• L3
  • Email :
  • Search :

29 November 2012

Ex Undis Sol, Motto Salah Kota Bandung

Ex Undis Sol, Motto Salah Kota Bandung
Oleh Gede H. Cahyana

Inilah sejarah salah kaprah motto Kota Bandung yang berlangsung nyaris setengah abad (1906 s.d 1952). Setelah diresmikan menjadi Gemeente van Bandoeng tahun 1906, pemerintah Hindia Belanda lantas membuat simbol dan motto untuk kota pegunungan ini.  Ternyata motto yang ditulis di bagian bawah (pita) lambang kota itu tidak sesuai dengan makna yang dimaksud oleh Walikota Bandung waktu itu, Meneer B. Coops dan “Dewan Kota” (Gemeente Raad van Bandoeng). Mereka bermaksud menggagas tema untuk lambang dan motto kota berupa jejak geologis tatar Bandung. Jejak geologis dari kejadian alam itu berupa kemunculan lahan (tanah) dataran tinggi Bandung yang kukuh dari bawah gelombang “Situ Hiang” (4.000 s.d 3.000 tahun yang lalu) atau gelombang lautan pada zaman Miosen (25 s.d 14 juta tahun yang lalu).

Atas dasar sejarah purbakala itulah lantas di pita lambang kota ditulis kata-kata EX UNDIS SOL, dengan huruf kapital semua. Dalam bahasa Belanda artinya: Uit de golven de zon (mentari muncul di atas gelombang). Tentu saja istilah ini dipertanyakan oleh sejumlah kalangan, satu di antaranya ialah Meneer J. E. Jasper. Ia menulis artikel di koran “Java Bode” untuk menyambut peringatan Jubileum Gemeente Bandoeng (1906 – 1931). Motto ini juga pernah dikoreksi oleh Prof. Dr. Godee Molsbergen yang bekerja di Arsip Negara di Batavia, tetapi Burgemeester Gemeente van Bandoeng tidak mau menggubrisnya lantaran malu dan gengsi.

Seperti ditulis di atas, makna sesungguhnya yang ingin diangkat adalah jejak sejarah tatar Bandung, yaitu “Lahan (tanah) kukuh muncul dari gelombang”. Haryoto Kunto, kuncen Bandung pada masanya menulis bahwa “Lahan kukuh” adalah tanah padat yang dalam bahasa Latin disebut “solum”. Ex artinya muncul, asal, atau ke luar, dan “undis” artinya gelombang. Dengan demikian, motto itu seharusnya berbunyi: EX UNDIS SOLUM, bukan EX UNDIS SOL. Sol artinya matahari, solar dalam bahasa Inggris. Masih menurut Kunto, lantaran keliru kata SOL inilah Bandung akhirnya berubah menjadi makin panas karena matahari sangat terik menikam ketika siang. Tentu ini hanyalah "guyonan" karena sebetulnya ada berbagai sebab yang mengakibatkan Bandung di gunung ini menjadi panas membakar. 

Setelah kita merdeka, muncullah surat dari Kementerian Dalam Negeri tanggal 30 Mei 1950 No. Pr. 10/7/16 tentang petunjuk lambang, simbol, motto daerah otonom. Berdasarkan surat ini lantas dibentuk panitia perumus dan pembuat rencana lambang dan bendera Kota Bandung. Selama sembilan bulan mereka bekerja, dihasilkanlah sebuah lambang dengan motto; Gemah Ripah Wibawa Mukti yang kemudian disahkan dengan Peraturan Daerah Kota Bandung no. 53 tahun 1953. Motto ini berlaku sampai sekarang.

Sudah panjang usia Kota Bandung, semoga pejabatnya mampu mewujudkan motto itu untuk warganya. Semoga Gemah Ripah, makin makmur, aparatur kota makin Wibawa, bersih dan bebas KKN, sehingga warganya menjadi Mukti, yaitu sejahtera lahir batin. Kalau John Lennon punya P.S. I Love You, maka aku pun punya: Bandung, I love you!


ReadMore »

27 November 2012

Asal-Usul Bandung Disebut Kota Kembang

Asal-Usul Bandung Disebut Kota Kembang
Oleh Gede H. Cahyana

Tahun 1896, akhir abad ke-19, sekitar 116 tahun yang lalu, Bandung belum disebut kota tetapi hanya “kampung”. Penduduknya yang terdata 29.382 orang. Tak sampai 30.000 orang. Sekitar 1.250 orang berkebangsaan Eropa, mayoritas orang Belanda. Bandung hanyalah desa udik yang belepotan lumpur dan Jalan Braga yang kemudian melegenda di Bandung masih berupa jalan tanah becek bertahi sapi dan kuda. Lentera menjadi sumber penerang kala malam tetapi tidak semua jalan berlampu minyak itu. Jembatan Cikapundung di Jalan Asia-Afrika sekarang masih berbahan balok kayu yang dilapisi jerami dan tahi kuda.

Pada tahun 1896 itulah “Desa Bandung” diusulkan menjadi lokasi pertemuan Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) yang berpusat di Surabaya. Karena masih kampung, tentu saja fasilitas Bandung belum memadai sebagai kota kongres. Meneer Jacob, seorang panitia kongres waktu itu mendapat masukan dari Meneer Schenk, seorang Tuan Perkebunan (onderneming) di Priangan. Untuk memeriahkan dan menghangatkan dingin pegunungan dan suasana pertemuan waktu itu, didatangkanlah Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda dari Perkebunan Pasirmalang. Singkat kata, kongres itu pun “sukses besar”. Bagi pengusaha perkebunan gula yang banyak datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, kongres di Bandung sangat berkesan dan merasa “lekker kost zonder ongkos”. Usai kongres, para peserta lantas menebarkan istilah “De Bloem der Indische Bergsteden (Bunganya kota pegunungan di Hindia Belanda)”. Tetapi sebutan “bloem” oleh pengusaha perkebunan yang puas atas “layanan” selama kongres itu lebih mengarah pada servis yang diberikan oleh Noniek-Noniek Cantik Indo-Belanda itu. Hhmm...

Kalau sebutan Kembang dirujukkan pada bunga dalam makna harfiah, tentu tidak tepat pada masa itu, seratus tahun lalu, karena hanya ada satu taman di Bandung. Dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto menulis bahwa kembang yang dimaksud ialah Kembang Dayang yang dalam bahasa Sunda sama dengan WTS (Wanita Tunasusila) atau pelacur, atau PSK (Pekerja Seks Komersial, sebuah istilah salah kaprah yang disebarkan oleh kalangan keblinger. Lantas, apakah istri layak disebut Pekerja Seks Domestik?). Dalam makna kias, sebutan WTS bagi Bandung muncul karena kota ini akan disoleki, dirias, dihias hanya ketika akan dikunjungi pejabat negara, tamu resmi dari dalam dan luar negeri. Analogi ini cukup mengena juga. 

Pada waktu kongres itu, yakni pada acara penutupannya, didatangkan juga “zangeres”, yaitu biduan/nita yang berasal dari Paris, Prancis. Sudah rahasia umum, para pengusaha perkebunan memang kaya raya sehingga hiburan apapun yang ada di Eropa akan mereka sewa dan didatangkan ke Jawa. Tapi sayang, ketika artis akan menyanyi, tiada piano di Bandung. Pada saat itu, tidak ada satu pun piano di “kampung” Bandung. Tapi untunglah, ada piano rongsokan yang bisa diutak-atik diperbaiki oleh Jan Fabricius lalu dibawa ke Societeit Concordia yang letaknya di sebelah Hotel Homann. Tapi malangnya lagi, tidak ada satu orang pun angggota panitia yang bisa main piano waktu itu. Untunglah ada Mama Homann, seorang ibu yang menjadi istri pemilik Hotel Savoy Homann di Bandung.

Sekian dekade kemudian, muncullah ragam sanjungan untuk Bandung sebagai Kota Kembang, baik dalam arti harfiah maupun maknawiah. Satu lagu yang enak didengar adalah lagu Kota Kembang yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, biduanita era 1970-an yang kini menjadi anggota DPR. Sebait liriknya di bawah ini.

Kota Kembang yang selalu, sangat kurindukan
Di sana aku dibesarkan, diasuh ayah bunda,
Tiada pernah kulupakan, hingga aku dewasa

Apapun asal-usulnya, Bandung tetaplah kota yang kucinta. Bandung, I love youuu! *


Ex Undis Sol, Motto Salah Kota Bandung


ReadMore »

26 November 2012

Sukses Karena Guru

Sukses Karena Guru
Oleh Gede H. Cahyana

Puisi di bawah ini khusus dinisbatkan kepada guru atas semua dedikasinya. Memang sudah menjadi rahasia umum, beragam-ragam kejelekan, hal negatif, predikat buruk disandangkan di pundak guru. Walau demikian, aku maklum, aku mafhum. Apapun, bagaimanapun, mereka tetaplah guruku yang mengajariku baca-tulis, mengarang-menulis, berhitung, ilmu alam, ilmu sosial, agama, PMP, bahkan PSPB sekalipun. Semoga dengan proses sertifikasi, peningkatan jenjang pendidikan, mampu menambah profesionalisme guru dalam belajar-mengajar. Semoga balasan atas jasanya (baik dari pemerintah maupun masyarakat) membaik, melayak, dan ”dengan" tanda jasa, Hymne (Baru) Guru.


Karena Guru

Eksekutif:
Semua presiden, wakil presiden, menteri, dirjen, sekjen
Semua gubernur, bupati, walikota, camat, bendesa, lurah
Semua direktur perusahaan, komisaris bisnis, pemilik agribisnis
Semua pegawai negeri sipil, pusat – daerah, di semua bagian

Legislatif:
Semua anggota DPR, DPRD I, DPRD II
Semua anggota DPD, anggota MPR

Yudikatif:
Semua hakim, jaksa, polisi, KPK, MK, KY, MA
Semua lawyer, advokat, penasihat hukum, notaris

Armiyatif:
Semua jenderal, kolonel, komisaris, kapten, bintara, tamtama
Semua pasukan khusus, detasemen khusus,
Semua milisi

 Tarbiyatif:
Semua guru, dosen, pendidik luar sekolah
Semua ustadz, ustadzah,
Semua kyai, da’i, mubaligh

Semua insan dalam profesi tersebut
Semua karena guru
Baca-tulisnya karena guru
Berhitungnya karena guru

Kini, menggeliat sudah semua guru
Berduyun-duyun kuliah lagi
Rela bersusah-payah ikut pelatihan
Mengisi portofolio, ‘tuk meraih sertifikat pendidik
Menggapai kompetensi pedagojik
Menjadi profesional
Juga humanis

Bapak dan ibu guru
Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2012
-------------------------------------------------------------------------

Jika hari ini seorang perdana menteri berkuasa
Jika hari ini seorang raja naik tahta
Jika hari ini seorang presiden memerintah negara
Jika hari ini seorang politisi pintar bicara
Jika hari ini seorang penulis menjadi terkenal
Jika hari ini seorang petani bergelimang uang
Jika hari ini seorang PNS berkarya
Jika hari ini seorang bupati, walikota, gubernur bertugas
Jika hari ini seorang direktur perusahaan meraih sukses

Sejarahnya dimulai oleh seorang guru
Yang mengajarinya baca-tulis-berhitung.

ReadMore »

25 November 2012

Hari Guru Nasional, 2012

Hari Guru Nasional, 2012
Oleh Gede H. Cahyana

Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sbagai prasasti, trimakasihku ntuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.

(Sartono)
  
Tanggal 25 November 2012 adalah peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-67 PGRI. Guru, seperti lirik lagu di atas, adalah pahlawan. Guru yang ikhlas mendidik (tak sekadar mengajar), membagikan ilmu yang dimilikinya, menyiapkan muridnya agar jauh lebih berilmu daripada dirinya bagai fondasi rumah bangsa. Tegak-rapuhnya bangsa berada di pundak guru. Semua ilmu dan teknologi disebarkan oleh guru, guru yang profesional.

Menjadi guru profesional dan efektif tidaklah mudah. Sangat sulit dan berliku jalannya. Tak hanya peningkatan jenjang pendidikan, tetapi juga kemauan, kemampuan, semangat dan kesempatan untuk memperoleh tambahan ilmu dan keterampilan. Bisa dikatakan, yang mengajar di kota besar berpeluang lebih banyak untuk menggali ilmu daripada yang di daerah, apalagi di pelosok. Jaringan internet lebih banyak dan mudah di kota ketimbang di desa. Kesempatan kuliah di jurusan yang serasi (linier) dengan ilmunya selama ini juga lebih besar bagi guru yang tinggal di kota besar.

Lepas dari kekurangan tersebut, guru tetaplah berperan mencerdaskan anak-anak. Dalam makna yang lebih luas guru pun meliputi guru di rumah, yaitu orang tua, guru dalam pemerintahan, yaitu aparat negara, dan guru di sekolah, madrasah, pesantren. Ada satu lagi, yaitu guru imajiner, yakni orang-orang yang ”digurukan” oleh seseorang meskipun belum pernah bertemu, belum pernah ada proses belajar-mengajar. Guru imajiner ini dapat melintasi dimensi ruang dan waktu dan ”tanya-jawabnya” lewat buku, manuskrip, prasasti, papirus, lontar, internet dengan berbagai pirantinya seperti blog, website, jejaring sosial, dll.

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.*

Sekolah Abad ke-21

Berikut adalah ringkasan dari “What’s So Special About Tahatai Coast?, New Zealand.

1. Jadikan sekolah sebagai pusat penelitian dan penemuan.
2. Pilihlah kepala sekolah yang inspirasional
3. Kepala sekolah yang inspiratif ini lantas memilih staf dan karyawannya yang bermutu tinggi dan berkomitmen kuat pada filosofi sekolah.
4. Sediakan sarana komputer, multimedia untuk mendukung pembelajaran.
5. Sediakan komputer atau laptop untuk semua guru dan jaringan internet.
6. Jadikan murid sebagai guru dan begitu sebaliknya.
7. Jalinlah kerjasama bisnis.
8. Bergabunglah dengan sekolah-sekolah lain dalam jaringan.
9. Bangunlah jaringan informasi sekolah – rumah – multimedia.

Sumber: The Learning Revolution, Revolusi Belajar, Gordon Dryden & Jeannette Vos.
ReadMore »

Bandung, Parit van Java

Bandung, Parit van Java
Oleh Gede H. Cahyana

Tahun 1985, bulan Mei waktu itu, aku injak tanah Bandung, turun dari bis malam di bilangan Jalan Riau. Jam menunjukkan pukul 05.20 WIB. Kabut tebal menutupi dedaunan pohon-pohon tinggi besar. Dingin bukan main. Jaket tebal dilapisi beludru tak mampu membentengi kulitku dari tusukan dingin udara pagi. Bandung, waktu itu, bagai Bedugul, sebuah objek wisata di bagian Utara Kabupaten Tabanan, Bali. Dalam khayalku sebagai remaja lulusan SMA, Bandung identik dengan kecantikan, keindahan, keramahan, dan kesenangan. Juga, tentu saja, kota utama tujuan belajar. Julukan Bandung, Parijs van Java di mataku memang tepat waktu itu.

Kini, tahun 2012 ini, atribut Parijs van Java itu berubah menjadi Parit van Java. Bandung adalah kota parit atau selokan. Hanya dengan hujan ringan saja, tak sampai setengah jam, mayoritas ruas jalan dan lahan berubah menjadi parit, menjadi genangan, menjadi kolam dadakan. Parahnya lagi, air hujan yang “suci-bersih” dari atmosfer itu lantas bercampur dengan air limbah hitam, tahi ternak, tinja dan air kencing, juga belepotan dengan sampah. Belum lagi minyak, solar, oli, bensin, dan polutan dari pabrik besar dan skala rumah tangga yang menyebar di tatar Bandung. Dengan fakta ini, masih layakkah sebutan Parijs van Java disandang oleh Bandung?

Atribut substitusi yang patut disematkan pada Bandung kini adalah Venezia van Java, khususnya adalah Bandung Selatan. Lagu Bandung Selatan yang liriknya memuji keelokan paras bentang alamnya sudah tidak cocok lagi diemban oleh Bandung. Memang, di beberapa partisi bentang alamnya masih tersisa kemolekan Bandoeng Tempo Doeloe itu, tetapi wilayah yang dekat dan ditempati manusia sudah jauh dari kenecisan jelita kota Para Hyang, kota dewa-dewi Parahyangan atau Priangan. Julukan Kota Kembang pun sudah lama pudar, bahkan berubah menjadi Kota Kambing, kata seorang penyanyi yang top pada dekade 1980-an.

Lagu Hallo-Hallo Bandung pun ada yang liriknya diplesetkan menjadi “ sekarang sudah menjadi lautan cai (bukan api). Cai adalah air dalam bahasa Sunda. Sebabnya tak lain tak bukan adalah kerusakan lahan konservasi yang menjadi daerah tangsap (tangkap dan resap) air hujan. Akibatnya, saat kemarau terjadi krisis air baku untuk air minum dan kebutuhan domestik – komersial lainnya, dan menimbulkan banjir saat musim hujan, bahkan oleh curah hujan yang rendah intensitasnya. Anehnya, kata para kalangan, di Bandung banyak ahli teknik dan sosial, juga pendidikan, menjadi sentral pengembangan ilmu, teknologi, dan lingkungan, tetapi kondisi kotanya sangat memiriskan. Miris bagai diiris sembilu, kata gadis molek yang putus cinta monyetnya.

Bandung, bagaimanapun juga, tetap kucinta. Inilah kotaku, kota tempat tinggalku, dan aku setia menjadi warga kotamu. This is the city and I am one of the citizens, tulis Walt Whitman. Ada hak dan kewajiban warga Bandung untuk menyelamatkan Bandung dari degradasi alamnya, mulai dari hal-hal kecil seperti mengurangi sampah anorganik yang dibuang ke TPA dan mengubah sampah organik menjadi pupuk di rumah. Memelihara minimal satu pohon berkayu dan sejumlah tanaman lainnya yang tergolong ke dalam lumbung hidup dan apotek hidup atau dapur hidup di setiap rumah.

Save Bandung City, save the citizens. *

ReadMore »

22 November 2012

Bandung Selatan adalah Waterworld, Venesia

Bandung Selatan adalah Waterworld, Venesia
Oleh Gede H. Cahyana

Ingat Kevin Kostner? Selain fenomenal di film Dances With Wolves, dia juga menjadi jagoan di film Waterworld, Dunia Air. Begitulah setting film yang bertemakan mencari tanah buat tempat tinggal itu. Dengan memakai kapal layar, aktor film Bodyguard ini, ke sana-sini membarter barang-barangnya dengan air tawar. Malah kalau dapat dia ingin menukarnya dengan resin, zat penawar air laut, agar kadar garamnya bisa dikurangi sehingga laik-minum. Sang jagoan pun dikisahkan bermutasi (menjadi mutan) dan di balik kupingnya tumbuh insang sehingga mampu berenang di laut tanpa alat bantu napas.

Itu hanyalah kisah film. Namun, kisah itu serupa benar dengan kejadian di Bandung Selatan pada medio November 2012 ini. Kisah Waterworld nyaris sama dengan kondisi Bandung Raya, meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Kota Cimahi. Genangan air hujan merata di seluruh Bandung. Apalagi di daerah Bandung Selatan, permukiman, kantor, pabrik, dan sekolah banyak yang terendam parah. Siswa sudah tak bisa nyaman belajar.

Ditambah lagi air limbah dari rumah dan kantor, air limbah dari septic tank ikut-ikutan meluap. Parahnya lagi, ada yang sengaja membuang air limbah saat banjir. Termasuk limbah/sampah dari pemotongann hewan seperti sapi, kambing, dan unggas. Sampah ini bisa menyumbat selokan di pemukiman dan mendangkalkan sungai. Naasnya lagi, sembari banjir kendaraan pun macet total. Di Dayeuhkolot dan Baleendah genangan sampai dua meter.

Air tidak lancar mengalir ke sungai, termasuk Cikapundung. Walaupun pengerukan Cikapundung pernah dilakukan tetapi banjir terjadi. Kendaraan macet di mana-mana. Orang Bandung seorlah-olah bermusuhan dengan air. Selalu saja banjir hanya dengan curah hujan yang kecil. Pada saat yang sama, air sebetulnya menjadi sumber hidup manusia. Air sebetulnya sakral. Ini bisa dibaca pada nama-nama air seperti tirtha nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab), nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life, the liquid of life (Inggris).

Di India, dalam mitologi Hindu, Sungai Gangga diciptakan di surga. Fenomena kesakralannya bisa disaksikan dalam ritual Kumbh Mela di sungai tersebut. Prosesi ritus di sungai yang punya 108 nama-nama indah itu didatangi oleh 30-an juta orang. Spektakuler! Dalam ritus itu, Gangga dijadikan jembatan menuju surga. Hal yang sama juga dinisbatkan kepada Sungai Yamuna, Narmada dan Brahmaputra. Apakah Sungai Cikapundung atau Ciasangkuy atau Citarum bisa “dihormati” seperti Gangga?

Ada lagi contoh lain. Di mancanegara, minimal pada masa silam, ada nilai-nilai spiritual atas air. Di Prancis, di dekat Sungai Seine, ada kuil suci untuk Dewa Sequana. Sungai Marne asal-usul namanya dari Matrona yang artinya Dewi Ibu. Cikal nama Sungai Thames di Inggris ialah Tamesa atau Tamesis yang terkait dengan makna ketuhanan. Sungai Nil di Mesir tak lepas dari Fir’aun dan Nabi Musa. Sungai Amazon di hutan belantara Brasil, Amerika Latin dihuni oleh suku pemulia dewa-dewi. Sungai Euphrates dan Tigris di Irak dihormati kaum Babylonia dan Mesopotamia.

Tampaklah, betapa besar peran air kalau kita bersahabat dengan alam, lingkungan, tanah, hutan, dan sampah. Kalau tidak, maka banjirlah yang terjadi dan krisis air saat kemarau normal, belum kemarau panjang. Andaikata betul dugaan ahli bahwa Bandung Selatan akan banjir “abadi” artinya setiap tahun banjir maka harus dibuatkan jalan keluarnya. Warga hendaklah direlokasi lalu Bandung Selatan dikonversi menjadi waduk penyimpan air (storasi) untuk Bandung Raya (Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kota Cimahi), Cianjur, Purwakarta, Karawang, Kab. Bekasi, Kota Bekasi, dan Jakarta. Biarlah Bandung Selatan menjadi Waterworld, menjadi Dunia Air atau menjadi Venesia di Indonesia.

Mari resapkan ke dalam pikiran dan hati pesan E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern.” Kita berharap akan muncul pejabat publik yang mampu memberikan solusi terbaik bagi warga Bandung Selatan dan Bandung Raya umumnya. Politisinya juga hendaklah yang enviropolitician, yang tak sekadar vokalis sehingga advokasi enviro-nya hanya proforma belaka. Juga dicari birokrat yang tinggi sense of enviro-nya sehingga tak sekadar menjadi dust in the wind.

Save the People of Bandung Selatan. *

ReadMore »

Bandung Banjir

Bandung Banjir
Oleh Gede H. Cahyana

Habis kemarau panjang, lebih lama daripada tahun lalu, kini terbitlah banjir di Bandung Selatan. Diduga oleh kalangan ahli bahwa daerah ini akan banjir “abadi” khususnya di Bale Endah dan Dayeuh Kolot. Sumber airnya tak lain dari luapan Citarum, seutas sungai sepanjang 270 km yang bermuara di pesisir Kabupaten Karawang. Sudah diketahui bahwa ada 14 kecamatan yang potensial digenangi banjir.

Selain banjir yang memutus transportasi dan merusak ekonomi yang memang sudah parah akibat penutupan pabrik di Bandung Selatan, erosi pun menjadi-jadi. Airnya coklat tua, makin keruh disarati lempung sehingga sedimentasinya kian tebal lantas mendangkalkan alur sungai dan waduk Saguling. Terancamlah pasokan listrik yang memang sudah defisit. Tanpa listrik, tak banyaklah kerja yang bisa dilakukan. Tidak hanya itu, sungai yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung ini pun “dikerubuti” air limbah (outfall) pabrik dan menerima limpasan air limbah domestik dari Kota Bandung, baik langsung dari anak-anak sungainya maupun efluen dari IPAL Bojongsoang. Bisa diukur, seberapa parah polutan organiknya dan berapa pula polutan logam beratnya.

Memang, sejak awal dekade 1990-an, kerusakan hulu Citarum telah menyentak pemerintah pusat dan daerah. Bahkan Gubernur Jokowi pun langsung bertemu Gubernur Ahmad Heryawan untuk mencari solusi perihal banjir dan masalah lingkungan lainnya. Di Citarum sudah berbagai upaya dilakukan seperti pengerukan. Hanya saja, dikeruk tanpa peduli pada sumber erosi, yaitu kondisi hutan di hulunya, maka kegiatan itu menjadi sekadar projek tanpa hasil jangka panjang. Yang terjadi: banjir lagi banjir lagi. Mengapa pemerintah (seolah-olah) bergeming menatap laju deforestasi dan degradasi ekologi Citarum Hulu? Tak hendakkah pemerintah merevolusi pola peduli lingkungan atas dirinya, industrialis dan warga tatar Bandung selaku pejabat publik, PNS, pegawai swasta, rakyat biasa?

Banjir Citarum adalah skala besar. Tetapi yang skala kecil pun (cileuncang) terjadi dan nyaris merata di Bandung. Sumber petakanya tak lain daripada sampah. Padahal Perda K3 sudah dirilis tetapi belum menjadi alat kendali perilaku warga. Onggokan sampah tampak di mana-mana. Yang terdekat ialah sampah di rumah dan di kantor. Ada kantor yang menyediakan dua bak sampah berdampingan. Yang satu untuk sampah basah (sisa makanan) dan satunya lagi untuk sampah kering (kertas, plastik). Coba perhatikan, sampah di bak itu pasti bercampur. Berani “bertaruh?”. Yang seharusnya masuk ke bak sampah kering malah dibuang ke bak sampah basah. Begitu sebaliknya. Padahal perintah dan keterangannya sudah dibuat bagus dan hurufnya besar-besar. Buta hurufkah?

Yang juga berkaitan dengan banjir ialah hutan kota atau pohon penyejuk kota. Kalau banyak pohonnya, secara alamiah tak perlulah dibuatkan sumur atau bidang peresap. Apalagi tidak semua daerah cocok dibuatkan sumur peresap. Tapi apa yang terjadi? Pohon-pohon besarnya banyak yang ditebang lalu diganti dengan yang kecil-kecil. Tak lama berselang, banyaklah yang mati. Sepatutnya ditanam dulu pohon yang agak besar, dipelihara, lalu sekian tahun kemudian barulah yang besar ditebang. Ikuti saja slogan nan elok, yaitu esa hilang dua terbilang. Tebang satu, tanamlah dua. Ini demi peduli ekologi, konservasi air, dan penangkal banjir. Terlebih lagi pepohonan itu mampu mengubah karbondioksida menjadi oksigen dan menambah kenyamanan psikologis warga kota. Bukankah nyaman duduk-duduk di bawah pohon rindang? Apalagi kemarin, 21 November 2012 diperingati sebagai Hari Pohon Dunia.


Bisakah warga Jawa Barat, khususnya Bandung, Cianjur, Karawang, Purwakarta menjadikan Citarum sebagai sungai sakral seperti Sungai Gangga di India. Mungkinkah? Yang pasti, sulitlah berenang (menyelam) di air banjir nan keruh: you should never dive in the murky water! *

ReadMore »

21 November 2012

Hari Pohon, Peparu Hijau

Hari Pohon, Peparu Hijau
Oleh Gede H. Cahyana

Hidup kita sangat bergantung pada pohon atau vegetasi. Oksigen yang menyebar di dalam darah dalam bentuk HbO2 berasal dari proses fotosintesis pohon dan tanaman lainnya yang berklorofil. Tentu secara fungsi ada bedanya antara pohon, semak belukar, dan rerumputan. Tetapi sebagai sumber oksigen dan reduktor karbondioksida (CO2), semua tanaman berjasa bagi kesinambungan hidup hewan dan manusia di Bumi ini.

Jati, mahoni, trembesi, akasia, mangga, kelapa, jagung dan padi berguna bagi hidup manusia, langsung tak langsung, baik sebagai “sandang, pangan, maupun papan”. Tanaman tinggi besar dan pendek kecil, juga yang dibonsai, tetap bermanfaat bagi manusia. Bahkan benalu pun, pasti ada gunanya, tetapi manusia saja yang belum berhasil menemukan manfaatnya. Benalu mencuri makanan dari pohon mangga, kedondong, jambu, bahkan dari pohon jarak. Ia bisa tumbuh membesar di sana. Begitu juga tali putri yang tak berklorofil, yang jelas-jelas parasit bagi perdu teh-tehan pagar, belum ditemukan manfaatnya bagi hewan dan manusia.

Menurut Prof. Dr. Suroso Imam Zadjuli, rektor Universitas Kebangsaan, dengan akal kita, dapatlah dihitung luas Bumi ini, yaitu kira-kira 510 juta km2, terdiri atas 148,5 juta km2 (29,12%) daratan dan 361,5 juta km2 (70,88%) lautan. Di darat ada gunung-gunung bagai pasak/paku Bumi, ladang pengembalaan - padang rumput dan padang pasir seluas 62,10 juta km2. Kutub Utara dan Selatan seluas 12,5 juta km2. Daratan Bumi yang sudah dibudidayakan manusia hanya sekitar 9,0% tetapi sudah dapat menghidupi manusia sejak Adam - Hawa hingga sekarang (6,67 miliar orang). Bumi ini pun dihuni oleh hewan dan tumbuhan serta binatang renik.

Jumlah air di Bumi dan di langit pertamanya sekitar 1,4 miliar km3 yang terdistribusi di laut 97,75%, di Kutub Selatan, Utara dan di puncak gunung yang tinggi 1,75%, di daratan 0,40% dan di awan 0,10%. Air yang di darat dan di awan itu sudah menumbuhkan pohon berkayu yang berdiameter 15 cm atau lebih sebanyak 250.689.344.539.909 pohon (UNDP, Juni 2008). Namun pada hari ini jumlah tersebut telah berkurang karena ditebangi manusia dan tumbang karena longsor dan banjir.

Bagaimanapun kondisi Bumi ini, tetaplah upayakan memiliki satu pohon berkayu di setiap rumah. Tambah juga dengan berbagai bunga, perdu, dan tanaman yang tergolong apotek hidup dan lumbung hidup. Kalau lahannya sempit, bisalah dipelihara di dalam pot agar kita tetap berkontribusi dalam memperbanyak oksigen di Bumi ini. 

Selamat Hari Pohon. *
ReadMore »

20 November 2012

Mekar Bom di Gaza

Mekar Bom di Gaza
Oleh Gede H. Cahyana

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.


Bombardir atas Gaza menjadi bukti ketakutan Israel atas pejuang Gaza. Tentara mereka itu pengecut, bernyali kecil. Pernah ada sembilan tentara Israel lari ketakutan karena digertak oleh anak-anak Palestina sambil meneriakkan khaibar ya Yahuud. Khaibar adalah perang terpedih bagi kaum Yahudi karena mereka kalah melawan pasukan muslim. Perang ini begitu merasuk ke hati orang Yahudi sehingga membuatnya gentar.

Faktanya, kekuatan militer Israel sangat jauh di atas militer Hamas. Analoginya, batu melawan AK-47. Tetapi, nyali kaum Zionis itu tak sekuat fisik dan senjata militernya. Nyalinya kecil, hanya berani main keroyok. Apalagi “bapaknya”, yaitu AS, termasuk kaum pengecut, ular berkepala dua alias culas. Iblis berkepala ganda. Sifat raksasa Dasamuka atau Rahwana pun dilampauinya. Kelicikan Sengkuni dalam epos Bharatayudha pun kalah jauh dibandingkan dengan AS.

Ketidakadilan itu ditambah lagi oleh PBB yang menjadi corong AS. Juga oleh kemandulan negara-negara Arab lainnya yang lembek terhadap AS dan sekutunya. Bagaimana sikap kita, bangsa Indonesia, yang dulu pernah didukung oleh Palestina? Mari baca kembali Pembukaan UUD 1945, semoga kita, sebagai orang Indonesia, di sela-sela padatnya aktivitas kita sehari-hari lebih mencintai lagi perdamaian di antara kita, makhluk di Bumi ini. *
ReadMore »

18 November 2012

Hari Margarana, Siapa Peduli?

Hari Margarana, Siapa Peduli?

"Anggaplah aku sudah mati, kapan pulang..., jangan dipikirkan."
(I Gusti Ngurah Rai, Letnan Kolonel)

Hari Pahlawan, 10 November, nyaris seluruh rakyat Indonesia tahu, terutama yang bersekolah minimal SD. Bagaimana dengan Hari Margarana? Heroisme pertempuran di ladang  jagung ini tak kalah dengan kejadian di Surabaya. Bung Tomo yang bergelora-gelora pekikannya itu, begitu pula yang terjadi di Puputan Margarana meskipun sunyi-senyap di sekitarnya. 

Kecamuk perang yang klimaksnya tanggal 20 November 1946 itu betul-betul membumihanguskan ladang jagung dan sekitarnya di Marga, sebuah kecamatan di Utara Kota Tabanan. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang lahir di Kecamatan Petang, bagian Utara Kabupaten Badung ini memimpin pasukan Ciung Wanara hingga gugur dalam puputan, yaitu perang sampai tetes darah penghabisan. Semua anggota pasukannya gugur dalam Puputan Margarana, habis dibombardir oleh Belanda (NICA) lewat pesawat Capung. Atas kejuangannya itu, pemerintah mengabadikan nama I Gusti Ngurah Rai menjadi nama-nama jalan dan nama bandar udara, yaitu Bandara Internasional Ngurah Rai di Kab. Badung. Bahkan nama ini pun luas digunakan dalam bidang olah raga di Bali seperti sepakbola, futsal, gate ball, golf, dll.

Selamat mengingat Hari Margarana. Kalau belum ada, semoga tulisan ini menjadi awal dari peringatan Hari Margarana secara lokal dan nasional setiap tahun dan tak kalah semarak ulasannya di media massa nasional. *

ReadMore »

11 November 2012

Sekilas Universitas Kebangsaan

Universitas Kebangsaan
-------------------------------

Berawal pada 15 Agustus 1985, di sebuah dataran tinggi di Bandung, yaitu Rancabentang, berdiri perguruan tinggi bernama Institut Teknologi Adityawarman (ITA). Kampus ini didirikan oleh Yayasan Budhi Dharma Pradesa di bawah pimpinan Prof. Dr. Judistira Garna. Pada tanggal 23 Oktober 1991 beralih ke Yayasan Pendidikan Kebangsaan yang diketuai oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Beliau adalah ayah Prabowo Subianto, seorang purnawirawan Letnan Jenderal Kopassus. 

Sesuai dengan namanya, yaitu institut teknologi, maka pada waktu itu fakultas yang ada hanyalah fakultas teknik dan jurusan teknik. Seiring dengan perjalanan waktu berkembang pula fakultas dan jurusan non-teknik sehingga Yayasan Pendidikan Kebangsaan (YPK) di bawah ketuanya Bapak Letjen. TNI (Purn.) Prabowo Subianto berketetapan untuk menamainya Universitas Kebangsaan (UK) pada tahun akademik 2001/2002.

1. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
            a. Arsitektur   
            b. Teknik Lingkungan
2.  Fakultas Teknologi Industri
            a. Teknik Elektro
            b. Teknik Mesin
            c. Teknik Industri
3. Fakultas Ilmu Komputer dan Sistem Informasi
            a. Teknik Informatika
            b. Sistem Informasi
4. Fakultas Sastra dan Sosial
            a. Sastra Inggris
            b. Sastra Arab
            c. Ilmu Komunikasi

Semua fakultas dan program studi berada di satu tempat. Berlokasi di kota, dekat dengan bursa buku murah Palasari (700 m), UK berdiri di atas tanah seluas 7.800 m2 dengan gedung berlantai satu, dua dan tiga. Dilengkapi juga dengan 19 laboratorium, studio, masjid, sarana olah raga, aula, dan halaman luas. Mudah diakses kendaraan, dilewati angkutan umum Cicaheum - Kebon Kalapa, Stasiun Hall - Gedebage, Ciroyom - Cikudapateuh, Cicadas - Kebon Kalapa, dan tiga trayek Bis Kota di jalan Pelajar Pejuang 45. Lokasi dekat permukiman di kelurahan Lingkar Selatan, cocok untuk kos mahasiswa, 700 m dari Hotel Horison Bandung, 1.500 m dari Hotel Papandayan dan hotel-hotel melati sebagai penginapan.

Dosen berpendidikan S2 dan S3 dan berjabatan fungsional. 
-------------------

INFO TEKNIK LINGKUNGAN

Sejak tahun 1991 Yayasan Pendidikan Kebangsaan membuka Program Studi Teknik Lingkungan. Prodi menerima mahasiswa lulusan SMA, MA, SMK, pesantren, Paket C.


Khusus untuk lulusan SMK Analisis Kimia, sebagai apresiasi kepada sekolah vokasional, prodi mengakui mata pelajaran di SMK tersebut dan dikonversikan ke mata kuliah sbb:

1. Kimia Dasar I (3 SKS)
2. Kimia Dasar II (3 SKS)
3. Kimia Lingkungan (3 SKS)
4. Lab. Lingkungan I (2 SKS)
5. Lab. Lingkungan II (2 SKS)
6. Mikrobiologi Lingk. (3 SKS)

Jumlah SKS yang diakui: 16 SKS (1 semester). Mahasiswa menempuh 7 semester lagi untuk meraih gelar sarjana. Tersedia dua kelas:
I.   Kelas Reguler A
II. Kelas Reguler B

Untuk keperluan konversi nilai, calon mahasiswa diminta menyerahkan fotokopi raport kelas 3 dan fotokopi ijazah SMK yang telah dilegalisasi.

Kompetensi Lulusan
Lulusan mampu menerapkan kompetensi di bidang rencana induk sistem penyediaan air minum (RISPAM), rencana rinci (DED: Detailed Engineering Design) air minum, rencana induk pengelolaan air limbah, penyaluran air limbah (sewerage system), merancang IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah), rencana induk persampahan, sistem pengelolaan (manajemen) persampahan dan merancang sanitary landfill yang dilengkapi IPL (Instalasi Pengolahan Lindi), melaksanakan pekerjaan RKL, RPL, dan Amdal. Melaksanakan pekerjaan “water and sanitation” di perdesaan dalam kerangka penerapan Undang-Undang Desa.

Foto di atas adalah suasana tanya-jawab tentang pendidikan di perguruan tinggi, diadakan di SMKN 7 Kota Bandung (SMK Analisis Kimia), sebuah sekolah vokasi yang pernah dibimbing dalam kompetisi Toyota Eco Youth dan infonya bisa diklik di sini. 
----------------------

Konversi Nilai
Universitas Kebangsaan memberikan fasilitas KONVERSI nilai bagi mahasiswa yang melanjutkan dari Diploma 3 (misalnya AKL, ATPU, APK TS, Politeknik, dll) dan mahasiswa pindahan untuk Program Studi: 1. Arsitektur 2. Teknik Lingkungan 3.Teknik Elektro, 4. Teknik Mesin 5. Teknik Industri 6. Teknik Informatika 7. Sistem Informasi  8. Ilmu Komunikasi 9. Sastra Inggris. 10. Sastra Arab
---------------------

KETUA YAYASAN PENDIDIKAN KEBANGSAAN
Letjen. TNI (Purn.) Prabowo Subianto
ReadMore »