• L3
  • Email :
  • Search :

27 November 2019

Training Legislatif Mahasiswa seJawa Barat

Training Legislatif Mahasiswa se-Jawa Barat

Dibuka oleh Dr. Abdy Yuhana, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, acara Training Legislatif Mahasiswa se-Jawa Barat mulai pada Senin, 25 November 2019 hingga Selasa, 26 November 2019. Dalam sambutannya, diharapkan kegiatan ini bisa menambah wawasan ilmu mahasiswa tentang legislasi. Sebab, mahasiswa suatu saat adalah pemimpin di masa depan. Mungkin ada yang menjadi anggota DPR(D) atau pejabat di eksekutif. Juga dibahas tentang peran GBHN sebagai haluan, pemberi arah negara yang berkesinambungan. MPR sepakat mengamandemen terbatas UUD 1945 yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan seperti GBHN tersebut. Hal ini ditegaskan dalam paparannya yang bertema Tugas dan Kedudukan Legislatif dalam Sistem Politik di Indonesia.”


Setelah resmi menjadi anggota FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia) pada 2019, gelaran ini adalah yang kali pertama. Menjadi tonggak sejarah dalam “belajar materi tugas dan wewenang lembaga politik dari pelakunya”. Ini semacam quantum leap bagi mahasiswa Universitas Kebangsaan RI karena tidak semua kampus mampu dan pernah menggelar acara serupa dalam skala regional – nasional. Peserta yang hadir adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Al-Ghifari, Universitas Garut, Universitas Pasundan, Universitas Bandung Raya, Universitas Buana Perjuangan, Universitas Galuh, Universitas Jambi, dan Universitas Kebangsaan RI. Selain mahasiswa yang jumlahnya sekira 300 orang, juga dihadiri tamu undangan dari kalangan dosen.

Kegiatan positif ini perlu rutin dilaksanakan agar mahasiswa memperoleh pengetahuan, ilmu terbaru dari para legislator, anggota dewan di daerah dan pusat. Informasi ini tidak hanya penting bagi mahasiswa, semua mahasiswa di semua prodi, tetapi juga penting bagi masyarakat yang mengetahui bahwa mahasiswa pun sudah sejak di kursi kuliah belajar tentang ketatanegaraan dalam makna praktis dari praktisi (pelaku, anggota dewan), tidak teoretis belaka dari buku teks. Ini dapat menambah kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan mahasiswa dalam hal pengelolaan negara di masa depan, berharap ada pemimpin, tidak sekadar pejabat, di semua tingkat lembaga negara, mulai dari desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi hingga negara. Juga di berbagai departemen, dinas, kementerian, sekolah, kampus, dan perusahaan swasta.

Bravo mahasiswa, vivat academia, belajar-mengajar selamanya. *

ReadMore »

25 November 2019

Untuk Mendikbud Bapak Nadiem Makarim: Adab dan Ilmu

Untuk Mendikbud Bapak Nadiem Makarim: Adab dan Ilmu
Oleh Gede H. Cahyana

Perihal kesuksesan Gojek, saya salut. Salam hormat ya Pak. Penggunaan internet, kata para pakar, dalam aktivitas transportasi adalah cara cerdas berbisnis zaman ini. Saya memberikan apresiasi tanpa banyak bicara. Setuju. Tapi yang ingin saya sampaikan kepada Bapak Mendikbud pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2019 ini adalah yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Aspek mata pelajaran dan titik fokus pengembangan generasi muda dan aspek kesejahteraan guru.



Belum lama berselang setelah menjadi Mendikbud, ada berita di media massa cetak dan online tentang jumlah dan nama mata pelajaran. Yang akan ada menurut kabar itu ialah pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, pendidikan karakter berbasis agama dan Pancasila. Dengan tetap menghormati ide tersebut, sebaiknya pelajaran agama tetap ada, terpisah dari pelajaran Pancasila. Justru menurut Pancasila, negara RI ini ber-Ketuhanan yang mahaesa. Ditegaskan lagi di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Di ayat 2 disebutkan tentang kebebasan beragama yang artinya WNI wajib beragama karena menjadi bagian fundamental dalam bernegara. Agar benar dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing maka perlu pendidikan dan pengajarannya.

Pada Hari Guru Nasional yang ramai tahun ini, mungkin karena ada Mendikbud baru dan likuidasi nomenklatur Pendidikan Tinggi, izinkan saya menyatakan bahwa pendidikan jauh lebih penting daripada pengajaran. Pengajaran, pembelajaran, belajar – mengajar ilmu bahasa, matematika, IPA, IPS, dll lebih mudah daripada pendidikan adab. Ini merujuk ke sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Inilah landasan pendidikan adab dan adab ini lebih penting daripada ilmu dan teknologi. Sila kedua tersebut menyatakan secara eksplisit perihal manusia dan kemanusiaan (human, humanism), adil dan adab. Manusia Indonesia, yaitu generasi muda, penerus zaman mendatang haruslah dididik agar memiliki afeksi adil dan adab. Terang benar dalam sila kedua tersebut bahwa arah pembangunan manusia Indonesia adalah makna luas kata adil dan adab itu. Kementerian Pendidikan memberikan pendidikan adab dan keadilan, serta Kebudayaan yang berisi ilmu, teknologi, dan hikmah (sila keempat Pancasila).

Perihal mata pelajaran tersebut, tentu semuanya penting. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, (termasuk IPA dan IPS) dibutuhkan dalam aktivitas ekonomi. Diperlukan untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Berperan dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Saya sepakat. Ibaratnya begini. Dalam pembuatan nasi goreng, maka nasi lebih banyak daripada garam. Nasi ibarat adab, garam ibarat ilmu. Adab jauh lebih banyak dan lebih penting daripada ilmu. Bagi seorang guru, bagi seorang pemimpin di level apapun, di lembaga apapun, adabnya lebih penting daripada ilmunya. Ini tetap berarti bahwa ilmu itu penting. Sangat penting. Tetapi lebih penting lagi adalah adab dan adil, merujuk ke sila kedua dan kelima Pancasila.

Begitu pula tentang kesejahteraan guru. Terlalu banyak berita di media massa cetak dan online tentang kondisi buruk ekonomi para guru di daerah dan pelosok. Apalagi yang masih honorer, bahkan hingga belasan tahun. Inilah saatnya Pak Mendikbud mengayomi guru dengan memperbaiki peraturan yang dirasakan mengekang pengembangan karir guru. Saatnya menaikkan taraf kesejahteraan guru ke tingkat yang tinggi dan layak jika dibandingkan dengan profesi lainnya seperti dosen, dokter, advokat, polisi, jaksa, tentara, dan lain-lain.

Demikian Pak Mendikbud, selamat bekerja. Semoga sukses memajukan pendidikan, pengajaran, pembudayaan, dan peradaban yang beradab bagi warga negara Indonesia, terutama generasi muda kita.*
ReadMore »

Guruku, Pak Ngenteg dan Pak Mara

Guruku, Pak Ngenteg dan Pak Mara

Banyak tentu saja, guruku. Tapi kali ini, untuk mengingat perayaan Hari Guru Nasional, yang dikisahkan adalah dua guru SMAN 1 Tabanan, Bali. Beliau adalah Pak Ngenteg dan Pak Mara.



Kelas satu SMA pada awal 1980-an adalah tahap penjurusan. Ada IPA dan ada IPS. Cita-cita ingin dapat IPA.

Di kelas satu, pada awal pertemuan, seorang bapak guru masuk kelas. Memegang buku cukup tebal. Buku paket. Sambil mengambil kapur, beliau menuliskan namanya di papan tulis hitam dengan kapur putih merek Sarjana.

“Ngenteg. Nama saya singkat saja.” Ujar beliau sambil melihat seisi kelas. Sapuan kanan kiri, depan belakang, sekilas. “Saya mengajar Biologi.” lanjutnya.

Biologi adalah pelajaran penting. Sepenting matematika, fisika, dan kimia. Nilai harus bagus. Teman-teman berbisik-bisik. Saling pandang. Entah apa yang dipikirkan. Kelas relatif sepi-ramai. Pelajaran pertama berkesan. Pandangan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah. Begitulah kira-kira.

Selama belajar biologi, beliau nyaris hapal materinya. Jarang melihat ke buku paket yang tebal itu. Belajar tentang jamur. Tentang amoeba. Tentang paramaecium. Juga yang lainnya. Hapal di luar kepala. Semua teman bilang, dalam bahasa Bali tentu saja, “Hebat ya… hapal hingga titik koma!”. Keren dech. Beliau mengajar hingga kami di kelas dua. Di kelas tiga gurunya beda.

Guru kedua adalah Pak Mara. Singkat juga namanya. Beliau guru matematika. Di kelas tiga. Jadi baru di kelas tiga diajar beliau. Rumahnya waktu itu di dalam area sekolah. Ada tiga guru yang tinggal di dalam sekolah. Rumah dinas. Beliau guru yang sangat dihormati.

Mulai belajar diawali oleh limit. Beberapa kali pertemuan belajar filosofinya. Apa itu limit? Selanjutnya belajar diferensial. Turunan. Turunan kesatu, turunan kedua. (Sssttt.. tidak ada tanjakan ya. Ini bukan jalan mobil, he he he). Beliau juga hapal. Kalkulus pun hapal. Hapal “jalannya”, langkah-langkah solusinya. Terjawab semua soal-soal di buku paket.

Begitu juga pelajaran integral. Bagi kami, integral lebih sulit daripada diferensial. Apalagi banyak yang harus dihapal. Pusing tentu saja. Lebih puyeng lagi ketika bahasan luas di bawah kurva. Lantas sempurnalah pusingku pada waktu pembahasan isi benda putar. Waduh. Menghitung volume benda…

Tapi luar biasa. Beliau berorientasi pada soal-soal masuk ke perguruan tinggi. Waktu itu namanya Sipenmaru. Kami yang tidak kuat. Nyerah. Tapi terus di-drill. Apalagi menjelang Ujian Nasional waktu itu. Untuk memperoleh NEM: Nilai Ebtanas Murni. Sungguh besar jasa beliau. Bagaimanapun, dalam suka dan duka diajar oleh guru-guru, tetap saja jasa mereka tak ternilai harganya. Mau dibayar dengan uang pun, takkan terbayar, hakikatnya.

Selamat merayakan Hari Guru Nasional, untuk semua guru, yang dulu hingga yang sekarang. 

ReadMore »

21 November 2019

Disrupsi Perpustakaan

Disrupsi Perpustakaan
Oleh Gede H. Cahyana

Aula Timur ITB pada masa sebelum 1988 adalah perpustakaan pusat. Buku-bukunya berjejer di rak-rak. Angkuh. Tak berani menyentuh. Apalagi membuka-buka dan membacanya. Ada bahasa Belanda. Ada Inggris. Jerman. Yang bahasa Indonesia tentu saja ada. Fisika Dasar, Kalkulus, Kimia Dasar rerata berbahasa Inggris. Hardcover. Cetakan lama, sebelum tahun 1960. Cukup ramai. Gedung berarsitektur khas yang luas itu terasa sempit. Mahasiswa berduyun-duyun menjadi anggota perpustakaan dan pinjam buku.


Itu zaman dulu. Kini bagaimana? Adakah mahasiswa antri meminjam buku seperti masa jaya perpustakaan pada dekade 1980-an itu? Adakah mahasiswa duduk melingkari meja bundar dan persegi panjang dengan tumpukan belasan buku di mejanya? Adakah mahasiswa tidur ngorok di atas telekan buku setinggi 15 cm? Adakah mahasiswa duduk-duduk di sela-sela rak dan koridor ruang perpustakaan sambil tercenung, termenung dan mungkin bingung? Adakah mahasiswa yang diusir-usir oleh petugas dan penjaga perpustakaan  karena sudah tutup kantor? Adakah mahasiswa yang merobek lembar-lembar buku yang mungkin dibutuhkannya, tidak punya uang untuk fotokopi atau entah karena alasan apa???

Pertanyaan yang sama, untuk dosen dan guru. Adakah? Adakah? Adakaahh?

Ada! Adaaa .. .. ..  kalanya. Ada waktunya. Tidak setiap hari. Jam-jam tertentu saja. Umumnya mencari materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan dan penulisan materi tersebut di buku-buku lawas yang sudah tidak terbit lagi dan tidak diperoleh di internet. Aspek sejarah. Ini yang dicari. Diterbitkan sebelum dasawarsa 1970-an. Bahkan hingga tahun 1930-an. Ini hanya ada di perpustakaan. Maka, salah besar apabila pustakawan (atau pegawai perpustakaan yang bukan sarjana perpustakaan) menggudangkan buku-buku lawas itu. Bahkan dibakar. Atau dikilo menjadi bungkus pisang goreng. Ruang perpustakaan menjadi sepi. Buku menipis. Pemustaka habis.

Lenyapkah perpustakaan? Tidak. Di setiap sekolah dan kampus pasti ada ruang untuk menaruh buku, majalah, dll dan disebut perpustakaan. Ada juga petugasnya. Tetapi ruhnya yang hilang. Badannya ada tetapi ruhnya tiada. Tidak seperti dekade sebelum 1990. Begitu juga perpustakaan daerah di sejumlah provinsi. Gedungnya kian gagah, arsitekturnya megah, ruangnya luas, tetapi .. ... kalah ramai dibandingkan warung kopi dan cafe... 

Kini, internet dan perkembangan gawai ponsel sedang menumpas perpustakaan. Membasmi penerbit buku. Menangiskan atau mempertangiskan penulis buku. Membangkrutkan toko buku. Tidak hanya bajak-membajak buku, Tapi juga karena banyak buku yang dalam waktu singkat sudah bisa diunduh di banyak situs (website). Artikel ilmiah dengan cepat tersebar di setiap ponsel dalam waktu detikan saja. Maksimum menitan. Perpustakaan pindah ke dunia maya. Diskusi terjadi di dunia maya. Belajar digelar di dunia maya. Konferensi dan seminar pun di dunia maya.

Seorang asesor BAN PT yang juga profesor di kampus di Bandung pernah bilang dalam sebuah acara di Kopertis Wil. IV (sekarang LLDikti IV) bahwa tidak perlu lagi ada deretan buku di ruang perpustakaan. Yang penting kampus punya website yang berisi banyak buku dan bisa diunduh, bisa dibaca. Ini sama nilainya dengan kampus yang punya ruang besar perpustakaan. 

Begitulah. Disrupsi sedang masuk ke setiap lembar buku dan jurnal ilmiah di perpustakaan. Kutu-kutu buku (dalam arti jenis spesies hewan) suatu saat mungkin punah karena tidak ada lagi buku di relung sunyi keangkuhan ruang perpustakaan. Tetapi kutu-kutu buku dalam arti orang yang rakus membaca buku akan beralih menjadi kutu-kutu situs.

Disrupsi di perpustakaan adalah keniscayaan. Niscaya terjadi. Tinggal disiasati agar profesi pustakawan tetap eksis dan prodinya pun terus bergeliat. *

ReadMore »

16 November 2019

Disrupsi di PDAM

Disrupsi di PDAM
Oleh Gede H. Cahyana

Dalam satu dasawarsa ke depan akan hadir era baru di PDAM. Ini laju yang paling lambat. Bisa lebih cepat daripada satu dekade itu. Disrupsi akan merambah empat pilar PDAM. Pilar pertama yang kena adalah P: Pegawai. Otomasi dan terapan internet akan mengurangi jumlah pegawai PDAM. Mekanisasi tipe ini sudah lama dan lumrah terjadi. Mesin adalah substitusi manusia. Berapa persen reduksinya, ini bisa diperkirakan. Saya menduganya hingga 45% untuk satu dekade pertama. Internet ternyata lebih “kejam” daripada mesin (mekanikal). Semua bakal serba instan, serba otomatis, serba di tangan. Smart device..

Yang kedua adalah pilar D: Desain. Selama ini desain utama IPAM adalah untuk mengurangi kekeruhan. Semua instalasi lebih fokus pada koloid, suspended solid, dan coarse solid. Hanya sedikit yang dissolved solid. Padahal dissolved solid inilah yang paling bahaya dan makin banyak jumlah dan jenisnya. Termasuk limbah B3. Disrupsi terjadi sebagai pengganti unit operasi dan proses di PDAM. Akan muncul alat berdesain kecil, simple, tetapi kapasitas dan kapabilitasnya melampaui pengolahan konvensional. Akan jamak terlihat orang membawa alat ini (mobile device). Pada masanya nanti, puncak dari disrupsi adalah ketika orang hanya menenteng micro mobile-device yang mampu memproduksi air bersih, air minum dan siap digunakan untuk mandi, cuci, minum, dan lain-lain, di mana pun dan kapan pun. Nirbatas, nirwaktu.

Yang ketiga adalah pilar A: Area servis atau area layanan. Belum ada PDAM yang layanannya 100% sekarang. Tetapi nanti, semua PDAM akan melayani 100% pelanggannya. Pilar A ini adalah konsekuensi logis dari pilar D di atas. Semua orang memiliki alat untuk memproduksi air bersih, air minum. Daerah pelayanan tidak lagi berupa segmentasi geografis tetapi nirbatas. Bisa jadi tidak ada lagi istilah PDAM Kabupaten X, PDAM Kota Y. Yang ada adalah P(D)AM Indonesia. Huruf D: Daerah mungkin hilang. Pemerintah membuat regulasi yang berkaitan dengan lisensi mobile device tersebut. Bebas digunakan di seluruh Indonesia dan tercatat otomatis dengan bantuan internet. Juga langsung terjadi transaksi atau pembayaran biayanya secara real time.

Yang keempat adalah pilar M: Manajemen. Sudah disebut di atas, bahwa PDAM bukan lagi Daerah, tetapi nasional Indonesia. Andaipun tetap mempertahankan D atau Daerah, ini pun hanya untuk alokasi dan distribusi pendapatan (income) pelanggan yang menggunakan air. Tidak ada lagi batas-batas geografis pelanggan. Pelanggan yang tinggal di Jakarta, ketika berkunjung ke Bandung, maka dia membayar air untuk pemerintah daerah di Bandung. Mirip seperti saat ini, tetapi bedanya, orang perorang akan memiliki micro mobile-device yang terkoneksi internet dan internet banking. Inilah manajemen yang terpusat, semacam holding company skala nasional. Pengaturan tetap mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan UU Sumber Daya Air atau UU Air Minum (kalau ada pada masa depan).

Namun demikian, semua insan PDAM tidak perlu khawatir. Perubahan memang akan terjadi. Disrupsi sudah mulai secara perlahan, lewat dunia pendidikan. E-learning, Pendidikan Jarak Jauh (ini hanya istilah, sebab bisa jadi ada mahasiswa yang tinggal dalam satu kelurahan dengan kampusnya tetapi mereka kuliah dengan cara e-learning/PJJ).

Tetaplah optimis. All day long, we love PDAM.

ReadMore »

15 November 2019

RACUN di Dalam Telur

RACUN di Dalam Telur

Telur ayam itu dikumpulkan dari daerah Bangun dan Tropodo di Jawa Timur. Di daerah Bangun setiap hari ayam –ayam tersebut memakan sisa makanan di tempat sampah yang sering dibakar oleh warga setempat untuk mengurangi tumpukan.  Di Tropodo ayam-ayam sering makan di dekat pabrik tahu yang bahan bakarnya ada dari sampah plastik. (Deutsche Welle Indonesia, 14 November 2019).


Telur ayam tersebut terkontaminasi zat kimia beracun bagi manusia seperti dioksin, PFOS (perfluorooctane sulphonate), PCB (polychlorinated biphenyl), PBDEs (polibrominasi diphenil esters), SCCP (short-chain chlorinated paraffin). Semua zat sangat beracun tersebut diatur dalam perjanjian global di konvensi Stockholm oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian yang menyedihkan lagi adalah zat tersebut dengan mudah hadir di pengolahan sampah menjadi listrik berbasis insinerasi dalam skala regional, tidak hanya lokal. Ini terjadi karena kepul asap yang dilepas cerobong PLTSa menyebar luas ke segala penjuru angin.

Berkaitan dengan kejadian tersebut, sudah seharusnya pemerintah berorientasi pada kesehatan masyarakat. Tidak fokus hanya pada bisnis dan ekonomi dalam menanggulangi sampah. Tidak percaya semata pada satu pihak tetapi hendaklah memberikan akomodasi “second opinion” kepada parapihak yang berbeda pendapat dan latar belakang institusinya. Merujuk berita Deutsche Welle Indonesia tersebut, ini menjadi masukan untuk kita, betapa potensi Risiko PLTSa tersebut mengintai di mana-mana. Bahkan di dalam telur goreng, telur mata-sapi, telur rebus, dan semua penganan yang berbahan telur. Termasuk yang dimakan oleh bayi, batita, balita, dan anak-anak sekolah dasar. Belum lagi pada daging sapi, kambing, dan ternak lainnya. Termasuk sayur-mayur yang terpapar gas beracun di setiap helai daunnya.

Dalam catatan sejarah, di Seveso Italia, pada Sabtu, 9 Juli 1976 terjadi bencana dioksin. Dampaknya yang terverifikasi adalah ribuan orang menderita kanker darah, kanker hati, dan kandung empedu. Korbannya mencapai 17.000-an orang di Seveso dan 120.000-an orang di luar Seveso. Dioksin itu pun mengakibatkan 3.300-an ternak langsung mati dan dalam dua tahun pascabencana 80.000-an ternak yang teracuni dioksin terpaksa dibasmi agar tidak dimakan manusia. Belum lagi sayur, sumber air, sumur, serangga yang dimakan ikan, dan buah-buahan. Semuanya terkontaminasi dalam waktu puluhan tahun. 

Sekadar mengutip tulisan Dr. Paolo Mocarelli di Seveso: I think this accident teaches us that it is better to take care of the environment before these things happen. Not after. Teringatlah saya pada frase yang sering ditulis Prof. Otto Soemarwoto (alm): prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Maka, berpalinglah dari Risiko PLTSa, mesin pembakar sampah yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.


Kita bersyukur sudah punya UU Pengelolaan Persampahan, UU No. 18 tahun 2008. UU ini lahir setelah longsor yang menewaskan lebih dari 150 orang di TPA Leuwigajah. Kisahnya ditulis di artikel Leuwigajah, Sebuah Catatan. *
ReadMore »