• L3
  • Email :
  • Search :

31 Oktober 2019

Kabinet Berasaskan SDGs

Kabinet Berasaskan SDGs
Dimuat di Majalah Air Minum, September 2019

Setiap pembentukan kabinet baru selalu saja hangat dibahas perihal zaken kabinet atau kabinet ahli yang diisi oleh orang profesional di bidangnya. Ia bisa dari partai, bisa juga non-partai. Yang penting mampu, memiliki kapabilitas yang diakui khalayak dan tercatat rekam jejaknya (track record) secara akademis, struktural, atau politis.

Namun sekarang usulan pembentukan kabinet didasarkan pada kesepakatan internasional yang melibatkan 193 negara. Berorientasi pada tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs (Sustainable Development Goals), maka kementerian yang dibentuk mengacu pada tujuh belas tujuan SDGs. Nomenklatur disesuaikan dengan sejarah penamaan departemen atau kementerian sejak Orde Baru hingga sekarang. Satu tujuan SDGs boleh jadi ekivalen dengan satu, dua atau tiga kementerian. Tujuh belas tujuan SDGs tersebut bisa dikelompokkan menjadi empat pilar, yaitu pembangunan manusia, ekonomi, lingkungan hidup, dan governance.

EW: Food, Energy, Water
Agar tulisan tidak terlalu panjang dan fokus pada bidang air, maka pilar yang akan dibahas adalah pilar pembangunan lingkungan hidup. Lebih khusus lagi adalah akronim FEW: Food, Energy, Water. FEW adalah bagian dari sumber daya alam. Dalam bahasa Inggris kata few artinya sedikit. Di sini dimaknai sebagai sumber daya alam yang kuantitasnya makin sedikit dan kualitasnya makin kritis.

Sebaliknya pada saat yang sama kebutuhan FEW justru meningkat. FEW sudah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak awal pendirian negara. Spirit FEW tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, disebut pasal sosioekologis. Wujud amanahnya berbentuk departemen atau kementerian dalam setiap pemerintahan. Kemudian dikuatkan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dengan pusat penelitian, dinas, badan, dan balai.

Aspek Food misalnya, pemerintah sudah membentuk Departemen Pertanian sejak Orde Baru. Upaya ekstensifikasi pertanian diperluas ke semua provinsi dan pulau. Diikuti oleh intensifikasi pertanian. Berbagai bibit unggul padi ditemukan bersamaan dengan obat pembasmi hama dan penyakit tanaman. Mekanisasi (sekarang mekanisasi 4.0) makin mempercepat olahan lahan dengan traktor dan alat-alat panen tepat guna. Terakhir adalah inovasi vertical farming, modifikasi tumpang sari.

Di bidang E = energy juga berkembang. Pada masa Orde Baru ada Departemen Pertambangan dan Energi. Tambang primadona ialah batubara, timah, nikel. Juga tembaga dan emas di Freeport. Waktu itu kekuatan minyak bumi dominan dalam anggaran pembangunan. Indonesia menjadi anggota negara pengekspor minyak, OPEC. Sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, upaya pencarian energi alternatif terus dilaksanakan. Kemudian gas alam masuk menjadi energi penting, mensubstitusi minyak tanah.

Yang belum mendapat perhatian khusus adalah W: water (air). Belum ada kementerian yang khusus mengurus air. Sejak Orde Baru urusan air disatukan dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL), Pekerjaan Umum (PU), Kimpraswil, atau PUPR. Satu menteri membawahkan banyak bidang seperti jalan, jembatan, pengairan, perumahan, air limbah, sampah, drainase, dan air minum. Meskipun ada Direktorat Jenderal tetapi tidak bisa fokus dan optimal di bidang air.

Historisnya, bidang air minum, air limbah, irigasi, sumber daya air adalah bagian dari teknik sipil dan penyehatan. Dulu di dalam Departemen Pekerjaan Umum ada Bagian Teknik Penyehatan. Sekarang bidang ini sudah jauh berkembang. Sejak 1990-an ilmu dan teknologi penyehatan dan lingkungan sudah masuk ke dalam HSE (Health, Safety, Environment) atau kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan di industri, pertambangan, minyak dan gas.

Urgensi Kementerian Air
Selain bumi (tanah/lahan), air adalah sumber daya alam esensial yang eksplisit disebut di dalam UUD 1945. Indonesia sudah pernah memiliki UU Sumber Daya Air, yaitu UU No. 7/2004. Karena menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia maka diprotes oleh akademisi, ormas, tokoh masyarakat adat, dan partai politik.

Akhirnya pada tahun 2015 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU SDA dan kembali ke UU No. 11/1974 tentang Pengairan. Esensi pembatalan berkenaan dengan privatisasi (penswastaan) air minum di sektor SPAM dan penguasaan negara atas air. Isu SPAM ini pula yang tarik-ulur saat ini. Sektor ini berpengaruh kepada pengusaha air jeriken dan truk tangki, AMIK (Air Minum Kemasan atau AMDK) dan AMIKU (Air Minum Kemasan Ulang atau air isi ulang). Asasnya, sumber air berupa mata air, air tanah, sungai, danau, waduk, rawa, laut tidak boleh dikuasai oleh perseorangan atau swasta.

Penguasa air adalah negara, dikelola oleh pemerintah, dilaksanakan oleh BUMN atau BUMD seperti PDAM. PDAM idealnya pemberi solusi masalah air untuk masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah kaya air tanah tentu tidak berlangganan PDAM. Apalagi kalau kualitas airnya bagus. Ini sesuai dengan pasal sosioekologis. PDAM dibutuhkan oleh masyarakat yang tidak memiliki sumber air layak guna karena berbagai sebab. Amanat pasal sosioekologis itu harus dilaksanakan dalam kondisi seperti ini. Haruskah full cost recovery? Bagaimana dengan subsidi? Di sinilah Kementerian Air menemukan urgensinya.  

Air Baku
Air baku bisa dimaknai sebagai air yang belum diolah. Sumber air baku antara lain air hujan, air permukaan (sungai, danau, waduk, muara, laut), dan air tanah (dangkal dan dalam). Air baku adalah tantangan utama PDAM. Ada PDAM yang beruntung karena memanfaatkan mata air yang debitnya besar. Ada PDAM yang harus mengolah air tercemar sehingga mengeluarkan biaya mahal untuk investasi IPAM dan operasi-rawatnya. Ada pula PDAM yang tidak memiliki sumber air potensial sehingga kewalahan pada musim kemarau. Tanpa air baku tidak mungkin PDAM beroperasi. Belum lagi sengketa sumber air antarprovinsi, kabupaten, kota. Inilah tantangan pemerintah dan insan PDAM, mampukah memberikan solusi terbaik?

Apabila UU SDA yang baru nanti eksplisit memberikan spirit kepada negara sebagai penguasa air untuk kemakmuran rakyat maka tepatlah Kementerian Air menjadi pengelola air baku, air minum, air limbah domestik dan industri. Kementerian Air bisa meningkatkan layanan air minum kepada masyarakat. Raihan 100% aman air minum bisa dicapai dengan cara mengubah tantangan di atas menjadi peluang. Air baku tercemar, air payau, air laut bisa diubah menjadi air minum. Newater Singapura contohnya, bisa menghasilkan air minum dari air limbah.

Tentu Kementerian Air berkoordinasi dengan kementerian lain yang sudah melaksanakan tupoksi air baku dan air limbah. Teknologi IPAM 4.0 mampu mengolah air baku air limbah menjadi air layak guna, bahkan air minum. IPAM 4.0 mampu menyehatkan PDAM berasaskan pasal sosioekologis, asas keadilan, dan kerjasama antardaerah.

PDAM yang rugi, menurut Mendagri Tjahjo Kumolo mencapai 70% tidak akan terjadi lagi. Suntikan dana lima triliun rupiah pertahun kepada PDAM bisa dialihguna menjadi dana investasi IPAM, sistem transmisi distribusi dan subsidi kepada masyarakat tidak mampu. Tampak peran negara dalam mengamalkan pasal sosioekologis sekaligus mencapai tujuan SDGs.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar