• L3
  • Email :
  • Search :

29 September 2014

Andaikata FPD Tidak Walkout, Inilah Pemenangnya

Andaikata FPD Tidak Walkout, Inilah Pemenangnya
Oleh Gede H. Cahyana


Faktanya, FPD walkout, berada di luar sidang, hanya enam orang yang di dalam dan enam orang ini memilih opsi Pilkada Langsung. Hasilnya, KMP sebagai peraih suara terbanyak sehingga Pilkada yang akan dilaksanakan adalah lewat permusyawaratan/ perwakilan, sesuai dengan sila ke-4 Pancasila dan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Keduanya sah secara hukum, demokratis. Inilah yang terjadi dan telah menjadi catatan sejarah.

Namun, andaikata Fraksi Partai Demokrat TIDAK walkout, alias berada di dalam ruang sidang, maka apa hasilnya? Apa yang terjadi? Akankah KMP yang menang ataukah koalisi PDIP?

Jumlah anggota FPD memang terbanyak. (1) Kalau semua anggotanya memilih Pilkada Langsung, meskipun 10 syaratnya ditolak, maka pemenangnya adalah koalisi PDIP. (2) Jika setengah-setengah, maka pemenangnya KMP. (3) Andaikata semua anggota FPD abstain, maka yang menang adalah KMP. (4) Ini sama persis dengan hasil fakta, yakni FPD walkout (kecuali enam orang yang memilih Pilkada Langsung). Atau komposisi (5) 30% - 70% dan (6) 70% -30%, maka KMP yang menang.

Bisa disimpulkan, (1) koalisi PDIP bisa menang kalau semua anggota dewan dari FPD mendukung Pilkada Langsung, tanpa perlu 10 syaratnya disetujui. (2) KMP akan menjadi pemenang, apabila FPD terpecah setengah-setengah. (3) Begitu pula, KMP menjadi pemenang andaikata semua atau mayoritas anggota dewan FPD “abstain”. Tentu saja, akan menang telak kalau semua anggota dewan FPD mendukung Pilkada via DPRD.

Opsi pertama, yaitu 100% FPD setuju dengan PDIP cs, dan opsi terakhir, yaitu 100% FPD setuju dengan KMP, KECIL kemungkinannya terjadi lantaran tidak ada satu fraksi pun yang berdiri di jajaran FPD. Maka, opsi yang paling mungkin, adalah kondisi fifty-fifty di FPD sehingga yang menang adalah KMP, dan semua anggota FPD abstain, maka yang menang adalah KMP serta 30% -70%, 70% - 30%. 

Dalam kalkulasi FPD, apapun yang diambil, baik walkout maupun tidak walkout, termasuk bersikap abstain, maka KMP adalah pemenangnya. Dus, Pak SBY dan anggota FPD tidak perlu bersitegang dan saling menyalahkan sesama anggota FPD. Tak perlu juga Pak SBY merasa malu atau yang lainnya. Kemenangan KMP terjadi semata-mata karena jumlah atau komposisi anggota dewan dari KMP lebih banyak daripada koalisi PDIP. Pada saat yang sama, ini sudah takdirnya, FPD ingin memasukkan 10 syarat untuk mendukung Pilkada Langsung dan ini adalah harga yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Faktanya, tidak ada fraksi yang setuju pada semua syarat itu. 

Lantas, walkout atau tidak, probabilitas kemenangan KMP lebih besar daripada koaliasi PDIP. Jika diasumsikan seperti dadu, maka lima sisi dimiliki oleh KMP. Satu sisi saja yang menjadi milik PDIP cs: 5/6 untuk KMP dan 1/6 untuk PDIP. **

(tapi sudahlah.... ini sekadar tulisan saja, bisa salah, bisa keliru, bisa gak betul, bisa .... banyak lagi. Maaf ya, ini khayalan saja karena faktanya ya... seperti itulah yang sudah terjadi). *

ReadMore »

28 September 2014

Pilkada via DPRD, Mari Jujur dan Jernih

Pilkada via DPRD, Mari Jujur dan Jernih
Oleh Gede H. Cahyana


Pancasila adalah dasar atau pondasi negara. Analoginya, makin kuat pondasi rumah, makin kukuh juga rumah itu. Itu sebabnya, tidak tepat dan tidak bijak apabila kita memberikan istilah pilar untuk dasar negara. Pancasila bukanlah pilar (tiang, kolom) meskipun diembel-embeli oleh kebangsaan. Istilah empat pilar berujung pada reduksi makna falsafah Pancasila.

Dalam bangunan rumah negara kebangsaan, tentu tidak serta merta istilah pilar itu bisa diadopsi, bisa diasimilasikan menjadi setara untuk semua unsur-unsurnya, seperti Bhinneka Tunggal Ika. Adapun NKRI adalah wadah rakyat Indonesia yang berdiri di atas pondasi Pancasila. Kembalikan lagi ke awal, bahwa Pancasila adalah alas negara, UUD 1945 menjadi landasan hukum (konstitusional), dan Bhinneka Tunggal Ika adalah spirit hidup berbangsa, bersuku-suku.

Pondasi rumah tidak boleh diubah lantaran dapat mengubah dan mereduksi kekuatan konstruksi rumah. Pembukaan UUD 1945 juga tidak boleh diubah, ada spirit hidup setara dan hak merdeka untuk semua bangsa, juga berisi sila-sila di dalam Pancasila. Sila keempat, yaitu pola “rekrutmen” kepala negara, kepala pemerintahan (pusat, daerah), presiden, dipasakkan dengan kuat dan tegas, sebagai: “… permusyawaratan /perwakilan”.

Musyawarah menjadi kata kunci, yaitu urun-rembug wakil-wakil rakyat, tokoh-tokoh yang dipilih oleh rakyat untuk menetapkan seseorang yang menjadi pemimpin negara (presiden) dan kepala pemerintahan daerah. Amanat perwakilan ini menjadi khas dan berbeda dengan demokrasi liberal yang identik dengan pemungutan suara (voting). Perwakilan adalah memberikan amanat kepada sesama anak bangsa untuk mewakili anak bangsa lainnya yang dipilih dengan cara pemilu legislatif (DPR, DPRD, DPD). Esensi sila keempat Pancasila dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menjadi pesan moral kepada semua wakil rakyat untuk melaksanakan amanat sila dan alinea tersebut. Inilah Demokrasi Pancasila, khas lahir dari spirit dan suasana kebatinan the founding fathers negara RI.

Terlebih lagi, amandemen UUD 1945, pasal 18 ayat (4): Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Tak ayal lagi, tafsiran atas kata demokratis tersebut adalah demokratis yang berpijak pada keindonesiaan, bukan liberal kebaratan sesuai dengan sila dan alinea tersebut. Musyawarah didahulukan, kemudian voting dilaksanakan setelah musyawarah gagal mencapai titik mufakat. Voting ini berlaku untuk semua anggota legislatif dan DPD yang dipilih oleh rakyat. Rakyat berdaulat dalam memilih wakil-wakilnya. Inilah esensi permusyawaratan / perwakilan itu.

Terbukti dalam perjalanan pemerintahan daerah selama hampir satu dekade ini (tujuh tahun selama Pilkada Langsung), begitu banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Wajarlah Pilkada langsung ini dievaluasi dulu, moratorium, kemudian berikan waktu dengan ikhlas, pikiran jernih dan jujur untuk mencoba tafsiran semula, yaitu permusyawaratan / perwakilan

Semoga kejernihan, kebeningan hati dapat menghasilkan sikap dan perilaku yang jujur tanpa dipengaruhi oleh anasir asing dalam berbagai kepentingannya. Berdaulatlah Indonesia, berkuasa atas dasar falsafah Pancasila, sila keempat khususnya dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. *

ReadMore »

26 September 2014

Trims Pak SBY dan Partai Demokrat: Pilkada via DPRD

Trims Pak SBY dan Partai Demokrat: Pilkada via DPRD
Oleh Gede H. Cahyana


Setelah sempat lepas dan tercerabut dari akarnya, akhirnya Demokrasi Pancasila mampu lagi menumbuhkan akarnya. Ini tidak lepas dari peran Partai Demokrat. SBY sebagai presiden memberikan catatan sejarah bahwa demokrasi yang selama satu dekade ini diusung bangsa Indonesia bukanlah jati diri bangsa ini. Ia lebih condong pada liberalisme bahkan lebih liberal daripada mbahnya panganut demokrasi liberal di belahan bumi lain, Demokrasi liberal inilah yang hendak diganti dengan Demokrasi Pancasila oleh KMP. Anggota KMP berupaya solid dan menjadi penyeimbang koalisi PDIP cs. 

Soliditas Koalisi Merah Putih (KMP) bukan tanpa ujian, malah dicumbu rayu dengan berbagai cara, khususnya tawaran kursi kementerian. PPP pun diobok-obok dengan politik adu domba dan pecah belah. PAN diundang kemudian dimunculkan image bahwa partai besutan Amien Rais ini bakal hijrah ke koalisi PDIP cs. Bahkan PKS pun, partai yang ideologinya berbeda diametral sempat dibujuk-bujuk. Hanya Gerindra saja yang tidak dirayu lantaran “takut”, barangkali, sebagai pesaing waktu pilpres. Ketegasan Prabowo Subianto membuat gentar kubu PDIP.

Partai Demokrat juga didekati, diiming-imingi masuk kabinet. Tetapi, setelah pertemuan SBY dan Jokowi di Bali, berkaitan dengan harga BBM, upaya itu sirna. Namun, lampu hijau tampak menyala lagi ketika SBY (PD) setuju Pilkada langsung tetapi dengan 10 syarat. Koalisi PDIP sempat mengembang dadanya, berbunga-bunga, karena akan menang dalam voting. Aneh. PDIP adalah partai yang sangat benci kepada SBY. Megawati sekali pun belum pernah mau bertemu dengan SBY, bahkan menolak undangan SBY. Lantas, kenapa berharap sangat besar dan minta dukungan SBY (PD) terhadap Pilkada Langsung.

Namun, esensi demokrasi yang didasarkan pada sila keempat Pancasila akhirnya menang. Ini tak lepas dari PD yang walkout, memilih netral, meskipun ada enam orang yang setuju pada Pilkada Langsung. Apapun suasana kebatinan SBY dan petinggi PD, tindakan walkout telah berhasil menyelamatkan demokrasi hakiki bangsa Indonesia, demokrasi anutan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan sila keempat Pancasila. SBY dan PD telah menyelamatkan kehidupan dan keselamatan rakyat Indonesia dari konflik horizontal dan diametral, kesibukan mencoblos berkali-kali, politik uang yang masif, dan perkosaan pada Demokrasi Pancasila, warisan the founding fathers kita.

Tentu yang paling marah dan benci atas hasil Pilkada via DPRD ini adalah para anasir asing dan kalangan WNI yang juga menjual kekayaan bangsa ini kepada asing, menjual aset negara kepada perusahaan asing dan akhirnya kita menjadi asing di negeri sendiri. Syukurlah PD memiliki SBY. Indonesia punya SBY, seorang presiden dua periode yang selalu menghindari konflik dengan elite partai lainnya. Low profile.

Terimakasih Pak SBY. *

ReadMore »

Esensi Sila ke-4 Pancasila Tegak Kembali: Pilkada via DPRD

Esensi Sila ke-4 Pancasila Tegak Kembali: Pilkada via DPRD
Oleh Gede H. Cahyana


Sila keempat Pancasila adalah sila yang terpanjang kalimatnya. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Spirit sila ini pula yang panjang dibahas di dewan. Sebab, esensi sila keempat inilah yang menjadi pilar utama hidup berdemokrasi di Indonesia. Demokrasi Pancasila, bukan demokrasi a la liberal dengan sifat fundamentalis. Bahkan, mbahnya demokrasi, katanya Amerika Serikat, tidaklah sebebas bebasnya seperti di nusantara ini. 

Berikut adalah butir-butir sila keempat menurut TAP No. I/MPR/2003 yang patut dibaca dan direnungkan, apa substansi yang menjadi racikan utamanya. 

1.  Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
2.    Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.    Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6.  Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7.    Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
8.    Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9.   Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
(Sumber: Wikipedia)

Dinamika politik dalam pembahasan RUU Pilkada ini sempat memanas. Fraksi Partai Demokrat akhirnya walkout dan tegar dalam pendiriannya, tidak mau “dipinang” dalam lobby politik oleh PDIP seperti permintaan untuk menaikkan BBM. Peran SBY sebagai orang yang “dilecehkan” oleh Megawati mengemuka pada dua hal di atas. Sepuluh syarat usulan FPD tentu tidak bisa masuk lagi karena sudah tidak ada lagi waktu dan forum pembahasannya.

Meskipun butir nomor empat, yaitu musyawarah untuk mencapai mufakat tidak berhasil, lantaran sejak awal, jauh sebelum pemilihan presiden, rancangan ini sudah menuai pro-kontra. Sejumlah anggota DPR dari PDIP dan Hanura sempat menuju meja ketua dan wakil ketua DPR untuk protes atas rencana voting. Acungan jari dan tudingan dengan suara keras mengarah ke Priyo Budi S. Hasil akhir, sudah diketahui. Posisi suara dalam voting dini hari, 26 September 2014 adalah 135 orang mendukung pilkada langsung dan 226 orang mendukung pilkada perwakilan rakyat, lewat DPRD.

Yang menarik, suara Partai Golkar ternyata tidak bulat. Bengkok sedikit karena ada 11 orang yang setuju Pilkada Langsung. Sisanya, 73 orang setuju Pilkada Perwakilan di DPRD. Yang juga terpecah adalah suara FPD. Meskipun kebanyakan “abstain”, tetapi ada 6 orang yang setuju Pilkada Langsung. Inikah politik “dua kaki” di partai yang “dibidani” oleh Pak SBY? Saya rasa tidak. Itu hanya interest personal sejumlah kecil anggota dewan dari FPD.

Apapun itu, semuanya adalah keputusan atas nama wakil rakyat. So…, semoga hasilnya positif pada tahun-tahun mendatang. Good luck

ReadMore »

21 September 2014

Jokowi Boleh Bohong, Asalkan …

Jokowi Boleh Bohong, Asalkan …
Oleh Gede H. Cahyana


Janji memang melenakan. Meninabobokan. Membuai. Apalagi kalau dibungkus dengan kertas kado yang menawan, warna pelangi (rainbow cake) bercampur nuansa pink, memesona bangetzz. Balutan luar itu sungguh membentengi isi (daleman, jeroan) yang sejatinya. Cantik. Namun kerapkali terjadi, antara janji (das sollen) dan faktanya (das sein) tidak sesuai. Tentu ada sebab-musababnya. Kalau sudah berupaya keras dan tampak nyata upaya itu, misalnya bisa dilihat, bisa dirasakan, dan bisa dievaluasi, maka itulah takdir. Sebuah ketetapan Sang Khalik yang mesti terjadi dan mesti diimani.

Takdir tersebut akan “dilawan” lagi dengan upaya lain agar janji tersebut bisa tercapai. Ada usaha. Ada kemauan, kemampuan, semangat, dan kesempatan untuk terwujud. Jiwa pemimpin haruslah kuat, jiwa laki sepatutnya fit, seperti kata iklan di tivi. Ini serupa dengan peneliti (researcher). Peneliti boleh salah berkali-kali, boleh mencoba lagi risetnya, boleh mengeluarkan hipotesis baru, boleh membongkar total alat-alat dan metodologinya. Malah sangat dianjurkan untuk meneliti berkali-kali demi ujian dan kepastian kebenaran sebuah asumsi atau hipotesis. Peneliti, ia ada di hati, menciptakan teknologi baru, menguak ilmu yang terpendam. Ponsel, kapasitas flashdisk, power bank, LCD TV, kamera, kacamata, bahkan bedah plastik agar makin cantik pun berkembang lantaran salah, salah lagi dan salah lagi. Inilah peneliti. Ia boleh salah. Bahkan berkali-kali.

Pertanyaannya kini, bagaimana dengan pemimpin atau pejabat atau presiden? Persis seperti peneliti, presiden pun boleh salah berkali-kali. Namun, jangan kelamaan salahnya, ntar habis waktu dan tiba-tiba periode menjabat sudah habis. Tetap upayakan untuk mewujudkan cita-cita, eksistensikan janji, ejawantahkan program kerja. Jika tidak demikian, kecewa melipat kuat di hati rakyat, khususnya yang memilihnya menjadi pejabat atau presiden. Yang bagus tentu saja, tidak pernah salah. Kalaupun salah, hanya sekali saja. Artinya, presiden haram terperosok di lubang yang sama dua kali, apalagi acapkali. Salah dan sengaja salah juga berbeda. Bohong alamiah dan bohong yang di-setting juga beda. Serupa dengan membunuh yang tak disengaja karena membela diri dari kejahatan bromocorah, residivis pasti beda dengan sengaja dan dengan rencana matang membunuh orang, kecuali dalam perang.  

Kembali ke perihal Jokowi. Saat ini, begitu luas protes terhadap presiden terpilih, Jokowi lantaran ia khianati janji-janji saat kampanye. Jokowi berbohong mungkin lantaran beberapa sebab. Misalnya, tertekan atau ditekan kalangan yang lebih tinggi jabatannya di partai, ingin menghindari masalah pada masa pemerintahannya nanti, dan citra diri. Dari tanggapan di media sosial dan media cetak, kebiasaan berbohong di Indonesia ini dapat dimaklumi. Bohong ternyata bisa diterima oleh masyarakat secara umum asalkan tidak menyakiti hati orang lain. Barangkali hati pemilih Jokowi dan Jusuf Kalla itu tidak kecewa-kecewa amat, atau bahkan tetap senang saja karena calonnya sudah menang. Apapun yang terjadi, mereka tidak ambil pusing. Mereka tetap ke sawah, tetap melaut mencari ikan, tetap ke kantor, tetap rapat, tetap mabuk, tetap narkoba, tetap selingkuh, tetap menjadi pegawai, tetap menipu, tetap berbohong dan berbohong lagi. Mental bohong sudah mendarah daging, menjadi kebiasaan, menjadi karakter. Secara refleks, akan tetap berbohong apabila tertekan, tersudut. 

Sejatinya ada bohong yang boleh. Presiden terpilih Jokowi boleh berbohong asalkan untuk merukunkan pemilihnya yang sedang konflik. Boleh bohong agar istrinya menjadi senang - bahagia, lantaran masakannya terlalu asin, berbohong kepada musuh yang akan memerdekakan suatu provinsi di Indonesia. Siapa musuh itu? Tentu bukan lawan politik, juga bukan rakyat Indonesia. Mereka itu saudara sebangsa bagi Jokowi dan PDIP serta partai di koalisi rampingnya, mereka haram dibohongi (mudah-mudan tetap ramping, jangan nambah lagi, nanti jadi gemuk, dan ini berarti “bohong lagi”). Musuh itu adalah negara atau lembaga lain yang obok-obok kita, NKRI kita, para lintah darat terhadap tambang kita, sumber daya alam kita. Pasal 33 UUD 1945 itu lho. Perongrong kekayaan negara kita itulah musuh yang harus dibunuh. Minimal dilawan, dinegosiasi ulang, diupayakan sekuat tenaga agar mayoritas menjadi income untuk kita. Begitu Pak Jokowi.

Kesimpulannya, boleh bohong asalkan untuk tiga hal di atas. Selain itu tidak boleh. Apabila dilakukan, maka namanya orang munafik. Munafik itu membahayakan masyarakat dan membahayakan keselamatan dan kelanggengan NKRI. Ini saya kutipkan pendapat Yudi Latief (dikutip dari buku Prof. Pupuh Fathurrohman, 2013): Pemimpin yang membohongi rakyatnya akan terlihat seperti kebenaran. Kelambanan terkesan kehati-hatian. Ketidakseriusan terkesan kesabaran. Ketidakmampuan terkesan ketergangguan. Penghormatan terkesan sebagai korban. Inilah yang disebut pencitraan. Artifisial. Tiruan. Bukan ori tapi KW2. Seolah-olah! Mudah-mudahan tidak demikian, dan tetap berharap usulan kartu-kartu itu mewujud, seperti diuraikan di Narasi Presiden Kartu. *

ReadMore »

20 September 2014

IPAL Bukan Lampu Aladdin

IPAL Bukan Lampu Aladdin
Oleh Gede H. Cahyana


Banyak yang menyangka bahwa IPAL itu seperti mesin. Katakanlah semacam “mesin” blender untuk membuat jus (juice). Masukkan buah-buahan (input), tekan knop on, tunggu sambil santai (proses), hasilnya adalah jus segar (output). IPAL tidak demikian. Ia mirip makhluk hidup yang perlu dirawat, diperhatikan, diberi “vitamin”, dan kalau “sakit” harus segera “diobati”.

Anggapan bahwa IPAL itu seperti mesin atau robot yang tidak perlu “kasih-sayang” manusia (baca: operator) adalah keliru, Akibatnya, banyak IPAL yang akhirnya bermasalah lalu gagal-olah. Sekadar contoh, nyaris semua IPAL milik rumah pemotongan hewan (RPH) menimbulkan polusi udara, tanah, dan perairan. Sektor industri, seperti pabrik tekstil di Bandung Raya juga sarat masalah. Industri rumahan juga sama, tidak memiliki IPAL. Pabrik besar pun banyak yang tidak ber-IPAL seperti di Cimahi, yang pada September 2014 baru ditindak 30 pabrik.

Bukan lampu Aladdin
Buruknya kualitas pengolahan IPAL tersebut erat kaitannya dengan pemahaman keliru terhadap teknologinya. IPAL bukanlah lampu ajaib Aladdin yang dengan ucapan sim salabim saja, langsung hasil. Sangkaan keliru ini merebak luas di kalangan dinas-dinas yang memiliki projek IPAL dan kantor atau badan pemerintah yang berkaitan dengan air limbah dan sanitasi. Interaksi kalangan dinas dan penyedia jasa konsultan dan kontraktor atau pengadaan barang & jasa kerapkali tidak klop. Bahkan di pihak penyedia jasanya pun tidak memahami hakikat pengolahan air limbah, baik secara biologi maupun fisikokimia.

Anggapan yang marak beredar, IPAL itu seperti mesin yang siap beroperasi dan berproduksi setelah dipasang (istilah di lapangan: di-install) tanpa keterlibatan manusia (operator). Justru bagian terpenting dalam operasi IPAL adalah peran operator dalam memantau proses di semua unit pengolah di dalam IPAL. Klaim yang menyatakan bahwa IPAL-nya mampu mencapai efisiensi, misalnya 70%, 80% dan seterusnya adalah keliru dan menyesatkan. IPAL yang sama, mengolah air limbah yang sama, bisa jauh berbeda efisiensinya kalau berbeda pula “perhatian” atau perlakuan operator terhadap unit-unit pengolahnya. Apalagi kalau dibiarkan begitu saja setelah dipasang, lalu “dilupakan” lantaran meyakini bahwa IPAL itu seperti mesin blender atau lampu Aladdin.

Itu sebabnya, hanya sedikit IPAL yang optimal dalam mereduksi polutan. Mayoritas unit proses yang dibuat pun hanya untuk menurunkan konsentrasi zat organik (senyawa karbon) dengan parameter BOD dan/atau COD. Padahal jenis polutannya, selain senyawa karbon itu, ada bermacam-macam. Sayangnya lagi, petugas di dinas, badan, kantor yang berwenang di instansi kesehatan dan lingkungan hanya fokus pada angka BOD dan/atau COD. Malah kebanyakan petugas tersebut dan masyarakat umumnya hanya terpaku pada angka BOD, COD. Sejatinya ada sumber polutan lain yang lebih bahaya bagi lingkungan, yaitu nutrien yang terdiri atas senyawa nitrogen dan fosfat. Dalam silsilah pengolahan air limbah, kedua senyawa tersebut digolongkan ke dalam pengolahan tingkat lanjut (advanced treatment).

Nutrien, si anak tiri
Di bidang riset dan pengembangan ilmu pengolahan nutrien, berbagai temuan baru bermunculan yang diikuti oleh terapannya di dunia praktis. Apalagi pada masa sekarang banyak produk rumah tangga, hotel, kantor, rumah sakit mengandung nitrogen dan fosfat. Berbagai produk pembersih pun tak lepas dari deterjen yang kaya fosfat sehingga signifikansi nitrogen dan fosfat dalam instalasi pengolahan air limbah cenderung menguat dibandingkan dengan senyawa karbon (BOD, COD). Inovasi dan kreativitas dalam industri makanan dan minuman menimbulkan “ledakan” (booming) polutan N dan P. Pendangkalan sungai, waduk, danau akibat algae (blooming algae) menjadi ancaman bagi sektor perikanan air tawar seperti keramba dan jaring apung termasuk penurunan kualitas sumber air PDAM.

Melihat fakta tersebut, wajiblah petugas di berbagai dinas, kantor, badan di kabupaten, kota, dan provinsi mengawasi IPAL dengan bekal ilmu dan teknologi yang memadai dikaitkan dengan polutan senyawa nitrogen dan fosfat, tidak lagi hanya berpatokan pada angka BOD - COD. Jangan anak-tirikan nutrien karena bisa menjadi the silent killer bagi lingkungan. Kalangan konsultan, kontraktor, dan vendor pun hendaklah memiliki ilmu yang serupa itu agar dapat menjelaskan secara betul tentang polutan dari suatu pabrik, kantor, kawasan permukiman, rumah sakit, puskesmas, hotel, dll. Lewat mereka inilah masyarakat akan mulai bertambah ilmunya tentang air limbah dan teknologi pengolahannya sehingga “jargon” semacam IPAL adalah BOD, COD saja mulai berubah, yakni ditambah dengan nitrogen dan fosfat, yang ketiganya bisa diolah secara biologi-lengkap (bioproses komplit) dengan pemantauan rutin oleh operatornya dan tersedia peralatan dan bahan kimia di laboratorium mini internal.

Dengan pola pikir seperti itu maka IPAL yang hanya terdiri atas proses anaerob tidak akan mampu mengolah senyawa nitrogen dan fosfat secara optimal. Bahkan tak mungkin terjadi reduksi senyawa tersebut kecuali hanya sejumlah yang dibutuhkan oleh bakteri dan archaea (nomenklatur baru untuk bakteri anaerob) untuk pertumbuhannya. Itu sebabnya, semua teknologi seperti septic tank, Imhoff Tank, digester, dan banyak lagi nama merek berbahan fiberglass yang dijual komersial di toko tidak akan mampu mengolah N dan P. Produk itu hanya mampu mengolah senyawa karbon dalam wujud BOD dan/atau COD. Ini pun masih rendah efisiensinya lantaran dibiarkan begitu saja tanpa pantauan rutin. Semua IPAL, sesederhana apapun ia, perlu dirawat dan dicek kualitasnya secara berkala oleh operator, baik yang dipasang di rumah, kantor, hotel, puskesmas, rumah sakit, pabrik maupun kawasan industri.

Selain senyawa nitrogen dan fosfat, masih ada lagi polutan lainnya, yaitu logam berat dan B3 yang sulit diolah secara biologi. Cemaran B3 ini pun telah merusak 415 hektar sawah di Bandung pada September 2014. Kelompok polutan terakhir ini harus diolah secara kimia dengan melibatkan beberapa jenis zat kimia sebagai reagen yang nilai investasi dan biaya O-M-nya jauh lebih mahal dibandingkan dengan bioproses. Pengolahan kimia ini pun mutlak membutuhkan pantauan rutin dari operator qualified, yaitu operator yang memiliki ilmu di bidang proses pengolahan kimia, baik dengan pelatihan maupun sekolah.

Pembaruan informasi tentang jenis pencemar dan teknologi terapannya perlu dimiliki oleh semua orang yang berkecimpung di dalam pengolahan air limbah dan sanitasi. Jika tidak demikian, maka lambat laun IPAL itu akan berubah menjadi monumen, onggokan beton, fiberglass dan pipa belaka. *

Artikel ini dimuat di koran Pikiran Rakyat, Sabtu, 20 September 2014. 
ReadMore »

5 September 2014

PLTSa Lebih Cocok di Pantai

PLTSa Lebih Cocok di Pantai
Oleh Gede H. Cahyana


Ekonomi bukanlah alasan tepat untuk menetapkan apakah PLTSa layak diterapkan di suatu daerah atau tidak. Yang lebih penting adalah alasan kesehatan lingkungan karena alasan ini akan berdampak juga pada kondisi ekonomi, sosial, dan kapasitas pikir anak-anak di wilayah terpapar polutan PLTSa. Teknologi tidak cukup hanya ditopang (back up) oleh ilmu (sains) tetapi juga mempertimbangkan dampak buruknya pada lingkungan. Kualitas lingkungan ini pun akan kembali pada kualitas kesehatan jasmani, ruhani, dan taraf kecerdasan (intelligent quotient) anak-anak. Teknologi yang berhasil atau sukses pun bisa berdampak buruk pada manusia, baik jasmani maupun ruhaninya, apalagi teknologi yang rentan gagal.

Dalam implementasi teknologi, pelibatan sains dan lingkungan perlu diutamakan agar tidak tersesat, tidak sesal kemudian karena tak berguna. Memandang sebuah teknologi haruslah dilihat sebagai bagian dari lingkungan. Lingkungan menjadi titik tolak dalam memilah dan memilih teknologi. Teknologi di suatu daerah belum tentu cocok dengan kondisi daerah lain karena lingkungannya berbeda. Analoginya, baju di daerah kutub tidak selalu tepat dikenakan di daerah tropis. Sebaliknya, baju tipis di tropis tidak cocok dikenakan di kutub. Keduanya akan menimbulkan masalah bagi manusia. Pakaian adalah produk budaya, sama dengan teknologi. Bedanya, teknologi memiliki latar riset dan trial-error saintifik berkali-kali, bahkan puluhan tahun dan dapat dicoba oleh orang lain karena berlaku universal.
                                      
Begitu pun PLTSa. Sebagai produk teknologi yang dilatari oleh sains, bahkan berbagai sains, ia pun memiliki kecocokan atau ketakcocokan dengan lingkungan tempat manusia. Aspek geografi dan geomorfologi ikut mempengaruhinya. Dalam hal PLTSa, aspek hidrogeologi dan meteorologi justru menjadi aspek penting. Dua aspek ini langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, yaitu air dan udara. Air meliputi air tanah dangkal - dalam dan air permukaan seperti sungai, danau, waduk. Kondisi terkini, air di Bandung masuk kategori sangat kritis. Oleh sebab itu, karena lokasinya di dataran tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan, Bandung menjadi lokasi buruk dan membahayakan manusia dan relasi ekologis lainnya apabila dibangun PLTSa.

Pantai, Opsi Solusi
Laut, mau tak mau, adalah open dumping raksasa. Geomorfologinya telah menjadi takdir bahwa laut harus berada di tempat terendah dan menampung semua limbah kegiatan manusia. Laut menjadi badan air terbesar di dunia dengan luasan kurang lebih 97% dari muka Bumi. Selayaknya ia dimanfaatkan. Salah satunya, tepi laut atau pantai cocok dijadikan lokasi PLTSa. Minimal ada tiga komponen yang menguntungkan kalau membangun PLTSa di laut (pantai).

Yang pertama, tentu saja sebagai “pemunah” sampah. Sebetulnya materinya tidak musnah, melainkan berubah menjadi materi lain dan energi. Inilah yang terjadi menurut tinjauan termodinamika. Semua sampah di kota-kota pesisir, kalau diterapkan PLTSa, akan direduksi menjadi seukuran onggokan abu. Abu bawah (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) dapat disimpan di sanitary landfill yang aman. Lokasinya juga di pantai, terutama di daerah rendah. Pelan-pelan, sekian puluh tahun kemudian, akan muncullah daratan pantai yang berasal dari abu. Tentu saja bisa digunakan sebagai pulau khusus, misalnya produsen oksigen, atau pelindung dari gelombang tsunami dan badai yang menyebabkan abrasi pantai.

Yang kedua, dengan fasilitas PLTSa, sampah diubah menjadi energi listrik. Selain digunakan di instalasinya, juga bisa dijual ke masyarakat pantai, terutama nelayan dengan harga relatif  murah. Semua sampah di desa-desa, di kota-kota di sepanjang pantai bisa diumpankan ke PLTSa. Biaya ditanggung bersama, baik pemerintah desa, kecamatan, maupun kota – kabupaten yang memanfaatkan PLTSa sebagai sumber energi listriknya.

Yang ketiga, bisa dibuatkan fasilitas penyulingan air laut, misalnya Multistage Flash Evaporator (MSF) dan reverse osmosis (RO). MSF dapat menghasilkan air bersih dengan konsentrasi TDS sangat rendah, 50 mg/l. Ini pun dapat dilanjutkan dengan RO untuk menghasilkan air berkualitas tinggi, untuk minum dan keperluan industri farmasi dan elektronika. Dengan fasilitas seperti ini, masyarakat pantai, kawasan wisata pantai, hotel dan resort, water front city dapat memperoleh air bersih sekaligus listrik dan daerahnya bebas sampah. Inilah konsep yang cocok dikembangkan. Alih-alih di kota gunung seperti Bandung, PLTSa lebih cocok di pantai karena sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.

Sambil mereduksi volume, massa atau berat sampah, diperoleh energi listrik, air bersih dan bahkan air berkualitas yang bisa langsung diminum. Polusi udaranya bisa direduksi, meskipun tidak 100%, tetapi jelas lebih baik dibandingkan berada di dataran tinggi seperti Bandung. Uap air yang menangkap abu dan gas kemudian menjatuhkannya di laut atau di pantai, dapat mereduksi hembusan kontaminan ke darat. Kondisi meteorologi pantai ini mendukung reduksi polutan udara. Abunya terperangkap uap air laut dan jatuh ke laut. Udara menjadi relatif bersih. Selain itu, perilaku dispersi dan disolusi atmosfer bisa menurunkan konsentrasi polutan udara.

Pantai juga kaya air, baik air laut maupun air tawar di muaranya atau minimal air payau dengan kadar garam yang lebih rendah daripada air laut. Sumber air bagi PLTSa adalah syarat utama. Air inilah yang digunakan untuk membilas abu bawah dan abu terbang limbah PLTSa sehingga mendukung pengembangan teknologi berwawasan lingkungan. Sains, teknologi dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Simpulan, apabila PLTSa dibangun di pantai, bukan di Bandung, maka diperoleh instalasi pembakar sampah, instalasi pembangkit listrik, dan instalasi penghasil air siap diminum sebagai pasokan untuk kawasan industri dan perumahan di sekitarnya. *

Dimuat di Pikiran Rakyat, 5 September 2014. 

Info lengkap tentang PLTSa, silakan dibaca di sini
ReadMore »