• L3
  • Email :
  • Search :

16 November 2010

Ketika Gunung Antri Erupsi?

TRIBUN JABAR

ADA apa dengan Merapi? Setelah letusan (erupsi) Merapi pada 26 Oktober 2010, delapan gunung dinyatakan dalam taraf waspada, termasuk Papandayan dan Anak Krakatau. Gunung Anak Krakatau pun mulai aktivitas vulkaniknya sehingga dilarang didekati dalam radius tiga kilometer (Tribun, 30/10).

Antri Erupsi
Mayoritas gunung berapi kita terpasak pada satu sabuk, mulai dari Aceh menuju Selat Sunda, menyusuri Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku hingga Sulawesi Utara. Jumlahnya 13 persen dari semua gunung berapi di Bumi. Kalau satu saja menggeliat panas, yang lain pun ikut-ikutan sehingga semua gunung di ladang gunung berapi itu bisa meletus bersamaan atau berurutan.

Merapi, Kelud, Semeru, Guntur, Krakatau dan "anaknya" termasuk grup agresif dari 35 gunung berapi aktif yang menjadi pasak Pulau Jawa. Jumlah itu setara dengan 27 persen dari 129 gunung berapi aktif di Indonesia. Yang tidur (dormant) sekitar 50-an buah.

Sebagai negara gunung, Indonesia disabuki gunung berapi sepanjang 7.000 kilometer, melintang di pulau-pulau seperti disebut di atas. Hanya saja, kaya gunung tak berarti akrab dengannya. Masih banyak aspek kegunungapian yang asing di telinga kita, kecuali bagi kalangan di Vulkanologi atau Geologi saja. Mendengar kata gunung berapi, yang terbayang ialah lahar, lava, debu, dan awan panas saat erupsinya. Sebagai contoh, erupsi Galunggung (1982-1983) telah merusak aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan, tak hanya di daerah setempat tapi juga di daerah lainnya.

Berikutnya ialah letusan Gunung Agung di Bali (1963) dengan korban tewas 300-an orang. Sisa-sisanya dapat dilihat sekarang, di sela-sela kebun salak di sekujur Kabupaten Karangasem, terutama ke arah pura utama di Bali, yaitu Besakih. Konon pada waktu itu ada bintang Kukus (Kemukus) di Timur Pulau Bali dan warga lantas mengaitkannya dengan kasus besar yang bakal terjadi, yaitu G30S/PKI. Adapun korban erupsi Kelud tahun 1935 tak kurang dari 5.000-an orang. Yang paling menyejarah ialah letusan Gunung Krakatau (1883).

Selain letusan, bahayanya yang lain ialah gas beracun. Kawah Sinila tahun 1979 di Pegunungan Dieng menjadi contoh klasik. Minimal 150 orang meninggal tercekat pada bencana pagi itu akibat gas CO (karbon monoksida). Potensi bencananya juga terjadi karena akumulasi gas di atmosfer yang menyebabkan hujan asam dengan pH kurang dari 5,5 akibat larutnya gas belerang oksida (SOx), asam sulfida (H2S), karbon dioksida (CO2), dan nitrogen oksida (NOx) lalu menghasilkan asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3), dan asam karbonat (H2CO3). Dampaknya, pH tanah menjadi rendah, gangguan ekosistem, kerusakan bangunan & monumen serta iritasi kulit.

The Silent Killer lainnya ialah polusi air tanah dan air permukaan oleh logam-logam berat erupsian dan aktivitas kawahnya. Polutan jenis ini sering terjadi di Sungai Ciwidey dan Waduk Saguling di Jawa Barat yang airnya berasal dari Gunung Patuha dengan Kawah Putihnya dan Gunung Tangkuban Parahu di Bandung. Maka, yang patut diwaspadai ialah efeknya pada manusia kalau meminum airnya, memakan ikannya dan sayurmayur yang ditanam di dekat bencana itu karena kaya dioksin dan logam berat.

Peluang Ekonomi
Gunung berapi serupa dengan pedang bermata dua. Satu matanya dapat menebas eksistensi manusia dan satunya lagi justru bisa menambah tingkat ekonominya. Ancaman diubah menjadi peluang ekonomi, disublimasi menjadi keuntungan. Dari sisi pendidikan, erupsi juga peluang untuk evaluasi teori dan hipotesis sains mutakhir, menjadi bahan studi saintis kegunungapian, pertanian, kesehatan, lingkungan dan antropologi.

Dari sisi ekonomi, magmanya (liquid magma) berpeluang dijadikan opsi sumber energi. Pada temperatur 1.150 Derajat Celcius, estimasi energinya 9 x 1014 kcal/km3. Sebagai pembanding, potensi energi Gunung Mauna Loa di Hawaii dan Avachinsky di Kamchatka Peninsula masing-masing 4 x 1018 kcal dan 2 x 1017 kcal. Bandingkan dengan cadangan minyak mentah dunia yang "hanya" 1018 kcal. Contoh di Indonesia, energi yang dirilis erupsi Tambora di Sumbawa (1815) sekitar 3,5 x 1016 kcal sedangkan energi erupsi Krakatau (1883), menurut Hedervari dalam Bulletin Volcanologique, mencapai 4,3 x 1015 kcal. Getarannya mendunia dan energinya yang luar biasa besar mampu melontarkan setengah massanya ke angkasa sehingga debunya menutupi area seluas 827.000 km2. Dengan periode erupsi 101 hari, yang tewas tak kurang dari 36.000-an orang.

Manfaat lainnya ialah bidang kesehatan seperti efeknya terhadap penyakit kelenjar gondok, gigi dan pernapasan, termasuk sakit jantung, fibrosis, dan fluorosis. Semuanya bisa diriset yang dikaitkan dengan karakteristik zat-zat erupsian mineralnya. Sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan juga diuntungkan oleh debu vulkaniknya yang subur walaupun ketika erupsinya menjadi material sangat berbahaya. Instalasi pengolah air minum (IPAM) pun mesti dimodifikasi untuk menangani unsur yang berbahaya di dalam air dan emisi gas beracunnya sekaligus memanfaatkan mineralnya dalam konsentrasi tertentu sesuai dengan baku mutu air minum untuk kesehatan kita.

Peluang pencetak uang lainnya ialah pasir-batu (sirtu). Sirtu erupsian terbukti menaikkan ekonomi masyarakat setempat seperti pasir Galunggung. Manfaat berikutnya ialah wisata gunung berapi (volctourism), tetapi belum banyak dikelola. Hanya di gunungapi-gunungapi tertentu saja yang sudah dieksploitasi seperti Bromo, Tangkubanparahu dan Batur di Bali.

Khusus di Gunung Batur, selain Danau Baturnya yang eksotis juga karena ada komunitas khas, yaitu orang Trunyan. Aspek geologinya juga menarik minat peneliti dari luar negeri, termasuk wisata flora, fauna dan mata air panas (hot spring) yang merupakan komponen tak terpisahkan dari gunungapi.

Tampaklah, selain letusannya, gunungapi pun bisa bermanfaat. Bisa dikatakan, bencana (baca: musibah) adalah jarum akupuntur bagi ruhani. Berat sesaat, manfaat setelahnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar