai sekarang. Maka, menjadi sangat wajar ketika banyak di antara mereka yang merasa “kurang sreg” pada kondisi alumni TL (atau TP) pada periode setelah 1990 hingga sekarang.

Dalam percakapan dengan kalangan alumni gelombang satu itu muncullah lontaran yang “menyayangkan” kondisi alumni TL yang sangat kurang di bidang kesipilan. Mereka bertanya-tanya, mengapa kemampuan lulusan TL tidak mampu mendesain secara detail, misalnya, sistem distribusi dengan perangkat pendukungnya sehingga siap dikonstruksi tanpa banyak revisi. Mereka mempertanyakan juga kemampuan alumni di bidang unit operasi dan unit proses yang dianggapnya lemah, kurang menguasai ilmunya. Ini terjadi karena mereka membandingkannya dengan pengalaman masa kuliah dan masa kerjanya yang memang di bidang itu, sedangkan pada saat yang sama, sudah terjadi perubahan jenis, jumlah dan kebutuhan lapangan kerja di masyarakat terutama 15 tahun terakhir ini.

Struktur kurikulum TL sekarang memberikan kesempatan kepada mahasiswanya untuk menjadi generalis di bidang TL dan juga menjadi spesialis dalam satu bidang tertentu, yang harus dikuatkan oleh Tugas Akhir yang diambilnya. Mahasiswa yang ingin bekerja di PDAM, misalnya berasal dari daerah, khususnya di luar Jawa, mereka dapat membuat TA di bidang sistem transmisi-distribusi, juga pengolahan air dengan studi kasus langsung di tempat asalnya. Hasil TA-nya dapat dijadikan pelengkap ketika melamar kerja di PDAM atau di dinas PU setempat. Yang ingin bekerja di dunia industri, bisa juga ber-TA di bidang tersebut dan memperdalam ilmunya untuk kemudian melamar kerja di industri seperti perusahaan tambang, minyak, gas. Atau menjadi PNS di dinas-dinas pertambangan, geologi tata lingkungan, dinas lingkungan hidup, bahkan di rumah sakit atau sentra-sentra kesehatan lainnya. (Tentu saja menjadi pengusaha, entrepreneur sangat diapresiasi, baik di bidang yang berkaitan dengan ke-TP-TL-an, maupun tidak).

Kupasan di atas mencerminkan telah terjadi pergeseran ceruk pasar di bidang ke-TL-an, tentu saja tanpa menghilangkan potensi pasar yang sudah klasik-tradisional TP. Yang dibutuhkan ialah penguatan di bidang-bidang baru yang muncul bersamaan atau sebagai akibat dari sektor-sektor pekerjaan baru, semisal di industri, pertambangan, minyak, gas, dan sejenisnya. Atau, kalau muatan kurikulum yang harus dipelajari mahasiswa menjadi sangat padat dan tidak mungkin berbagi dengan muatan inti kurikulum klasik TL (TP) (apalagi beban yang diwajibkan antara 132 - 144 SKS; 7 - 8 semester), maka dapat dibuat menjadi dua subjurusan atau dua prodi yang mulai berpisah ketika di semester lima misalnya. Tetapi apabila terjadi dua arus yang sama besar, maka mau tak mau, percabangan prodi menjadi alternatif yang wajar dipertimbangkan oleh semua dosen TL dengan mengedepankan kemajuan jurusan dan alumninya dan demi memperluas area pekerjaan alumni serta lebih “memperkenalkan” keilmuan TP-TL kepada masyarakat dengan tetap menghargai eksistensi Kelompok Keahlian (KK) yang ada.

Dalam pada itu, bidang TP dan bidang TL begitu luas sehingga sering muncul kesan, baik di dalam diri alumninya maupun kesan dari alumni jurusan lain yang “agak” dekat dengan TL seperti Sipil, Teknik Kimia, Kimia, dan Akademi/Sekolah Tinggi Kesehatan Masyarakat (Lingkungan), bahwa keahlian TL berada di awang-awang atau “apungan”. Perasaan itu muncul lantaran selama kuliahnya, mahasiswa memperoleh ilmu yang dirasakannya setara semua dan pada waktu membuat TA masih dalam taraf yang “kurang dalam” atau hanya “selaput”-nya. Ini terjadi, karena di dunia akademis berlaku hukum alam yang menyatakan bahwa keahlian atau spesialisasi seorang alumni ditentukan oleh TA yang diselesaikannya dengan baik. Ini berlaku bagi S1, S2, apalagi S3. Ini pula yang akhirnya mengembangkan berbagai macam bidang keahlian di jurusan TL (dan jurusan lainnya) yang representasinya adalah Kelompok Keahlian (KK).

Studi Kasus: Pengolahan Air Limbah
Salah satu pasar kerja yang terus membesar di seluruh dunia adalah bidang air limbah seiring dengan perluasan industri dan perkembangan penduduk yang menimbulkan air limbah di mana-mana. Kenaikan jumlah penduduk otomatis menambah jumlah air limbah yang dibuang ke lingkungan. Begitu juga di sektor pelayanan komersial terus meningkat, seperti rumah sakit, hotel, sekolah, kampus, kantor, asrama, apartemen, supermarket, pabrik, dan banyak lagi yang lain. Semuanya membutuhkan air bersih atau air minum dan semuanya berakhir menjadi air limbah, baik air limbah domestik maupun air limbah industri atau air limbah campuran. Belum lagi air limbah yang berkategori Buangan Berbahaya dan Beracun (B3).

Untuk air limbah yang kategorinya B3, penanganannya tentu lebih khusus dan memiliki prosedur standar yang berlaku, baik dalam pengepakan, transportasi, pengolahan, dan pembuangannya. Malah timbulan sludge-nya pun masih juga harus ditangani secara spesifik. Tulisan ini keluar dari pakem penanganan B3 dan lebih fokus pada pengolahan air limbah non-B3 yang lebih mudah diolah dan lebih banyak potensi pekerjaannya meskipun faktanya, air limbah yang berasal dari kawasan domestik pun banyak yang mengandung B3. Kejadian ini sebagai insidental dan “dapat dimaklumi” lantaran sulit dihindari. Ini menjadi salah satu ancaman serius bagi keberlangsungan proses biologi aerob - anaerob apabila tidak didahului oleh pengolahan kimia.

Disebut di atas, pasar kerja TL terus meluas di sektor air limbah. Satu contohnya ialah jasa konsultan. Selama ini kebanyakan alumni TL bekerja di perusahaan konsultan untuk mendesain projek yang dananya bersumber dari pemerintah (APBN-APBD) atau dari dana pinjaman luar negeri. Skala pekerjaannya biasanya sangat besar, meliputi sebuah kabupaten atau kota. Sekadar contoh, Bandung Urban Development Project, BUDP I dan II dan hal serupa di sejumlah kota besar lainnya di Indonesia. Dengan asumsi bahwa semua kota/kabupaten membutuhkan fasilitas sewerage dan IPAL-nya maka peluang pekerjaan ini meliputi seluruh kabupaten/kota di Indonesia, lebih dari 500 unit. Hanya saja, tidak semua kabupaten/kota berminat kuat membuat sewerage + IPAL yang mahal sekali biayanya itu sehingga menjadi beban utang daerah. Kalau pola pikir ini terus berlangsung, maka peluang ini justru berubah menjadi ancaman kekurangan pekerjaan bagi alumni TL kecuali ada “kebijakan memaksa” terhadap semua kepala daerah yang dikuatkan dengan undang-undang atau PP atau peraturan lainnya.

Namun untungnya, persoalan air limbah bukan hanya milik pemerintah daerah tetapi juga milik masyarakat yang menjalankan bisnisnya sehari-hari. Berbagai sentra bisnis seperti hotel, rumah sehat/sakit (swasta, pemerintah), kawasan perumahan, supermarket, asrama, sekolah, kampus, puskesmas, klinik, apalagi kawasan industri dan pabrik. Semua unit bisnis tersebut membutuhkan air bersih kemudian menimbulkan air limbah. Hingga sekarang, kebanyakan masih menggunakan cubluk, septic tank, baik yang sudah sesuai dengan standar desain maupun yang asal-asalan atau bahkan dibuang langsung ke selokan, sungai. Ditambah lagi oleh potensi pasar di setiap rumah tangga (household) dan komunal dalam satu RT-RW. Ini semua menjadi peluang besar bagi alumni TL untuk menyalurkan kemampuan rekayasanya di bidang IPAL tanpa berkutat pada sewerage system yang luas dan besar sehingga bisa mengurangi bangunan pelengkapnya kecuali beberapa manhole saja. Di sini pulalah letak inovasi Tugas Akhir yang sudah dibahas di atas.

Mari dianalisis, apa yang akan terjadi kalau banyak mahasiswa TL membuat inovasi desain IPAL khusus untuk skala kecil kemudian hasil desainnya ditawarkan ke berbagai sentra bisnis. Tentu akan banyak berkembang paket-paket pengolahan yang terbaru dan inovatif. Malah mahasiswa dapat bekerja sama dengan (calon) pengguna TA-nya sehingga biayanya bisa ditanggung oleh calon kliennya itu. Memang, apabila dipandang dari tradisi per-TA-an di TL, maka dapat muncul masalah ketika ditanyakan kapasitas atau debit air olahannya. Sebab, debit air limbah di sentra-sentra bisnis tersebut kurang dari 5 l/d, mayoritas di bawah 2 l/d, sedangkan tradisi TA berdebit lebih dari 20 l/d, bahkan ada yang 250 l/d. Mungkin di sinilah terjadi diskusi “hangat” di antara dosen TL lantaran secara tradisi (termasuk pengalaman dosen tersebut pada waktu TA di S1 dulu, baik yang bernaung di bawah TP maupun TL) menghendaki area studinya berupa kawasan yang luas, sebuah kabupaten/kota atau kawasan luas yang tercermin di dalam debit air olahannya.

Dengan kata lain, tradisi desain sewerage dan IPAL di TL lebih mengarah pada daerah yang luas dengan debit air limbah yang besar, dengan unit proses-operasi konvensional seperti tertera di dalam buku ajar (textbook): conventional activated sludge, trickling filter, oxidation pond, grit chamber, primary-secondary settling tank, dll. Padahal, seperti ditulis di atas, tidak semua kabupaten-kota bersedia berutang ratusan milyar hanya untuk membangun fasilitas pengelolaan dan pengolahan air limbah. Apalagi untuk melayani seluruh daerah yang terpencar jauh, sangat boros dan nyaris mustahil untuk melayani pengelolaan dan pengolahan air limbah di satu lokasi terpusat karena ada kendala topografi dan uang. Daerah-daerah yang memiliki fasilitas sewerage dan IPAL besar, apapun jenis teknologi aerasinya, sampai sekarang masih dibebani utang yang belum mampu dibayarkan. Bahkan bunga utangnya pun belum mampu dibayar. Pada saat yang sama, kutipan retribusi tersendat-sendat dan cenderung sulit ditagih dan sering timbul pengaduan oleh masyarakat di media massa.

Oleh sebab itu, muncul peluang luas untuk men-TA-kan IPAL dalam skala mikro, skala di tingkat pengguna kecil dengan hasil optimal atau SUHU: small user, high utility. Ada desentralisasi IPAL dengan operator masing-masing sehingga lebih mudah mengutip retribusinya secara resmi karena kliennya relatif sedikit. Ini kalau sistem IPAL-nya mikrokomunal. Yang IPAL-nya mandiri atau tunggal tentu akan dikelola oleh operator masing-masing sentra bisnis dan petugas pemerintah, misalnya dari Dinas Lingkungan (tanpa kata Hidup). Sekali lagi ditegaskan, desain TA yang mikro ini memiliki deretan persyaratan yang menyetarakannya dengan TA tradisional. Bobot TA (baru) ini wajib menggunakan data desain yang diperoleh dari penelitian sendiri dari model prototipenya atau dari unit yang beroperasi di lapangan atau dengan aturan yang disepakati mayoritas dosen TL. Data riil yang diambil sendiri ini minimal 30% dari data yang diambil dari buku ajar. Sisanya dipersilakan menggunakan data kriteria desain dari buku ajar. Bisa juga memanfaatkan jaringan IATPI atau asosiasi lainnya. Alumni di dalam IATPI tentu banyak memiliki beragam informasi yang terkait dengan TA dari bermacam Kelompok Keahlian. Selesai TA, buku dan desainnya bisa langsung dijual dan diterapkan di tempat studinya. Atau dikembangkan lebih lanjut sehingga akan muncul paket pengolahan air limbah yang inovatif-produktif, tak sekadar buku TA yang dipajang di perpustakaan hingga berdebu dan isinya tak jauh beda antara satu TA dan TA lainnya.

Penutup
Perkembangan yang luas di sektor industri dan bisnis menimbulkan sangat banyak air limbah. Ini membutuhkan teknologi baru yang terus berkembang agar mampu mengolah air limbah, apalagi yang B3 sehingga tidak merusak lingkungan air, tanah, dan udara. Terapan wacana di atas tentu kembali kepada semua dosen TL di Indonesia yang bisa sepaham sehingga tidak terjadi salah pengertian yang berdampak pada kerugian di pihak mahasiswa. Semua TA paket IPAL yang inovatif itu, apabila menjadi produktif maka mahasiswa dan jurusanlah yang akan untung karena, dalam upaya lebih lanjut, dapat dipatenkan. Kampus-kampus negeri yang kuat basis finansialnya akan lebih mudah mewujudkan wacana ini sehingga mampu “menyaingi” kampus (di mancanegara) yang pendapatan terbanyaknya berasal dari paten yang dihasilkan oleh riset dan TA mahasiswanya, juga dosen-dosennya. Jadi, setiap penelitian dan desain, hendaklah tak sekadar memperoleh dana dari pemerintah atau donor lainnya, tetapi juga mengembangkan ilmu & teknologi, yang mungkin menemukan terobosan baru, bahkan temuan baru. Kebebasan akademis di sektor TA ini akan kuat pengaruhnya pada temuan atau “temuan” baru itu. Sebagai sebuah awal, tentu dapat dimaklumi apabila kualitas inovasinya belum bisa “bicara” di tingkat regional, global. Bisa bermanfaat di tingkat nasional saja dan menguntungkan bagi mahasiswa dan dosen pembimbingnya sudah merupakan nilai tambah, minimal bermanfaat secara sainstifik.

Sebagai tambahan, pendidikan yang dijabarkan oleh Tridharma Perguruan Tinggi punya idealisme untuk menghasilkan alumni yang cendekia (scholar) dan setiap pendidiknya pun harus cendekia. Salah satu parameter kecendekiaan alumni ialah melaksanakan TA (penelitian, desain) kemudian hasilnya dipublikasikan secara ilmiah di jurnal maupun ilmiah populer di media massa sehingga riil bermanfaat bagi masyarakat. Tak ayal lagi, TA yang implementatif dan bernilai jual, apalagi dapat dipatenkan, akan mendekatkan sivitas akademika menjadi warga negara akademik (academic citizenship). Di atas disebut bahwa idealisme ini lebih cepat dicapai oleh kampus-kampus negeri yang tinggi komitmennya sehingga mampu bergeser dari kondisi Teaching University ke Research University, lalu berakhir di Entrepreneural University. Di universitas wirausaha inilah konsep TA seperti dimaksud makalah ini dapat berkembang biak dengan baik. Di sinilah terjadi interaksi ABG: academicians, business, government. Akademisi (dan mahasiswanya tentu saja) kreatif-inovatif dalam menghasilkan produk, kemudian diproduksi massal oleh dunia bisnis (industri) yang didukung pemerintah agar kondusif, baik berupa hibah dana maupun dukungan berupa peraturan/undang-undang karena pemerintah pun perlu membangun kondisi ekonominya demi image di mata masyarakat (terutama menjelang Pemilu).

Universitas (atau institut seperti ITB), meskipun sebagai lembaga nirlaba (ataukah sudah bukan nirlaba lagi melainkan BHMN), tetap saja mengikuti hukum ekonomi: cost dan revenue. Cost bisa dengan peningkatan efisiensi dan revenue tidak selalu (tidak harus) dengan biaya kuliah yang mahal dan tidak bergantung pada pemerintah. Dalam konteks universitas wirausaha, revenue adalah menghasilkan sumber pendapatan di luar sumber konvensional (yakni: SPP dan bantuan pemerintah) tetapi dengan TA yang bernilai jual lantaran kreatif-inovatif-produktif, baik di S1, S2, maupun S3.

Akhir kata, kecil itu indah. Tinggal sekarang, adakah yang mau memulainya? TL ITB, sebagai lembaga yang mapan dan besar, berkesempatan sebagai the avant garde.*
---------------------------------------------------

(Makalah ini disampaikan dalam seminar mahasiswa di Jurusan Teknik Lingkungan ITB, di Student Center Timur, 19 Agustus 2010).
ReadMore »

30 Juli 2010

Sistem Transmisi









































Sistem (atau subsistem) distribusi sudah dibahas di Majalah Air Minum edisi 126, Februari 2006 dengan judul Distribusi, “Pembuluh Darah PDAM”. Edisi kali ini menampilkan satu bagian lain dalam sistem penyediaan air minum, yaitu sistem (subsistem) transmisi. Sebagai sebuah sistem, penyediaan air minum komunal terdiri atas beberapa subsistem, yaitu subsistem sumber air (collection system), subsistem transmisi, subsistem pengolahan (treatment system), subsistem reservoir (storage system), dan subsistem distribusi.

Fungsi transmisi (transmission) adalah mengalirkan air dari sumbernya (collection system) ke awal sistem distribusi. Jarak antara sumber air dan sistem distribusi boleh jadi berkilo-kilometer tetapi bisa juga dekat, hanya satu dua kilometer. Kualitas air yang ditransmisikannya bisa berupa air baku, bisa juga air bersih (olahan, baik setengah diolah maupun sudah selesai diolah). Jenis salurannya dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu saluran terbuka (open channel, free-flow conduit), saluran tertutup (aquiduct, closed conduit), dan pipa. Sepanjang jalurnya disediakan fasilitas bangunan pelengkap seperti jembatan pipa, sifon, terowongan (tunnel), pintu air, beragam jenis valve, dll. Secara fungsi, saluran terbuka selalu digunakan untuk mengalirkan air baku sedangkan saluran tertutup bisa untuk air baku bisa juga untuk air bersih tapi dengan pengamanan. Adapun pipa dapat digunakan untuk menyalurkan air baku dan air bersih.

Ditinjau dari cara pengalirannya transmisi air dapat dilakukan secara gravitasi dengan saluran terbuka, saluran tertutup, dan pipa dan bisa juga dengan pemompaan yang menggunakan pipa atau saluran tertutup bertekanan. Yang patut diperhatikan dalam sistem transmisi ialah kecepatan alirannya agar jangan terlalu tinggi. Caranya dengan menghitung beda ketinggian antara sumber air dan daerah distribusinya. Beda tinggi ini disebut tekanan yang tersedia (potential atau available head). Apabila menggunakan pompa, maka kecepatan air haruslah yang ekonomis dengan mempertimbangkan harga pipa per satuan diameter dan harga pompa per satuan daya. Di antara dua cara tersebut, sistem gravitasi jauh lebih unggul, murah, dan mudah dalam operasi-rawatnya.

Penempatan sistem transmisi, alur pipa atau trace menjadi hal penting selanjutnya. Yang terbaik adalah dengan meletakkan sistem sealur dengan topografi tanah setempat tetapi tetap mempertimbangkan biaya investasi dan kemudahan perawatannya tanpa mengorbankan tekanan air. Umumnya tepi jalan dan sepanjang jalur jalan raya menjadi pilihan utama karena mudah dikontrol dan cepat dapat diperbaiki kalau terjadi kerusakan. Upayakan memilih lokasi yang sedikit memerlukan perlengkapan sistem transmisi dan sedapat mungkin dicarikan lokasi untuk pengurasan pipa di dekat sungai. Semua itu hendaklah mengacu pada biaya investasi yang rendah dengan cara membuat jalur pipa yang sependek-pendeknya.


Bentuk Saluran
Uraian bentuk saluran yang disebut di atas diberikan berikut ini.

Saluran terbuka
Jenis saluran ini hanya untuk menyalurkan air baku yang tekanannya sama dengan tekanan atmosfer dan biasanya untuk mengalirkan air yang besar debitnya. Dibandingkan dengan pipa, saluran terbuka bisa lebih murah karena dapat menggunakan saluran berbahan tanah dengan pengaturan kemiringan saluran (slope) dan dindingnya (talud). Besar kecilnya slope dan talud bergantung pada jenis tanahnya. Saluran ini bisa juga dibuat dari pasangan batu kali, batu bata, atau beton.

Kekurangan atau kelemahan saluran terbuka adalah harus mengikuti garis gradien hidrolis (hydraulic grade line, HGL) yang mempengaruhi kecepatan airnya (dipengaruhi oleh slope-nya). Apabila kecepatan airnya terlalu rendah maka timbul endapan di sepanjang saluran. Untuk menghindari endapan ini disarankan kecepatan minimum air yang berlumpur kurang lebih 0,6 m/d. Kelemahan berikutnya ialah besarnya kehilangan air akibat penguapan, rembesan, atau diambil oleh warga di sekitar saluran. Bahaya lainnya adalah saluran itu digunakan sebagai tempat pembuangan air limbah, sampah, kotoran ternak, ditumbuhi rumput atau pohon berkayu. Bahkan dapat terjadi kebocoran saluran karena digali oleh tikus, cerurut.

Dilihat dari bentuknya, penampang saluran terbuka bisa berupa setengah lingkaran sehingga dapat meminimumkan endapan yang terjadi. Pada debit yang besar saluran terbuka biasanya dibuat berpenampang trapezium meskipun potensi endapannya terjadi di sudut-sudut saluran. Namun pada debit yang relatif kecil saluran bisa berbentuk persegi atau persegi panjang yang lebih hemat lahan sehingga lebih murah per panjang yang sama dengan bentuk penampang lainnya.

Saluran tertutup
Jenis saluran tertutup ini juga untuk debit yang besar dan bisa diperkeras dengan batu kali, batu bata atau beton. Didasarkan pada posisi garis gradien hidrolisnya (HGL), saluran tertutup ini dapat dibedakan menjadi empat jenis. 1. Saluran yang mengikuti permukaan tanah dan HGL-nya tepat pada saluran. 2. Saluran yang berada di bawah HGL sehingga sifatnya menjadi bertekanan dengan air yang memenuhi seluruh penampang saluran. Posisinya bisa berada di atas tanah, bisa juga di bawah tanah. 3. Terowongan (tunnel) yang bertekanan atmosfer sehingga aliran airnya tidak memenuhi saluran. 4. Terowongan yang bertekanan karena posisi salurannya di bawah HGL. Hanya saja, bangunan pelengkap saluran jenis ini lebih mahal daripada saluran pipa.

Pipa
Pipa adalah jenis bahan untuk saluran air yang umum digunakan oleh PDAM, baik untuk air baku, air setengah olahan maupun air bersih. Bahan pipanya bisa bermacam-macam seperti besi/baja, beton, asbes, PVC, dll. Jenis bahan pipa yang dipilih harus dikaitkan dengan kualitas airnya, apakah korosif ataukah tidak. Kekuatan terhadap beban yang berat juga menjadi faktor penting dalam memilih bahan pipa. Besar-kecilnya debit air yang ditransmisikan juga menentukan jenis bahan pipanya. Yang juga penting adalah kemudahan dalam pemasangan pipa dan adanya tenaga kerja yang mampu memasang pipa tersebut.


Perlengkapan Pipa
Agar aliran airnya lancar dan tiada kerusakan yang terjadi, sistem transmisi harus dilengkapi dengan alat-alat yang khusus fungsinya. Skema gambar dan penempatannya dapat dilihat di Gambar 1. Gambar-gambar selanjutnya menerangkan tentang kombinasi saluran terbuka dan tertutup atau pipa, sebaran tekanan pada sistem transmisi gravitasi dan pemompaan.

1. Ventilasi udara (air vent, air valve). Alat ini digunakan sebagai pelepas udara yang ada di dalam pipa transmisi. Udara yang terjebak ini bisa berasal dari udara luar akibat aliran airnya terputus-putus (intermittent) atau karena terjadi turbulensi dan reaksi kimia yang melepaskan gas seperti CO2, H2S, NH3, bergantung pada jenis zat kimia yang ada di dalam air baku. Alat ini juga digunakan untuk memasukkan udara ke dalam pipa agar tidak terjadi vakum yang dapat menyebabkan pipa retak atau pecah. Lokasi pemasangan alat ini di titik-titik tinggi jalur pipa transmisi karena di sinilah terjadi akumulasi udara yang bisa menghambat aliran air.

2. Katup penguras (blow off, wash out, drain valve). Karena fungsinya sebagai penguras endapan (lumpur) di dalam pipa, maka ditempatkan di posisi rendah sistem transmisi dan sebaiknya dekat dengan selokan atau sungai. Endapan (sludge) ini terjadi mungkin karena sistemnya lama tidak digunakan atau karena kecil kecepatan airnya. Alat ini biasa dipasang untuk tansmisi air baku tetapi bisa juga dipasang di pipa transmisi air bersih untuk membuang air, endapan atau kotoran pada saat ada perbaikan pipa. Di sistem distribusi juga perlu dipasang alat ini di tempat-tempat yang tepat.

3. Bak pelepas tekanan (BPT, Break Pressure Tank). Bak ini digunakan sebagai pelepas tekanan air yang terlalu tinggi di dalam pipa menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Gejolak air di bak ini bisa banyak memasukkan udara ke dalam pipa transmisi. Dimensi bak ini bergantung pada waktu detensi yang diinginkan dan harus dikaitkan juga dengan fungsi tambahannya, apakah alat ukur debit dan/atau aerator. Kalau diinginkan menjadi alat ukur, maka bisa dipasang V-notch atau Thomson tetapi jangan asal pasang. Posisi alat ukur harus memperhatikan jarak minimumnya (lihat MAM, edisi 159, Desember 2008: Thompson, Triangular Weir)

Masih ada beberapa perlengkapan lainnya seperti jembatan pipa yang diterapkan apabila pipa melewati sungai atau rel kereta api, sifon, check valve, dll.

Sebagai contoh, berikut ini disebutkan karakteristik sistem transmisi air baku di PDAM Kota Bandung. Bersumber dari Sungai Cisangkuy, air olahan bak prasedimentasi dialirkan secara gravitasi sepanjang 32 km ke IPAM di Jln. Badaksinga, Kota Bandung. Peralatan yang tersedia di sistem transmisinya ialah pressure relief valve, wash out, air valve, nonreturn valve, dan manometer. Selain itu dipasang juga enam titik interkoneksi antara sistem transmisi lama dan yang baru agar aliran airnya dapat dialihkan (bypass), semacam titik darurat (emergency point/channel) apabila ada perbaikan pipa tanpa mengurangi debit airnya secara signifikan. Pipa transmisi lama dipasang tahun 1959 dengan kapasitas 1000 l/d, berdiameter 800 mm – 900 mm, berbahan cast iron pipe. Pipa transmisi baru dipasang tahun 1992 berkapasitas 800 l/d, berdiameter 850 mm, berjenis besi (steel) yang dilapisi semen (cement lining). (Sumber: PDAM Kota Bandung).

Agak berbeda dengan sistem distribusi yang dianalisis dengan Hardy Cross atau software Epanet misalnya (MAM edisi 146, November 2007, Epanet di PDAM Kab. Tangerang), dalam sistem transmisi formula hidrolikanya relatif sederhana karena tidak bercabang atau hanya dua tiga cabang. Sistem transmisi biasanya diformulasikan dalam Hazen-William. Begitu juga Hardy Cross dan Epanet bisa diformulasikan dalam Hazen-William, selain formula yang lain. Pada saluran terbuka dan saluran tertutup bisa diterapkan formula seperti Chezy dan Manning.


Q = debit air, m3/d
C = koefisien Hazen-William
d = diameter pipa, m
S = (h/l) = kemiringan hidrolis
hl = headloss, m
l = panjang pipa, m

Gambar 1. Pada gambar ini diperlihatkan lokasi katup udara (air valve) di “puncak” tanah dan katup penguras (drain valve) di bagian rendah sistem transmisi. Tampak juga HGL yang miring menuju BPT (break pressure tank) dan dari BPT ini ada HGL dan static head baru. Bergantung pada beda tinggi antara daerah distribusi dan sumber airnya, jumlah BPT bisa lebih dari satu.

Gambar 2. Tampak sistem transmisi gabungan antara saluran terbuka (open channel, free-flow conduit) dan saluran tertutup bertekanan atau pipa (pressure conduit). Bagian saluran yang bertekanan berupa sifon karena melintasi sungai dengan posisi HGL seperti pada gambar.

Gambar 3. Inilah distribusi tekanan yang terjadi pada pipa transmisi secara gravitasi. Reservoir (waduk) sebagai sumber air. Tekanan statis dimulai di permukaan air waduk dan harus diketahui tekanan maksimumnya di dalam pipa dalam kondisi air yang tidak mengalir (diam). Ini berkaitan dengan kekuatan pipa menerima tekanan terbesar dari air yang diasumsikan terjadi pada jarak 2,8 km dari sumber air.

Gambar 4. Apabila sistem transmisinya menggunakan pompa maka skema sebaran tekanannya seperti gambar ini. Pemompaan dilaksanaan dua tahap sehingga masing-masing memiliki karakteristik HGL yang khas. *
ReadMore »

23 Juni 2010

Sistem Distribusi




Majalah Air Minum edisi 126, Februari 2006 sudah mengupas tentang sistem distribusi air minum dengan judul Distribusi, “Pembuluh Darah PDAM”. Walaupun bertema sama, namun perbedaannya signifikan. Yang pertama, yaitu terbitan tahun 2006 membahas tentang analogi sistem dan deteksi kebocoran. Artikel terbitan edisi ini berisi tentang pola pemipaan, fungsi-lokasi reservoir, nomenklatur pipa dan dimensinya.

Komponen Sistem
Prinsipnya, ada dua komponen utama di dalam sistem distribusi air minum, yaitu reservoir (dan perlengkapannya) dan perpipaan (dan perlengkapannya). Fungsi reservoir distribusi adalah penyimpan air pada waktu debit air yang masuk ke reservoir lebih besar daripada yang keluar dari reservoir. Fluktuasi atau variasi penggunaan air ini terjadi setiap hari sehingga permukaan air di reservoir distribusi naik turun antara level maksimum dan minimumnya. Dengan demikian, volume atau dimensi reservoir bisa diperoleh. Reservoir berfungsi untuk mengatur tekanan air di daerah distribusi dan ini bergantung pada lokasi reservoirnya. Fungsi ketiga ialah sebagai pembagi air ke seluruh konsumen.

Berdasarkan potensi energinya, jenis reservoir distribusi dibedakan menjadi dua, yaitu reservoir tinggi dan reservoir rendah. Reservoir ini merujuk pada cara pengaliran air ke daerah distribusi, bisa secara gravitasi bisa juga dengan pompa. Reservoir tinggi tidak selalu berupa menara air atau berdiri di atas kaki beton atau rangka baja, tetapi bisa juga diletakkan di atas tanah di daerah bukit atau lereng gunung. Yang pasti, elevasinya lebih tinggi daripada daerah distribusi sehingga aliran airnya secara gravitasi. Oleh sebab itu, reservoir yang disangga oleh kaki harus berupa reservoir tinggi yang aliran airnya secara gravitasi. Adapun reservoir rendah selalu diletakkan di atas tanah atau sebagian di bawah permukaan tanah dan energi untuk distribusi airnya diperoleh dari pompa.

Untuk mengoptimalkan aliran air dan distribusinya, lokasi reservoir bisa berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Bisa diletakkan di tengah-tengah sistem distribusi apabila topografinya relatif datar dan tidak terlalu luas. Kalau diletakkan di salah satu sisi daerah distribusi maka tekanan sisa yang terjadi menjadi timpang sehingga perbedaan sisa tekanan antara daerah yang dekat reservoir dan yang jauh menjadi sangat besar. Ini buruk bagi sistem aliran air dan berpengaruh pada tingkat kebocoran air serta menuai protes dari konsumen pada saat-saat tertentu.

Sebaliknya, reservoir diletakkan di tepi sistem distribusi, yaitu tempat tertinggi apabila daerah distribusinya relatif miring atau menurun. Kemiringan yang relatif teratur dapat menyetimbangkan sisa tekanan airnya di seluruh daerah distribusi. Opsi ketiga ialah lokasi reservoirnya berbeda-beda, ada beberapa reservoir yang dibangun. Dibuat demikian karena topografinya tak teratur, besar perbedaan elevasinya sehingga harus dibuat zoning system dengan reservoir masing-masing. Juga karena daerah distribusinya terlalu luas. Kalau tanahnya relatif datar maka dapat dibangun beberapa reservoir di beberapa zone untuk menghindari sisa tekanan yang sangat tinggi di dekat reservoir. Beda topografi yang sangat tinggi dan variatif mengharuskan sistem distribusi dibuat dengan beberapa zone justru untuk mengurangi sisa tekanan di tempat yang terjauh dari reservoir (bukan yang terdekat).

Setelah menetapkan lokasinya, selanjutnya ialah menghitung besar-kecilnya reservoir yang berkaitan dengan volume atau dimensinya. Volume reservoir ini dipengaruhi oleh kondisi pasokan air dan karakteristik pemakaian air di daerah setempat. Perlu dibuat grafik fluktuasi pemakaian air dalam satu hari (24 jam). Berdasarkan kurva korelasi antara jam dan persentase pemakaian airnya, dapatlah dihitung volume efektif reservoir. (Perhitungan detailnya akan disampaikan pada artikel terpisah).

Pola Sistem Distribusi
Setelah reservoir, bagian kedua adalah pola perpipaan sistem distribusi. Bisa dikatakan, inilah sistem yang padat modal, mahal investasinya karena mencapai 70% dari sistem keseluruhan. Ada dua bentuk dasar sistem distribusi. Kerangka, layout atau pattern ini dinamai sesuai dengan pola koneksi antar pipa dan node-nya.

Yang pertama ialah pola cabang. Pada kerangka ini ada bagian pipa utama atau pokok dan ada bagian pipa cabang. Ciri khasnya, ujung-ujung pipa berupa “titik-titik mati” (dead end) dan aliran airnya hanya menuju ke satu arah, tidak bisa berbalik arah. Pola “ujung mati” ini bisa dibagi menjadi banyak sektor dan subsektor yang pasokan airnya dilayani oleh satu pipa cabang. Karena pasokan airnya per sektor atau subsektor maka perhitungan diameter pipanya menjadi sederhana, hanya ditentukan oleh jumlah penduduk (populasi) di sektor tersebut.

Keunggulan sistem ini ialah sederhana dalam pemasangan dan mudah dihitung dimensi pipanya, lebih ekonomis karena diameter pipanya lebih kecil daripada sistem lain dan pipanya lebih pendek. Apabila ada perluasan jaringan pipa, pola cabang ini dapat diubah menjadi pola lingkaran atau campuran. Selain beberapa keunggulan tersebut, kerangka sistem ini pun memiliki kelemahan. Dalam keadaan darurat, misalnya pipa bocor atau putus, seluruh daerah di hilirnya akan putus pasokan airnya. Dapat terjadi “rebutan” air antara satu sektor dan sektor lainnya, terutama ketika “jam puncak” atau terjadi kebakaran. Karena alirannya searah, maka endapan di ujung-ujung pipa menjadi banyak dan memadat. Ujung pipa ini harus dilengkapi dengan katup penguras sehingga perlu banyak blow off atau wash out dan harus diposisikan di dekat selokan atau sungai. Endapan harus dibersihkan secara periodik.

Dalam branch system ini reservoir diletakkan di bagian tertinggi daerah distribusi atau bisa juga di bagian tengah untuk daerah yang relatif datar. Sangat ideal diterapkan di daerah yang topografinya menurun secara teratur dengan slope kecil. Setiap titik cabang perlu dilengkapi dengan valve (katup) untuk mengatur aliran di percabangan dan juga untuk menutup aliran ketika terjadi kerusakan atau reparasi pipa.

Berikutnya ialah merencanakan diameter pipa. Debit yang digunakan adalah debit jam puncak. Ada faktor puncak yang harus dikalikan dengan debit rerata dan ini bergantung pada jumlah penduduknya. Jumlah penduduk mempengaruhi keserempakan penggunaan air di suatu daerah dalam satu sistem perpipaan di seluruh sektor. Keserempakan ini berbanding terbalik dengan jumlah penduduk. Makin banyak penduduknya, faktor keserempakan pun mengecil.

Pola selanjutnya adalah sistem cincin, lingkaran. Disebut juga sistem tertutup, closed system atau ring, circle system. Ciri khasnya berbentuk lingkaran dan tiada titik mati karena semua pipa saling berhubungan. Air yang mengalir keluar dari reservoir akan bertemu di suatu titik di dalam pipa. Arah alirannya dapat berubah-ubah bergantung pada besar-kecilnya pemakaian air di suatu sektor. Dengan demikian, kekurangan air di suatu sektor dapat dipasok oleh sektor lainnya. Dalam kondisi darurat, misalnya ada pipa bocor, putus atau diperbaiki, sektor yang lain dapat terus mengalirkan air yang berasal dari sektor-sektor lainnya yang tidak putus/bocor.

Selain keunggulan, ada juga kelemahan sistem cincin/lingkaran ini. Sistem cincin perlu pipa lebih panjang daripada sistem cabang tetapi diameternya bisa sama ukurannya. Jadi, biaya investasinya lebih mahal. Sistem hanya cocok untuk daerah yang relatif datar agar aliran airnya bisa bolak-balik. Dengan kata lain, sistem tertutup ini belum tentu dapat diterapkan di sembarang daerah dengan topografi naik turun secara acak, terjal dan luas. Ini berbeda dengan sistem cabang yang dapat dipasang di daerah yang datar maupun yang miring atau menurun (terutama yang kecil slope-nya).

Untuk merencanakan diameter pipa, semua daerah diasumsikan berada dalam kondisi jam puncak dengan satu faktor puncak (peak factor). Setiap titik (node) berada dalam kondisi setimbang (balanced). Umumnya digunakan formula Hardy Cross tetapi bukan untuk menentukan diameter pipanya secara langsung melainkan untuk mengatur kesetimbangan tekanannya (balanced energy). Diameter pipanya ditentukan dengan anggapan bahwa seluruh sektor atau daerah layanan dalam kondisi aliran puncak. Seperti pada sistem cabang, katup juga harus dilengkapi di dalam sistem ini tetapi tidak selalu di ujung pertemuan pipa atau titik akhir. Bisa juga dipasang di tengah-tengah pipa atau di bagian terendah jaringan.

Nomenklatur Pipa
Faktanya di lapangan, nomenklatur atau penamaan pipa distribusi berbeda-beda di sejumlah PDAM. Namun ada dua bagian yang bisa disebutkan. Yang pertama ialah Sistem Makro. Sistem ini merupakan pipa feeder (pengumpan, pemberi) yang terdiri atas pipa induk utama (primary feeder) dan membentuk rangka sistem, baik yang cabang maupun loop. Pipa ini dinamai juga aorta atau arteri dan membawa sejumlah besar air olahan dari IPAM ke sistem distribusi. Biasanya pipa ini dilengkapi dengan katup penguras (blow off) dan ventilasi udara (air realease valve). Selanjutnya ialah pipa induk sekunder (secondary feeder). Fungsi feeder ini membawa air ke node-node yang tersebar di daerah distribusi sehingga tidak boleh ada sambungan rumah di pipanya agar tekanannya tidak turun (drop feeder). Di pipa inilah program Epanet atau Hardy Cross diterapkan untuk analisis hidrolisnya.

Yang kedua ialah Sistem Mikro. Hakikatnya, inilah sistem pelayanan air minum yang sesungguhnya di PDAM. Sistem ini masih bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pipa distribusi utama (small distribution main) yang juga biasa disebut pipa tersier dan pipa pelayanan (service line) atau pipa kwarter yang menuju pipa persil (house connection pipe). Pipa distribusi utama (small distribution main) membentuk rangka daerah pelayanan. Pipa ini mendistribusikan air ke pipa-pipa pelayanan (service pipe) dan boleh langsung dihubungkan dengan rumah. Secara teoretis, Sistem Mikro bisa juga dianalisis dengan Epanet atau Hardy Cross, tetapi bergantung pada kebutuhan.

Catatan akhir, yang perlu diperhatikan juga ialah kecepatan aliran meskipun kecepatan air ini tidak mempengaruhi tekanan, tetapi hanya mempengaruhi cepat-lambatnya air sampai ke konsumen. Agar suatu titik bertekanan besar, maka headloss-nya harus kecil atau diameter pipanya diperbesar. Efeknya pada kecepatan, makin besar diameter, makin kecil kecepatan aliran airnya. Rentang batas kecepatan antara 0,6 - 1,5 m/d, yaitu kecepatan di dalam pipa feeder dalam jam puncak atau maksimum alirannya.***
ReadMore »