• L3
  • Email :
  • Search :

28 Oktober 2007

Haruskah PLTS?



Yang di KOMPAS.


Bupati Kabupaten Bandung telah meletakkan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTS. Ketika rencana Pemerintah Kota Bandung ditolak warga, Kabupaten Bandung justru mencuri peluang dalam mewujudkan rencana itu. Yang dikedepankan ialah soal sumber air dan lokasinya. Airnya banyak dan jauh dari permukiman, demikian katanya. Kondisi ini memang berbeda dengan di Kota Bandung yang menempatkan PLTS di antara permukiman di Gedebage.
Meski demikian, tak berarti efek bahayanya berkurang apalagi hilang. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi berada di cekungan raya yang dikelilingi pegunungan. Karakter udaranya sama, yaitu sulit lepas ke luar cekungan dan senantiasa berputar-putar di dalam "lembah" raya. Inilah batu sandungan terbesar bagi PLTS di pegunungan. Lain halnya kalau PLTS dibuat di pantai. Keuntungannya malah ada tiga. Selain sampah dan raihan energi listrik, PLTS juga bisa menjadi sumber air minum dari proses desalinasi air laut.
Betulkah airnya tak bermasalah? Dalam hierarki kebutuhan air, yang primer adalah untuk air minum, lantas disusul oleh kebutuhan domestik lainnya. Keperluan bebersih di PLTS menduduki peringkat terakhir dalam hierarki itu sebab disetarakan dengan kebutuhan flushing air limbah (sewerage). Bisa saja sekarang kuantitasnya terpenuhi, tetapi lima atau sepuluh tahun ke depan dapat berkurang drastis, sementara penduduk terus bertambah. Sudah rahasia umum pula, Cekungan Bandung sedang mengalami krisis air.
Masalah kedua, akan dibuang ke mana air limbah yang kaya polutan B3 itu? Ke anak-anak Sungai Citarum? Lalu, bagaimana dampaknya pada Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur? Bagaimana warga yang air PDAM-nya berasal dari waduk-waduk itu? Bagaimana kesehatan mereka? Tak usah pedulikah kita karena bukan kita yang meminum air olahan PDAM yang air bakunya dari waduk itu? Apalagi, banyak instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di Bandung yang terbukti sekadar ada tetapi "tiada". Buruk kinerjanya dan sekadar proforma. Mari, kita lihat fakta di lapangan dengan mata batin (nurani) sambil mengenyahkan hasrat politis dan ekonomis.
Perihal lokasi termasuk yang ketiga. Untuk saat ini bisa saja dikatakan jauh dari permukiman. Bagaimana pada masa yang akan datang? Siapa yang menjamin warga tidak akan tinggal di sekitar lokasi dan tak terjadi perluasan permukiman ke arah PLTS? Ke mana lagi warga Bandung harus tinggal (beli tanah dan rumah) kalau bukan di Bandung juga? Apalagi, polutan udara tak pandang jauh dekat dengan PLTS. Semua pelosok di Cekungan Bandung bisa terkontaminasi dengan mudah!
Sosiobudaya
Kecepatan pembakaran bukanlah jaminan atas solusi masalah sampah. Ada aspek lain, seperti ekonomi, sosial, dan ekologi, yang konjugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi, dan ekologi atau ekonologi).
Berbeda dengan negara di Eropa, Amerika, Jepang, China, dan Singapura yang tinggi taraf kesehatannya. Sebagai negara agraris dan agamis, masalah sampah bisa didekati dari sosiobudaya. Dengan memasukkan rohaniwan, tetua adat, atau tokoh masyarakat, pembiasaan reduksi sampah bisa dilakukan. Apalagi, kalau dibantu penyuluhan oleh dinas-dinas. Ini serupa dengan evolusi keberterimaan program keluarga berencana (KB) oleh masyarakat.
Pendekatan sosiobudaya sulit ditempuh di negara yang kuat individualismenya sebab massa sulit dilibatkan untuk implementasi 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible). Wajarlah insinerasi yang dipilih. Di Indonesia berbeda. Orang Indonesia berguyub. Paguyuban menjadi keseharian dalam bertetangga. Lewat sosiobudaya inilah sampah dikelola, diolah di RT/RW, melibatkan Karang Taruna, PKK, ormas, partai politik, pelajar SD sampai dengan universitas. Gerakan ini tak perlu teknologi mahal dan riskan serta nihil dari petaka ekologi (ecological disaster).
Itu sebabnya, yang dinilai bukanlah aspek kecepatan, melainkan efek terhadap manusia dan lingkungan. Ini yang dikhawatirkan. Manusia harus sehat, lingkungan harus dikonservasi. Berhati-hati (precautionary principle) dan mencegah lebih baik daripada mengobati atau rehabilitasi pascabencana. Memadaikah paramedis, dokter, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit? Adakah prosedur operasi standar atas bencana PLTS? Bagaimana tindakan step by step yang dikaitkan dengan sosiobudaya orang Bandung?
Karena itu, pola yang bersahabat dengan lingkungan lebih tepat. Konsep 7R layak digunakan karena kita punya struktur formal-informal pemerintahan yang bagus. Ada tanggung jawab bersama antara pejabat dan rakyat. Solutif, murah, dan tahan lama tanpa batas waktu. Semua dilaksanakan dengan penyuluhan dan melibatkan pejabat dan perangkatnya, anggota DPRD, fungsionaris dan kader partai, ormas beserta keluarganya.
Ekonologi
Betul bahwa PLTS menghasilkan listrik. Namun, listrik itu dijual ke warga, padahal bahan bakarnya dari warga. Ini berbeda dengan sanitary landfill, composting, dan 7R yang keuntungannya justru untuk warga. Yang terlibat tak hanya 20 warga atau 200 warga, tetapi ratusan ribu warga. Warga se-Bandung bisa melibatkan diri dalam mengelola sampah sekaligus melestarikan fungsi lingkungan. Sampah dari rakyat, dikelola rakyat (plus pemerintah), dan untuk rakyat (juga untuk pemerintah yang diringankan pekerjaannya dan hemat APBD).
Bagaimana mekanismenya? Pemerintah lewat dinas-dinasnya dapat memulai pembuatan pabrik pengelola dan pengolah sampah. Selain membuat pabrik, pemerintah hendaklah membantu distribusi produk sekaligus menurunkan penganggur. Sektor hulu-hilir sampah ini dapat melibatkan ratusan ribu orang. Pemerintah tinggal mengatur tata niaganya. Misalnya, dalam proyek konstruksi (sipil) dan permesinan, benda olahan sampah dengan konsep reuse, recycle, recovery itu dapat digunakan.
Yang terakhir, aspek ekologi. Intinya, sanitary landfill yang sudah penuh bisa ditanami pohon menjadi hutan, penyumbang oksigen, dan kenyamanan, selain juga bisa dijadikan daerah tujuan wisata berwajah ekowisata, serta bisa dijadikan permukiman setelah tuntas biodegradasinya. Dalam hal ini PLTS tidak bisa!
Penanganan sampah yang solutif ialah berbasis masyarakat karena sampah bersumber dari masyarakat. Upaya ini butuh waktu. Pelajar pun perlu 12 tahun agar bisa menjadi mahasiswa. Mengubah karakter tak semudah membuang sampah sebab perlu ilmu, konsistensi kebijakan, dan pembiasaan. Ini harus dimulai dari pejabat publik agar praktik memilah-milah sampah kemudian diikuti masyarakat.
Janganlah PLTS menjadi bencana ekologi di Tatar Bandung.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Pak Bupati, Haruskah PLTSa?

Di bawah ini adalah tulisan “asli” saya alias sebelum disunting (diedit) dan digunting oleh redaksi Kompas, dibuat dua hari setelah Bupati Kab. Bandung menaruh batu di lahan PLTSa Babakan.

Jumat, 28/9/07 Bupati Kabupaten Bandung meletakkan batu pertama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Ketika rencana Pemerintah Kota Bandung ditolak warga, Kabupaten Bandung justru mencuri peluang dalam mewujudkan rencana itu. Yang dikedepankan ialah soal sumber air dan lokasinya. Airnya banyak dan jauh dari permukiman, demikian katanya. Kondisi ini memang berbeda dengan di Kota Bandung yang melokasikan PLTSa di antara permukiman di Gedebage.

Namun demikian, tak berarti efek bahayanya berkurang apalagi hilang. Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Cimahi, semuanya berada di cekungan raya yang dikitari pegunungan. Karakter udaranya sama, yaitu sulit lepas ke luar cekungan dan senantiasa berputar-putar di dalam “lembah”. Inilah batu sandungan terbesar bagi PLTSa di pegunungan. Lain halnya kalau PLTSa itu dibuat di pantai. Keuntungannya malah ada tiga. Selain sampah dan raihan energi listrik, juga bisa menjadi sumber air minum dari proses desalinasi air laut.

Ada tiga pertanyaan untuk Pak Bupati. Yang pertama, betulkah airnya tak bermasalah? Dalam hirarki kebutuhan air, yang primer adalah untuk air minum, lantas disusul oleh kebutuhan domestik lainnya. Keperluan bebersih di PLTSa menduduki peringkat terakhir dalam hirarki itu sebab disetarakan dengan kebutuhan flushing air limbah (sewerage). Bisa saja sekarang kuantitasnya terpenuhi tetapi lima atau sepuluh tahun ke depan dapat berkurang drastis sementara itu penduduk terus bertambah. Sudah rahasia umum pula, cekungan Bandung sedang krisis air.

Masalah kedua, akan dibuang ke mana air limbahnya yang kaya polutan B3 itu? Ke anak-anak Sungai Citarum? Lalu bagaimana dampaknya pada Saguling, Cirata, dan Jatiluhur? Bagaimana warga yang air PDAM-nya berasal dari waduk-waduk itu? Bagaimana kesehatan mereka? Tak usah pedulikah kita karena bukan kita yang meminum air olahan PDAM yang air bakunya dari waduk itu? Apalagi banyak IPAL di sekujur Bandung ini yang terbukti sekadar ada tetapi “tiada”. Buruk kinerjanya dan sekadar proforma. Mari kita tatap fakta lapangan dengan mata batin (nurani) sambil mengenyahkan hasrat politis dan ekonomis.

Perihal lokasi termasuk yang ketiga. Untuk saat ini bisa saja dikatakan jauh dari permukiman. Bagaimana pada masa yang akan datang? Siapa yang menjamin warga takkan tinggal di sekitar lokasi dan tak terjadi perluasan permukiman ke arah PLTSa? Ke mana lagi warga Bandung harus tinggal (beli tanah dan rumah) kalau bukan di Bandung juga? Apalagi polutan udaranya tak pandang jauh dekat dengan PLTSa. Semua pelosok di cekungan Bandung bisa terkontaminasi dengan mudah!

Sosiobudaya
Kecepatan pembakaran bukanlah jaminan atas solusi masalah sampah. Ada aspek lain seperti ekonomi, sosial, dan ekologi yang konyugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi, dan ekologi atau ekonologi).

Berbeda dengan negara di Eropa, Amerika, Jepang, Cina, dan Singapura yang tinggi taraf kesehatannya, sebagai negara agraris dan agamis, masalah sampah bisa didekati dari sosiobudaya. Dengan memasukkan ruhaniwan, tetua adat, tokoh masyarakat maka pembiasaan reduksi sampah bisa dilakukan. Apalagi kalau dibantu penyuluhan oleh dinas-dinas. Ini serupa dengan evolusi keberterimaan program KB oleh masyarakat.

Pendekatan sosiobudaya sulit ditempuh di negara yang kuat individualismenya sebab massa sulit dilibatkan untuk implementasi 7R. Wajarlah insinerasi yang dipilih. Di Indonesia berbeda. Orang Indonesia berguyub. Paguyuban menjadi keseharian dalam bertetangga. Lewat sosiobudaya inilah sampah dikelola, diolah di RT/RW, melibatkan Karang Taruna, PKK, ormas, partai politik, murid SD s.d universitas. Gerakan ini tak perlu teknologi mahal dan riskan serta nihil dari petaka ekologi (ecological disaster).

Itu sebabnya, yang dinilai bukanlah aspek kecepatan melainkan efeknya atas manusia dan lingkungan. Ini yang dikhawatirkan. Manusia harus sehat, lingkungan harus dikonservasi. Berhati-hati (precautionary principle) dan mencegah lebih baik daripada mengobati atau rehabilitasi pascabencana. Memadaikah paramedis, dokter, dan fasilitas kesehatan di rumah sakit? Adakah prosedur operasi standar atas bencana PLTSa? Bagaimana tindakan step by step yang dikaitkan dengan sosibudaya orang Bandung?

Lantaran itulah pola yang bersahabat dengan lingkungan lebih tepat. Konsep 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible) layak digunakan karena kita punya struktur formal-informal pemerintahan yang bagus. Ada responsible, tanggung jawab bersama, pejabat dan rakyat. Solutif, murah, dan tahan lama tanpa batas waktu. Semua dilaksanakan dengan penyuluhan dan melibatkan pejabat dan perangkatnya, dewan, fungsionaris dan kader partai, ormas plus keluarganya.
EkonologiBetul bahwa PLTSa menghasilkan listrik. Tapi listriknya itu dijual ke warga padahal bahan bakarnya dari warga. Ini berbeda dengan sanfil, composting, dan 7R yang keuntungannya justru untuk warga. Yang terlibat tak hanya duapuluh atau duaratus warga tapi ratusan ribu. Warga se-Bandung bisa melibatkan diri dalam mengelola sampah sekaligus melestarikan fungsi lingkungan. Sampah dari rakyat, dikelola rakyat (plus pemerintah), dan untuk rakyat (juga untuk pemerintah yang diringankan pekerjaannya dan hemat APBD).

Bagaimana mekanismenya? Pemerintah lewat dinas-dinasnya dapat memulai pembuatan pabrik pengelola dan pengolah sampah. Selain membuat pabrik, pemerintah hendaklah membantu distribusi produknya sekaligus menurunkan penganggur. Sektor hulu-hilir sampah ini dapat melibatkan ratusan ribu orang. Pemerintah tinggal mengatur tata niaganya. Misalnya, dalam projek konstruksi (sipil) dan permesinan, benda olahan sampah dengan konsep reuse, recycle, recovery itu dapat digunakan.

Yang terakhir, aspek ekologi. Intinya, sanitary landfill (sanfil) yang sudah penuh bisa ditanami pohon menjadi hutan, penyumbang oksigen dan kenyamanan. Juga bisa dijadikan daerah tujuan wisata berwajah ekowisata. Pun bisa dijadikan permukiman setelah tuntas biodegradasinya. Dalam hal ini PLTSa tidak bisa!

Gerakan Massal
Sampah itu produk massal sehingga warga wajib ikut bertanggung jawab. Warga harus berdaya, meskipun tak bisa instan. Namun pendekatan paguyuban inilah opsi positif bagi Bandung, bukan untuk negara lain yang tinggi income per kapitanya, baik fasilitas kesehatannya, dan sudah memilah sampahnya. Di Indonesia, yang tinggi pendidikannya belum tentu memilah sampahnya. Inilah kesempatan untuk memassalkan gerakan 7R.

Penanganan sampah yang solutif ialah berbasis masyarakat karena dari masyarakatlah sumber sampahnya. Upaya ini butuh waktu. Murid pun perlu 12 tahun agar bisa menjadi mahasiswa. Mengubah karakter tak semudah membuang sampah. Perlu ilmu, konsistensi kebijakan, dan pembiasaan. Ini harus dimulai dari pejabat publik agar memilah-milah sampahnya lantas diikuti oleh masyarakat.

Karena diapit pegunungan, selayaknya warga Bandung bersahabat dengan lingkungan sekaligus mengasah kecerdasan intelektual (intelectual intelligence), beretika baik (emotional intelligence) dan cerdas lingkungan (enviro intelligence) yang diharapkan bermuara di spiritual intelligence. Pak Bupati perlu mengajak tokoh agama selain PNS, anggota dewan, tokoh partai, ormas, perusahaan, dan sekolah s.d perguruan tinggi untuk mengelola sampah.

Tata kala masa..., janganlah PLTSa menjadi bencana ekologi di tatar Bandung.*


ReadMore »

17 Oktober 2007

Bunda Theresa

Tanggal ini, yaitu 17 Oktober, tepatnya 28 tahun yang lalu (tahun 1979), Bunda Theresa memperoleh hadiah Nobel Perdamaian. Saya punya kalimat mutiaranya yang saya kutip dari Spiritual Capital-nya Danah Zohar dan Ian Marshall.


Dalam amatan saya, rangkaian kalimat ini mengena bagi siapa saja, tak peduli agama anutannya, apakah agama langit ataukah agama budaya. Begini isinya:


Orang kerapkali tak bernalar, tak logis, dan egosentris.
Tapi biarlah begitu, maafkanlah mereka.
Kalau engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif egoismu.
Tapi biarlah begitu, tetaplah bersikap baik.
Kalau engkau sukses, engkau bakal pula mendapat taman-teman palsu dan musuh sejati.
Tapi biarlah begitu, tetaplah meraih sukses.
Kalau engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu.
Tapi biarkan sajalah, tetaplah jujur dan berterus terang.
Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun, mungkin akan dihancurkan orang dalam semalam. Biarlah begitu, tetaplah membangun.
Kalau engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri.
Biarlah begitu, tetaplah berbahagia.
Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, sering bakal dilupakan orang esok harinya.
Biarlah begitu, tetaplah lakukan kebaikan.
Berikan milikmu yang terbaik kepada dunia dan mungkin itu takkan pernah cukup.
Biarlah begitu, tetaplah berikan kepada dunia milikmu yang terbaik.

Ketahuilah, pada akhirnya, sesungguhnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhan; tak pernah antara engkau dan mereka.



Begitulah tulisan yang diperoleh Danah Zohar dari Newsletter pendidikan
di negara Nepal, di atas Himalaya.



Demikian dan salam........

Gede H. Cahyana
ReadMore »

9 Oktober 2007

Selamat IDUL FITRI

Pada Lebaran ini…
semoga kita mampu membuka lebar pintu pemberian maaf kepada siapa saja. Juga mampu meraih fithri (fithrah, suci) dan ifthar (berbuka, makan-minum lagi).
Kepada segenap rekan, kawan, teman, sejawat, relasi, murid, mahasiswa, tetangga, saudara, adik, kakak, orang tua, dan tentu saja kepada ustadz-ustadzah yang telah banyak membagikan ilmunya…
saya, istri, dan anak-anak mengucapkan:

Selamat ‘Idul Fitri,
1 Syawal 1428 H

Taqabbalallahu Minna wa Minkum
Taqabbal yaa Kariim…

Artikel Idul Fitri atau Idulfitri yang terkait:


ReadMore »

8 Oktober 2007

PDAM Menuju Potable Water

Dimuat di Majalah Air Minum edisi 144, September 2007.

Patut diakui, tidak semua PDAM memiliki kawasan yang kualitas airnya sudah layak diminum langsung (potable water) di kran-krannya, khususnya dalam kompleks tertentu. Namun demikian, ada beberapa PDAM yang selangkah di depan (atau minimal sudah berencana membuat kawasan tersebut) karena di sebagian daerah layanannya, sebagai daerah percontohan, telah dilengkapi sarana potable water

Opsi Instalasi
Rancangan pengolahan air yang tepat bergantung pada kualitas air baku dan kualitas air olahan yang diinginkan. Perbedaan kualitas inilah yang menentukan jenis unit operasi dan unit proses yang bakal diterapkan. Maka, untuk suplai kawasan khusus, misalnya perumahan, industri, gedung perkantoran, terminal, bandara dan lain-lain, ada dua opsi (alternatif) sumber air yang mungkin, yaitu air baku (raw water) dari sungai, danau, waduk, atau laut dan “air baku” yang berasal dari air olahan (treated water) PDAM.

Opsi pertama perlu instalasi baru berupa complete treatment di dekat badan air atau di dalam area kawasan dengan kapasitas minimal yang direncanakan, misalnya 50 l/d. Debit yang diolah tentu harus lebih besar daripada 50 l/d untuk antisipasi kehilangan air, kebocoran, kebutuhan di instalasi, dan air yang terbuang dalam pengolahan dengan teknologi membran. Perlu pula dipertimbangkan kebutuhan sepuluh tahun ke depan sebagai siaga perluasan kawaan. Kalau debit yang diolah 50 l/d maka debit potable water-nya menjadi di bawah 50 l/d. (Besar-kecilnya debit produksi ini dipengaruhi oleh kualitas air kiriman dari reservoir PDAM dan kualitas membrannya. Kualitas membran ini beragam, ditentukan oleh tipe membran, yaitu selulose asetat, composite, polyamide, dll. dan jenis modulnya: tubular, spiral, hollow fiber, atau plate-frame). 

Kalau opsi kedua yang dipilih, yaitu air bakunya berasal dari air olahan (treated water) IPAM PDAM, maka tahap awal pengolahannya (pretreatment) sudah dilaksanakan. Berikutnya ialah pengolahan air di kawasan tersebut, yaitu Instalasi Pengolahan Air Minum Internal (IPAMI). Lokasinya di dalam area kawasan dengan unit operasi dan proses yang ditujukan untuk mencapai potable water. Pada opsi kedua ini pun air yang dialirkan dari reservoir PDAM harus lebih besar daripada 50 l/d. Debit kiriman yang dibutuhkan untuk memproduksi 50 l/d potable water ini pun bergantung pada kualitas air kiriman. Makin buruk kualitasnya, makin besar air limbah yang dihasilkannya (konsentrat, rejection, brine water di unit membran), selain untuk kebutuhan bebersih di instalasi dan keperluan domestik internal.

Misalkan yang dipilih adalah opsi kedua, yaitu membuat IPAMI di area kawasan. Opsi kedua ini pun memiliki dua opsi pola suplai. Yang pertama ialah pola suplai Point of Use (PoU, Titik Guna) dan yang kedua Point of Entry (PoE, Titik Masuk). 

Instalasi PoU dipasang tersebar di lokasi yang akan difasilitasi dengan air layak minum, misalnya di ruang tunggu, toilet (tapi tidak di kamar mandi, WC), semua ruang kantor atau administrasi, koridor, dapur, area parkir, dll. Di setiap titik layanan disediakan storage tank air layak minum yang diolah di beberapa tempat secara terpisah dengan kapasitas yang jauh lebih kecil daripada 50 l/d. Dengan cara ini ada penghematan biaya investasi (capital), hemat biaya operasi-rawatnya karena tidak semua kapasitas 50 l/d itu diolah menjadi potable water kecuali kalau semua kapasitas itu hendak dijadikan potable water dan pemakaiannya diserahkan kepada pengelola kawasan dengan konsekuensi biaya investasi (capital), operasi-rawatnya menjadi mahal.

Pola kedua, yaitu PoE memperlakukan air olahan PDAM sebesar 50 l/d sebagai air baku bagi IPAMI. Instalasi difungsikan sebagai pengolahan lanjut (advanced treatment) dengan tetap mengacu pada perbaikan kualitas sesuai dengan unit operasi dan proses yang dibutuhkan. Pada pola PoE ini, semua kapasitas (50 l/d) akan diolah menjadi potable water sehingga otomatis biayanya lebih mahal daripada pola PoU. Dalam pola ini pun air produksinya tidak akan mencapai 50 l/d tetapi kurang dari itu. Kuantitas potable water ini bergantung pada jenis dan kondisi membran yang digunakan, kondisi operasinya (flow control dan tekanan kerja), dan kualitas air kiriman (jenis dan konsentrasi polutan seperti kekeruhan, Fe, Mn, Ca, Mg, pestisida, nitrat, nitrit, bakteri, algae, virus, mineral lain, temperatur dan pH). 

Flow Diagram
Untuk menyusun diagram alir IPAMI kawasan, spektrum ukuran partikel yang ada di dalam air olahan PDAM sebesar 50 l/d itu sangat penting diketahui dan dipastikan (relatif) tidak fluktuatif. Karena dialirkan melalui pipa di bawah tanah maka potensi kebocorannya tetap harus dipertimbangkan dan akan berpengaruh pada debit dan kualitas air kiriman, sekaligus berpengaruh pada jenis unit operasi dan prosesnya. 

Sebagai pertimbangan kontrol kualitas, jenis material yang mungkin masuk ke dalam pipa transmisi air olahan PDAM ke ground reservoir di IPAMI kawasan ialah coarse (gross) solid, suspended solid, koloid, dan dissolved solid. Dengan kata lain, empat padatan itulah yang disasar oleh pengolahan di IPAMI kawasan. Sebagai gambaran umum di bawah ini disertakan unit operasi (UO) dan unit proses (UP) yang perlu dibuat di IPAMI itu.

Jenis UO, UP
Aplikasi
Preklorinasi
Oksidator Fe, Mn, pembasmi bakteri
Pressure filter
Koloid, suspended solid
Activated Carbon Adsorption
Bau dan rasa, pestisida, solvent, aromatics
Mikrofiltrasi
Molekul-molekul besar, polimer
Ion Exchange
Calsium, magnesium, softening
Reverse Osmosis
Mineral, dissolved solid
Disinfection (UV sterilizer, O3 generator)
Pembasmi bakteri
Unit Pelengkap
Fungsi
Ground tank, reservoir
Penampung air kiriman dari PDAM, 50 l/d.
Oxidator tank
Oksidasi Fe, Mn, dll (dengan chlorine)
High pressure pumps
Untuk driving force RO
Pipa distribusi
Distribusi air layak minum, pipa PE.
Backwash facility for filters
Suplai air pencuci, masih bisa di-reuse.
Storage tank of potable water
Penampung air produksi IPAMI
Faucet, kran, drinking fountain
Tapping untuk minum.
Sludge pond
Penampung sludge rejection tahap akhir

Preventif, Kontaminasi
Upaya preventif sangat penting dalam instalasi potable water. Oleh sebab itu, semua pipa di instalasi, transmisi air produksi dan distribusinya tidak boleh menyebabkan pengotoran kembali (rekontaminasi) air produksi sehingga harus dihindari penggunaan pipa besi, stainless steel, dll. Upayakan memakai pipa PE atau berbahan PVC lining (bebas timbal) yang kuat terhadap beban berat. Storage tank-nya pun hendaklah berbahan PE atau yang dijamin tidak menimbulkan kikisan logam atau oksida logam.

Patut ditekankan, pretreatment menentukan kualitas air produksi dan masa hidup (life time) membran, membran apapun yang digunakan, baik itu mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi maupun reverse osmosis (RO). Khusus unit RO (superfiltrasi, hyperfiltrasi), kemampuannya sangat tinggi dalam meremoval ion divalen (99%) dan 98% untuk ion monovalen. Syaratnya, pretreatment harus tepat agar pencemar yang merusak membran seperti di bawah ini dapat disisihkan:

scaling: CaCO3, CaSO4, BaSO4, SrSO4, CaF2, SiO2.
oksida logam: oksida atau hidroksida dari Fe, Mn, Ca, Mg, Al.
partikulat : upayakan lebih kecil daripada 5 mikron
suspended solid: lempung dalam ukuran SS, koloid
partikel biologis: algae, jamur, mikroba, dll.
zat organik terlarut: pestisida, solvent, dll
halogen: klor, kloramin, dll

Jika pretreatment tersebut tercapai, maka air produksinya akan stabil, tidak turun drastis terhadap waktu sehingga operating time-nya lama. Selain pretreatment, keberhasilan teknologi membran juga ditentukan oleh kalkulasi desain dan operasi-rawatnya. 

Sebagai gambaran, di bawah ini diberikan tiga opsi urutan pengolahan yang diperlukan dengan air umpan (feed water) dari reservoir PDAM. Apabila kualitas air kiriman PDAM tersebut memenuhi standar air umpan untuk membran dan bisa dijamin relatif stabil selama operasinya, maka unit pretreatment-nya bisa dikurangi sehingga biaya investasi, instalasi, dan O-M menjadi lebih murah. 

Opsi 1 (Ion exchanger), terdiri atas (1) ground reservoir air kiriman PDAM, (2) preklorinasi, (3) oxidator tank, (4) pressure filter, (5) activated carbon adsorption, (6) ion exchanger atau zeolit softener, (7) RO system, (8) storage tank untuk potable water plus UV sterilizer, O3 generator, (9) transmisi dan distribusi (drinking fountain, dispensing faucet).

Opsi 2 (double RO system), (1) ground reservoir, (2) preklorinasi, (3) oxidator tank, (4) pressure filter, (5) activated carbon adsorption 1, (6) RO system 1, (7) activated carbon adsorption 2, (8) RO system 2, (9) storage tank untuk potable water plus UV sterilizer dan O3 generator, (10) transmisi dan distribusi (drinking fountain, dispensing faucet)

Opsi 3 (mikrofiltrasi): (1) ground reservoir, (2) preklorinasi, (3) oxidator tank. (4) pressure filter, (5) mikrofiltrasi, (6) intermediate tank (untuk split kebutuhan nonpotable water), (7) RO system, (8) storage tank untuk potable water plus UV sterilizer dan O3 generator, (9) transmisi dan distribusi (drinking fountain, dispensing faucet).

Teknoekonomi
Dari kajian ringkas di atas, dapat diperoleh tiga kelompok pertimbangan teknologi membran untuk memperoleh air layak minum, yaitu:

1. Kemampuan teknologi. 
Spektrum kemampuan teknologi membran sangat luas, dapat mengolah air berkadar garam rendah (air tawar) sampai dengan sangat tinggi, misalnya 35.000 mg/l atau bahkan 60.000 mg/l. Kalau mengolah air laut saja sudah demikian mampu, maka mengolah air tawar yang sudah di-pretreatment tentu lebih mudah dan lebih murah. Itu sebabnya, selain pretreatment, keberhasilannya ditentukan juga oleh akurasi desain dan operasi-rawatnya yang sesuai dengan prosedur standar.
2. Biaya investasi (capital).
Umumnya, makin besar kapasitas pengolahan, makin rendah biasa investasi per meter kubik air produksinya. Ini diperlihatkan oleh bentuk grafiknya yang menurun searah dengan sumbu X dalam koordinat Cartesian dan sudah menjadi pengalaman atau fakta di semua unit potable water di seluruh dunia.
3. Operasi-rawat.
Biaya ini dipengaruhi oleh kualitas air baku, kondisi setiap unit pengolah dan harga jual airnya. Umumnya, biaya menjadi murah apabila kualitas air bakunya bagus sehingga langsung berpengaruh pada life time unit pengolah.

Demikian dan semoga bermanfaat. *

Gede H. Cahyana
ReadMore »

4 Oktober 2007

PAM di Perdesaan

Dimuat di Majalah Air Minum edisi 143, Agustus 2007.
Akankah kita mampu memenuhi target MDGs di sektor air minum pada tahun 2015? Apa saja peran masyarakat untuk membantu pemerintah dalam penyediaan air minum (PAM)?

Sektor air minum ialah hajat yang terus tumbuh, tak hanya di kota-kota tapi juga di desa-desa. Masalahnya, sedikit masyarakat yang paham cara memanfaatkan sumber airnya sehingga bergantung terus pada bantuan pemerintah. Padahal swadaya lebih potensial dalam pengelolaan air dan hanya perlu sedikit urusan dengan dinas-dinas, khususnya yang terkait dengan mata air (spring).

Faktanya, ada banyak sumber mata air tetapi lokasinya terpencil. Ada yang jauh, ada yang di bawah permukiman, ada juga yang tersebar di beberapa tempat sehingga kecil-kecil debitnya. Kalau mata airnya di bawah desa tentu perlu dipompa, perlu listrik atau generator set (genset). Bisa juga dibuatkan pembangkit listrik mikrohidro jika debitnya memenuhi syarat. Selain itu dapat dipasang pompa yang mampu menaikkan air tanpa listrik, yaitu pompa hydram (hydraulic ram automatic). Hanya saja, perolehan airnya 30 - 40% dari total air yang masuk ke pompa tersebut.

Komponen Sistem
Masyarakat sebetulnya mampu mendapatkan air minum secara swadaya. Tanpa bantuan konsultan pun dan tanpa harus menunggu bantuan teknis dan finansial dari pemerintah, warga perdesaan mampu memperoleh air minum secara ekonomis dan memenuhi aspek hidrolika dengan perhitungan sistem dan biaya yang minimal. Tak perlulah pendidikan setara sarjana karena sebatas kalkulasi matematis yang sederhana dengan pola pemipaan yang juga sederhana, tak banyak loop seperti dalam sistem PAM di perkotaan.

Jamak diketahui, sistem penyediaan air minum (SPAM) dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu sumber, instalasi, transmisi dan distribusi. Dari sisi rekayasa PAM yang meliputi aspek sumber daya air, teknologi instalasi, pola pemipaan dan hidrolikanya tentu butuh banyak waktu untuk mendesainnya. Apalagi kalau luas cakupan layanannya dan besar kebutuhan airnya. Namun demikian, khusus PAM di perdesaan ini, yang dibutuhkan warga ialah hal-hal praktis implementatif, dapat diterapkan oleh warga desa yang belum mengenal formula hidrolika. Di bawah ini dibahas ringkas komponennya.

Yang kesatu, sumber air. Bisa berupa mata air, bisa juga sungai atau danau. Yang ekonomis ialah mata air sebab kualitas fisika dan bakteriologinya sudah bagus. Secara kimia pun umumnya memenuhi syarat walau kadang-kadang kadar besi, mangan, dan kesadahannya berlebih. Agar aman pagarilah sekelilingnya dan buatkan bak tangkap mata air (Belanda: broncaptering). Debitnya bergantung pada jenis akifernya (aquifer, pepundi air) dan dipengaruhi oleh posisi lapisan kedap (impervious layer) di dalam pepundinya, apakah berupa air tanah bebas (unconfined aquifer) ataukah air tanah tak bebas (confined aquifer). Ini pun ditentukan oleh parasitas (perviousness) pepundi, bukan oleh porositas (porosity) pasir. Yang terbaik ialah mata air dari air tanah tak bebas atau artesis (artesian spring: istilah yang merujuk pada desa Artois di Prancis).

Yang kedua, instalasi. Kalau memanfaatkan mata air, tak perlulah instalasi seperti yang dibuat PDAM, yaitu pengolahan lengkap (complete treatment) untuk air sungai. Namun tetap bisa menggunakan pengolahan praktis untuk air sungai yang relatif jernih, belum terkontaminasi pestisida. Teknologi sederhana (appropriate technology) pengolahannya sudah ditulis di MAM ini dalam bentuk bermacam-macam filter tepat guna. Sebagai upaya preventif, berilah kaporit di bak tampungnya sebelum digunakan untuk memasak, menyikat gigi, berkumur-kumur, minum, dll.

Yang ketiga, transmisi. Antara lokasi mata air dan daerah permukiman pasti ada jaraknya, sependek apapun itu. Jarak ini harus ditempuh dengan memasang pipa penyalur air dari mata air ke bak tampung (reservoir) di dekat balai desa atau di lokasi tertentu yang tepat secara hidrolika. Pemipaan transmisi ini hendaklah dipasang di lokasi aman, di sisi jalan agar mudah dikontrol dan gampang diperbaiki. Kalau airnya berupa air baku, biasa disebut pipa transmisi air baku. Kalau yang dibawanya air bersih, yaitu air olahan, baik hanya diberi kaporit maupun diolah secara lengkap, biasa disebut pipa transmisi air bersih.

Berkaitan dengan transmisi ini, catatlah lokasi dan lebar sungainya agar dapat dihitung kebutuhan jembatan pipanya. Tapi usahakan hindari sungai agar tidak ada jembatan pipa sehingga biayanya murah. Letakkan pipa mengikuti alur atau profil tanah, hindari lokasi yang sulit dijangkau. Sediakanlah alat penguras (blow off) di lokasi dekat sungai atau selokan dan dipasang di tempat terendah untuk membuang lumpur (kalau ada) dan membuang air kalau ada kerusakan (darurat, emergency). Bergantung pada elevasinya, mungkin perlu dibuatkan bak pelepas tekanan (BPT) di tempat tertentu di sepanjang pipa transmisi.

Yang keempat, distribusi, yaitu daerah layanan (servis). Di desa biasanya terdiri atas rumah penduduk, balai desa, masjid, sekolah dasar, dan puskesmas. Mungkin ada juga industri kecil, pabrik tahu, tempe, kue, dll. Bisa juga dibuatkan bak tampung (reservoir distribusi) di tempat tertinggi di desa itu. Dipilih tempat tertinggi agar airnya bisa mengalir ke rumah penduduk yang terjauh dan masih memiliki tekanan sisa (residual head) minimal 5 meter kolom air. Bak tampung ini pun berfungsi mengumpulkan air saat tidak digunakan, misalnya pada malam hari dan memasok air tambahan ketika banyak yang menggunakannya pada pagi dan sore hari.

Tahap Kerja
Prinsipnya, semua pekerjaan seperti iuran, perencanaan, pekerjaan fisik, dan membeli barang dilaksanakan dengan gotong-royong. Warga desa yang tamat SMA, SMK, atau MA dapat berperan sebagai “konsultan” perencana untuk menghitung panjang pipa, diameter, aksesoris pipa, lokasi bak tampung, kran umum, sambungan rumah, dan kebutuhan konstruksinya. Pembagian air di antara warga desa wajib dimusyawarahkan untuk menihilkan dampak negatifnya seperti berebut air. Berikut ini tahap kerjanya.

Tahap satu, pilihlah sumber airnya. Jika ada satu mata air, tentu tak perlu memilih. Kalau lebih dari satu, pertimbangkanlah debitnya. Pilih yang terbesar. Debit terbesar ialah debit minimum menjelang musim hujan dan harus lebih besar daripada kebutuhan air total warga desa. Perlu diketahui juga debit reratanya. Debitnya itu dapat dihitung dengan mudah. Sediakanlah ember yang sudah diketahui volumenya dan arloji atau stopwatch. Tampunglah air sambil diukur dengan stopwatch. Volume ember dibagi kebutuhan waktu untuk mengisinya sama dengan debit, dalam liter per detik.

Dari beberapa mata air itu, prioritas pertama ialah artesian spring, lalu gravity spring, dan surface (atmospheric) spring. Pilihlah yang terdekat dengan desa agar murah biaya pipa dan galiannya dan mudah dipantau. Usahakan yang lebih tinggi elevasinya agar mampu mengalir ke tempat terjauh di desa. Tentang pembuatan broncaptering, berhati-hatilah agar tinggi muka airnya tidak bertambah karena dapat mengalihkan titik keluar airnya, pindah ke lain tempat. Kalau ini terjadi, rugilah pembuatan bak tampung mata airnya dan hanya menjadi monumen.

Tahap dua, hitunglah kebutuhan air seluruh warga untuk mengetahui besaran sistem, yaitu debit air yang mencukupi kebutuhan semua orang di desa itu. Lakukanlah survei sederhana berkaitan dengan jumlah kepala keluarga, jumlah orang per keluarga, kebutuhan air rerata untuk masak, mandi, cuci, kakus, kebun, dll., termasuk untuk fasilitas umum dan sosial. Pekerjaan ini memakan waktu dan tenaga. Bisa juga minta data nomogram dan data sensus penduduk. Kalau ini pun sulit didapat, perkirakan saja kebutuhan airnya 50 – 60 liter per orang per hari (loh) untuk sambungan rumah dan 30 loh untuk kran umum. Angka ini sudah mencukupi untuk perdesaan.

Tahap tiga, tentukan jumlah pelanggan dan kran umum. Pelanggan rumah ialah orang yang menerima air langsung di rumahnya dan dipasangi meter air untuk mengetahui pemakaian airnya per bulan dan ini menentukan jumlah air yang wajib dibayarnya. Bagaimanapun, air ini tetap harus dibayar untuk biaya operasi seperti pembelian kaporit dan perawatan (penggantian) pipa serta sumber air. Juga untuk honor petugas penjaga mata air dan jaringan pipanya. Warga hendaklah sadar bahwa iuran itu justru untuk memudahkan mereka dalam memperoleh air, bisa hidup lebih bersih dan sehat.

Selain pelanggan-rumah atau sambungan rumah, ada lagi yang berlangganan secara kolektif lewat kran umum. Mereka pun tetap harus iuran untuk operasi dan perawatan pipa tetapi lebih murah ketimbang pelanggan-rumah. Tentu saja besar tarif airnya bisa dimusyawarahkan dengan masyarakat dan aparat desa. Terkait dengan kran umum ini, tempatkanlah di dekat sekelompok rumah. Satu kran umum bisa untuk 10 – 15 rumah. Angka ini pun bisa berubah sesuai dengan debit airnya, volume tangki yang dibuat dan kebijakan yang diambil warga, khususnya “konsultan” air. Adapun reservoirnya dibuat di lokasi tertinggi di desa itu atau dalam bentuk tangki tinggi (elevated tank).

Tahap empat, peletakan pipa. Pasanglah pipa di tepi jalan utama agar mudah dipantau dan cepat diketahui jika ada yang pecah. Catat dan tandai jalan, sungai, jembatan, selokan, sawah, kanal, dll pada peta desa. Buatlah lajur pipa yang terpendek agar lebih murah dan pilihlah jenis pipanya. Pilih pipa yang relatif murah tetapi kuat, yaitu yang mampu menahan tekanan kerja air minimal 10 bar atau 10 atmosfer alias 100 meter kolom air. Bahannya bisa PVC, baja, besi tuang, dll. Di desa umumnya digunakan pipa PVC kecuali kasus tertentu yang terkait dengan kondisi lapangan yang berbatu, tanahnya labil, melewati sungai lebar, kanal, dll.

Tahap lima, operasi-rawat. Tahap akhir ini jauh lebih berat ketimbang pengerahan dana dan daya masyarakat. Banyak PAM di perdesaan yang akhirnya menjadi pipa tanpa air dan tak terawat lantaran masyarakat tidak merasa ikut memilikinya. Tak ada sense of belonging. Oleh sebab itu, PAM di perdesaan sebetulnya bisa langgeng beroperasi kalau dirawat oleh warga desa dan semuanya bertanggung jawab, apalagi kalau berasal dari kerja keras dan keringat semua warga desa. Di sinilah pentingnya mengajak semua warga desa sejak awal ide, perencanaan, pembelian pipa, konstruksi dan operasi-rawatnya.

Demikian dan selamat mencoba menyalurkan air dari kaki gunung atau dari mana saja ke desa masing-masing. Jadilah partisipan dalam membangun sektor keairan khususnya air minum demi kesehatan kita dan menambah poin dalam MDGs.*
ReadMore »