• L3
  • Email :
  • Search :

29 Agustus 2007

Muslim di Pegayaman, Buleleng

SUASANA Lebaran di Bali tampaknya bisa disaksikan di sebuah desa bernama Pegayaman. Memang, sulit rasanya dimengerti bila melihat kehidupan masyarakat Pegayaman, Sukasada, Buleleng Bali ini. Sebab, ditengah-tengah bergulirnya arus kemajuan zaman, ada anggota masyarakat yang seolah terpaku pada pola hidup lama. Konon hal itu merupakan warisan dari leluhurnya asal Blambangan, Banyuwangi Jawa Timur, dan dipadukan dengan budaya Hindu Bali.

Desa Pegayaman ini berpenduduk 1000 Kepala Keluarga atau 5.000 jiwa. Lokasinya di ketinggian bukit dan dikelilingi pepohonan rindang, sawah, dan ladang. Semua warganya memeluk agama Islam. Tatkala Lebaran, mereka merayakannya namun bernuansa masyarakat Hindu. Hiasan rumah dan tata cara berpakaian dan aksesoris, juga tak terlepas dari masyarakat Hindu.

Tak hanya itu, bahkan nama-nama pengurus masjid dan umat Islam setempat, juga bernuansa Hindu. Ya, itulah uniknya. Yang membe­dakan hanya nama belakangnya, yang mencerminkan nama Muslim. Misalnya, Wayan Hasan dan Made Imam, nama untuk pria. Sementara untuk nama wanitanya, Ni Nyoman Siti atau Ni Made Fatima.

Paduan nama antara Muslim-Hindu Bali tersebut sudah melekat seolah sulit dipisahkan. Sehingga, tak sedikit tampak ada semacam rasa minder muncul diraut wajah mereka. Dalam pergaulan sehari-hari dengan warga Bali lain, mereka pun tak memperlihatkan adanya jarak. Bahkan penduduk Pegayaman justru sangat erat hubungan dengan puri Buleleng di Kota Singaraja.

Lantas apa yang melatarbelakangi kehidupan warga Desa Pegayaman tersebut sehingga tanah Bali mereka anggap sebagai kampung leluhurnya ?

Sejarah mencatat sekira abad ke-16 ketika terjadi peperangan antara kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Blambangan, sekelompok laskar Blambangan yang membantu Raja Buleleng, usai peperangan itu, diajak ke Bali. Mereka kemudian ditempatkan di wilayah bukit berhutan gatep (bahasa Bali).

Selain sebagai pengawal puri juga menjadi desa benteng seandainya musuh kembali menyerang. Karena pada masa itu, antara Buleleng-Mengwi bermusuhan. Di Alas Gatep itulah para laskar Blambangan tersebut bertempat tinggal dan menggarap lahan pertanian.

Lama-kelamaan hutan gatep menjadi kian langka seiring dengan warga pleset menyebutnya "gayam" artinya buah gatep. Sebutan inilah digunakan sampai sekarang dengan menambah awalan dan akhiran, sehingga menjadi kata Pegayaman.

Menariknya lagi, warga Desa Pegayaman pun tak peduli akan hal tersebut. Justru yang mereka banggakan adalah leluhurnya merupakan laskar Blambangan dan mereka merupakan keturunan kerabat puri Buleleng.

Kerabat yang sudah dijalin kental sejak dulu itu tetap berlaku sampai sekarang. Sehingga, apa pun kegiatan di puri Buleleng, pasti melibatkan pula warga Desa Pegayaman
* *

LALU, bagaimana warga Pegayaman mempertahankan budaya asli leluhurnya dan selaku Muslim yang taat?

Berceritalah Imam Desa Pegayaman, Nengah Syaiful Zakaria al Anzhori, ketika ditemui baru-baru ini. Sebagai umat Islam, mereka pun menjalankan ibadah puasa. Ketika masuk H-3 hingga H-1 lebaran, mereka juga mengenal istilah penapean (membuat tape), penyajaan (membuat jajan), dan penampahan (menyembelih ternak peliharaan untuk dimakan dagingnya saat hari raya). Tradisi ini dikenal masyarakat Bali setiap merayakan hari raya Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu.

Kendati tidak diatur dalam Alquran, namun tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan warga Pegayaman. "Kami sesuaikan dengan adat sekitar lingkungan," ujarnya.

Lebih dari itu, adat lain yang disebut ngejot (memberi jajan atau makanan kepada kerabat dan tetangga) juga dilakukan karena telah menjadi tradisi masyarakat setempat. Begitu pula sehari menjelang hari raya lebaran atau oleh umat Hindu disebut penampahan yakni warga mnyembelih sapi untuk kepentingan hari raya dan dilakukan berkelompok maupun sendiri-sendiri.

Hanya bedanya, warga Muslim Desa Pegayaman masih memiliki perbedaan dengan muslim lain di Bali selama bulan suci Ramadan. Muslim di Desa Pegayaman melakukan salat Tarawih menjelang malam pukul 22.00 WITA. Alasannya, salat Tarawih dilakukan menjelang tengah malam ini demi memberi kesempatan lebih awal pada kaum wanita yang memiliki banyak kesibukan.

Selain itu, letak tempat tinggal antarwarga yang berjauhan satu sama lain. Selesai salat Tarawih, dilanjutkan dengan tadarus Alquran, yang biasanya dimulai dari pukul 23.00 WITA

Semuanya ini, demikian Imam Nengah Syaiful Zakaria, sudah dilaksanakan sesuai ajaran Alquran dan Hadis Nabi. Warga Desa Pegayaman pun tak pernah mempersoalkannya. Termasuk, soal ketetapan bersama bahwa di desa unik Muslim asal Blambangan ini, tetap berdiri hanya satu masjid. Masjid Safi Natussalam, sebagai lambang pemersatu umat dan masyarakat di sekitarnya. Bagi siapa pun yang ingin mendirikan tempat ibadah, silahkan tapi cukup setingkat bangunan musala dalam ukuran kecil saja. (Jos Larantukan/"PR")***

Tulisan tersebut diambil dari Pikiran Rakyat, tapi waktunya entah kapan.
ReadMore »

Komunitas Muslim di Soka, Tabanan, Bali

Bahasa Bali Abdul Rasyid (70), terasa sangat kental. Itu terlihat saat dia bertutur tentang berbagai hal, terutama yang terkait dengan keberadaan umat Islam di Desa Soka, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Dia bahkan nyaris tidak bisa menjawab saat diajak bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia.
Beberapa kali dia terdiam ketika diajak ngobrol dengan bahasa nasional. Dia bahkan meminta kemenakannya, Fatimah, memanggil salah seorang kerabatnya yang mengerti berbahasa Indonesia. Namun dia akhirnya bertutur lancar, setelah pertanyaan-pertanyaan disampaikan dengan menggunakan bahasa Bali. Beberapa saat kemudian, seorang sepupunya, Muhammad Safei, ikut nimbrung.
"Umat Muslim Soka sudah lebih dari seabad tinggal di desa ini dan sehari-harinya lebih banyak menggunakan bahasa Bali," tutur Abdul Rasyid yang dikenal dengan panggilan Wak Nahudin, dengan bahasa Bali halus. Lelaki agak jangkung itu adalah salah seorang dari tujuh kepala keluarga Muslim yang tinggal di Desa Soka. Yang lainnya juga masih kerabat dekatnya, yakni sebagai generasi ketiga dari Al Hamzah, seorang keturunan Bugis Bone yang hijrah ke Bali di masa penjajahan Belanda.
Belakangan datang dua keluarga Muslim dari tanah Jawa ke desa itu, namun mereka tinggal agak jauh, tidak mengelompok sebagaimana keluarga Abdul Rasyid. Desa Soka terletak di kaki sebelah selatan gunung Batukaru. Kendati lebih dekat dengan Kecamatan Penebel, namun secara administrasi pemerintahan, daerah itu masuk dalam wilayah Kecamatan Baturiti, se-kecamatan dengan kawasan obyek wisata Bedugul. Untuk mencapai desa yang terletak sekitar 25 kilometer sebelah utara kota Tabanan itu, diperlukan waktu sekitar 20 menit dengan kendaraan bermotor.
Kawasan ini tidak seterkenal desa-desa tetangganya. Sebagai penghasil sayur mayur, Soka tidak sekaya desa Utu dan Senganan, Kecamatan Penebel, yang terkenal dengan peternakan unggasnya. Sebagai penduduk yang secara turun temurun tinggal di Soka, Muslim Soka sangat adaptif dan berbaur dengan penduduk setempat. Beberapa orang dari mereka bahkan menikahi putri-putri Hindu dan diajak memeluk Islam.
Hubungan kekerabatan di sana sangat harmonis, satu sama lain saling menghormati. Mereka juga kerap saling membantu bila sesama mereka ada hajatan, seperti upacara perkawinan, atau gotong royong membangun fasilitas umum, termasuk tempat-tempat ibadah.
Secara sepintas sangat sulit membedakan Muslim Soka dengan umat Hindu yang menjadi mayoritas di sana. Selain bahasa sehari-hari yang menggunakan bahasa Bali, Muslim Soka juga mengadopsi sejumlah tata cara kehidupan sosial masyarakat Hindu, mulai tata busana, sampai kepada kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti ikut aktif di kegiatan subak dalam mengelola pertaniannya.
Bahkan dalam acara seremonial perkawinan, Muslim Soka juga ikut ngelawar, yakni membuat masakan khas Bali, namun bahannya menggunakan daging ayam. Oleh tuan rumah atau sohibul hajat, mereka dipercayakan untuk memasak sendiri lawar ayam itu di tempat pemilik acara, yang kemudian khusus disajikan kepada tamu-tamu yang beragama Islam.
Yang membedakan mereka hanya kegiatan ibadahnya saja. Umat Muslim bergegas badahnya. Umat Hindu sangat tertib menjalankan agamanya. Begitu pula Muslim Soka, segera bergegas menuju masjid kecil di pinggiran kampung tempat tinggal mereka begitu waktu shalat tiba. Mereka selalu duduk di masjid dari Maghrib hingga Isya, sambil mengisinya dengan bacaan-bacaan Al Quran. Begitu pula seusai menunaikan shalat subuh. Dari masjid kecil berukuran 10 x 10 meter itu berkumandang lantunan ayat-ayat suci Al Quran, yang ikut memberi warna sakral kehidupan masyarakat Soka.
Terpusat di Masjid Al Hamzah
Warga muslim Soka memiliki masjid kecil yang diberi nama Al Hamzah. Masjid ini didirikan sekitar 1978 atas bantuan dari seorang anggota polisi beragama Islam yang bertugas di sana. Ketika itu dirasakan sulit mencari tempat ibadah, yang kemudian diadakan rembukan dan disepakati mendirikan sebuah masjid di atas tanah yang diwakafkan oleh keluarga Abdul Rasyid. Kini masjid itu menjadi pusat kegiatan keagamaan di desa itu. Bahkan pada hari Jumat, jamaah shalat Jumat juga datang dari beberapa edsa tetangga.

Saat pembangunannya, umat Hindu di Soka tidak diam berpangku tangan. Mereka ikut serta membantu dan bergotong royong menyelesaikan bangunan, hingga masjid dapat dipergunakan. Kebersamaan antara umat yang berbeda keyakinan itu aku, Mohammad Safei, masih berlanjut sampai sekarang. "Kalau kami ada kesibukan memperbaiki masjid, biasanya umat Hindu juga datang membantu," kata Abdul Rasyid.
Muslim Soka terkesan sangat menghindarkan sikap agresif dalam melaksanakan tuntunan agama, sebaliknya dapat kooperatif dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Kehidupan muslim Soka yang terpencil, namun bisa diterima dan dapat beradaptasi dengan umat Hindu, merupakan salah satu contoh keakraban yang harus tetap dibina dan dipertahankan.
Menurut Ketua Pimpinan Cabang Al Irsyad Al Islamiyyah Kabupaten Tabanan, Novel Ali Baraas SE, kehidupan antar umat beragama yang guyub di Soka adalah khas Bali. Pihaknya aku Novel, sudah lama berkomunikasi dengan Muslim setempat, terutama untuk menjalin dan menjaga silaturrahmi dengan sesama Muslim.
Al Irsyad aku Novel, yang memiliki program pembinaan kepada umat melalui kegiatan dakwah, sangat berhati-hati masuk ke daerah seperti Soka. Ini dimaksudkan agar pembinaan yang diberikan benar-benar efektif dalam rangka mendorong kehidupan masyarakat menjadi lebih baik, terutama dalam akidah, ibadah, dan pergaulan dalam bermasyarakat.
Karena itulah aku Novel, kendati diminta oleh tokoh-tokoh setempat untuk memberikan pembinaan dan ceramah-ceramah, pihaknya masih menahan diri, sambil mencari dan merumuskan dakwah macam apa yang diperlukan di sana. "Kita ingin dakwah kita efektif, tidak merusak tatanan yang sudah baik. Dengan diagnosa yang pas, resep yang diberikan tentu harus yang cocok pula, maka hasilnya pasti akan bagus," kata Novel.

Tulisan ini diambil dari berita di Pikiran Rakyat, tapi saya lupa kapan waktunya.
ReadMore »

13 Agustus 2007

Mengupas Rentalisasi Pulau

Mengupas Rentalisasi Pulau 
Oleh Gede H. Cahyana 
Konon, senyum permaisuri nan cantik amat menawan. Bak untaian zamrud katulistiwa. Memukau Sang Raja, hulubalang dan rakyatnya. Sayangnya, ia hanya tersenyum sekali saja yakni saat penobatan suaminya menjadi raja. Agar tersenyum lagi, Sang Raja dibantu oleh hulubalang dan penasihatnya mencari akal. Keputusannya, bunyikan genderang perang di tengah sunyi malam. Benarlah, Sang Permaisuri tersenyum manis melihat kehebohan rakyat menyambut bunyi genderang perang. 

Sebaliknya, rakyat bersungut-sungut sembari masuk serambi rumahnya ketika menyadari genderang itu hanya untuk memuaskan keinginan Raja, hulubalang dan penasihatnya. Sekian bulan kemudian, ketika benar ada serbuan musuh dari delapan penjuru angin, genderang perang pun ditabuh bertalu-talu. Istana dikepung. Namun telah terlambat. Tak ada rakyat yang bangun karena pertahanan berbasis massa telah sirna. “Pasti Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,” bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan. Dan kata sahibul hikayat, kerajaan itu - esoknya - telah dikuasai musuh. Pedihnya, musuh itu ternyata kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana. Rupanya, telah lama dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan kecil di sekitarnya. 

Rentalisasi pulau 
Telah santer niat pemerintah menyewakan pulau-pulau kecil di nusantara. Meskipun definisi “kecil”, termasuk luas dan potensinya, belum diungkap dengan jelas. Yang mengagetkan adalah substansi liputan koran ini (15/5) di bawah judul “Penyewaan Pulau Buka Lapangan Kerja”. Dengan jumlah, konon 13.677 pulau atau 17.000-an pulau menurut pendapat lain - entah berapa jumlahnya yang tepat - tersirat keinginan pemerintah untuk menarik investor asing dan seperti kehabisan akal melawan degradasi ekonomi. Sementara itu, IMF makin membulan-bulani pemerintah dan merajakan dirinya di Indonesia selama tiga dekade terakhir. Tragis memang. Sebuah negara adidaya secara geografis, demografis dan sumber daya alam bernasib seperti ayam mati di lumbung padi sehingga berniat merentalisasi gugusan pulaunya. Tak dipungkiri, rentalisasi pulau ada sisi baiknya. Penghasil devisa dan lapangan kerja adalah diantaranya. Namun hendaklah dikaji banding dengan potensi buruk yang mungkin muncul. 

Pernyataan yang menganggap mubazir gugusan nusa kecil itu, sesungguhnya kurang tepat karena menyewakannya justru akan memubazirkan dimensi ekologinya pada masa depan. Kendati peruntukannya hanya untuk empat macam kegiatan yakni sebagai lahan konservasi, budidaya laut, wisata dan perikanan tangkap, namun pengalaman membuktikan. Selama ini, idealisasi hanya ada pada tataran formal. Implementasinya jauh panggang dari api. Secara teoretis, pembatasan 40% luas pulau yang boleh dibangun dan sisanya untuk kawasan lindung, memang memungkinkan. Namun siapa yang menggaransi? Pembabatan hutan di pulau-pulau besar saja sulit dicegah meskipun diawasi dengan ketat. Hasilnya, laju deforestasi hutan kita mencapai 1,5 juta ha/tahun (skala mondial 17 juta ha per tahun untuk dekade terakhir). Dan disinyalir, tak sampai habis paruh pertama abad ke-21 nanti, hutan pun lenyap dari bumi nusantara, menambah “dosa-dosa” ekologi kita. 

Rentalisasi pulau juga berisiko dari sisi politis, pertahanan dan keamanan. Atau bahasa lugasnya, penjajahan. Karena memberikan koridor kepada kolonialisme secara geografis dan politis! Tiga aspek signifikan di atas mempengaruhi “ijab - kabul” sewa-menyewa yang melibatkan institusi kenegaraan bilateral. Ketergesa-gesaan ketika perangkat hukum dan nota kesepahaman belum jelas, dapat menjadi preseden. Dan taruhannya adalah harga diri sebagai negara berdaulat karena sekarang, ketika belum ada penyewaan pulau, spionase melintas jelas di depan mata. Kasus intersepsi pesawat mata-mata Australia oleh TNI AU, hanyalah satu contoh yang terdeteksi dan diungkap luas ke publik. Bagaimana dengan yang tidak kentara? Termasuk di sini, aktivitas para imigran gelap (kasus imigran Irak) atau para agen rahasia lainnya. Aksesnya tambah leluasa, meloncat antar pulau dengan mudahnya. Juga bagaimana menjamin keamanan (kamtibmas), mencegah perampokan, pembabatan lahan konservasi dan perompakan laut. Gerombolan perompak makin leluasa berkelit di antara pulau dan pencuri ikan menghilang di antara seliweran kapal. Saat ini, berapa banyak pencuri ikan yang menggunakan pukat harimau (trawl) di perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, lolos begitu saja. Bahkan mereka merambah Laut Jawa, kawasan laut Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat - Timur. Mungkin kasus yang lebih parah terjadi di Kep. Maluku. Mampukah polisi perairan dan angkatan laut melakukan pengawasan melekat? Terlebih jika kalangan pabean, keamanan dan petugas terkait teledor atau mampu disusupi isu KKN. Jadi takkan ada sabuk keamanan (security belt). 

Kebijakan ini pun akan membangkitkan pencurian harta karun seperti keramik, arca dan material dari kapal kandas ratusan tahun silam. Siapa penjamin bahwa tidak ada kegiatan ilegal? Karena di pulau besar yang ramai saja kegiatan ilegal dan asusila sangat marak. Logikanya, di pulau kecil terpencil tentu lebih wah karena lebih bebas, lepas dari pantauan polisi dan masyarakat. Ajang judi dan prostitusi di Pulau Batam khususnya kawasan Nagoya dan Batu Ampar, telah menjadi rahasia umum. Di Nusa Dua (Provinsi Bali) kini, secara de facto seolah-olah bukan milik warga Bali lagi karena terlalu banyak bule. Termasuk risiko kerusakan ekologi darat dan pesisir di P. Menjangan - pulau kecil di penjuru Barat Laut Pulau Bali. Berikutnya, kerusakan budaya plus warga setempat menjadi keniscayaan akibat dari belum tercerahkan. 

Di kota saja, tak terhitung jumlah kaum terdidik apik yang mengadopsi mentah-mentah budaya asing tanpa memilah dan memilih secara selektif. Apatah lagi suku asli yang masih miskin ilmu itu. Imbas budaya asing yang represif dan akulturasi yang amat kuat, bertentangan dengan tradisinya. Selain itu, warga asli hanya akan menjadi buruh majikan asingnya. Membangun ironi di tanah leluhur. Sepatutnya, mereka diberi ruang hidup merdeka. Tidak dieksploitasi keterasingannya, dipinggirkan dan dijadikan komoditas wisata belaka. Akan tiba waktunya, budaya asing menjelma jadi racun lewat perubahan gaya hidup. Warga mengalami gegar budaya (cultural shock) sehingga tak ada cultural belt ataupun cagar budaya seperti yang diharapkan. 

Lebih buruk lagi, jika dihubungkan dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (otonomi daerah). Bukan tidak mungkin konflik terjadi antara dua atau lebih kabupaten akibat rebutan pulau. Contohnya, Kep. Seribu mau dimasukkan kemana? Apa ke salah satu kabupaten di Provinsi Jabar, Lampung atau ke Kota Jakarta Utara? Dan daerah yang punya pulau kecil akan berusaha “menjualnya” kepada asing dengan selektivitas rendah demi pendapatan asli daerah dan demi pembangunan daerah. Kemudian, muncullah “raja-raja” kecil di setiap pulau rental itu dan jumlahnya mencapai ribuan. Malah saatnya kelak, rental pulau bergeser menjadi Hak Milik Pulau seperti yang disinyalir terjadi di Kep. Seribu. Dan tentu menyulitkan pemantauan aktivitas “Sang Raja” di pulaunya. Salah-salah, justru kita yang dituduh memata-matai mereka. 

Kontra agenda ekologi 
Rentalisasi pulau, sedikit banyak kontra dengan agenda ekologi yang disematkan Presiden Abdurrahman Wahid yaitu peduli terumbu karang (coral reefs). Pogram yang diakronimkan menjadi SeKarang (selamatkan terumbu karang) itu pun dinilai masih parsial karena ada diferensiasi kebijakan wilayah pesisir. Belum terpadu dengan kebijakan hutan bakau (lebih tepat: hutan mangrove) yang notabene flora pantai, tetangga terumbu karang. Jika ada SeKarang hendaknya sematkan pula SeMBakau (Selamatkan Mangrove/Bakau) sehingga membantu melanggengkan ekologi di gugusan nusa kecil tersebut. Niat merentalkan pulau telah menyajikan kebijakan tumpang tindih kendati masih dalam ranah wacana. Pasalnya, gugusan nusa yang ingin direntalkan itu justru dikitari oleh terumbu karang dan mangrove yang cenderung didegradasi. Kondisinya parah, saat ini ketika belum ada rental pulau secara de jure. Apatah lagi jika rental telah diberlakukan. Tentu pemusnahan hutan bakau (the coastal green belt) semakin sistematis. 

Dulu, luasnya di Indonesia 4,25 juta ha. Namun kini, taksiran optimisnya hanya 3 juta ha sedangkan pesimisnya 2,5 juta ha. Inilah dampak dari serbuan komersial, pertambangan, tambak, pertanian dan pemukiman yang tak ramah laingkungan. Celakanya, kerusakan bakau berefek domino. Berantai! Jika bakau rusak maka fotosintesis yang memanfaatkan gas karbondioksida di pesisir berkurang. Selain meningkatkan pemanasan global (global warming) juga memperbesar kelarutannya di air laut. Lembaga lingkungan Jepang NIRE (National Institute for Resources and Environment) berhipotesis, 50% CO2 dari kegiatan manusia (antropogenik) dijerap (absorbsi) oleh laut. Dan ini yang menggerus karang sehingga memperparah kerusakannya. Terlebih, proyeksi kadar CO2 tahun 2065 adalah duakali dari kadarnya pada era pra-industri (tahun 1800). Menurut Joan Kleypas dkk (Science Vol. 284, April 1999) tingkat penurunan kalsifikasi (pengapuran) sampai tahun 2100 adalah 35% dan berdampak pada penurunan potensi tumbuh karang (Reef-Building Capacity) sehingga karang menjadi getas (fragile coral skeleton). Terjadi reduksi pertumbuhan dan peningkatan laju erosi yang bermuara pada kehancuran terumbu karang. Ini pun diakui oleh Menteri Sarwono, yang menyebutkan hanya ada tujuh hingga sepuluh persen saja kondisi terumbu karang yang tergolong sangat baik dari total luas 60.000 km2. “Jumlah kerugian akibat kerusakan tersebut,” demikian Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan, “ sampai 1,2 juta dollar Amerika per tahun.” Atau mari bercermin pada tenggelamnya Pulau Air Kecil, Ubi Besar, Ubi Kecil dan Vader Smith di Kep. Seribu akibat pengambilan terumbu karang. 

Lebih jauh, kebijakan kontra ekologi tersebut melawan Teori Biografi Pulau (Theory of Island Biography), hasil sintesis MacArthur dan Wilson (1967). Akan muncul pergeseran kesetimbangan pulau - terlebih pulau kecil - dan rentetan dampaknya bukan saja sekarang namun ke depan khususnya bidang kesehatan, farmasi dan laboratorium aneka riset yang tak ternilai harganya. Termasuk punahnya biomaterial - yang dihebohkan saat ini - sehingga kita seperti kebakaran jenggot, tercolong di siang bolong. Apalagi jika ditimbang dengan devisa yang diperoleh sekejap ini. Sungguh tak sebanding. Isu (tema wacana) ini pun memiriskan hati jika dikaitkan dengan polusi limbah beracun dan berbahaya. Telah banyak kasus jual beli limbah atau bahan urugan yang terkontamisasi B3 (bahan berbahaya beracun) di pulau kawasan Selat Malaka. Bahkan Singapura terang-terangan mengekspor limbah ini ke P. Batam dan sekitarnya. 

Maukah kita hidup di “kubangan” senyawa toksik dan radioaktif yang dibenamkan di pulau - pulau kecil itu? Maukah kita menyulut bom waktu bencana lingkungan yang saatnya kelak meledak? Karena, sebagus apapun peraturannya - seperti pengalaman saat ini - fakta membuktikan, itu hanya di atas kertas. Sulit mempercayainya, apalagi jika mereka adalah warga asing yang patriotismenya terhadap negara kita dipertanyakan. Daripada menyimpan limbah beracun di negaranya, lebih murah dan aman bagi mereka dengan menjualnya atau mengirimkannya (tentu secara diam-diam) ke pulau-pulau kecil di nusantara. Selain itu, “perkosaan” pulau makin gencar dan lancar dengan tameng studi AMDAL. Namun tradisi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) tersebut sering nyata tapi semu (virtual reality), fiktif dan mengedepankan profit and power sharing belaka. Banyak perilaku konsultan AMDAL yang laporannya hanya mengganti nama kota dan judulnya saja. Isinya sama dan sebangun dengan laporan lain yang telah dikerjakan sebelumnya. Anehnya, pemerintah (pusat dan daerah) oke-oke saja dan tahu sama tahu. Amat mengenaskan, memang! 

Fokuskan ke laut 
Pulau tak dapat dipisahkan dengan laut karena “kaki” pulau adalah alas laut. Daripada rentalisasi pulau, lebih aman meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi harta karun di laut. Potensi ekologisnya yang besar dan bernilai ekonomis, belum banyak disingkap atau hanya sebatas tataran formal, bahan diskusi saja. Akibatnya, pembangunan kelautan masih berjalan parsial sehingga hasilnya tidak optimal. Padahal ada lembaga dan jurusan di perguruan tinggi yang subjeknya bidang kelautan. Lalu, kemana arah kebijakan, teknologi dan mutu SDM yang hendak memberdayaan ekonomi rakyat khususnya nelayan, kaum pesisir yang “terpinggirkan”? Dan kapan kita mampu meraih kejayaan laut zaman Majapahit, Sriwijaya dan Samudra Pasai? Jalesveva Jayamahe? 

Jika dirinci, sangat banyak sektor yang dapat didevisakan dari laut. Mulai dari perikanan, transportasi dan wisata bahari hingga ke pertambangan, “pertanian”, farmasi dan energi (biomassa, angin dan gelombang). Tim riset Gordon McKerron dari Sussex University, seperti ditulis New Scientist, May 1998 menyatakan bahwa perbandingan harga (the price of power) energi gelombang terhadap energi gas, angin, batubara dan nuklir adalah 2,6 : 2,5 : 3,0 : 4,0 : 4,5 pence/kWh. Jadi, energi gelombang adalah potensi energi masa depan sebagai energi terbarui (renewable energy) yang takkan pernah habis dan relatif murah. Dengan demikian, geliat ekonomi, untuk saat sekarang sebaiknya tetap di pulau besar. Berbarengan dengan itu, nilai kembali niat merentalkan pulau-pulau kecil sebagai ujud kecintaan kepada tanah air. 

Biarlah gugusan nusa itu menjadi aset masa depan ketika populasi warga kita telah melimpah sehingga harus mengisi gugusan tersebut. Sebagian kalangan berharap agar pemerintah pusat mau mendengar, melihat dan menjawab argumentasi dan opsi yang ditawarkan masyarakat. Restrukturisasi ekonomi didukung oleh devisa ramah lingkungan yang diperoleh lewat sabuk ekonomi (economic belt) namun tidak mengorbankan sabuk ekologi. Terlebih sabuk hankam, politik dan budaya. Sekaligus memasyarakatkan berfikir ekologisentris bukan ekonosentris semata. Dan akhirnya, semoga kisah rekaan yang mengawali artikel ini, tidak mewujud di sini.
ReadMore »

5 Agustus 2007

SPMB: Tips Belajar di PT

Tips Belajar di Perguruan Tinggi

Mulai Mei 2012 ini, semua perguruan tinggi, baik sekolah tinggi, institut, akademi, politeknik, maupun universitas melaksanakan penerimaan mahasiswa baru. Calon mahasiswa pun sibuk mendaftarkan diri. Ada yang ingin lulus di PTN (perguruan tinggi negeri), ada juga yang lebih suka langsung mendaftar ke PTS (perguruan tinggi swasta) tanpa ikut ujian SNMPTN. Ada juga yang akhirnya kuliah di PTS karena tidak lulus SNMPTN. 
Namun demikian, di mana pun kuliah, di PTN maupun PTS, hakikatnya sama, yaitu sama-sama menjadi masyarakat akademis. Patut diakui, perguruan tinggi memiliki relung khas di hati mayoritas masyarakat. Buktinya, banyak yang ikut ujian SNMPTN. Juga banyak yang kuliah di PTS. Secara nasional, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai 3.070-an, 83 unit berupa PTN (3%). Sisanya PTS (97%). Oleh sebab itu, hendaklah pemerintah berupaya mengembangkan PTS karena menjadi salah satu tiang kekuatan pendidikan dan riset di Indonesia. 

Sebagai pusat keunggulan, perguruan tinggi adalah sumber pemikir (think tank). Sejarahnya bisa ditarik jauh ke masa sebelum Masehi, ke zaman Yunani kuno ketika cendekiawannya membagikan ilmu dari rumah ke rumah termasuk ke istana raja. Salah satu filosof dan pakar geometri yang akrab di telinga kita ialah Phytagoras (580 – 500 SM), sang penemu rumus untuk menghitung sisi miring (hypotenuse) segitiga siku-siku. Hanya saja, menurut sejarah, Platolah dianggap penemu perguruan tinggi bernama Academy. Rintisannya ini dilanjutkan Aristoteles dengan mendirikan Lyceum. Lantas kian berkembang pada masa Romawi, pada masa Islam di Timur Tengah dan Asia Barat lalu bergerak ke Eropa pada masa renaissance (renesans, pembaruan) hingga sekarang. 

Faktanya, masyarakat masih memandang prestisius jenjang pendidikan tinggi karena banyak hal baru di dalamnya. Belajar di SMA, SMK, atau Madrasah Aliyah biasanya bersifat monolog. Di perguruan tinggi berbeda. Di kalangan kampus, cara belajarnya lebih mengutamakan dialog. Secara ringkas di bawah ini diberikan tips belajar di perguruan tinggi untuk mahasiswa baru, baik yang kuliah di PTS maupun PTN. Poin-poin di bawah ini bersifat fleksibel, bisa diperluas atau dipersempit. 

Tips Belajar

Inilah tips belajar buat yang sukses menjadi mahasiswa baru di PTN atau PTS.
  1. Jadikan belajar sebagai hobi. Sikap ini membantu konsentrasi kamu dan mengurangi stres. Kata pakar pendidikan Gordon Stokes, 80% kesulitan belajar terkait dengan stres.
  2. Jangan bolos. Jika kuliahnya membosankan karena dosennya kurang komunikatif atau materinya sulit, teruslah hadir. Kalau sering absen, kamu akan rugi biaya, tak dapat ilmu dan mungkin tidak lulus. Agar bisa belajar efektif, kata Stockwell, kamu harus melihat, mendengar, dan merasakan. Bolos berarti kehilangan ilmu. Catatan memang bisa dipinjam dari teman, tetapi tidak semua ucapan dosen akan sempat dicatat. Kuliah mutlak perlu untuk menguatkan kesan visual dan melatih alur berpikir.
  3. Buatlah catatan kuliah. Catat yang penting-penting saja. Agar cepat, gunakan singkatan atau kode khas buatan kamu dan mudah diingat. Jangan asal tulis, tapi berpikirlah saat mencatat.
  4. Jika belum mengerti, bertanyalah. Jangan malu bertanya karena teman pun mungkin belum mengerti. Teman kamu pasti berterima kasih karena kamu bertanya tentang sesuatu yang dia pun belum mengerti meskipun tak diucapkannya.
  5. Setiap selesai kuliah, bacalah catatan sekali lagi. Sekilas saja. Lalu cari penjelasan detail di buku teks. Buatlah catatan ringkas dari setiap topik yang dibaca.
  6. Temukan gayamu. Setiap orang punya cara khas dalam belajar. Jika suka musik, putarlah musik favoritmu atau gunakan walkman. Jika suka sepi, carilah tempat dan waktu yang pas agar suasananya sunyi.
  7. Buatlah grup belajar agar sering diskusi. Anggotanya cukup lima orang. Temuilah dosen atau asisten jika ada kesulitan dalam memahami kuliah.
  8. Bacalah buku yang disarankan dosen. Garisbawahi atau stabiloi kata, kalimat penting (jika buku milik sendiri). Jika buku pinjaman, foto kopilah bagian yang perlu saja atau catat dengan kalimat sendiri.
  9. Menjelang UTS, UAS segarkan ingatan dengan mengulang (review) bahan kuliah. Jangan lakukan SKS: sistem kebut semalam.
  10. Last but not least, jadikan belajar sebagai ibadah agar semangat. Ingatlah, mahasiswa adalah masyarakat akademis berciri cerdas, egaliter, senang membaca, menulis dan mengembangkan ilmu & teknologi (iltek) yang berbasis imtak (iman dan takwa).
Karena bebas berpendapat secara lisan dan tulisan, mahasiswa jangan segan apalagi takut bertanya kepada dosen. Dosen yang baik selalu siap memberikan penjelasan kepada mahasiswanya. Sikapnya terbuka, mau menerima pendapat mahasiswanya yang berbeda. Artinya, dosen tidak selalu betul karena ilmu & teknologi terus berkembang. 

Selamat belajar.*
ReadMore »

Kisah Air Jernih

Pekan lalu, di depan siswa kelas satu SMKN 7 Kota Bandung, saya berkisah tentang air. Dalam obrolan itu, saya bertutur begini. Suatu siang sehabis olah raga, kamu haus banget. Sudah dicari ke mana-mana tapi penjual es dan minuman ringan kesukaanmu tak jua ada. Dengan rasa haus yang menyekat kerongkongan dan langkah gontai, kamu masuk kelas.


Pucuk dicinta ulam tiba! Di sana kamu lihat ada segelas air jernih. Gelasnya bening, setinggi 10 cm dan isinya kira-kira 200 ml. Kamu tidak tahu siapa empunya air itu dan tak ada siapa pun yang bisa ditanyai. Pertanyaannya, beranikah kamu minum air itu dengan asumsi kamu bukan pencuri? Ingat, pada kasus ini, kamu bukan pencuri! Beranikah kamu meminumnya?

Itu kisah pertama. Berikutnya kisah kedua. Misalkan kamu diberi dua gelas air. Yang satu airnya tampak jernih dan satunya lagi agak keruh. Ingat, bukan air keruh melainkan air yang agak keruh. Kata “agak” perlu ditekankan di sini. Artinya, tidak betul-betul keruh seperti layaknya air sungai di Pulau Jawa. Jika kamu disuruh minum airnya, air mana yang akan kamu pilih? Air jernihkah atau yang agak keruh?

Waktu itu saya katakan, kalau kamu paham makna air bersih dan air jernih dan paham juga bedanya, pasti kamu tidak berani minum air pada kasus pertama dan juga pada kasus kedua jika tidak ada keterangan tambahan. Keterangan tambahan diperlukan untuk memastikan bahwa air yang di gelas-gelas itu betul-betul bersih sehingga tidak membahayakan kesehatan. Apakah keterangan tambahan itu? Itulah yang disebut parameter kualitas air.

Orang yang hati-hati dan waspada demi kesehatannya tidak akan berani minum air walaupun tampak jernih. Sebab, air jernih sangat mungkin mengandung bakteri, bahkan banyak bakterinya. Lebih parah lagi kalau berisi bakteri patogen yang dapat menyebabkan diare, disentri, tifus, dan sakit lainnya. Jernih hanyalah salah satu aspek dari sekian banyak aspek dalam parameter kualitas air minum. Tergolong parameter fisika, jernih perlu dilengkapi dengan informasi lainnya seperti warna, rasa, bau, suhu atau temperatur, dan daya-antar-listrik (DAL).

Pada kasus dua gelas di atas, boleh jadi air yang agak keruh lebih layak diminum daripada yang tampak jernih. Andaikata diberi keterangan bahwa air di gelas yang airnya agak keruh itu sudah diolah sehingga kualitas kimia dan bakteriologinya memenuhi syarat, maka tak ada alasan untuk menolaknya. Ia bisa diminum dengan aman. Sebab, kekeruhan hanyalah disebabkan oleh koloid (tanah lempung). Apabila airnya sudah didisinfeksi atau dididihkan sehingga bakterinya mati maka airnya sudah bersih walaupun “agak” keruh. Jadi, air keruh dalam batas-batas tertentu boleh jadi lebih layak diminum daripada air jernih yang belum didisinfeksi!

Hanya saja, jika disuruh memilih tentu saja yang baik ialah air jernih yang juga bersih. Atau, air bersih yang juga jernih. Namun, tak cukup hingga di sini. Ada lagi parameter lain yang perlu diuji apakah sesuai dengan baku mutu air minum, yaitu parameter kimianya.

Kembali ke soal kekeruhan (turbidity), apa sebabnya? Cobalah ini. Ketika hujan, tataplah air hujan di halaman rumahmu. Keruh, bukan? Cobalah ambil segelas lalu perhatikan. Sekejap setelah gelas ditaruh di meja, airnya mulai tampak tenang, diam dan kelihatan ada yang mengendap. Itulah partikel kasar (coarse solid), partikel yang langsung mengendap segera setelah airnya didiamkan. Jika airnya banyak mengandung patikel tersebut maka tak berapa lama kemudian airnya tampak lebih jernih. Beranikah kamu meminumnya?

Sekarang tuangkan atau pindahkanlah air yang sudah agak jernih itu ke gelas kosong lainnya. Hati-hati, jangan sampai endapannya ikut pindah. Kini kamu punya air agak jernih yang berisi partikel berukuran lebih halus daripada partikel kasar tadi. Namanya partikel tersuspensi atau terambang dan sering disingkat suspensi (suspended solid). Butuh waktu lebih lama, bisa dua atau tiga jam untuk mengendapkan partikel tersuspensi ini. Dalam kondisi alami di danau apalagi di sungai partikel ini sulit mengendap karena airnya tidak tenang, terus mengalir atau terus bergerak. Sedikit adukan saja, takkan terjadi pengendapan. Malah yang sudah mengendap pun bisa terangkat lagi, tersuspensi lagi sehingga airnya keruh lagi.

Ada satu lagi partikel lainnya, yaitu koloid. Inilah partikel lempung yang susah diendapkan tanpa bantuan zat kimia. Karena permukaannya bermuatan listrik, biasanya negatif, maka antarkoloid akan tolak-menolak. Akibatnya, terjadi kestabilan koloid sehingga semua partikelnya melayang-layang di dalam air dan tampak keruh. Didiamkan berjuta-juta tahun pun, secara teoretis, partikel sangat halus ini takkan mengendap. Penyebabnya: stabilitas koloid!

Bisa dikatakan, di sungai yang airnya bergolak terutama setelah hujan, jenis partikel yang terbanyak ialah partikel kasar atau lumpur. Di danau dan air tenang lainnya yang terbanyak berupa partikel tersuspensi dan koloid. Bahkan di air yang sangat tenang atau diam, pasti tak ada partikel kasar karena semuanya sudah mengendap. Di sungai atau danau, kekeruhan berefek pada “tipuan” kedalaman air lantaran cahaya yang masuk ke badan airnya terganggu. “Tipuan” ini terjadi karena berkaitan dengan penyerapan atau absorbsi cahaya sehingga tampak lebih dangkal.

Selain absorbsi ada lagi efek perpendaran cahaya oleh partikel tersuspensi dan koloid yang besarnya dipengaruhi oleh ukuran partikel dan sifat permukaannya. 

Contohnya begini. Masukkanlah pelan-pelan satu butir tanah ke dalam segelas air. Jangan diaduk! Bagaimana hasilnya? Air di gelas tidak keruh, kan? Tetapi cobalah aduk sekuat-kuatnya sehingga butiran tanah itu hancur menjadi sekecil-kecilnya. Apa yang tampak? Betul, air tampak keruh. Satu butir partikel lalu dihancurkan menjadi jutaan partikel koloid akan tampak keruh walaupun massanya tetap. Apa yang akan terjadi kalau butir tanah itu ditambah terus menjadi seribu butir, sejuta butir, dan seterusnya? Inilah yang terjadi di sungai ketika hujan.

Asyik nggak obrolan ini? Lain waktu disambung lagi, khususnya tentang penyebab kekeruhan secara lebih detail.

Ok... have a nice day and study hard.
Remember, Bandung is attributed as a vocational city. And you, as one of the students of the best vocational school in Bandung that has “Sistem Manajemen Mutu ISO 9001: 2000, certified by PT TUV Jerman” have some duties to look after the school and take care of the “K3: Ketertiban, Kebersihan, Keindahan” as a valuable point of our environment.

Save our city from risk, danger or hazard of pollution. And I am sure, Parijs van Java has still an abundant supply of ecologist, environmentalist and people who love the city. How about the public servants? Let’s “bismi rabbi, ya.. my Allah, please help our leader to become “amanah”, honest .... work honestly.

So, by using this blog too, I hope there will be a better change in the attitude, characteristic of the people of Bandung to their environment. Thank’s.
ReadMore »

Buku Murah, Adakah?

Menyambut tahun akademik 2007/2008, Ikapi Jawa Barat menggelar pameran buku pada pekan pertama Agustus ini. Ada hal klasik pada setiap pameran buku, yaitu pertanyaan: adakah buku murah? Adakah buku-ajar (textbook) dan buku pelajaran sekolah yang murah di sana?
Membandingkan harga buku, perlu ditinjau dulu harganya di luar pameran. Membeli buku di toko biasanya tidak mendapat diskon. Kalaupun ada, hanya pada saat tertentu. Harga buku di toko besar sudah dibandrol di bawah barcode (zebralis). Zebralis ini biasanya ditaruh di sampul belakang buku, berdampingan dengan ISBN. Nomor buku menurut standar internasional ini dapat juga dijadikan kode harga yang secara elektronik bisa diketahui di komputer kasir.
Yang pasti, harga buku di toko berbeda dengan di bursa atau di pameran. Di bursa buku Palasari Bandung misalnya, harganya “miring”. Ada yang berdiskon 15%, 20%, ada juga yang 25%. Bahkan ada yang 30%. Persentasenya bergantung pada diskon yang diberikan penerbit atau distributornya. Ada malah yang berani memberikan diskon 50% dan tak jarang pula yang memberikan 55%. Memang, selain buku legal, ada juga buku-buku bajakan, yaitu buku yang sama dengan buku aslinya tetapi dicetak oleh “pencuri” hak cipta dan paten, yaitu penerbit yang tak peduli pada HaKI (hak atas kekayaan intelektual).
Merujuk pada diskon tersebut, ada pertanyaan, berapa laba penerbitnya? Berapa royalti untuk penulisnya? Jamak diketahui, harga buku berbeda dengan harga barang kelontong apalagi dengan harga sembilan kebutuhan pokok (sembako). Harga beras misalnya, tak bisa jauh berbeda dengan beras jenis lainnya. Per kilogram labanya kecil saja. Tak ada diskon besar-besaran pada sembako (kebutuhan primer), barang sekunder dan barang tersier lainnya. Lantas, di mana posisi buku?
Mayoritas orang Indonesia memosisikan buku sebagai kebutuhan kwarter. Di sinilah “ajaibnya”. Diskon di bursa dan pameran buku bisa luar biasa besar tetapi tak banyak yang tergerak untuk membeli buku, apalagi memborongnya. Yang juga “ajaib”, penerbitnya tetap mendapatkan laba dan penulisnya meraih royalti. Semakin banyak oplahnya makin besar pula laba dan royaltinya. Ini bisa terjadi karena ada komponen harga yang fixed dan yang variabel. Di sinilah tersembunyi kalkulasi laba-ruginya.
Komponen harga
Dalam perdagangan, harga jual dipengaruhi ongkos produksi. Apa saja komponen produksi sebuah buku? Yang pertama, harga kertas, tinta, lem, sampul, plastik, dan ongkos cetak. Ini disebut harga pokok produksi. Yang kedua, royalti penulis (pengarang) dengan kisaran 10 - 15 persen. Reratanya 12,5 persen. Penulis pemula biasanya diberi 10 persen, yang senior 15 persen. Yang ketiga, biaya profesional, berkaitan dengan editor, penterjemah, desainer, ilustrator, pemasaran, transportasi, bea ISBN, dan laba. Yang terakhir: pajak. Ada buku yang kena pajak, ada yang bebas pajak. Pajak pun dikenakan kepada penulis (pengarang).
Jumlah semua komponen di atas memunculkan harga sementara. Agar diperoleh harga fixed-nya perlu ditambah dengan komponen diskon untuk toko buku. Besarnya variatif: 40, 45, 50, atau 55 persen. Ada juga penerbit atau distributor yang mampu bernegosiasi dengan toko buku sehingga diskonnya hanya 35 persen. Ramuan ini lantas dijumlahkan dan diperoleh harga akhir sebuah buku. Harga inilah yang ditempelkan di sampul belakang buku. Biasanya 10 – 15 persen diberikan kepada pembeli atau untuk gaji penjaga toko dan biaya operasional toko buku.
Kalkulasi di atas agak rumit dan boleh jadi ada poin yang belum masuk. Agar mudah, cepat dan tepat, harga buku berasal dari hasil kali ongkos produksinya dengan empat atau lima. Inilah angka yang umum. Di luar keumuman itu ada buku yang dikalikan tujuh dari biaya produksinya. Pengalinya ini makin besar kalau bukunya terus dicetak ulang sampai pelat cetaknya aus dan harus dibuat lagi. Di sinilah laba penerbit berlipat-lipat syahdan diskonnya mencapai 70%.
Jelaslah, harga buku erat kaitannya dengan ongkos produksi, laba penerbit, pencetak, pabrik tinta, pabrik kertas, toko buku, dan royalti penulis (pengarang). Simpulnya, harga buku menjadi mahal kalau ongkos produksinya mahal, khususnya harga kertas. Di sinilah peran pemerintah agar berupaya menurunkan harga kertas kalau ingin orang Indonesia keranjingan membaca. Namun masalahnya, kertas berkaitan dengan pulp (bubur kertas) dan kayu (hutan). Makin banyak kertas berarti makin banyak pohon yang ditebang. Kecuali kalau digalakkan kertas berbahan baku jerami atau recycle kertas bekas, harga pun bisa ditekan.
Untuk menyiasati harga tersebut banyaklah yang menanti-nantikan pameran buku. Di pameran diskonnya setara dengan di bursa buku, bahkan bisa lebih tinggi 5 – 10 persen. Memang, untuk buku anyar, misalnya baru terbit sebulan sebelum pameran diskonnya relatif kecil atau sama dengan di bursa reguler. Yang lebih murah lagi, belilah buku di penerbitnya. Buku-buku berusia di atas lima tahun dapat diperoleh dengan diskon 70%. Apakah penerbitnya memperoleh laba dari diskon sebesar itu? Jawabnya, masih! Minimal balik modal bersih.
Andaikata masyarakat bermotto B3I (baca buku banyak ilmu) dan menjadikan buku sebagai kebutuhan primer, semahal apapun pasti dibelinya, minimal dibaca di perpustakaan, kalau ada di sana. Sebab, tak semua buku ada di perpustakaan daerah, apalagi di perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah kita dikenal miskin buku. Adakah Dinas Pendidikan yang peduli pada peremajaan buku di perpustakaan sekolah? Salah satu solusinya, belilah buku saat pameran sehingga bebas memilih judulnya tanpa diintai isu KKN dengan distributor dan penerbit. *
ReadMore »

Jembeng, Filter Air Khas Bali

Jembeng, Filter Air Khas Bali
Oleh Gede H. Cahyana

Siang itu, sepulang sekolah, panas sekali. Tepat di atas ubun-ubun, matahari begitu terik. Peluh membasahi pelipis, sebagian mengalir ke depan dan belakang telinga. Sekian kali pula saya menyeka keringat, sambil menengadah, melihat awan kapas. Cerah. Pantaslah seterik ini, apalagi di dekat pantai Selatan Bali.

Sebentar lagi saya dan kawan-kawan sampai di rumah teman. Dua kilometer jaraknya dari sekolah, berjalan kaki. Sampai di rumahnya kami ngos-ngosan. Yang empunya rumah juga berkeringat. I Gusti Ngurah Alit namanya. Ditaruhnya tas, lantas ia ambil gayung tempurung kelapa dan menuju kolam. Agak di tengah kolam ada batu padas setinggi 20 – 30 cm dari muka air. Dilewatinya titian batu besar, dibukanya tutup padas lalu ia ciduk airnya. Ditutup, ia berbalik ke dekat kami lalu duduk. Sambil menawarkan ainya, ia minum. Seteguk dua teguk, sampai habis. Kenapa tak direbus dulu? Setelah ditanya, dia terbiasa minum air dari batu itu dan belum pernah sakit perut, begitu pengakuannya.

Kejadian itu sudah lama, saat saya di SD pada paruh akhir 1970-an. Waktu itu air di Tabanan belum terlalu tercemar. Air sungainya berdebit besar dan jernih. Air yang lumayan jernih itu disaring lagi dengan batu padas sehingga tambah jernih. Kenapa Ngurah Alit dan keluarganya tidak sakit perut? Ada dua kemungkinan. Yang pertama, perutnya sudah “kebal” atas serangan bakteri. Yang kedua, pada waktu itu air bakunya tidak mengandung bakteri patogen karena belum dicemari tinja atau limbah lainnya. Kalaupun ada yang membuang tinja di sungai ketika mandi, boleh jadi bakterinya mati akibat kondisi airnya yang bisa saja mengandung disinfektan alami.

Apakah semua daerah di Bali air bakunya sebersih itu? Tentu saja tidak. Di beberapa daerah pernah terjadi wabah, epidemi atau kejadian luar biasa (KLB) muntaber. Jika demikian, kenapa Ngurah Alit tidak sakit tetapi yang lainnya sakit, bahkan ada yang meninggal? Jika dianalisis, selain dua poin jawaban di atas, boleh jadi karena kualitas padasnya berbeda, pori-porinya lebih kecil. Bisa juga dipengaruhi oleh sinar matahari yang begitu terik tanpa penghalang sehingga mampu membasmi bakteri. Sinar ultraviolet yang panjang gelombangnya 260 – 265 nanometer (nm) memiliki daya basmi bakteri (germisida, biosida). (Data lain: 200 – 280 nm; 250 – 300 nm; 253,7 – 254 nm).

Jembeng ”asli”
Batu padas wadah air di atas disebut Jembeng (ada juga yang menyebutnya Jempeng). Banyak bentuknya, ada yang segiempat, lingkaran atau tak beraturan. Ada yang tunggal, ada juga yang kembar berderet. Bahannya beragam tetapi semuanya dari batu padas atau paras dalam bahasa Bali. Besar kecil dimensinya berlain-lainan bergantung pada besar kecilnya batu yang diperoleh dan kemudahan mengangkatnya sehingga beratnya pun berbeda-beda.

Umumnya berdiameter atau bersisi 40 cm. Tinggi lubangnya 50 – 60 cm agar sisa tinggi yang tak terendam (ambang bebas, freeboard, tinggi jagaan) minimal 20 cm di atas muka air. Ambang bebas itu sebagai pengaman agar air bakunya tidak melimpah ke dalam Jembeng ketika muka airnya naik akibat hujan di hulu sungai, selokan atau saluran irigasi (Subak). Dengan demikian, badannya yang tenggelam (wetted body) 30 – 40 cm. Variasi tebal dindingnya 15 – 20 cm, makin tebal makin aman karena filtrasinya kian efektif.
Operasinya sederhana. Tekanan air di dinding Jembeng akan meresapkan molekul air ke dalam pori-porinya lalu melewati dinding dan ditampung di baknya (mirip lesung). Mengacu pada hukum Pascal, tekanan di dasar atau di dinding bawah Jembeng lebih besar daripada di dinding atas. Kecepatan filtrasi di bawah lebih besar daripada di bagian atas. Dengan kata lain, kapasitas di bawah lebih besar daripada yang di atas. Akibatnya, dinding bawah lebih cepat tersumbat (clogging) daripada dinding atas. Tak seperti filter pasir cepat milik PDAM, filter Jembeng ini tidak memiliki fasilitas cuci-balik (backwashing) karena memang tak perlu.

Uniknya, nyaris tak ada biaya operasi-rawat yang dibutuhkan. Hanya tenaga yang perlu dikeluarkan pada waktu membersihkannya. Investasi awalnya cuma untuk membeli Jembeng atau membeli padas lalu menatahnya sendiri menjadi Jembeng. Di sini perlu tenaga dan waktu dalam pembuatannya. Hanya itu. Andaipun perlu dirawat, itu sebatas melepaskan lumpur dan daun yang menempel di sekitarnya. Kalau dasar kolamnya agak dalam, taruhlah Jembeng di atas batu atau bata penyangga yang renggang dasarnya agar bisa menyusupkan air menuju lantai Jembeng sekaligus memfilter airnya.

Namun demikian, kondisi air sekarang sudah tercemari limbah domestik dan pabrik. Kualitas filtrat pun menjadi lebih buruk. Sebagai pencegahan (preventif), didihkanlah filtratnya selama sepuluh menit agar mati bakteri patogennya. Lebih bagus lagi diberi kaporit, baik berupa bubuk maupun tablet. Perlakuan ini dapat mencegah munculnya penyakit menular lewat air (pemula) atau waterborne diseases. Tetapi tak perlu dilakukan jika airnya digunakan untuk mandi dan mencuci baju saja.

Jembeng Hasko
Karena kualitas air bakunya memburuk, perlu dibuat Jembeng yang sudah dimodifikasi. Sedikit saja modifikasinya, dengan menyediakan ruang adsorbsi (adsorption chamber). Material adsorbannya pun yang sudah lumrah di perdesaan dan sering digunakan untuk mencuci piring, yaitu abu sekam. Filter modifikasi ini disebut Jembeng Hasko. (Hasko adalah “pelesetan” dari kata husk dalam bahasa Inggris yang berarti sekam). Yang digunakan adalah abunya atau burnt husk.

Sebagai adsorban, abu sekam mampu menyerap zat berbahaya-beracun seperti pestisida. Bahkan kation-kation berbahaya seperti logam berat, juga besi dan mangan, kalsium dan magnesium penyebab kesadahan bisa diolahnya. Mudah caranya. Buatlah dua Jembeng, yang satu ukurannya lebih besar daripada yang lain. Jembeng besar ini disebut Jembeng Induk (JI). Dinding JI juga lebih tebal karena fungsi utamanya sebagai filter. Prosesnya betul-betul filtrasi atau mikrofiltrasi, bergantung pada ukuran pori-porinya.

Lalu isilah dasar JI dengan abu sekam setebal 5 – 10 cm. Masukkan Jembeng berdiameter lebih kecil, sebutlah Jembeng Anak (JA). Dinding JA tipis saja agar ringan dan mudah diangkat ketika abunya jenuh untuk diganti dengan abu baru. Tebal dinding JA bisa setengah atau kurang dari ketebalan dinding JI. Setelah JA ditaruh di atas abu sekam isilah seluruh ruang adsorbsi (ruang antara JI dan JA) dengan abu sekam. Tekan-tekan atau padatkan sedikit. Lapisan abu inilah yang akan menyerap pestisida dan logam berat. Tutupilah permukaan abu dengan sabut kelapa dan padas (atau padas granular) sebagai pengaman dari luapan air kotor atau terkotori oleh benda-benda di sekitarnya. Upayakan tinggi dindingnya 10 – 15 cm dari tinggi muka air maksimum (air banjir).

Dengan cara ini, jembeng tradisional berubah menjadi jembeng modern hanya dengan menggunakan bahan-bahan yang jamak ditemukan di perdesaan. Tak hanya ancaman diare, muntaber yang hilang tetapi juga ancaman keracunan zat berbahaya-beracun seperti pestisida dan logam berat. Air filtratnya pun tak hanya jernih tapi juga bersih, tak berbau, tak berasa, tak berwarna dan bahkan bisa sekualitas dengan air minum kemasan (amik) atau air minum kemasan ulang (amiku). Apalagi kalau intensitas paparan sinar mataharinya banyak otomatislah bakterinya terbasmi sehingga tak perlu kaporit.

Untungnya lagi, kontinyu 24 jam/hari produksinya dan debitnya berkorelasi linier terhadap luas dinding basahnya (wetted area). Untuk kebutuhan lebih besar, misalnya mikrokomunal (RT), masyarakat dan/atau PDAM bisa membuat Jembeng Hasko “raksasa” seukuran 2 x 2 m2, dipasang berderet-deret di tepi sungai atau waduk. Pompa perlu dipasang agar filtratnya mudah diambil. Siapkan juga tangki air (elevated tank) lalu distribusikan kepada pelanggan. Agar dipelihara, libatkan pelanggan dalam perawatannya, termasuk iuran untuk membayar rekening listriknya (kalau memakai pompa).

Demikianlah opsi solusi krisis air bersih di daerah yang kaya air keruh, kotor atau air payau sekalipun (pasang surut). Kalau teknologi sederhana tepat guna ini banyak diterapkan, maka PDAM dan pemerintah pun terbantu dalam hal raihan target MDGs. *

ReadMore »

Eucalyptus, Kontroversi “Abadi”

Kali ini saya mengangkat topik pohon eucalyptus. Berhubung sekarang musim kemarau, apalagi pada awal Agustus 2007 ini sudah ada beberapa daerah yang kekeringan, saya rasa tepat untuk membahas pohon kontroversial ini. Pohon ini kerapkali dikaitkan dengan krisis air.

Menurut Shiva, eucalyptus tidak cocok untuk penghijauan apalagi untuk menahan air. Di India, kata perempuan penulis ini, monokultur eucalyptus yang biasa dijadikan bubur kertas menjadi sumber masalah air. Eucalyptus yang diambil dari habitat aslinya di Australia membahayakan daerah yang miskin air. Ini masalahnya. Banyak daerah akan sulit air pada masa yang akan datang.

Ada fakta, eucalyptus bukanlah sistem vegetasi yang mampu mandiri di luar habitat aslinya. Malah riset yang dilaksanakan oleh Divisi Hidrologi Australian Central Scientific and Industrial Research Organisation menyatakan bahwa eucalyptus menyebabkan curah hujan, kelembaban dan air tanahnya berkurang. Di Negeri kangguru itu bahkan kerusakan sumber daya air justru lantaran penanaman eucalyptus dalam skala luas.

Di bawah ini saya kutipkan greget hati wanita India yang saya nukil dari buku Waterwars. “Aku sangat peduli dengan India yang kukenal. Indiaku adalah milik orang-orang miskin yang kelaparan tak berdaya. Hampir semua orang di antara mereka tidak memiliki tanah dan sebagaian kecil orang yang mempunyai tanah akan dengan senang hati memberikan sumber daya amereka. Upaya menanami Purulia, Bankura, Midnapur, Singbhum, dan Palamau dengan eucalyptus akan merampok air minum dan irigasi Indiaku”.

Dari kutipan di atas bisa disimpulkan bahwa tanaman ini boros air. Dengan kata lain, dia merampok air bagi keperluan manusia yang jauh lebih berhak ketimbang “sekadar” tanaman. Semua makhluk memang punya hak hidup, termasuk tanaman. Tapi ada bedanya. Tanaman tertentu punya habitat khas yang cocok baginya untuk tumbuh. Tanaman lain belum tentu cocok dan jangan-jangan malah menjadi bumerang bagi makhluk lainnya.

Jangan sampai terjadi, setelah tanamannya besar dan kokoh batangnya lalu dicabuti lagi, apalagi kalau dicabuti oleh masyarakat dalam kondisi protes dan marah. Ini pernah terjadi tahun 1983. Petani Karnataka pawai ke kebun pembibitan hutan dan mencabut jutaan benih eucalyptus dan mananam biji tamarin (asam) dan mangga sebagai gantinya.

Begitu juga di Afrika Selatan. Kalangan wanita di benua Afrika bagian Selatan ini kampanye soal pelestarian air dengan menebangi pohon eucalyptus. Pasalnya, pohon itu mengeringkan sumber mata air dan air tanah di sana. Menurut Departemen Urusan Air dan Hutan Afrika Selatan, pohon pengering air itu sudah ditanam di 10 juta hektar tanah dan menyedot 3,3 milyar meter kubik air, melebihi vegetasi lokal. Setelah eucalyptus habis di sepanjang tepi sungai, kata Shiva, aliran mata air meningkat hingga 120 %.

Di lain pihak ada pendapat begini. Eucalyptus umumnya punya tajuk ringan sehingga intensitas penutupan tajuknya pun ringan. Maka, kondisi ini memberikan peluang bagi air hujan untuk lolos dari cegatan tajuk (intersepsi) sehingga air hujan yang lolos dan mencapai lantai hutan relatif besar. Air yang jatuh ini akhirnya meresap ke dalam tanah dan menjadi sumber air.

Apapun pendapat itu, dan di posisi mana pun berada, mari kita amankan air dan hindarilah penurasan air (water logging).*
ReadMore »

Catalytic Converter, Pengendali Polusi Udara

Catalytic Converter, Pengendali Polusi Udara



Catalytic converter adalah subjek dalam pengendalian emisi gas kendaraan bermotor. Harga mobil yang relatif terjangkau, apalagi dengan uang muka yang juga relatif kecil (30% dari harga) menjadi sebab utama kenaikan jumlah kendaraan yang berdampak pada kenaikan konsentrasi polusi udara. Oleh sebab itu, sektor transportasi menjadi komponen penting dalam pengendalian polusi udara di kota-kota metro. Namun demikian, ada dua tindakan yang dapat dilakukan untuk mereduksi konsentrasi pencemar udara kendaraan bermotor:

1. Pengendalian tak langsung dengan mencegah emisi polutan, mensubstitusi teknologi mesin dengan yang lebih canggih, perbaikan proses pembakaran/combustion atau menggunakan kendaraan listrik.

2. Pengendalian langsung dengan merekayasa peralatan reduktor emisi dalam crankcase, tangki BBM, karburator dan knalpot.

Mesin baru
Dalam pengembangan mesin, bagian pertama yang ditingkatkan fungsinya ialah karburator, kendali daya dorong (thrust control), perbaikan sistem idling, optimasi choke, preheating udara intake, ruang atomisasi, karburator elektronik, pengapian elektronik dan sistem injeksi BBM.

Perbaikan juga dilakukan dalam bidang desain ruang pembakaran/combustion chamber. Penggunaan sensor knock memungkinkan kompresi menjadi lebih tinggi sehingga temperatur ruang pembakaran yang lebih tinggi ini berfungsi sebagai penahan panas gas buang sehingga dapat mengurangi emisi gas polutan. Reduksi gas polutan akan efisien jika dilakukan pengolahan gas buang yang didukung oleh perbaikan mesin. Injeksi udara dekat katup pembuangan gas pada temperatur di atas 650o C akan menghasilkan oksidasi CO dan HC. Konversi gas buang yang signifikan akan terjadi jika temperatur cukup tinggi. Ini disebut thermal reactor yang menggunakan udara berlebih.

Selain secara thermal reactor, juga dilakukan dengan katalis untuk konversi (reaksi kimia) dari logam mulia seperti platina dan rhodium. Reaksi kimia ini terjadi pada temperatur yang lebih rendah sehingga cepat terjadi. Logam mulia mengoksidasi CO dan HC menjadi CO2 dan H2O. Proses konversi ini perlu dikendalikan karena katalis sangat sensitif terhadap lead sehingga dapat ‘teracuni, poisoned” atau jenuh, worn out.

Menurut aplikasinya, ada 4 macam tipe catalytic converter:
1. Oxidizing catalytic system.
2. Reducing catalytic conversion system.
3. Dual-bed catalytic converter.
4. Three-way catalytic converter system.

1. Oxidizing catalytic system.
Katalis ini mempercepat oksidasi CO dan HC yang dioperasikan pada kondisi oksigen berlebih, over-stoichiometric (l=1) atau dengan umpan oksigen dari injeksi udara sekunder, secondary air injection. Katalis yang biasa digunakan ialah platina atau palladium. Tipe katalis ini dipasang pada karburator.
Berikut ini reaksinya. Oksigen berlebih mengoksidasi CO dan HC dengan reaksi:
a. 2CO + O2 --> 2CO2
b. HnCm + (m+n/4)O2 --> mCO2 + n/2 (H2O).
Pada proses di atas, gas NOx tidak dapat direduksi sehingga diperlukan katalis lain. Kekurangan katalis ini, ia dapat dikotori oleh lead/timbal, belerang, dan fosfor.

2. Reducing catalytic conversion system.
Gas NOx yang tak dapat diolah oleh katalis oksidasi di atas, dapat diganti dengan rhodium dan ruthenium untuk mempercepat proses reduksi NOx menjadi gas N2. Sedangkan konversi menjadi amonia, NH3 tidak diinginkan karena dapat diubah kembali oleh katalis pengoksidasi menjadi gas NOx. Proses reduksi dapat terjadi jika ada reduktor yang berlebih seperti CO dan HC serta mesin dioperasikan pada rentang kondisi under-stoichiometric dengan l <1 --="" .="" 2co="" 2no=""> N2 + 2CO2.

3. Dual-bed catalytic converter.
Inilah tipe kombinasi antara catalytic converter tipe oksidasi dengan tipe reduksi yang beroperasi pada kondisi rentang rich. Secondary air, udara sekunder diinjeksikan di antara dua tipe katalis tersebut. Dengan cara ini dimungkinkan terjadi reaksi secara serempak untuk mereduksi NOx, CO dan HC. Kekurangan tipe katalis reduksi ini, mesin harus dioperasikan pada rentang rich sehingga konsumsi BBM menjadi tinggi.

Raksi kimia reduksi dan oksidasi saling melengkapi satu sama lain dan saling bergantung. Reduksi serentak polutan CO, HC dan NOx akan terjadi jika komposisi gas buang dalam rentang stoikiometri. Agar proses berlangsung dengan baik, perlu campuran BBM-udara yang konstan pada semua kondisi pembebanan mesin walaupun hal ini tidak dapat dikontrol dengan peralatan pencampur BBM mekanis. Dengan demikian diperlukan sistem loop tertutup (closed-loop) yang secara tetap memonitor gas buang dan jika ada deviasi/penyimpangan dari l =1 maka dengan otomatis mengubah/mengadaptasi jumlah BBM yang diinjeksikan. Hal ini dilakukan oleh Lambda sensor untuk memonitor campuran udara-BBM. Jika terjadi deviasi dari l =1, maka dengan spontan sistem loop mengubah sinyal sensor. Unit kendali elektronik akan menerima sinyal dari sensor ZrO2 dan mengoreksi campuran udara-BBM.

4. Three-way catalytic converter system.
Tipe keempat ini ialah konverter pengolah gas buang yang menghasilkan efluen dengan kualitas yang sangat baik dilihat dari segi kualitas gas olahan yang relatif bersih. Ini disebabkan oleh sistem pencampur udara-BBM yang berbasis komputer dan konversi yang serentak terhadap polutan CO, HC dan NOx. Katalisnya adalah platina dan rhodium.
Reaksi di dalam katalis three-way adalah:
NO + CO + HC --> N2 + CO2 + H2O.

Reaksi di atas perlu dikendalikan agar rasio oksidator (NO) terhadap reduktor (CO dan HC) dapat menghasilkan penyisihan semua polutan sekitar 95%. Ini dapat dilakukan oleh sensor ZrO2 (zirconium dioksida). Sensor ZrO2 terdiri atas silinder yang salah satu ujungnya berupa ZrO2 yang dilapisi platina dan dimasukkan ke dalam manifold gas buang. Sensor ini berupa sel elektrolit dengan ZrO2 berfungsi sebagai elekrolit padat. Tegangan outputnya berfungsi untuk mengisi kadar oksigen di dalam gas buang. Hal ini akan mengendalikan komputer pengendali agar rasio A/F tetap berkisar ± 0,05 sehingga tetap pada grafik teratas. *

ReadMore »