RACUN di Dalam Telur
Telur ayam itu dikumpulkan dari
daerah Bangun dan Tropodo di Jawa Timur. Di daerah Bangun setiap hari ayam –ayam
tersebut memakan sisa makanan di tempat sampah yang sering dibakar oleh warga
setempat untuk mengurangi tumpukan. Di
Tropodo ayam-ayam sering makan di dekat pabrik tahu yang bahan bakarnya ada
dari sampah plastik. (Deutsche Welle
Indonesia, 14 November 2019).
Telur ayam tersebut terkontaminasi
zat kimia beracun bagi manusia seperti dioksin, PFOS (perfluorooctane sulphonate), PCB (polychlorinated biphenyl), PBDEs (polibrominasi diphenil esters), SCCP (short-chain chlorinated paraffin). Semua zat sangat beracun tersebut
diatur dalam perjanjian global di konvensi Stockholm oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian yang menyedihkan lagi adalah zat tersebut dengan
mudah hadir di pengolahan sampah menjadi listrik berbasis insinerasi dalam
skala regional, tidak hanya lokal. Ini terjadi karena kepul asap yang dilepas
cerobong PLTSa menyebar luas ke segala penjuru angin.
Berkaitan dengan kejadian
tersebut, sudah seharusnya pemerintah berorientasi pada kesehatan masyarakat.
Tidak fokus hanya pada bisnis dan ekonomi dalam menanggulangi sampah. Tidak
percaya semata pada satu pihak tetapi hendaklah memberikan akomodasi “second opinion” kepada parapihak yang
berbeda pendapat dan latar belakang institusinya. Merujuk berita Deutsche Welle Indonesia tersebut, ini
menjadi masukan untuk kita, betapa potensi Risiko PLTSa tersebut mengintai di mana-mana.
Bahkan di dalam telur goreng, telur mata-sapi, telur rebus, dan semua penganan
yang berbahan telur. Termasuk yang dimakan oleh bayi, batita, balita, dan
anak-anak sekolah dasar. Belum lagi pada daging sapi, kambing, dan ternak
lainnya. Termasuk sayur-mayur yang terpapar gas beracun di setiap helai
daunnya.
Dalam catatan sejarah, di Seveso Italia, pada Sabtu, 9 Juli 1976 terjadi bencana dioksin. Dampaknya yang
terverifikasi adalah ribuan orang
menderita kanker darah, kanker hati, dan kandung empedu. Korbannya mencapai
17.000-an orang di Seveso dan 120.000-an orang di luar Seveso. Dioksin itu pun
mengakibatkan 3.300-an ternak langsung mati dan dalam dua tahun pascabencana
80.000-an ternak yang teracuni dioksin terpaksa dibasmi agar tidak dimakan manusia.
Belum lagi sayur, sumber air, sumur, serangga yang dimakan ikan, dan
buah-buahan. Semuanya terkontaminasi dalam waktu puluhan tahun.
Sekadar mengutip tulisan Dr. Paolo Mocarelli di Seveso: I think this accident teaches us that it is
better to take care of the environment before these things happen. Not after.
Teringatlah saya pada frase yang sering ditulis Prof. Otto Soemarwoto (alm):
prinsip kehati-hatian (precautionary
principle). Maka, berpalinglah dari Risiko PLTSa, mesin pembakar sampah
yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Kita bersyukur sudah punya UU
Pengelolaan Persampahan, UU No. 18 tahun 2008. UU ini lahir setelah longsor
yang menewaskan lebih dari 150 orang di TPA Leuwigajah. Kisahnya ditulis di
artikel Leuwigajah, Sebuah Catatan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar