Disrupsi
Perpustakaan
Oleh
Gede H. Cahyana
Aula
Timur ITB pada masa sebelum 1988 adalah perpustakaan pusat. Buku-bukunya
berjejer di rak-rak. Angkuh. Tak berani menyentuh. Apalagi membuka-buka dan
membacanya. Ada bahasa Belanda. Ada Inggris. Jerman. Yang bahasa Indonesia tentu
saja ada. Fisika Dasar, Kalkulus, Kimia Dasar rerata berbahasa Inggris. Hardcover.
Cetakan lama, sebelum tahun 1960. Cukup ramai. Gedung berarsitektur khas yang luas itu terasa sempit. Mahasiswa berduyun-duyun menjadi
anggota perpustakaan dan pinjam buku.
Itu
zaman dulu. Kini bagaimana? Adakah mahasiswa antri meminjam buku seperti masa
jaya perpustakaan pada dekade 1980-an itu? Adakah mahasiswa duduk melingkari
meja bundar dan persegi panjang dengan tumpukan belasan buku di mejanya? Adakah
mahasiswa tidur ngorok di atas telekan buku setinggi 15 cm? Adakah mahasiswa
duduk-duduk di sela-sela rak dan koridor ruang perpustakaan sambil tercenung,
termenung dan mungkin bingung? Adakah mahasiswa yang diusir-usir oleh petugas
dan penjaga perpustakaan karena sudah
tutup kantor? Adakah mahasiswa yang merobek lembar-lembar buku yang mungkin dibutuhkannya, tidak punya uang untuk fotokopi atau entah karena alasan apa???
Pertanyaan
yang sama, untuk dosen dan guru. Adakah? Adakah? Adakaahh?
Ada!
Adaaa .. .. .. kalanya. Ada waktunya. Tidak setiap hari. Jam-jam tertentu saja. Umumnya
mencari materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan dan penulisan materi
tersebut di buku-buku lawas yang sudah tidak terbit lagi dan tidak diperoleh di
internet. Aspek sejarah. Ini yang dicari. Diterbitkan sebelum dasawarsa 1970-an. Bahkan hingga
tahun 1930-an. Ini hanya ada di perpustakaan. Maka, salah besar apabila
pustakawan (atau pegawai perpustakaan yang bukan sarjana perpustakaan)
menggudangkan buku-buku lawas itu. Bahkan dibakar. Atau dikilo menjadi bungkus
pisang goreng. Ruang perpustakaan menjadi sepi. Buku menipis. Pemustaka habis.
Lenyapkah
perpustakaan? Tidak. Di setiap sekolah dan kampus pasti ada ruang untuk menaruh
buku, majalah, dll dan disebut perpustakaan. Ada juga petugasnya. Tetapi ruhnya
yang hilang. Badannya ada tetapi ruhnya tiada. Tidak seperti dekade sebelum
1990. Begitu juga perpustakaan daerah di sejumlah provinsi. Gedungnya kian gagah, arsitekturnya megah, ruangnya luas, tetapi .. ... kalah ramai dibandingkan warung kopi dan cafe...
Kini,
internet dan perkembangan gawai ponsel sedang menumpas perpustakaan. Membasmi penerbit buku. Menangiskan atau mempertangiskan penulis buku. Membangkrutkan toko buku. Tidak hanya bajak-membajak buku, Tapi juga karena banyak
buku yang dalam waktu singkat sudah bisa diunduh di banyak situs (website). Artikel ilmiah
dengan cepat tersebar di setiap ponsel dalam waktu detikan saja. Maksimum menitan. Perpustakaan
pindah ke dunia maya. Diskusi terjadi di dunia maya. Belajar digelar di dunia
maya. Konferensi dan seminar pun di dunia maya.
Seorang asesor BAN PT yang juga profesor di kampus di Bandung pernah bilang dalam sebuah acara di Kopertis Wil. IV
(sekarang LLDikti IV) bahwa tidak perlu lagi ada deretan buku di ruang
perpustakaan. Yang penting kampus punya website yang berisi banyak buku dan
bisa diunduh, bisa dibaca. Ini sama nilainya dengan kampus yang punya ruang besar
perpustakaan.
Begitulah. Disrupsi
sedang masuk ke setiap lembar buku dan jurnal ilmiah di perpustakaan. Kutu-kutu
buku (dalam arti jenis spesies hewan) suatu saat mungkin punah karena tidak ada lagi buku di relung sunyi keangkuhan ruang perpustakaan. Tetapi kutu-kutu buku dalam arti orang yang rakus membaca buku akan beralih
menjadi kutu-kutu situs.
Disrupsi
di perpustakaan adalah keniscayaan. Niscaya terjadi. Tinggal disiasati agar profesi pustakawan tetap eksis dan prodinya pun terus bergeliat. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar