• L3
  • Email :
  • Search :

8 Januari 2014

Oxidation Pond Contoh di Kota Bandung

Oxidation Pond: Contoh di Kota Bandung

Dalam hal air limbah, baik sejarah maupun teknologinya, Bandung menjadi salah satu lokasi studi di Indonesia, selain Jakarta, Medan, dan Denpasar. Ketika banyak masyarakat masih membuang air besar dan air kecil sembarangan atau di selokan, sungai, kebun sebagian warga Bandung sudah memiliki saluran air limbah (riul) dan instalasi pengolahannya. Hanya saja, terapan teknologi ini dikhususkan untuk orang Belanda. Tahun 1916, sepuluh tahun setelah Bandung berstatus kotapraja atau gemeente (21 Februari 1906), dan setahun sebelum Meneer B. Coops menjadi walikota (burgemeester) Bandung yang pertama (1917), pemerintah Belanda ingin warganya hidup saniter. Saat itu, Bandung dibagi menjadi dua wilayah: barat dan timur dengan Sungai Cikapundung sebagai garis sempadan. Pada waktu itu, dua pertiga warganya tinggal di belahan barat. Selain mendirikan “PDAM” yang dikelola oleh Technische Dienst Afdeling, Belanda juga membuat instalasi pengolah air limbah (IPAL) domestik di belahan barat.

Hampir seabad yang lalu, Belanda sudah peduli pada lingkungan di tanah jajahannya. Padahal kala itu, pencemaran belumlah separah sekarang karena penduduk Bandung masih sedikit dan air sungainya jernih. Mengapa Imhoff Tank yang dipilih, bukannya activated sludge (lumpur aktif) temuan Ardern dan Locket yang lebih dulu berkembang pada awal abad ke-20? Sebab, selain murah, unit yang patennya dipegang oleh Dr. Karl Imhoff (1904, pakar air limbah dari Jerman), unit ini juga terbaik kinerjanya saat itu. Ia unggul daripada unit lain karena berupa pengolah bikamar atau “dual-purpose two-story tank” yaitu ruang hidrolisis dan sedimentasi.

Pada masa itu, air limbah rumah tangga warga Belanda dialirkan lewat saluran sepanjang 14 km di sepanjang jalan akses yang dinamai Jl. Imhoff Tank menuju IPAL dan air olahannya dibuang ke Sungai Citepus, di dekat IPAL-nya.  Lokasi unit ini sekitar satu kilometer arah timur terminal bis Leuwipanjang, menyusuri Jl. Soekarno-Hatta (By pass), sebelum Jl. Moh. Toha. Tetapi sayang, unit ini sekarang sudah rusak dan dipenuhi lumpur. Pemkot Bandung menggantinya dengan kolam oksidasi di Bojongsoang seluas 85 ha dengan panjang total saluran sekitar 300 km dan akan dibahas di bagian akhir makalah ini.

Terapkan Dua Sistem

Kondisi topografis Bandung yang berpegunungan jauh berbeda dengan Denpasar, Jakarta, dan Medan sehingga pola penyaluran air limbah pun menjadi khas. Ada kesamaannya, ada pula kebedaannya. Kebedaan inilah yang menonjol sehingga jauh lebih mahal apabila diterapkan riul berpola fan, perpendicular, radial. Oleh sebab itu, PDAM selayaknya mengadopsi beberapa sistem pengelolaan dan penyaluran air limbah yang berbeda dengan terapan di kota lain lantaran pola di satu daerah belum tentu cocok dengan kondisi Bandung yang berbukit dan bergunung meskipun umumnya menurun ke arah Selatan menuju Sungai Citarum.

Ada dua sistem yang dapat diterapkan. Sistem pertama, dan ini sudah diterapkan, adalah offsite system, yaitu sistem pengelolaan air limbah yang memusatkan pengolahan airnya di satu lokasi dan menerima air limbah domestik dan efluen industri (pretreatment) dari daerah layanan. Pola ini disebut penyaluran air limbah secara mayor dengan memasang pipa-pipa kolektor dengan sebutan pipa servis, lateral, cabang, dan induk, bangunan pelengkap seperti manhole, rumah pompa dan IPAL di Bojongsoang. Berikutnya ialah cara minor yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu sistem mikro atau individual dan sistem makro atau komunal.

Cara mayor banyak dianut oleh negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat pada awal paruh kedua abad ke-20. Sistem ini memerlukan biaya mahal. Dengan layanan mencapai jutaan orang (konsumen), diameter atau ukuran pipa dan saluran yang digunakan menjadi besar, bahkan mobil truk pun bisa masuk di dalam saluran air limbah. Dampak berikutnya, lahan IPAL yang dibutuhkan menjadi luas, berkali-kali luas lapangan sepakbola. alau menggunakan sistem Kolam Oksidasi atau Stabilisasi dengan biaya operasi-rawat relatif murah. Luas lahan IPAL bisa dipersempit dengan menerapkan teknologi activated sludge dan kombinasinya tetapi biaya operasi dan rawatnya menjadi lebih mahal. 

Namun demikian, cara mayor anutan Eropa dan Amerika tersebut umumnya tidak berkembang di negara-negara Asia. Di Jepang misalnya, yang dikembangkan justru onsite system dengan IPAL mikro - makro yang dipasang di setiap rumah, apartemen, kantor, kampus, asrama, dan bahkan pasar. Karena sejarahnya yang “gelap” dalam pencemaran air, sampai-sampai timbul istilah “Pollution Diet”, Jepang obsesif dalam pengolahan air limbah sehingga semua produk IPAL di Jepang selalu dilengkapi dengan disinfeksi. Dampaknya, biaya operasi dan rawatnya menjadi mahal sehingga berat kalau ditiru oleh negara berkembang seperti Indonesia.

Lantas di mana posisi Indonesia? Seperti umumnya di Asia Tenggara, kecuali Singapura, teknologi yang diterapkan cenderung untuk menyisihkan senyawa karbon sehingga orientasi IPAL di Indonesia sekadar menghilangkan zat organik dengan parameter konvensional BOD atau COD. Beberapa peraturan yang seharusnya berisi parameter nitrat, fosfat justru tidak ada tetapi malah parameter yang tidak dibutuhkan yang dimunculkan. Inilah kekeliruan peraturan yang ada di Indonesia dan perlu direvisi agar tidak salah kaprah.  

Masalah lainnya, kepedulian masyarakat terhadap air limbah yang dapat merusak kesehatannya tidak sebaik kepeduliannya terhadap air minum. Makanya, bisa dicek langsung ke masyarakat, mayoritas tangki septik di Indonesia hanya berfungsi sebagai bak penampung, bukan sebagai digester (pengolah tinja). Prosesnya adalah isi – sedot – buang ke sungai (selokan) atau ke IPLT (instalasi pengolah lumpur tinja). Yang paling parah adalah warga yang memasang “sistem meriam”, yakni air limbah (tinja) dari kloset langsung dibuang ke selokan atau sungai di belakang atau sebelah rumahnya dengan pipa PVC 4 inch. Faktanya jelas di depan mata kita. Seharusnya: isi – olah (digester anaerob) – buang (ke selokan) tanpa diolah atau diresapkan ke dalam tanah tanpa mencemari air sumur atau disedot oleh mobil tangki tinja lalu dikeringkan di sludge drying bed, bukan ditumpahkan di IPLT!

Terapkan Tiga Zona

Mengacu pada topografinya, minimal Kota Bandung dapat dilayani dengan tiga zona. Yang pertama ialah zona eksisting Tengah – Timur – Selatan dengan IPAL Bojongsoang sebagai pusatnya. Namun demikian, sejumlah perumahan sulit menyalurkan air limbahnya ke pipa lateral atau pipa cabang yang dibuat pada dekade 1980-an lantaran elevasinya rendah. Karena banyak yang menjadi pelanggan PDAM, maka selayaknya mereka diberi servis untuk pengurasan tangki septik. Sedangkan yang bukan pelanggan PDAM dilayani dengan membayar biaya penyedotan oleh truk tinja. Apabila dilaksanakan oleh perusahan rekanan PDAM, maka harus ada standar harga dan transparan diketahui warga. Volume air yang disedot dan lokasi rumah menjadi salah satu parameter dalam perhitungan biayanya.

Adapun warga kota yang tinggal di bagian Barat Bandung, yang dekat dengan Imhoff tank dapat memanfaatkan fasilitas IPAL peninggalan Belanda ini. Tentu saja IPAL ini perlu direhabilitasi dan penambahan beberapa unit baru semacam grit chamber dan barscreen. Perlu juga pembebasan lahan di sekitarnya kalau IPAL ini serius dijadikan opsi pengolahan air limbah yang berada di pusat kota. Bahkan warga Kota Cimahi, kalau topografinya memungkinkan, bisa juga memanfaatkan Imhoff tank tersebut sehingga biaya operasi-rawatnya dapat dipikul bersama. 

Zona ketiga adalah Barat – Utara. Apabila diinginkan penyaluran air limbah dengan pipa, baik menuju Imhoff tank maupun IPAL Bojongsoang, maka perlu investasi yang mahal. Selain itu, perlu dikaji lagi ukuran pipa induknya apakah cukup untuk penambahan pelanggan dari kawaan Bandung Utara. Apalagi potensi infiltrasi air tanah dan air hujannya cukup tinggi karena pipanya menjadi lebih panjang. Angka infiltrasi ini patut diteliti lebih lanjut, agar diperoleh koefisien infiltrasi yang mendekati fakta, tidak berdasarkan teori. Kalau cara ini sulit diterapkan, maka opsi solusinya ialah dengan membangun sistem mikrokomunal, selain individual. Hanya saja, sistem individual ini sulit dideteksi dan dikelola sehingga dapat mencemari air tanah. Yang terbaik adalah mikrokomunal di beberapa lokasi yang tepat secara topografis kemudian dijadikan BLU (Badan Layanan Umum) sebagai lembaga yang bertanggung jawab.

Kolam Oksidasi Bojongsoang

Merujuk pada nomenklaturnya dan meminjam istilah biotaksonomi, ada beberapa nama yang biasa dikaitkan dengan kolam stabilisasi (stabilization pond) ini, yaitu lagoon, oxidation pond yang diindonesiakan menjadi laguna dan kolam oksidasi. Jika diselisik, kurangnya minat pemerintah daerah dan pusat membuat jenis pengolah air limbah domestik ini karena luasnya yang bukan kepalang. Ini terjadi karena peran mikroba, baik bakteri, rotifer, predator, maupun algae dipengaruhi oleh asupan oksigen dan nutrisinya secara alamiah, tanpa bantuan alat-alat mekanis. Artinya, kemurahan dan kemudahan dalam operasi - rawat ini dibayar dengan biaya mahal untuk kebutuhan lahannya. Namun sangat layak diterapkan untuk daerah-daerah yang masih memiliki lahan kosong yang luas dan murah, seperti semua daerah di luar Pulau Jawa, Madura, dan Bali.

Para ahli di bidang pengolahan air limbah, khususnya bioproses, belum bersepakat atas beberapa istilah yang dikaitkan dengan klasifikasi kolam stabilisasi. Lain buku, lain pula istilahnya, apalagi yang berkaitan dengan dimensi, kecepatan pembebanan organik, nilai ambang batas bawah dan atas, BOD, COD, SS, fecal coli, dll. Salah satu klasifikasi yang cukup dikenal adalah berdasarkan rejim metabolisme, yaitu anaerobik, fakultatif, aerobik (maturasi), dan aerated. Kondisi mana yang akan terjadi di dalam kolam itu bergantung pada aktivitas biologi yang dominan dan reaksi biokimianya yang dipengaruhi oleh kecepatan pembebanan organik (KPO, organic loading rate). 

Kolam pertama adalah kolam anaerobik, didesain untuk berlangsungnya proses pengolahan air limbah tanpa oksigen dengan memanfaatkan bakteri anaerob. Ada dua kejadian pada kolam anaerobik ini, yaitu (1) fenomena fisika berupa sedimentasi padatan di dalam air limbah menjadi sludge; (2) fenomena biokimia, yakni degradasi anaerobik oleh bakteri terhadap zat organik di dalam lumpur kemudian melepaskan gas dan produk terlarut untuk diolah lebih lanjut di kolam berikutnya. Umumnya, fenomena biokimia di kolam berkedalaman 2,5 s.d 5 m ini berlangsung dua tahap. Tahap satu, polutan organik kompleks bermolekul besar (makromolekul) diuraikan menjadi molekul kecil yang diawali oleh proses hidrolisis, asidogenesis dan selanjutnya diubah menjadi asam asetat (asetogenesis). Pada tahap satu tersebut belum terjadi reduksi BOD-COD sehingga bisa dikatakan efisiensinya nol. Efisiensi kolam dapat dideteksi pada tahap dua setelah bakteri metanogenik berhasil mengubah asam asetat dan asam-asam rantai pendek lainnya menjadi gas metana dan karbondioksida. Perubahan polutan organik menjadi gas CH4 dan CO2 inilah yang dijadikan indikator dalam efisiensi pengolahannya.

Berikutnya adalah kolam fakultatif, jenis kolam yang menerima air limbah dengan kekuatan medium atau kecepatan pembebanan organiknya lebih kecil daripada KPO yang diterapkan di kolam anaerobik. Kolam yang juga disebut wastewater lagoon ini (salah satu bentuk misnomer, salah kaprah) adalah yang paling umum diterapkan. Kedalaman airnya antara 1,2 s.d 2,5 m dan terbagi atas dua lapisan, yaitu lapisan anaerobik di bagian bawah dan lapisan aerobik di bagian atas. Di antara kedua lapisan tersebut ada lapisan fakultatif. Kebutuhan waktu untuk pengolahan air limbah berada dalam rentang 5 s.d 30 hari. Di kolam ini, zat organik yang mengendap diolah oleh bakteri anaerob yang alur prosesnya sama dengan kejadian di kolam anaerob tersebut. Hasilnya berupa zat organik terlarut dan gas metana, karbondioksida, hidrogen sulfida, ammonia, dll. Sebaliknya di lapisan atas terjadi proses aerob yang memanfaatkan oksigen. 

Dapat dikatakan, di unit fakultatif inilah terjadi proses utama penyisihan zat organik dengan kehadiran simbiosis mutualisme antara bakteri heterotrof dan algae. Bakteri heterotrof ini serupa dengan bakteri di dalam unit activated sludge atau trickling filter yang bertugas mengolah pencemar organik di dalam zone aerobik menjadi produk akhir oksidasi. Oksigen di lapisan aerobik dipasok dari atmosfer dengan mekanisme reaerasi dan hasil fotosintesis algae dengan bantuan energi matahari. Algae lantas menggunakan nutrisi dan karbondioksida yang dihasilkan bakteri aerob dan anerob untuk fotosintesis. Lewat kerjasama saling menguntungkan inilah air limbah dapat diolah dengan optimal.

Bergantung pada temperaturnya, BOD yang dapat direduksi dalam kolam fakultatif antara 30 – 40 mg/l. Penyisihan zat organik volatil 77 - 96%, nitrogen 40 – 95%, dan fosfat biasanya maksimum 40%. Namun demikian, suburnya perkembangan algae di permukaan kolam lama-lama dapat menimbulkan masalah pada kinerjanya. Algae dapat menambah konsentrasi TSS (total suspended solid) antara 40 s.d 100 mg/l. Algae yang blooming karena keberlimpahan nutrien (senyawa nitrogen dan fosfat) dapat memunculkan kondisi eutrofikasi yang ujungnya adalah pendangkalan kolam secara cepat. 

Yang ketiga adalah kolam aerobik atau kolam maturasi (pematangan). Sesuai dengan namanya, di kolam ini terjadi proses pematangan atau pembersihan terakhir air limbah dari pencemar berupa padatan tersuspensi, zat organik terlarut dan yang utama adalah reduksi bakteri. Dengan kedalaman antara 30 s.d 45 cm, sinar matahari dapat menembus keseluruhan ketebalan lapisan air sehingga dapat membasmi bakterinya. Karena KPO-nya rendah dan kolamnya dangkal maka kebutuhan lahannya menjadi sangat luas. Di kolam ini pun terjadi simbiosis antara bakteri dan algae. Hanya saja, diharapkan bakterinya dapat dibasmi sebelum dibuang ke sungai. Algaenya juga jangan sampai banyak yang masuk ke sungai agar tidak menurunkan kualitas air sungai atau danau, waduk di hilirnya.

Ada dua metode yang biasa diterapkan untuk mendesain unit kolam stabilisasi, yaitu metode beban permukaan dan persamaan empiris Wehner – Wilhelm. Cara kedua menggunakan persamaan laju orde satu yang dirilis tahun 1958 dengan hidrolika aliran airnya semiaduk, yaitu antara plugflow dan complete mixing. Kemudian dimodifikasi oleh Thirumurthi pada 1969 sebagai metode untuk mendesain kolam fakultatif. Penggunaan cara kedua lebih rumit karena ada beberapa parameter yang harus diketahui dulu sebelum dapat dihitung yang juga bergantung pada temperatur airnya. Ketepatan dalam pengambilan asumsi terhadap data sangat berpengaruh pada kinerja kolam, juga sangat bergantung pada variasi cuaca dan sinar matahari.

Yang banyak diterapkan adalah cara pertama, yaitu metode area loading rate. Desain didasarkan pada pembebanan organik dan waktu tinggal hidrolis. Cara ini banyak diterapkan, termasuk untuk menghitung desain IPAL di Bojongsoang Bandung. Terapan ini dibuat oleh USEPA yang dirilis tahun 1983. Inilah cara paling konservatif dalam mendesain kolam stabilisasi. Luas lahan yang dibutuhkan diperoleh dengan cara membagi beban organik atau BOD dengan kecepatan pembebanan organik yang tepat (appropriate). KPO ini sudah direkomendasikan dan ditabelkan di USEPA pada tahun 1974. Hanya saja, kekurangannya bagi kita di Indonesia, rilisan USEPA 1974 tersebut tidak meliputi kondisi daerah tropis yang temperaturnya jauh di atas mayoritas wilayah di Amerika Serikat. Kalaupun diterapkan, nilai kecepatan pembebanan organiknya diambil dengan perkiraan saja. 

Dibandingkan dengan teknologi lumpur aktif (activated sludge) plus turunannya dan trickling filter, kolam oksidasi jauh lebih mudah dalam operasi-rawatnya dengan tingkat efisiensi yang kompetitif. Tingkat keterampilan (skill) operatornya tidaklah setinggi operator untuk teknologi lumpur aktif tetapi dapat menggunakan tenaga kerja yang lebih rendah skill dan pendidikannya. Sebab, nyaris tidak ada yang perlu mendapat perhatian intensif, kecuali perawatan rutin harian dan pekanan, atau tahunan yang berkaitan dengan area lahan seperti rumput, pohon, dan keamanan di sekitar instalasi kolam oksidasi. Agar lebih cepat dibersihkan, dalam masa satu tahun dapat dibersihkan dengan mengerahkan puluhan tenaga kerja kasar untuk membersihkan kolam dan sekitarnya sehingga tetap ada peluang lapangan kerja bagi orang yang rendah skill dan pendidikannya.

Fokus perawatan yang umum adalah pembersihan lahan sekeliling kolam agar tidak menghambat aliran angin yang berfungsi untuk membantu adukan sehingga terjadi pengadukan dan pencampuran yang lebih baik. Operator perlu rutin membersihkan kolam atau permukaan air dari kotoran, sampah, atau benda-benda melayang lainnya. Oleh sebab itu, sebaiknya ada beberapa operator kalau area pengolahannya sangat luas. Yang tidak boleh dilupakan adalah pagar pengaman dan tidak setiap orang diizinkan masuk mendekati kolam untuk menghindari hal-hal negatif yang berkaitan dengan keselamatan manusia, terutama anak-anak. Untuk memutus pertumbuhan tanaman air, dinding kolam sebaiknya dibuat dari pasangan batu kali dan dimiringkan (talud). 

Apabila diizinkan, kolam bisa dijadikan kolam ikan, terutama kolam maturasi, polishing pond misalnya dengan ikan karper dan tilapia (african food fish, cichlid family). Ikan juga sekaligus dapat membasmi jentik-jentik nyamuk dan serangga. *

ReadMore »

5 Januari 2014

Tidak Ada Elpiji, Gas Metana Pun Jadi

Tidak Ada Elpiji, Gas Metana Pun Jadi
Oleh Gede H. Cahyana


Gas elpiji (LPG) naik harganya. Adakah alternatif yang dapat meringankan biaya masak-memasak, khususnya bagi pelaku bisnis makanan? Tiada rotan, akar pun jadi, ini kata peribahasa. Energi alternatif banyak jenisnya, tetapi tidak semua layak diterapkan pada satu jenis bidang usaha. Minimal sampai saat ini. Untuk keperluan masak makanan, energi yang terdekat dengannya adalah energi gas metana. Semua limbah makanan bisa dijadikan sumber energi yang potensial.

Limbah makanan sifatnya organik sehingga mudah diubah oleh mikroba anaerobik menjadi metana. Gas inilah yang dijadikan sumber energi, minimal untuk kebutuhan dapur, pengganti gas Elpiji.  Caranya dengan digester. Bakteri yang berperan mengubah limbah menjadi gas metana 1alah metanogenik seperti Methanobacterium, Methanobacillus, Methanococcus, Methanosarcina.

Komposisi gas yang normal proses ini adalah 60% - 70% metana dan 30% - 40% CO2. Tetapi biasanya konsentrasi metana kurang dari angka itu. Hasil optimal dapat dicapai dengan mengatur temperatur digester antara 30 - 45 derajat Celcius dan pH antara 7 - 8. Karena proses ini adalah beternak bakteri maka harus selalu dikontrol agar tak ada limbah B3 seperti pestisida, deterjen, pembersih lantai dan lain-lain masuk ke digester.

Jika dibandingkan, gas metana ini nilai energinya (fuel value) 5.320 kcal/m3, petrol gas 3.600 kcal/m3, kotoran sapi/cowdung 2.660 kcal/m3 dan seaweed 4.900 kcal/m3. Artinya, metana dari limbah makanan relatif bisa dijadikan alternatif energi untuk memasak makanan bagi pedagang kelas menengah. Disebut kelas menengah karena sisa makanan perhari biasanya relatif banyak dibandingkan dengan warung makanan skala kecil. *

ReadMore »