• L3
  • Email :
  • Search :

13 Juni 2012

Unesco: Subak adalah Warisan Budaya Dunia

Ke Bali, Kunjungilah Museum Subak
Oleh Gede H. Cahyana

Dimuat di Merpati Archipelago, Inflight Magazine, Edisi 14, Juli 2012

Dulu, pada waktu Gede Ardika menjadi Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, beliau men- cetuskan eco-tourism dan sawah dijadikan salah satu objek unggulannya. Secara harfiah, ecotourism tak sekadar menjual lingkungan (environment), bukan envitourism, tetapi lebih luas lagi, yaitu budaya khas daerah. Di Bali, apabila kita bicara tentang sawah maka produk budaya lokalnya, yaitu subak, tak bisa dilepaskan. Di St. Petersburg, Rusia, pada 20 Juni 2012, Unesco (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) resmi menetapkan Subak menjadi warisan budaya dunia setelah pemerintah Indonesia mem- perjuangkannya selama 12 tahun. 

Menurut sejarah, subak atau suba krama (kerukunan yang baik), seperti tertulis pada lontar pajangan di museum itu, sudah ada pada abad ke-14 M. Ada juga yang mengatakan bahwa subak mulai eksis pada abad ke-7 Masehi, merujuk ke tulisan Nyoman S. Pendit di dalam buku “Membangun Bali” (Pustaka Bali Post, 2001) yang dikutipnya dari hasil riset tim Universitas Udayana. Menurut Dr. Goris, di buku tersebut, sudah ada sejak 600-an Masehi. Sekarang, khazanah khas yang terdiri atas 1.193 subak seluas 98.679.915 ha itu (akurasi angka ini diragukan sebab luas Bali lebih-kurang 5.633 km2 (Jensen dan Suryani di dalam buku “Orang Bali”, Penerbit ITB, Bandung, 1996), kata Pendit, telah ditiru oleh berbagai daerah: di Jawa Tengah bernama Darmatirta, di Jawa Barat jadi Mitracai dan Tolai di Sulawesi Tengah.

Situs Langka
Menyambut ketetapan Unesco ini, hendaklah Pemkab Tabanan membuat brosur yang baik kualitasnya, isinya tentang riwayat subak, sejarah museum, latar belakang pendirian, kapan, dan biayanya. Yang juga penting adalah uraian tentang maksud, manfaat, dan isu transenden yang terkandung di dalam “pusaka-pusaka” itu, selain, mengapa situsnya dibangun di Tabanan. Hal-hal seperti itu masih banyak yang belum tahu. Diharapkan Museum Subak bisa menetas menjadi opsi baru objek wisata unggulan di Tabanan. Apalagi “museum” lapangannya sudah ada, yaitu di Jatiluwih, di lereng Gunung Batukaru. Teraseringnya tiada tara. Meski sama-sama dingin-berkabut, panoramanya lebih spektakuler dibandingkan dengan Batu di Malang, Puncak di Cianjur, maupun Tangkubanparahu di Bandung. Didukung lagi oleh kondisi keamanannya yang kondusif bagi investasi di sektor wisata. Sungguh bernas. 

Yang diperlukan setelah penghargaan dari Unesco adalah upaya Pemkab Tabanan untuk mengenal- kannya ke seluruh Indonesia dan dunia. Ada harapan, jumlah turis asing yang ke Indonesia akan terus meningkat, mencapai 3 - 4 juta orang. Apabila separuhnya landing di Bandara Ngurah Rai, lalu setengahnya berhasil digaet ke museum itu, bisalah dihitung berapa besar PAD Kabupaten Tabanan. Undanglah investor untuk membuat sinetron atau film, seperti film-filmnya Garin Nugroho, yang ber-setting subak dan lokasi shooting-nya di Museum Subak, Jatiluwih, dan sekitarnya. Terbitkan juga buku yang berisi usulan pakar dan praktisi wisata di Bali agar lebih realistis.

Terakhir, himbauan untuk Pemprov Bali, Pemkab Tabanan dan anggota dewan, agar makin peduli pada aset dunia ini. Pada saatnya kelak, bukan Tanah Lot, Beratan, dan Bedugul saja yang menjadi unggulan sumber PAD Tabanan, tapi juga Museum Subak. Apalagi lokasinya strategis, di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk, 20 km ke arah barat Denpasar dan 100 km dari Gilimanuk, ke arah timur. Kalau ini terwujud, bakal banyak turis yang wisata ke Sangulan, tempat yang pernah diplesetkan menjadi Song of land-nya Bali; Gita tatar (Gitar) Bali. Good luck. *

Foto: baliwisata
ReadMore »