• L3
  • Email :
  • Search :

15 November 2019

RACUN di Dalam Telur

RACUN di Dalam Telur

Telur ayam itu dikumpulkan dari daerah Bangun dan Tropodo di Jawa Timur. Di daerah Bangun setiap hari ayam –ayam tersebut memakan sisa makanan di tempat sampah yang sering dibakar oleh warga setempat untuk mengurangi tumpukan.  Di Tropodo ayam-ayam sering makan di dekat pabrik tahu yang bahan bakarnya ada dari sampah plastik. (Deutsche Welle Indonesia, 14 November 2019).


Telur ayam tersebut terkontaminasi zat kimia beracun bagi manusia seperti dioksin, PFOS (perfluorooctane sulphonate), PCB (polychlorinated biphenyl), PBDEs (polibrominasi diphenil esters), SCCP (short-chain chlorinated paraffin). Semua zat sangat beracun tersebut diatur dalam perjanjian global di konvensi Stockholm oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian yang menyedihkan lagi adalah zat tersebut dengan mudah hadir di pengolahan sampah menjadi listrik berbasis insinerasi dalam skala regional, tidak hanya lokal. Ini terjadi karena kepul asap yang dilepas cerobong PLTSa menyebar luas ke segala penjuru angin.

Berkaitan dengan kejadian tersebut, sudah seharusnya pemerintah berorientasi pada kesehatan masyarakat. Tidak fokus hanya pada bisnis dan ekonomi dalam menanggulangi sampah. Tidak percaya semata pada satu pihak tetapi hendaklah memberikan akomodasi “second opinion” kepada parapihak yang berbeda pendapat dan latar belakang institusinya. Merujuk berita Deutsche Welle Indonesia tersebut, ini menjadi masukan untuk kita, betapa potensi Risiko PLTSa tersebut mengintai di mana-mana. Bahkan di dalam telur goreng, telur mata-sapi, telur rebus, dan semua penganan yang berbahan telur. Termasuk yang dimakan oleh bayi, batita, balita, dan anak-anak sekolah dasar. Belum lagi pada daging sapi, kambing, dan ternak lainnya. Termasuk sayur-mayur yang terpapar gas beracun di setiap helai daunnya.

Dalam catatan sejarah, di Seveso Italia, pada Sabtu, 9 Juli 1976 terjadi bencana dioksin. Dampaknya yang terverifikasi adalah ribuan orang menderita kanker darah, kanker hati, dan kandung empedu. Korbannya mencapai 17.000-an orang di Seveso dan 120.000-an orang di luar Seveso. Dioksin itu pun mengakibatkan 3.300-an ternak langsung mati dan dalam dua tahun pascabencana 80.000-an ternak yang teracuni dioksin terpaksa dibasmi agar tidak dimakan manusia. Belum lagi sayur, sumber air, sumur, serangga yang dimakan ikan, dan buah-buahan. Semuanya terkontaminasi dalam waktu puluhan tahun. 

Sekadar mengutip tulisan Dr. Paolo Mocarelli di Seveso: I think this accident teaches us that it is better to take care of the environment before these things happen. Not after. Teringatlah saya pada frase yang sering ditulis Prof. Otto Soemarwoto (alm): prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Maka, berpalinglah dari Risiko PLTSa, mesin pembakar sampah yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.


Kita bersyukur sudah punya UU Pengelolaan Persampahan, UU No. 18 tahun 2008. UU ini lahir setelah longsor yang menewaskan lebih dari 150 orang di TPA Leuwigajah. Kisahnya ditulis di artikel Leuwigajah, Sebuah Catatan. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar