• L3
  • Email :
  • Search :

21 November 2019

Disrupsi Perpustakaan

Disrupsi Perpustakaan
Oleh Gede H. Cahyana

Aula Timur ITB pada masa sebelum 1988 adalah perpustakaan pusat. Buku-bukunya berjejer di rak-rak. Angkuh. Tak berani menyentuh. Apalagi membuka-buka dan membacanya. Ada bahasa Belanda. Ada Inggris. Jerman. Yang bahasa Indonesia tentu saja ada. Fisika Dasar, Kalkulus, Kimia Dasar rerata berbahasa Inggris. Hardcover. Cetakan lama, sebelum tahun 1960. Cukup ramai. Gedung berarsitektur khas yang luas itu terasa sempit. Mahasiswa berduyun-duyun menjadi anggota perpustakaan dan pinjam buku.


Itu zaman dulu. Kini bagaimana? Adakah mahasiswa antri meminjam buku seperti masa jaya perpustakaan pada dekade 1980-an itu? Adakah mahasiswa duduk melingkari meja bundar dan persegi panjang dengan tumpukan belasan buku di mejanya? Adakah mahasiswa tidur ngorok di atas telekan buku setinggi 15 cm? Adakah mahasiswa duduk-duduk di sela-sela rak dan koridor ruang perpustakaan sambil tercenung, termenung dan mungkin bingung? Adakah mahasiswa yang diusir-usir oleh petugas dan penjaga perpustakaan  karena sudah tutup kantor? Adakah mahasiswa yang merobek lembar-lembar buku yang mungkin dibutuhkannya, tidak punya uang untuk fotokopi atau entah karena alasan apa???

Pertanyaan yang sama, untuk dosen dan guru. Adakah? Adakah? Adakaahh?

Ada! Adaaa .. .. ..  kalanya. Ada waktunya. Tidak setiap hari. Jam-jam tertentu saja. Umumnya mencari materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan dan penulisan materi tersebut di buku-buku lawas yang sudah tidak terbit lagi dan tidak diperoleh di internet. Aspek sejarah. Ini yang dicari. Diterbitkan sebelum dasawarsa 1970-an. Bahkan hingga tahun 1930-an. Ini hanya ada di perpustakaan. Maka, salah besar apabila pustakawan (atau pegawai perpustakaan yang bukan sarjana perpustakaan) menggudangkan buku-buku lawas itu. Bahkan dibakar. Atau dikilo menjadi bungkus pisang goreng. Ruang perpustakaan menjadi sepi. Buku menipis. Pemustaka habis.

Lenyapkah perpustakaan? Tidak. Di setiap sekolah dan kampus pasti ada ruang untuk menaruh buku, majalah, dll dan disebut perpustakaan. Ada juga petugasnya. Tetapi ruhnya yang hilang. Badannya ada tetapi ruhnya tiada. Tidak seperti dekade sebelum 1990. Begitu juga perpustakaan daerah di sejumlah provinsi. Gedungnya kian gagah, arsitekturnya megah, ruangnya luas, tetapi .. ... kalah ramai dibandingkan warung kopi dan cafe... 

Kini, internet dan perkembangan gawai ponsel sedang menumpas perpustakaan. Membasmi penerbit buku. Menangiskan atau mempertangiskan penulis buku. Membangkrutkan toko buku. Tidak hanya bajak-membajak buku, Tapi juga karena banyak buku yang dalam waktu singkat sudah bisa diunduh di banyak situs (website). Artikel ilmiah dengan cepat tersebar di setiap ponsel dalam waktu detikan saja. Maksimum menitan. Perpustakaan pindah ke dunia maya. Diskusi terjadi di dunia maya. Belajar digelar di dunia maya. Konferensi dan seminar pun di dunia maya.

Seorang asesor BAN PT yang juga profesor di kampus di Bandung pernah bilang dalam sebuah acara di Kopertis Wil. IV (sekarang LLDikti IV) bahwa tidak perlu lagi ada deretan buku di ruang perpustakaan. Yang penting kampus punya website yang berisi banyak buku dan bisa diunduh, bisa dibaca. Ini sama nilainya dengan kampus yang punya ruang besar perpustakaan. 

Begitulah. Disrupsi sedang masuk ke setiap lembar buku dan jurnal ilmiah di perpustakaan. Kutu-kutu buku (dalam arti jenis spesies hewan) suatu saat mungkin punah karena tidak ada lagi buku di relung sunyi keangkuhan ruang perpustakaan. Tetapi kutu-kutu buku dalam arti orang yang rakus membaca buku akan beralih menjadi kutu-kutu situs.

Disrupsi di perpustakaan adalah keniscayaan. Niscaya terjadi. Tinggal disiasati agar profesi pustakawan tetap eksis dan prodinya pun terus bergeliat. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar