• L3
  • Email :
  • Search :

26 Februari 2013

Trilogi Pendidikan, Menguatkan Peran Sainstek

Trilogi Pendidikan dan Pendidikan Lingkungan
Oleh Gede H. Cahyana

Apabila diuraikan, frase Trilogi Pendidikan berasal dari kata trilogi dan kata didik yang diberi imbuhan pe-an. Kalau dianalisis, dapat diartikan sebagai tiga pilar penyangga yang dimaknai sebagai pilar yang menyangga pendidikan. Dalam wujud visualnya, Trilogi Pendidikan dapat digambarkan dengan segitiga sama sisi yang titik sudutnya merupakan representasi pilar sains, teknologi, dan lingkungan. Sains dan teknologi menduduki sudut alas dan lingkungan sebagai puncaknya. Sains diindonesiakan dari kata bahasa Inggris Science yang artinya, meskipun kurang tepat, ilmu; teknologi (technology) yang berkaitan dengan engineering dan disetarakan dengan rekayasa. Adapun lingkungan mengacu pada semua zat yang ada di sekitar manusia, baik berupa tanah (litosfer), air (hidrosfer), dan udara (atmosfer), serta komponen biotiknya.

Pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pendidikan informal (keluarga), pendidikan nonformal (masyarakat) dan formal (sekolah). Ketiga jenis pendidikan di atas bertujuan menanamkan nilai-nilai, etika, moral dan kesadaran terhadap lingkungan yang semuanya saling dukung dalam pelestarian fungsi lingkungan. Pendidikan lingkungan tidak akan berhasil kalau hanya diberikan di sekolah saja sehingga murid dan mahasiswa hanya memperoleh ilmu tanpa diterapkan di rumah dan sekitarnya. Misalnya, di sekolah dan perguruan tinggi diajari membuang (menaruh, meletakkan) sampah di bak sampah tetapi di rumah atau tempat kos murid dan mahasiswa tidak tersedia bak sampah atau lingkungan sekitarnya tidak peduli pada penyediaan bak sampah kolektif. Selain murid dan mahasiswa, pejabat pusat dan daerah, seperti anggota MPR, DPR/DPRD dan lembaga tinggi lainnya, gubernur, bupati, walikota dan keluarganya, polisi, tentara, PNS, pengusaha, guru, dosen, dan semua profesi yang ada hendaklah peduli pada pendidikan lingkungan.

Tiga pilar tersebut saling mempengaruhi, ada umpannya (feed) dan ada pula umpan baliknya (feedback). Sains mendasari pengembangan teknologi kemudian teknologi menjadi perangkat yang dapat mendukung percobaan sains. Perkembangan sains dan teknologi lantas berdampak pada lingkungan, baik langsung maupun tak langsung. Trilogi pendidikan menyelaraskan antara sains (ilmu) dan teknologi dengan lingkungan. Ini tinjauan das sein. Tetapi das sollen-nya belum tentu sesuai antara idealisme dan realisme lantaran sudah dipengaruhi oleh olah pikir dan kesukaan (preferensi) manusia. Ini pun berhulu pada pelibatan nafsu, baik dalam arti positif maupun negatif.

Begitu pula dengan implementasi teknologi, pelibatan sains yang berwawasan lingkungan perlu diutamakan agar tidak tersesat sebab sesal kemudian tak berguna. Memandang sebuah teknologi haruslah diarifi dengan cara melihatnya sebagai bagian dari lingkungan. Dengan kata lain, lingkungan menjadi titik tolak dalam memilah dan memilih teknologi. Artinya pula, teknologi di suatu daerah belum tentu cocok dengan kondisi daerah lain karena lingkungannya memang berbeda. Sederhana saja analoginya. Baju di daerah kutub tidak selalu tepat dikenakan di daerah tropis. Sebaliknya juga, baju tipis di tropis takkan cocok dikenakan di kutub. Keduanya akan menimbulkan masalah bagi manusia. Minimal orang bisa sakit atau malah meninggal. Pakaian adalah produk budaya, sama persis dengan teknologi. Bedanya, teknologi memiliki latar riset dan trial-error berkali-kali dan bahkan ratusan tahun dan dapat dicoba oleh orang lain karena berlaku universal.

Sains atau Ilmu
Mengapa digunakan kata sains, bukannya ilmu untuk salah satu pilar Trilogi Pendidikan? Di dalam artikelnya pada Pandangan Keilmuan UIN, Wahyu Memandu Ilmu (UIN, 2008), Ahmad Tafsir menulis bahwa orang yang belajar bahasa Arab agak bingung ketika menghadapi kata ilmu. Dalam bahasa Arab, kata al-‘ilm berarti pengetahuan (knowledge) sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ilmu merupakan terjemahan dari kata science. Ilmu dalam arti kata science hanya sebagian dari al-‘ilm dalam bahasa Arab. Di buku yang sama, Wardi Bachtiar menulis bahwa ilmu secara bahasa berarti kejelasan, sehingga ilmu diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Untuk selanjutnya buku ini menggunakan kata sains dalam makna pengetahuan sainstifik (scientific knowledge).

Ilmu (sains) menyebabkan manusia unggul dibandingkan dengan makhluk lainnya dan mampu mengembangkan ilmu sampai seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Orang yang berilmu kedudukannya tinggi di sisi Allah. Bahkan ayat pertama surat al ‘Alaq berkaitan dengan ilmu lewat iqra, bacalah! Agar lebih jelas memosisikan sains dalam khasanah ilmu secara universal, di bawah ini dikutipkan sebagian tulisan Nanat Fatah Natsir di dalam Wahyu Memandu Ilmu (UIN, 2008) tentang metafora roda dalam upaya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum di UIN Sunan Gunung Djati.

Sains dapat dianalogikan dengan akar pohon. Sudah disepakati bahwa sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan kehidupan manusia dan bermanfaat juga bagi kelestarian fungsi lingkungan. Oleh sebab itu, sains harus dikembangkan. Sains berisi teori dan teori adalah pendapat yang beralasan (Ahmad Tafsir, 2008), logis dan dinyatakan secara sistematis (Cik Hasan Bisri, 2008). Karena isi ilmu adalah teori maka mengembangkan ilmu (sains) adalah mengembangkan teorinya. Menurut Ahmad Tafsir (UIN, 2008), ada empat kemungkinan dalam pengembangan teori. Kesatu, menyusun teori baru. Selama ini belum ada teorinya, tetapi seseorang berhasil menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Teorinya sudah ada tetapi tidak mampu lagi menyelesaikan masalah sehingga diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori lama. Peneliti tidak membatalkan atau mengganti teori lama dengan teori baru, tetapi hanya merevisi atau menyempurnakannya. Keempat, membatalkan teori lama tetapi tidak memberikan atau memunculkan teori baru. Seseorang yang masuk ke dalam kelompok keempat ini, yakni orang yang menolak teori yang ada tanpa mengajukan teorinya, dapatkah disebut pengembang ilmu (sains)?

Lantas bagaimana caranya sains menyelesaikan masalah? Menurut Ahmad Tafsir (2008), masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan menggunakan ilmu (teori ilmu). Pada zaman dulu atau zaman sekarang di daerah perdesaan, apalagi di pelosok, orang mengambil air di kaki bukit, yaitu mata air. Cara ini tentu menyulitkan dan memakan banyak waktu. Manusia lantas membuat sumur dan airnya diambil dengan cara ditimba. Karena masih capek juga, manusia lantas berpikir dan akhirnya memasang pompa tangan. Tetapi memompa dengan tangan juga menguras tenaga dan waktu sehingga akhirnya ditemukan pompa listrik. Air pun dengan mudah diperoleh. Kemudahan ini, pada satu sisi bermanfaat tetapi di lain sisi, seperti dibahas di bagian selanjutnya pada bab ini, dapat memunculkan dampak negatif. Dampak negatif sebuah teknologi.

Tampaklah betapa ilmu (sains) dapat memudahkan kehidupan manusia. Alinea di atas menyatakan bahwa sains berperan dalam memudahkan kehidupan karena dapat menghasilkan alat-alat yang disebut teknologi. Ilmuwan, yakni orang yang mendalami ilmu (sains) berperan besar dalam mewujudkan teknologi.

Teknologi
Konsep Trilogi Pendidikan ini dapat dianalogikan dengan pohon dan komponennya. Sains adalah pilar dasar dalam pendidikan. Dalam analogi yang merujuk pada Surat al Fath ayat 29, sains adalah akar pohon. Pohon adalah teknologi. Makin dalam akarnya, yakni berupa akar tunggang dalam tumbuhan dikotil, makin kuat juga landasan ilmu yang dimilikinya. Artinya, teknologi dikembangkan atas dasar perkembangan sains. Teknologi pengolahan air minum, air limbah, kepul gas cerobong asap pabrik, semuanya berasal dari sains atau ilmu mekanika fluida. Berbagai rumus dan formulasi dalam hidrolika atau mekanika fluida mendasari sejumlah pengolahan air minum dan air limbah dan pengolahan gas buang dari pabrik.

Ciptaan atau makhluk Allah yang tinggi derajatnya adalah manusia. Allah melengkapi manusia dengan akal sehingga dapat menghasilkan teknologi. Teknologi menjadi bagian yang melekat (inheren) di dalam perkembangan manusia dan peradabannya. Bahkan “manusia” purba (ditulis di dalam tanpa kutip, kalau betul makhluk ini dapat dikatakan sebagai manusia) sudah berteknologi dengan batu yang dijadikan alat berburu, memotong, dan berperang. Pada tingkat yang lebih tinggi, manusia sudah mampu mengolah logam menjadi produk yang makin memudahkan mereka bekerja dan mempertahankan diri dari serangan binatang buas dan dari serbuan musuhnya. Teknologi yang melekat dalam akal dan olah budi manusia akhirnya tak dapat dipisahkan dari hidupnya, tak bisa dihindari. Bahkan teknologi yang merupakan kemampuan terbesar manusia terus berkembang sampai ke dalam ukuran nanoteknologi, misalnya bioteknologi yang memanipulasi enzim (protein) di dalam bakteri untuk mengolah air limbah dan air minum.

Teknologi juga dipahami sebagai pisau bermata dua. Teknologi dapat menghasilkan produk yang dianalogikan dengan buah dalam sebuah pohon. Produk ini melibatkan industri (pabrik) yang juga memiliki dampak positif dan negatif. Seperti halnya buah, ada yang manis dan ada juga yang pahit, bahkan beracun. Artinya, yang satu bernilai positif, satu matanya lagi berdampak negatif. Yang positif sudah jelas dan manusia memperoleh kemudahan dalam kehidupannya. Misalnya, teknologi komputer, telefon seluler, satelit, pengolahan air, insinerator sampah (termasuk Pembangkit Listrik Tanaga Sampah, PLTSa). Namun di balik nilai positif yang dihasilkannya itu, muncul juga dampak buruk terhadap manusia, hewan dan tumbuhan, juga lingkungan abiotik (benda-benda). Jadi masalahnya, bagaimana caranya agar produk atau buah teknologi terus mendukung hidup dan kelangsungan hidup manusia dengan memaksimalkan dampak positifnya dan menghilangkan (kalau bisa) atau meminimalkan dampak negatifnya.

Roseto, Dampak Negatif Teknologi
Teknologi semacam nyawa kedua bagi manusia modern, manusia yang sudah banyak bersentuhan dengan produk teknologi seperti radio, televisi, telefon seluler, komputer, internet, dll. Berikut ini diberikan sebuah fakta yang merupakan dampak buruk dari perkembangan teknologi. Contoh ini diambil dari luar negeri, tidak di Indonesia, karena penelitian ini merupakan salah satu riset yang klasik di bidang psikoteknologi. Riset dilaksanakan oleh  Stewart Wolf dan John G. Bruhn di kota Roseto, Amerika Serikat.

Bruhn menyatakan dalam laporannya pada 1971: “… family and community support is disappearing. Most of the men who have hearth attacks here were living under stress and really had nowhere to relieve that prsseure …. These people have given up something and it’s killing them.”  Sebelum itu, yaitu tahun 1961, Bruhn justru memperoleh hasil yang luar biasa dan menyatakan bahwa masyarakat Roseto terbaik kehidupan sosialnya sehingga disebut sebagai kota ajaib (miracle city).

Mari analisis rumah kita atau rumah teman, tetangga kita. Semua yang disebut berikut ini adalah buah dari perkembangan teknologi. Buah yang berasa manis itu akhirnya dipungkasi oleh dampak buruk. Siapa yang tak tahu televisi? Pada abad ke-21 ini, nyaris tak seorang pun yang tidak tahu kotak “ajaib” ini. Memang kalau dicari-cari ada juga suku seperti disebut di bagian awal buku ini, yakni Suku Badui Dalam di Lebak, Jawa Barat yang masih menolak kehadiran televisi dan produk teknologi yang sejenis. Namun mayoritas manusia di Bumi sudah mengenal televisi, minimal pernah melihatnya kalau tidak memilikinya. Akibat siaran televisi yang berlangsung 24 jam sehari itu, semua orang sekan-akan tersihir dan tidak bisa lepas dari kursinya. Semuanya duduk dan diam di depan acara-acara yang meninabobokan. Begitu juga air ledeng (PDAM) di rumah kita. Hanya dengan membuka kran saja, air minum mengalir. Malah di beberapa kota, PDAM sudah menyediakan air langsung diminum tanpa dididihkan dulu, yakni di Zone Air Minum Prima (ZAMP). Akibat kehadiran teknologi pengolahan air komunal ini maka masyarakat sudah jarang bertemu dengan tetangganya di pancuran atau tempat mandi umum. Semua itu terjadi karena buah teknologi seperti listrik, televisi, kran, instalasi pengolahan air minum, dan lain-lain.

Dampak yang lainnya adalah teknologi transportasi. Sekarang orang makin mudah bepergian ke mana saja. Jarak yang jauhnya ribuan kilometer dapat ditempuh beberapa jam saja. Orang makin senang pergi jauh, baik untuk urusan bisnis, sekolah, kuliah, maupun urusan keluarga. Suami dan istri, juga dengan anak-anaknya dapat berpisah ribuan kilometer sehingga jarang bertemu, bersenda gurau atau melaksanakan kegiatan sosial keagamaan bersama-sama. Ketika ada anggota keluarganya yang meninggal, sering anggota keluarga lainnya tidak dapat pulang dan hanya mampu mengucapkan ikut berduka cita lewat telefon, surat atau sutel (surat elektronik, e-mail).

Mobil dan motor yang makin banyak karena murah harganya dan dapat dibeli dengan dicicil tanpa uang muka, ini terjadi sejak tahun 2005, makin meruwetkan suasana jalan di kota dan desa dan suasana hiruk-pikuk pun terus meningkat. Lontaran kata-kata marah antarsupir sering terdengar hanya karena kendaraannya agak lambat, baik karena di depannya ada mobil yang mogok, orang yang menyeberang atau karena macet. Orang dengan mudah menekan klakson sambil menyumpahserapahi sesama pengendara. Kadang-kadang ada kasus lucu karena yang disumpah-sumpahi ternyata saudaranya, adik-kakaknya, bahkan orang tua, gurunya, dosennya atau orang yang dikenalnya.

Itulah sekelumit dampak buruk teknologi, dari sudut pandang manusia. Dampak buruk teknologi terhadap lingkungan juga tak kalah besar. Sebagai contoh, perkembangan teknologi pengolahan kayu akhirnya menghabiskan jutaan hektar hutan per tahun. Teknologi pengolahan pulp dan kertas berujung pada pencemaran sungai, danau dan laut. Peningkatan taraf hidup yang dinyatakan dalam peningkatan penghasilan (gaji) akhirnya memperbanyak sampah yang ditimbulkan setiap orang dan banyak yang sulit dibusukkan seperti plastik, kain, logam, dan sejenisnya.

Banyak sekali dampak buruk dari teknologi. Semuanya berujung pada degradasi kualitas hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Satu jenis degradasi pada manusia ialah munculnya stres yang dapat berujung pada kelainan jiwa (psikologis), bahkan sakit jiwa atau gila. Penyebab stres ini dapat terjadi lantaran hubungan kekeluargaan yang merenggang karena berjauhan atau dekat tetapi tidak saling bertegur sapa. Pencemaran air, tanah, udara sehingga ruang hidup sehat menyempit dan merusak kelestarian fungsi lingkungan. Sikap individualis yang bertambah pada setiap manusia mengakibatkan orang merasa hidup sendirian sehingga ia hakikatnya sakit. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), sehat adalah state of complete physical, mental, and social well-being, not merely the absence of disease or infirmity. Jadi, sehat adalah keadaan sejahtera sempurna jasmani, rohani, dan sosial, tak hanya tanpa adanya penyakit atau kelemahan saja.

Lingkungan
Tak dapat dibantah, abad ke-21 ini adalah abad yang genting bagi Bumi sebagai tempat hidup manusia. Pencemaran di muka Bumi, di darat dan di air (sungai, waduk, danau, laut) terus meluas secara kuantitas dan kualitas, di desa dan di kota. Citra satelit menggambarkan dengan jelas wajah bopeng Bumi. Jutaan hektar hutan telah musnah. Akibatnya kematian massal mengintai karena terjadi krisis pangan atau lebih tepatnya malnutrisi, terutama kalangan yang lemah ekonominya.

Di bawah ini dituliskan beberapa isu masalah lingkungan. Inventarisasi sebagian isu lingkungan kontemporer ini terjadi dalam skala lokal, regional, nasional, dan global.  
a. Mutasi genetis, disebabkan oleh pemanfaatan energi nuklir dan industri kimia (pestisida, insektisida, herbisida) yang menyebabkan perubahan pada gen makhluk hidup.
b. Pemanasan global oleh gas-gas CO2 dan CH4. Pada paruh abad ke-21 nanti temperatur Bumi meningkat rata-rata  3oC atau 1oC di katulistiwa dan 7oC di kutub. Pencairan lapisan es tak terelakkan lagi sehingga banyak pulau kecil lenyap dan kota-kota pantai, water front city ikut tenggelam.
c. Hujan asam akibat emisi SOx, NOx dan CO2 yang membentuk asam sulfat (H2SO4),  asam nitrat (HNO3) dan asam karbonat (H2CO3). Asam-asam tersebut dapat merusak vegetasi, hutan dan logam (konstruksi gedung, jembatan, rel kereta api).
d. Lubang ozon, menyebabkan sinar ultraviolet dapat masuk ke Bumi  dan dikhawatirkan meningkatkan insidensi kanker kulit, khususnya pada orang yang senang mandi sinar matahari (sunbathing).
e. Penurunan kualitas dan kuantitas air menjadi penyebab epidemi diare, disentri, tifus, kolera pada beberapa kota dan daerah kumuh. WHO menyatakan bahwa sekitar 200 juta orang tidak memiliki sumber air bersih layak minum, 350 juta jiwa tidak mempunyai fasilitas sanitasi dasar yang sangat dibutuhkan dan 1 milyar orang tidak mempunyai sistem pengelolaan sampah. Buruknya sanitasi dan penyediaan air minum meningkatkan kematian bayi dan umur harapan hidup menjadi rendah. Sedangkan dalam skala global, pada saat ini 1,3 milyar orang hidup tanpa air bersih, 2 milyar tanpa sanitasi dasar.
f. Desertifikasi adalah proses penggurunan akibat kekurangan air sehingga sangat sedikit yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tanah tandus didominasi oleh zat inorganik, berbutir kasar dan berpasir sehingga mudah tererosi jika ada hujan. WHO menyatakan, sekitar 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah ini dengan kerugian sekitar US $42,3 miliar per tahun. Pada tahun 2025 nanti, diperkirakan jumlah orang yang mengalami masalah ini mencapai 1,8 milyar jiwa. Sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan nilai laju kehancuran hutan tropis pada dekade 1970 adalah 11,3 juta ha/tahun yang meningkat menjadi 15,4 juta ha/tahun pada dekade 1980-an dan 17 juta ha/tahun pada dasawarsa 1990-an.

Agar bencana di atas dapat dicegah atau minimal dikurangai, maka perlu diubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Ada beberapa perilaku dan cara pandang yang harus diperbaiki untuk menangani krisis lingkungan dunia modern ini:
a.   Bahwa alam adalah semata-mata diciptakan untuk manusia sehingga boleh sewenang-wenang dalam memanfaatkannya.
b.     Bahwa manusia adalah sumber semua tata nilai yang ada (antroposentris).
c.      Bahwa kesuksesan hanya diukur dari materi.
d.     Bahwa sumber daya materi dan energi tidak terbatas.
e.     Bahwa produksi dan konsumsi barang dapat meningkat terus tanpa batas.
f.       Bahwa tidak perlu beradaptasi dengan lingkungan karena ada sain dan teknologi.
g.     Bahwa fungsi negara adalah membantu (segelintir) manusia dalam mengeksploitasi alam untuk meningkatkan kesejahteraan (sekelompok) rakyat.

Pengisapan sumber daya alam saat ini tanpa menghiraukan fungsi lingkungan yang harus dilestarikan adalah causa prima kemandegan dan kejumudan berpikir untuk dan atas nama kelompok dan golongan. Hubungan manusia dengan alam adalah reversible, saling mempengaruhi yang dapat bernilai positif maupun negatif.  Sikap arif dan bersahabat dengannya dapat mengurangi bencana yang mungkin muncul karena krisis lingkungan adalah manifestasi dari krisis akal dan jiwa. Agar bencana tidak meluas, maka diperlukan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber pemicu dan pemacu reformasi perilaku yaitu religiositas.

Konsepsi pembangunan adalah ibadah dalam dimensi perilaku. Dimensi inilah yang patut dikembangkan karena manusia memikul tanggung jawab spiritual dan material (lingkungan). Hanya manusia (bukan flora dan fauna) yang mendapat amanat dan mampu membina dunia dan isinya walaupun dia dapat menjadi lebih buas dari binatang terbuas, dari the best menjadi the beast. *

Artikel yang berkaitan, bisa download 
Signifikansi Pendidikan Lingkungan di Perguruan Tinggi
Reposisi Pengetahuan ke Pendidikan Lingkungan
Education for Sustainable Development
Pendidikan Lingkungan di Indonesia


ReadMore »

20 Februari 2013

Pendidikan Lingkungan di Indonesia

Pendidikan Lingkungan di Indonesia
Oleh Gede H. Cahyana

Dapat dipastikan, semua orang tahu lingkungan. Tak seorang manusia pun yang tidak tahu perihal lingkungan. Kaum Badui di Kabupaten Lebak Provinsi Banten pasti berteman dengan lingkungan. Komunitas Trunyan di sekitar Danau Batur dan warga Tenganan di Bali juga berkawan dengan lingkungan. Suku Anak Dalam di pedalaman Jambi pun bagian dari lingkungan. Suku Tengger di Bromo pasti mengenali lingkungannya. Begitu juga Dayak, Batak, Sasak, dan suku-suku di Papua, Sulawesi, dan kelompok masyarakat lainnya adalah bagian dari lingkungan, termasuk manusia yang tinggal di perkotaan. Singkatnya, manusia tanpa kecuali, dikitari oleh lingkungan.

Sejak lahir sampai maut menjemputnya, manusia akrab dan bermain dengan lingkungan. Setelah dimakamkan, jasadnya bersatu dengan lingkungan kemudian memberikan kehidupan berupa nutrisi kepada mikroba, rerumputan dan pohon di sekitarnya. Sebelum malaikat Izrail melaksanakan tugasnya, yakni selama mengisi hidupnya di dunia, manusia banyak belajar tentang lingkungan, termasuk semasa menjadi murid di pesantren, sekolah atau madrasah. Pelajaran kimia, biologi, fisika, dan geografi banyak mengetengahkan lingkungan dan masalahnya. Kalau demikian, mengapa murid yang sudah belajar biologi di pesantren, sekolah atau madrasah diwajibkan lagi mengambil mata kuliah lingkungan ketika berstatus mahasiswa? Lantas, mengapa namanya Pendidikan Lingkungan (environmental education) bukan Pengetahuan Lingkungan (environmental knowledge) yang sudah berlangsung sejak dekade 1970-an? Jawaban pertanyaan ini diuraikan di alinea selanjutnya.

Aspek Sejarah
Masalah lingkungan, misalnya pencemaran (polusi, pollution) air, tanah, dan udara masif (massive), besar-besaran terjadi di semua daerah di Indonesia, di desa maupun kota tanpa kecuali. Sebabnya berbagai macam, satu di antaranya adalah pengusaha yang hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan abai pada kelestariannya. Mereka tak peduli pada bencana lingkungan yang mengintai anak-cucunya pada masa depan. Ketika dibawa ke meja hijau hanya sedikit di antara mereka yang berhasil dibui, selebihnya bebas melenggang ke luar penjara. Yang berhasil dipenjarakan pun hanya sekadarnya, singkat waktunya sehingga tak menghasilkan efek jera. Perusakan lingkungan pun terjadi lagi, bahkan lebih parah daripada sebelumnya. Itu sebabnya, perangkat peradilan (jaksa, hakim, polisi) wajib memahami seluk-beluk masalah lingkungan sehingga mampu maksimal memenjarakan pengacau lingkungan.

Semua ragam kasus pencemaran lingkungan, baik yang disebabkan oleh pabrik maupun domestik (rumah tangga), menjadi cermin betapa rendah mutu pengelolaan lingkungan kita yang diawali oleh kegagalan pendidikan lingkungan atau baru sebatas pengetahuan saja, belum menjadi karakter harian (afektif) dan perilakunya (psikomotorik). Apatah lagi kalau tak diberikan pendidikan lingkungan, dipastikan sarjana yang kian banyak jumlahnya akan buta-tuli soal lingkungan. Mereka tuna lingkungan. Sains dan teknologi memang hanyalah alat bantu yang terus berkembang hasil olah pikir, kontemplasi dan riset saintis-teknolog. Bisa dikatakan, kerusakan lingkungan bukan karena sains dan teknologi melainkan karena etika, moral dan life-style manusia. Banyak contoh yang dapat diketengahkan perihal peran moral dan gaya hidup sebagai sumber bencana. Dapatlah dipahami pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada bencana alam. Yang ada hanyalah bencana akibat ulah manusia yang tidak arif terhadap alam (environmental wisdom), tidak bersahabat dengan lingkungan (environmental friendly) dan hanya berpikir anthropocentris bukan envirocentris.

Faktanya demikian. Kebanyakan manusia enggan memedulikan lingkungan. Sebagai contoh, pencemaran air, tanah, dan udara selalu terjadi dan makin parah dari waktu ke waktu. Begitu juga banjir akibat pembabatan hutan, buang sampah ke selokan dan sungai seperti yang selalu menimpa ibukota Jakarta. Bahkan Benyamin S, seorang aktor asli Betawi, lewat lagunya sudah memperingatkan penduduk dan pejabat di Jakarta bahwa daerahnya rawan banjir. Sudah sejak 1970-an Jakarta dilanda banjir dan terjadi sampai sekarang, terutama ketika musim hujan. Tidakkah kalangan pintar di Jakarta itu belajar dari pengalaman sehingga tinggi kecerdasan lingkungan (Enviro Intelligence) atau Enviro Quotient (EnQ)?

Satu hal yang dilupakan pejabat di Jakarta ialah mengelola lingkungan secara bersahabat. Mereka tidak optimal mengelola EnQ tetapi hanya berbekal kecerdasan otak (Intelligent Quotient) tetapi miskin kecerdasan akhlak (Spiritual Intelligence). Padahal sejak 1970-an wanti-wanti sudah dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan pemerintah bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada teknologi yang protektif (protective technology) atas lingkungan. Idenya itu dipublikasikan sebelum rezim Orde Baru merilis Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg KLH) pada tahun 1978.

Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan, keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya miskin, tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah pula terbukti, deretan gelar akademik dan kepangkatan seseorang, juga hartanya, tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Banyak orang pintar yang berjabatan dan berpangkat justru pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil rasa memilikinya (sense of belonging). Mereka tidak merasa menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan lantaran tidak maksimal pemahamannya atas fungsi lingkungan. Atau, mereka memang belum tahu peran penting kelestarian fungsi lingkungan sehingga berpendapat bahwa lingkungan boleh dieksploitasi seenak perutnya.

Namun kalau berpikir positif, perilaku di atas masih bisa diubah dan belum terlambat karena bisa belajar Pendidikan Lingkungan secara informal. Sebab, ciri khas pendidikan (tarbiyah, education) ialah seumur hidup, sampai akhir hayat. Di mana pun dan kapan pun, manusia perlu pendidikan, baik yang berkaitan dengan jasmani maupun ruhani. Dua jenis pendidikan ini sesungguhnya bersatu dalam perbedaan, seolah-olah bayi kembar yang berasal dari satu sel telur (ovum) sehingga sekilas tak dapat dibedakan. Pendidikan memasukkan dua kategori besar, yaitu sains (science) dan teknologi (technology). Keduanya saling dukung untuk menghasilkan produk berupa barang dan jasa yang dapat melancarkan kegiatan manusia. Produk inilah yang dapat menghasilkan nilai positif bagi lingkungan sekaligus menimbulkan dampak negatif berupa masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi dapat berujung pada derita manusia. Tetapi bisa juga berujung pada kebahagiaan manusia lantaran sains, teknologi, lingkungan merupakan segitiga sama sisi yang masing-masing berperan dalam kehidupan manusia. Terminologi yang digunakan ialah Trilogi Pendidikan.

Di bagian awal bab ini ada pertanyaan, mengapa perlu diadakan Pendidikan Lingkungan di perguruan tinggi? Bukankah sudah ada pelajaran serupa di SD, SMP, SMA, dan pesantren (islamic boarding school)? Betul..., sudah ada pelajaran yang erat kaitannya dengan lingkungan dan memiliki variasi nama yang khas. Namun tidak semua pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA baik yang negeri maupun swasta sudah menyediakan pelajaran lingkungan secara formal. Mayoritas siswa belum diberikan pelajaran lingkungan secara khusus, bukan menjadi bagian kecil dalam sebuah pelajaran, misalnya pelajaran biologi. Artinya, kedudukan mata pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Lingkungan selayaknya setara dengan mata pelajaran atau mata kuliah yang lain. Di ITB mata kuliah ini (namanya Ilmu atau Pengetahuan Lingkungan) pada mulanya diberikan kepada mahasiswa Tahun Pertama Bersama (TPB) dan berlangsung sejak 1975 sampai sekarang.

Secara ekopolitis, Pendidikan Lingkungan kali pertama dikenalkan pada konferensi IUC (International Union for Concervation of Nature and Natural Resourses) atau Perserikatan Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam) pada 1971. Konferensi yang berlangsung pada 15 s.d 18 Desember 1971 di Gottlieb Duttweiler Institute di Ruschlikon, Zurich berhasil merumuskan definisi Pendidikan Lingkungan sebagai berikut: Environmental education is the process of recognizing values and clarifying concepts in order to develop the skills and attitude that are necessary to understand and appreciate the interrelations among man, his culture, and his biophysical surrounding. Environmental education also entails practice in decision-making, and the self-formulation of code of behaviour about the issues concerning environmental quality. Definisi tersebut ada di dalam “Unesco, Nature and Resources, Vol. VIII, No. 3, July - September 1971, Paris (Sumaatmadja, 1991).

Namun historisnya, jauh sebelum politisi dunia mengangkat isu lingkungan ke pentas politik, sudah ada sejumlah karya tulis di tataran ilmiah populer. Rachel Carson misalnya, setelah dari hari ke hari menyaksikan lingkungan tempat tinggalnya, ia mulai merasa kehilangan nuansa ekologinya. Tiada lagi burung berkicau, sapi dan domba banyak yang mati. Ada yang salah, pikir Carson waktu itu. Lalu terbitlah bukunya dengan judul The Silent Spring (Musim Bunga Yang Sunyi) pada 1962 yang kemudian best seller dan ikut membentuk pola pikir setiap “politisi hijau” di Amerika Serikat. Buku fenomenal itu lantas berubah seolah-olah menjadi “textbook” di tataran akademisi, pebisnis dan politisi, selain dibaca oleh masyarakat awam.

Pada awal dekade berikutnya di tingkat dunia peran politisi hijau semakin besar. Stockholm, sebuah kota di Swedia mencatat sejarah dan pasti selalu tersirat di benak pencinta lingkungan. Pada 5 Juni 1972 di kota itu berlangsung konferensi PBB tentang lingkungan hidup (UN Conference on the Human Environment). Kota Stockholm dipilih karena paparan masalah lingkungan pertama kali dicetuskan oleh wakil dari Swedia ketika sidang PBB pada 28 Mei 1968. Hasilnya adalah Deklarasi Stockholm yang lantas dijadikan acuan oleh negara peserta untuk peduli lingkungan, advokasi lingkungan dan membentuk kementerian lingkungan. Di Indonesia dinamai Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg KLH) yang sekarang sudah bermetamorfosis menjadi Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Yang juga dapat dijadikan tonggak awal perkembangan Pendidikan Lingkungan ialah kasus pencemaran lingkungan terbesar di Jepang, yaitu Minamata yang terjadi sporadis antara tahun 1950 – 1970. Kasus besar ini berkaitan dengan limbah metilmerkuri yang mencemari ikan dan kerang laut yang merupakan makanan sehari-hari orang Jepang. Akibatnya, muncullah visi baru tentang lingkungan yang dengan cepat mencuat di tataran elite politiknya. Kemudian warganya yang ketakutan dan merasa terancam hidupnya menyerukan agar pejabat pemerintahan dan politisi peduli pada lingkungan. Selanjutnya politisi di Diet Jepang intensif menyusun rancangan undang-undang yang akhirnya menghasilkan 14 buah undang-undang. Sebab itulah di Jepang muncul sebutan Pollution Diet pada dekade 1970-an.

Bagaimana di Indonesia? Dalam versi pemerhati lingkungan sejak dulu sampai sekarang nyaris tidak ada politisi hijau di Indonesia. Padahal spirit ekologi di dalam konstitusi kita, yakni pasal sosioekologi (pasal 33 UUD 1945) jelas-jelas mengakomodasi potensi lingkungan yang dikedepankan oleh the founding fathers. Meskipun pada masa itu mereka tidak sempat “berteriak” perihal lestarikan fungsi lingkungan, merekalah politisi hijau yang sesungguhnya, yang peduli pada ruang hidupnya. Politisi dari beragam daerah itu mewakili tradisi konservasi ekologi daerahnya. Hal ini masih melekat hingga kini di kalangan masyarakat meski telah terkontaminasi oleh kepentingan politik dan ekonomi pemerintah (pusat, daerah). Tetapi eksistensinya tetap terjaga semacam kearifan masyarakat tradisional. Artinya, politisi dan birokrat kita hendaklah belajar kearifan ekologi pada kaum yang “tak terdidik” yang tinggal jauh di pelosok.

Tradisi ujung ladang masyarakat Melayu di Sumetera Utara misalnya, selalu berwawasan lingkungan kalau akan membuka hutan. Meski menebang pohon dan membabatnya, selalu ada vegetasi pelindung yang tersisa. Pola seperti ini membantu menahan tanah agar tidak erosi atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig orang Bali yang melarang menebang pohon (bunut atau beringin). Kemudian, tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Semuanya adalah kearifan tradisional masyarakat yang awam dengan konsep atau teknologi terbaru yang diagung-agungkan orang kota yang justru sering merusak lingkungan.

Tidakkah politisi dan birokrat Indonesia belajar dari kearifan tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat atas lingkungan memang kalah oleh para “tradisionalis” itu? Adakah politisi-birokrat yang tak sekedar peduli lingkungan dalam retorika politiknya belaka? Adakah partai politik yang tak sekadar proforma membuat biro atau divisi lingkungan? Adakah anggota dewan yang berpolemik dengan birokrat, pemerintah menyangkut masalah pelestarian fungsi lingkungan? Yang terjadi malah sejumlah politisi, baik di pusat maupun di daerah, terlibat dan melindungi pembalak liar kayu hutan kita dan berada di balik alih fungsi hutan dan lahan di daerah-daerah di Indonesia.

Banyak lagi contoh seperti tersebut diberitakan di koran-koran lokal dan nasional. Tak hanya di bidang “kebijakan” yang tidak bijak dan manipulatif, banyak juga program yang usianya hanya seumur jagung. Berikut ini ada beberapa yang pernah menjadi isu nasional. Dulu ada program Segar Jakartaku dan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Juga Langit Biru. Ada satu lagi, Prokasih: Program Kali Bersih. Dalam lingkup Jawa Barat ada Masyarakat Cinta Citarum. Tetapi ini “swasta”, bukan dikonstruksi oleh birokrat/pemerintah. Dari sekian banyak itu, tiada satu pun yang signifikan berhasil. Jakarta kian gerah, kendaraan bermotor makin banyak, langit terus kelabu, dan air Citarum menghitam. Banjir sudah tak terhitung lagi. Program lokal juga ada seperti Gerakan Cikapundung Bersih di Kota Bandung yang akhirnya sekadar seremonial belaka, kehabisan “daya tenaga” di tengah jalan.

Kalau begitu adanya, adakah politisi-birokrat yang berorientasi ekologi saat ini? Patut diakui, kementerian yang mengurusi masalah lingkungan mulai 1978 sampai sekarang masih ada. Di antara produk undang-undangnya adalah UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang didukung oleh sejumlah Peraturan Pemerintah dan Keputusan menteri untuk tindak lanjutnya. Karena perlu perbaikan, telah pula dikeluarkan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian disahkan juga UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Lantas, kapankah undang-undang tentang Pendidikan Lingkungan dirancang? Undang-undang ini diperlukan untuk membangkitkan spirit pedidik (mahasiswa, murid, santri) sekaligus memberikan landasan yang kuat dalam hukum positif kita.

Apakah spirit Pendidikan Lingkungan? Menurut IUC seperti ditulis di atas, Pendidikan Lingkungan berkaitan dengan penanaman nilai-nilai (values) hubungan antara manusia dan lingkungannya, mengembangkan kemampuan dan perilaku yang diperlukan untuk memahami hubungan antara manusia, budaya, dan lingkungan biofisikanya (termasuk kimia, tentu saja, yakni biofisikokimia, penulis). Pendidikan Lingkungan juga melatih manusia khususnya murid, santri, mahasiswa dalam upaya pengambilan keputusan yang bertanggung jawab atas isu lingkungan kemudian menerapkannya dalam diri peserta didik dan pendidik (selanjutnya istilah peserta didik diakronimkan menjadi pedidik). Semua itu dilakukan demi mempertahankan (melestarikan) kualitas dan fungsi lingkungan.

Lantas fakta berkata, Pendidikan Lingkungan belum optimal hasilnya. Ada berbagai sebab, mulai dari lingkup materi pelajaran, metode pembelajaran, kemampuan guru, dan perilaku santri, murid, mahasiswa sebagai pedidik. Sebagai contoh, mari dikaji mata pelajaran lingkungan di Kota Bandung, Jawa Barat. Pada saat naskah buku ini ditulis, sudah lebih setahun muatan lokal Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Tujuan pelajaran ini, seperti ditulis di dalam Peraturan Walikota No. 031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih, dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan murid (juga gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan, Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam mengelola lingkungan.

Bagaimana pelaksanaannya di sekolah? Dari hasil survei dan tanya jawab dengan guru dan murid-muridnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH belum tepat mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah atau tidak semua satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah mengajarkan PLH tetapi terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi, sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan maka tentu saja tidak mendapat perhatian mendalam dari siswa maupun gurunya. Apalagi ada kata “lokal” yang ditempelkan pada pelajaran itu. Kata tersebut menyebabkan murid dan gurunya menganggap PLH tidaklah penting atau dianaktirikan sehingga seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan ada sekolah yang menyatakan di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tak salah memang, sebab lingkungan ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi, kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep dasar sains dan teknologi lingkungan.

Atas dasar fakta tersebut, muatan lokal PLH ini hanya ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu, pemerintah pusat dan daerah diharapkan mereposisi mulok ini termasuk menyusun rancangan undang-undang Pendidikan Lingkungan agar menempati posisinya sesuai dengan harapan dan agar dapat memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada guru, dosen dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru, dosen, santri, murid dan mahasiswa dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat diadopsi dari Trilogi Pendidikan: sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).

Opsi Solusi
Mari kembali ke pertanyaan tentang kata “pendidikan” dan “pengetahuan”. Kata pendidikan bermakna memberikan pembelajaran, yaitu proses transfer ilmu dan teknologi, sekaligus memasukkan nilai-nilai moral dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Adapun pengetahuan atau knowledge terbatas pada “tahu” (know) yang nilainya di bawah kata didik. Sasaran pendidikan adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang mengandung makna tahu kemudian membentuk sikap mental (afektif) yang lantas diterapkan berupa keterampilan (psikomotorik) dalam hidup sehari-hari lewat kemampuan di bidang (jurusan, program studi) masing-masing. Wujudnya ialah pelibatan sarjana dari semua disiplin ilmu dan teknologi (sainstek) dalam upaya melestarikan fungsi lingkungan.

Telaahan sasaran pendidikan di atas berujung pada peningkatan peran pemerintah pusat-daerah dalam memfasilitasi guru, ustadz, dosen sehingga efektif mengantarkan murid, santri, dan mahasiswanya memperoleh pengalaman positif yang mendukung upaya pelestarian fungsi lingkungan. Guru, ustadz, dosen hendaklah diberikan pelatihan (training), seminar, atau bentuk lainnya tentang Pendidikan Lingkungan dengan memberikan fokus materi berupa masalah lingkungan seperti krisis air minum, air limbah, sampah, udara, kesehatan lingkungan, kebisingan, dll yang terangkum dalam akronim watsanen atau water, sanitation, environment tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan, yakni ekologi, “anak” mata pelajaran biologi.

Untuk implementasinya pemerintah pusat-daerah dapat menyelenggarakan Pelatihan Pendidikan Lingkungan (Latdikling) dalam upaya mewujudkan sekolah dan kampus yang bersahabat dengan lingkungan (enviroschool) di seluruh Indonesia. Titik berat Pendidikan Lingkungan haruslah pada aspek afektif dan psikomotorik sehingga murid, santri, dan mahasiswa tak hanya memiliki ilmu (kognitif) tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Mereka harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan dampaknya bagi kesehatan. Ketika melihat sampah yang ada dalam benaknya ialah sumber daya penghasil uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum. Pendeknya, Pendidikan Lingkungan harus mampu mendekatkan guru dan muridnya, dosen dan mahasiswanya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi. Namun harus diingat, materinya hendaklah dibatasi agar tidak meluas menjadi persoalan biologi sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari.

Kalau hasil Pendidikan Lingkungan di pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA belum juga optimal, maka murid yang kemudian berstatus sebagai mahasiswa di perguruan tinggi negeri/swasta hendaklah diberikan lagi mata kuliah Pendidikan Lingkungan. Hakikatnya, seperti sifat pendidikan yang dimulai dari buaian hingga dimasukkan ke liang lahat, Pendidikan Lingkungan pun demikian. Pendidikan Lingkungan ini berlangsung selamanya. Mahasiswa selayaknya didekatkan terus pada lingkungannya lewat jalur formal berupa pendidikan (perkuliahan) agar dekat dengan lingkungan. Dekat bukanlah fisiknya belaka melainkan juga spiritnya dengan cara mencintai lingkungan seperti mencintai dirinya. Itu sebabnya, mahasiswa khususnya jenjang strata satu (S1) wajib dikenalkan pada mata kuliah Pendidikan Lingkungan demi menggugah rasa memiliki atas lingkungannya.

Rasa cinta lingkungan ini dirangsang dengan stimulan tiga pilar yang telah disebut di atas, yaitu Trilogi Pendidikan. Di dalam trilogi inilah manusia tinggal (live) dan merawat kehidupannya. Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terdidik perlu memahami lingkungannya. Manusia (mahasiswa) pasti memerlukan ilmu lingkungan. Sebab, bicara lingkungan sebetulnya bicara tentang kehidupan manusia. Manusia hidup di dalam lingkungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Manusia perlu air, perlu udara, perlu ruang hidup yang semuanya adalah komponen lingkungan. Manusia juga mengeluarkan limbah, baik padat, cair, maupun gas dan limbah ini pun masuk lagi ke lingkungannya dan digunakan lagi oleh manusia. Artinya, langsung tak langsung, manusia mempengaruhi lingkungan dan juga pasti dipengaruhi oleh lingkungannya.

Kepedulian manusia pada lingkungan menjadi konsekuensi logis interaksi manusia dan lingkungan. Mau tak mau, suka tak suka manusia harus akrab dengan lingkungan. Sebelum mencapai taraf akrab itu manusia harus tahu dan paham dulu tugasnya terhadap lingkungan. Jangan sampai manusia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya terhadap lingkungan dan peran apa yang diembannya sebagai makhluk berakal yang mampu mempengaruhi kualitas lingkungan. Sebab, manusialah yang mampu merusak dan memperbaiki mutu lingkungan. Tetapi sayang, tak semua orang memahami lingkungan. Jangankan paham, tahu saja pun tidak. Makin besar lagi keburukannya ketika kaum terdidik atau kalangan sekolah tidak tahu dan tidak paham tentang tugasnya sebagai pelestari fungsi lingkungan. Bahkan apa itu lingkungan pun masih banyak yang belum tahu. Setiap bicara lingkungan selalu saja pikirannya mengarah kepada pohon, udara, dan air. Tidak salah, memang! Tetapi masalah lingkungan jauh lebih kompleks daripada sekadar pohon, air, dan udara.

Lantas, adakah alat yang dapat digunakan untuk meluaskan peran dan paham manusia (baca: murid, mahasiswa) terhadap pelestarian fungsi lingkungan? Secara kelembagaan, pemerintah memang memiliki lembaga dan/atau badan yang mengurusi bidang lingkungan. Tak perlu disebut di sini apa saja lembaga dan/atau badan itu. Tetapi faktanya lembaga dan/atau badan ini belum mampu berfungsi optimal untuk meluaskan pemahaman masyarakat (dan juga murid, mahasiswa) atas lingkungan. Malah cenderung lembaga/badan ini bertugas sendiri-sendiri, terlepas dari perannya sebagai agen pemberdaya masyarakat dalam hal lingkungan. Segala yang dibuat menjadi sekadar proforma demi orientasi politik sesaat.

Bagaimana hasil Pendidikan Lingkungan di perguruan tinggi? Tentu saja tidak bisa segera tampak, tak bisa instan. Pendidikan apapun, khususnya di bidang lingkungan bukanlah seperti main sulap atau semacam kun fayakun. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun, setelah murid dan mahasiswa, juga guru dan dosennya berupaya menerapkannya dalam keseharian. Pendidikan Lingkungan membutuhkan proses, perlu waktu panjang untuk pembentukan perilaku, yaitu perilaku manusia pencinta lingkungan, manusia yang peduli pada pembangunan yang berkawan lingkungan. Istilah formalnya, pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development).

Demikianlah bagian awal yang dijadikan pintu masuk (brainstorming) tentang kondisi lingkungan dan perilaku (akhlak) manusia terhadap lingkungan. Aspek sejarah ringkas tentang perkembangan kepedulian atau ketakpedulian manusia atas lingkungan lalu diikuti oleh opsi yang dapat diambil untuk menyelesaikan (bukan memecahkan) masalah lingkungan diharapkan dapat mengantarkan mahasiswa (dan siswa) ke dalam mata kuliah (pelajaran) Pendidikan Lingkungan.

Kompilasi
Sebagai bahan rujukan, buku ini diarahkan untuk mahasiswa, siswa, guru, dosen dan siapa saja yang ingin mempelajari seluk-beluk lingkungan yang tidak hanya dilihat dari “kacamata” sains (ilmu murni) tetapi juga teknologi (terapan). Di dalam bahasan bab tertentu diberikan teknologi tepat guna yang sederhana (appropriate technology) yang implementatif, dapat dicobaterapkan oleh mahasiswa yang Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kuliah Lapangan (Kulap) atau apapun namanya, baik di desa maupun di kota. Pada pokok bahasan bab (materi) tertentu, mahasiswa diharapkan berhasil meningkatkan ranah afektif dan psikomotoriknya terhadap lingkungan setelah tuntas kuliahnya, lulus mata kuliah Pendidikan Lingkungan, tidak hanya di ranah kognitif (sekadar memiliki ilmu atau pengetahuan lingkungan).

Oleh sebab itu, mata kuliah Pendidikan Lingkungan ini memiliki tujuan antara lain: (1) mahasiswa (peserta didik atau pedidik) dapat memahami bahwa manusia dan lingkungan bersifat saling mempengaruhi. Manusia bisa menjadi subjek sekaligus objek penderita ketika berhubungan dengan lingkungan. Namun kuncinya tetap di tangan manusia sebagai makhluk hidup yang berakal, berpikir dalam pengembangan sains dan teknologi; (2) mahasiswa diharapkan mampu menganalisis masalah lingkungan yang terjadi dalam lingkup lokal (ini minimalnya), nasional, dan global serta mampu memberikan opsi solusi, minimal di dalam tataran teoretis dengan memberikan pendapat, pandangan atas masalah lingkungan tersebut. Lebih bagus lagi adalah mampu memaparkan masalah lingkungan dan memberikan opsi solusinya secara tertulis, baik dipublikasikan di media massa maupun disebarkan lewat forum informal; (3) mahasiswa mampu memantau, mengelola, memanfaatkan, kemudian mengembangkan materi dalam sainstek lingkungan untuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan agar sitiran Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 41 (telah tampak kerusakan (lingkungan) di darat dan laut karena ulah manusia) dapat dikurangi.

Siapa sasaran Pendidikan Lingkungan? Sudah jelas, sasaran Pendidikan Lingkungan adalah manusia, semua orang. Hanya saja, buku ini dikhususkan untuk mahasiswa di semua program studi, jurusan di semua fakultas dengan latar belakang IPA maupun dan IPS karena tidak ada rumus (kimia) yang kompleks dalam buku ini, malah cenderung diberikan secara populer. Apalagi alamiahnya, Pendidikan Lingkungan bersifat universal sehingga berlaku untuk semua orang. Dalam pelaksanaannya tentu saja dapat diperluas agar tidak hanya mahasiswa yang memperoleh ilmu tentang lingkungan tetapi juga masyarakat umum. Oleh sebab itulah, Pendidikan Lingkungan hendaklah diberikan juga kepada murid sekolah (santri, TK, SD, SMP, SMA, SMK, madrasah), orang tua yang belum pernah sekolah/kuliah, pejabat pemerintahan (pusat, daerah), pengusaha terutama yang usahanya langsung bersentuhan dengan sumber daya alam seperti hutan, tambang, air, laut, perkebunan, tekstil, industri makanan dan minuman yang sarat pencemar. Tokoh masyarakat dan tetua adat juga perlu diberikan Pendidikan Lingkungan, bahkan mereka bisa berperan kunci dalam upaya memberikan pemahaman, pengertian tentang pentingnya peduli lingkungan. Tentu saja materi pembelajarannya harus disesuaikan dengan pedidiknya (audience).

Materi pembelajaran dalam buku ini dibuat secara populer agar dapat dipelajari oleh semua mahasiswa di semua program studi. Materi ini pun dapat dimodifikasi agar dapat disampaikan kepada murid di sekolah menengah atau yang lebih rendah, atau diberikan kepada masyarakat umum. Agar mencapai tujuan yang diharapkan, Pendidikan Lingkungan hendaklah dilaksanakan dengan pendekatan dan metode yang nyaman bagi pedidik dan mudah dilaksanakan oleh pendidik. Pendekatan pembelajaran mengarah pada pedidik secara individual, orang per orang dan secara komunal seperti organisasi massa maupun sekolah dan perguruan tinggi. Materinya berbeda-beda, disesuaikan dengan tempat, waktu, situasi, kondisi pedidik, fleksibel atau luwes dalam pelaksanaannya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, minimal ada tujuh metode yang dapat ditempuh dan dilaksanakan berkesinambungan, berulang-ulang karena sifat pikiran manusia yang sering lupa (diadaptasi, diubah, ditambah seperlunya dari Sumaatmadja, 1991).
  1. Kuliah, klasikal. Metode ini dikenakan kepada mahasiswa (juga murid), diadakan secara formal di kampus (sekolah). Pedidik berkewajiban (rela atau terpaksa) belajar dan diuji (evaluasi) pada akhir semester kemudian diberikan nilai lulus atau gagal.
  2. Keteladanan. Metode ini dapat diterapkan untuk semua orang di segala tempat. Kyai, ustadz memberikan keteladanan kepada santrinya. Orang tua memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Pejabat meneladankan persahabatan dengan lingkungan kepada bawahannya. Begitu juga pengusaha dapat memberikan contoh teladan kepada karyawannya.
  3. Ceramah. Metode ini diberikan oleh kyai, ustadz, dosen, guru, pejabat, tokoh dan tetua adat kepada orang banyak dalam suatu forum. Pengajian, acara keluarga (pernikahan, syukuran, sunatan) atau rembug desa dapat dijadikan wahana peduli lingkungan, minimal mengenalkan atau mengingatkan bahwa kita perlu peduli dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan.
  4. Diskusi. Hal ini dapat dilaksanakan pada setiap pertemuan resmi dan tak resmi, baik di sekolah, kampus, kantor, bahkan pada acara pernikahan, sunatan, dll. Diskusi informal di kalangan keluarga besar atau dengan teman sekantor, sekampus, sedaerah sambil bertukar informasi dapat menjadi “obat mujarab” dalam meluaskan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.
  5. Seminar. Acara seminar biasanya digelar oleh masyarakat kampus atau dinas pemerintah dan pesertanya adalah kalangan yang tingkat pendidikannya relatif tinggi, sama dengan atau di atas akademi. Acara ini biasanya melibatkan pakar atau nara sumber yang kompeten di bidang lingkungan.
  6. Percontohan. Manusia lebih senang melihat sesuatu yang nyata karena dapat segera menilainya, mengapresiasinya. Percontohan, prototipe merupakan bentuk fisik yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Misalnya, taman, permukiman yang bebas banjir, kantor yang ramah lingkungan karena sudah ber-IPAL, kampus yang nyaman.
  7. Spanduk, selebaran, brosur, dan iklan, termasuk yang ditayangkan di media televisi, dirilis di radio, atau dipasang di jalan-jalan. Ajakan ini sebaiknya menggunakan kalimat efektif agar cepat selesai dibaca dan dapat dimengerti. Kalimatnya pendek-pendek saja, boleh sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), boleh juga dengan bahasa gaul anak muda, bergantung pada sasaran yang dituju.
Demikianlah bahasan Pendidikan Lingkungan yang mengawali buku ini. Semoga Pendidikan Lingkungan, baik di pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA, SMK, dan lebih khusus di perguruan tinggi betul-betul berjalan di atas rel idealismenya dan menjadi the avant garde pola pendidikan yang bersahabat dengan lingkungan di Indonesia.*

Materi perkuliahan Pengetahuan Lingkungan, Pendidikan Lingkungan bisa dibaca di bawah ini. 


Materi Trilogi Pendidikan dll ada di link berikut ini: 

ReadMore »

18 Februari 2013

Dosen Indonesia Diombang-ambing Peraturan

Dosen Indonesia Diombang-ambing Peraturan
Oleh Gede H. Cahyana

Dosen di Indonesia diuji lagi. Pemerintah RI dalam hal ini adalah Kementerian PAN dan RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) berencana merilis peraturan baru tentang Jabatan Akademik Dosen. Aturan ini menandaskan, dosen harus bergelar doktor (S-3) kalau ingin naik jabatan menjadi Lektor Kepala. Langkah pun diambil dengan cara melarang pengajuan jabatan ke Lektor Kepala selama periode Januari hingga Maret 2013. Peraturan sebelumnya mensyaratkan jenjang pendidikan dosen minimal S-2 (magister) dengan sejumlah syarat lain seperti angka kum yang memenuhi jumlah dan distribusinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Blunder terhadap Pendidikan Tinggi
Ada sejumlah kejadian yang akan muncul apabila rancangan tersebut disahkan dan diberlakukan pada tahun 2013 ini. Dengan asumsi jumlah dosen di Indonesia 165.350 orang, yang bergelar doktor tak lebih dari 10 persen. Artinya, 90 persen lainnya masih bergelar S-1 dan S-2. Yang bergelar S-2 ini, kira-kira 20% ada yang sudah berumur di atas 45 tahun, bahkan 50 tahun. Namun tenaga dan perannya sebagai dosen dibutuhkan oleh perguruan tinggi, khususnya di PTS, lebih khusus lagi adalah PTS yang relatif kecil di daerah-daerah. Kalau dosen ini lantas dilarang mengajukan kenaikan jabatan menjadi Lektor Kepala maka prodi tempatnya mengabdi akan tutup suatu hari nanti karena tidak mampu lagi memenuhi syarat akreditasi. Ujungnya, boleh jadi PT-nya juga gulung tikar. Yang tersisa adalah PTN di seluruh Indonesia dan segelintir PTS di Jawa. 

Dampak selanjutnya, kesempatan rakyat Indonesia yang dijamin UUD 1945 untuk menjadi cerdas dan terdidik apik, minimal S-1, berkurang bahkan pupus, baik yang di kota-kota terutama yang kelas ekonomi menengah ke bawah, apalagi yang di daerah-daerah. Jumlah sarjana berkurang karena ada yang meninggal dan pada saat yang sama, produksinya pun berkurang karena prodi-prodinya tutup lantaran tidak terakreditasi. Dampak ini akan mulai terasa lima tahun dari sekarang, yaitu tahun 2018. Akankah pemerintah berani mengambil tanggung jawab besar ini atas petaka yang bakal terjadi lima tahun mendatang? Memang, tak mudah bagi dosen yang menjabat di kementerian dan di Ditjen Dikti untuk "memahami" dan "menyelami suasana hati" kondisi PTS karena mereka selama-lamanya mengajar di PTN. Dengan tidur lelap pun calon mahasiswa akan berduyun-duyun datang. Begitu juga projek penelitian dan projek dari perusahaan swasta dan pemerintah daerah (APBD) terus menghampiri. 

Oleh karena itu, di tengah gembar-gembor kesetaraan hak dan kewajiban PTN dan PTS, dapat dipastikan, perguruan tinggi yang “mungkin” bisa mempertahankan eksistensinya adalah PTN. Dengan kekuatan dana yang mapan dan sejak dulu (zaman Orde Baru) banyak dosen yang bergelar S-3 karena banyak menerima beasiswa yang digelontorkan ke PTN, niscaya PTN bisa survive. Namun faktanya, daya tampung seluruh PTN jauh di bawah daya tampung seluruh PTS. PTS-lah yang banyak menghasilkan sarjana untuk menambah kekuatan pembangunan bangsa di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah. Tak bisa dimungkiri, sarjana lulusan PT di daerah ini banyak yang berkiprah di daerahnya, mengelola dana APBN, APBD secara langsung maupun tak langsung untuk pembangunan di daerahnya. Ada yang bekerja sebagai PNS, banyak juga yang bekerja di swasta (bank, mall, pabrik, konsultan, kontraktor), dan wirausaha. 

Sudah dipahami oleh banyak kalangan, dosen adalah profesi khas, karena ia mendidik anak bangsa menjadi sarjana, magister dan doktor. Mayoritas anak bangsa ini masih bergelar S-1 dan sejak satu dekade terakhir ini mulai banyak yang bergelar S-2, baik berprofesi sebagai dosen maupun non-dosen. Tetapi sayang, di prodi-prodi tertentu di suatu PTS misalnya, jumlah dosen yang bergelar S-2 nyaris nol. Rekrutmen dosen bergelar S-2 untuk prodi tertentu tidaklah mudah. Beragam cara termasuk iklan di koran sudah ditempuh tetapi yang berminat menjadi dosen nyaris tidak ada, apalagi kalau diembel-embeli dengan “bergelar magister” atau “berpendidikan S-2 di bidang yang sesuai dengan prodinya”. Kalau yang direkrut bergelar S-1, mereka pun kesulitan memperoleh dana untuk kuliah di S-2 dan pada saat yang sama tidak bisa mengajukan diri untuk memperoleh jabatan akademik. 

Lantas, kalau dosennya terkendala, maka pengembangan prodi pun tertatih-tatih. Potensi mahasiswa dan lulusan prodi berkurang, bahkan berakhir pada status tidak diakreditasi. Makin banyak prodi di PTS yang mengalami kondisi ini, makin banyak juga rakyat Indonesia yang tidak berpeluang menjadi sarjana. Lantas, rasio sarjana terhadap jumlah penduduk Indonesia menjadi jauh di bawah negara-negara "rendah" lainnya. Ironisnya, meskipun ada "pelarangan", pemerintah seperti tutup-mata atas pelaksanaan kelas jauh yang justru banyak dilakoni dan dibidani oleh dosen di PTN. Dengan kata lain, pemerintah membuka jalan "pembunuhan" senyap untuk PTS dan seolah-olah menjadi gagah sebagai the silent killer PTS. 

Opsi Solusi, Jalan Tengah
Dalam kesempatan diskusi dengan rekan-rekan dosen di kampus lain, muncul sejumlah opsi solusi dengan tetap mengapresiasi maksud pemerintah lewat rancangan peraturan menteri tersebut. Peraturan tentu selayaknya disosialisasikan dulu sebelum diberlakukan efektif. Ada masa tenggang seperti banyak peraturan lainnya, bahkan ada yang baru berlaku setelah satu dekade seperti peraturan kewajiban berhelm bagi pengendara sepeda motor. Tentu peraturan yang dimaksud ini tidak perlu selama itu. Tempo tiga s.d empat tahun sejak tahun 2013 adalah rentang waktu yang cukup bagi dosen untuk bersiap-siap menerima dan melaksanakan peraturan tersebut. Khususnya adalah dosen yang sudah lebih dari lima, bahkan sepuluh tahun belum bisa naik menjadi Lektor Kepala akibat berbagai hal seperti perubahan format ajuan jabatan akademik dari tahun ke tahun dan lama waktu tunggu ketika berkas harus diperbaiki lagi, ditambah lagi dengan syarat lain yang akhirnya membuat frustrasi dosen. Belum lagi masalah rotasi dan mutasi aparatur di Kopertis dan "kesigapan" layanan aparatur bagian jabatan akademik di Kopertis.

Ditjen Dikti tentu punya data eksak tentang kondisi itu dan bisa memperkirakan dampak buruknya yang bakal terjadi. "Ledakan" kemandegan jabatan di Lektor akan menjadi bumerang bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Dosen tidak bisa berperan lebih luas dan lebih banyak untuk mengembangkan ilmu dan teknologinya kepada mahasiswa sehingga ilmu dan teknologi yang dimiliki mahasiswa pun makin dangkal. Sebab, dosen-dosen ini tidak bisa bersaing untuk memenangi dana penelitian, syahdan dalam lingkup di daerahnya. Ketimpangan kualitas dan strata jabatan akademik menjadi makin renggang antara PTN dan PTS, antara kota besar dan kota kecil, antara daerah Indonesia bagian barat dan timur. Kecuali, kalau tujuan pemerintah adalah pengingkaran atas amanat konstitusi negara kita dan mereduksi jumlah PTS sekaligus mengurangi jumlah lulusan perguruan tinggi agar negara ini langsung "blas di kelas underdog". 

Tentu ada lagi potensi buruk lainnya yang dapat terjadi pada masa yang akan datang kalau rancangan peraturan menteri tersebut disahkan pada tahun ini atau tiga-empat tahun mendatang. Keputusan yang tidak melihat keseluruhan kondisi pendidikan tinggi dan kondisi dosen dari Sabang sampai Merauke akan menjadi blunder pendidikan tinggi kita. Sejarah pun akhirnya mencatat, blunder itu terjadi karena arogansi pelaksana dan pengemban amanat di pemerintahan, baik di Kementerian PAN dan RB maupun di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Kutukan” dan sumpah serapah dari dosen akan deras meluncur untuk pembuat keputusan ini.

Demikianlah, mudah-mudahan dapat dijadikan masukan bagi pembuat peraturan tentang nasib dan masa depan pendidikan tinggi kita yang muaranya adalah nasib dan masa depan bangsa Indonesia. *
ReadMore »

8 Februari 2013

Redefinisi Hari Valentine

Redefinisi Hari Valentine
Oleh Gede H. Cahyana

Valentinology ialah cabang baru ilmu humaniora yang berakar pada dua kata valentinus dan logos. Logos, sudah jamak diketahui, berarti ilmu dan valentinus merujuk pada rahib kelahiran Roma bernama Valentin. Ada juga yang meyakininya berasal dari nama seorang pendeta yang sebelum menjadi martir menitipkan secarik surat untuk perempuannya dan bertuliskan From Your Valentine pada masa kaisar Claudius II. Ini terjadi tahun 269/270 M. Versi lainnya, kalangan Prancis Normandia percaya bahwa kata itu terkait dengan galentine, dari kata galant (cinta).

Beragamnya asal-usul Hari Valentin (HV) membuktikan bahwa itu legenda belaka. Garis historisnya tak bisa dirunut sampai ke perawi primernya. Terlepas dari kekacauan asal-usulnya itu, valentinologi tetap bisa dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari seluk-beluk, ekspresi, dan karakter budaya kasih sayang antarmanusia. Maknanya tak hanya internal suatu agama, tapi juga lintas agama dan budaya lantaran kasih sayang bersifat universal. Tentu saja kasih sayang ini di luar konteks birahi, meskipun boleh-boleh saja kalau itu terjadi antara suami istri. Namun faktanya, makna kasih sayang itu dipersempit oleh kalangan remaja sehingga seolah-olah merekalah pemiliknya dan merayakannya secara negatif.

Bagaimana dengan orang tua, adakah yang merayakannya? Ada! Biasanya sang suami memberikan hadiah berupa ikon-ikon HV seperti boneka, cincin, gelang, kalung, bross, jepit rambut berbahan emas atau bertahtakan berlian. Bungkus kadonya merah, pink atau coklat. Sebaliknya sang istri menyampaikan peluk ciumnya. Masalahnya muncul jika hal serupa dilakoni oleh kalangan pranikah. Justru kelompok inilah yang terbanyak dan ekspresif merayakannya.

Redefinisi Valentine
Faktanya, perayaan HV kian luas. Tak hanya di kota besar di Jawa, tapi juga merambah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara. Sebabnya hanya satu, lahan bisnis produk HV seperti boneka, bantal, cincin, gelang, kalung, kartu, coklat dengan warna merah atau pink kian besar. Meskipun harganya berlipat-lipat, tetap saja produk valentis diburu. Bisnis adalah alasan utama kenapa HV takkan bisa lenyap dari bumi, malah kian direspon. Pebisnis akan menempuh segala upaya demi kelarisan produknya, baik lewat propaganda di koran, radio, televisi, ponsel, maupun internet.

Tak heran kelompok tersebut ikut masuk ke dalam arus-induk (main stream) yang menyebarkan jargon “kasih sayang” dalam makna syahwat. Segala upaya dikerahkan, termasuk lewat publikasi dan gembar-gembor di televisi. Jika demikian, akankah pihak yang kontra-HV berpangku tangan dan cuma teriak bahwa HV itu bid’ah, tak ada contohnya dalam agama (Islam), dan tak sesuai dengan budaya Indonesia? Apabila hanya ini yang dilakukan, dampak HV pasti meluas dan mendapat simpati dari muda-mudi yang belum matang spiritualnya. Sebaliknya, pihak pengecam HV malah dimusuhi, disebut kolot, tak tahu perkembangan zaman. Maukah da’i/da’iah, ustadz/dzah, dan penceramah dikata-katai seperti itu?

Jika tidak setuju, semestinya dicarikan kompromi agar HV justru menjadi perayaan positif, minimal sebagai tandingan HV konvensional selama ini. Kalangan kontra-HV mesti berupaya menunggangi HV konvensional dengan HV modern, misalnya dengan cara “setuju” pada perayaan HV yang dimodifikasi, diredefinisi. Nama Valentin tetap digunakan tetapi sekadar masker agar tidak ditolak mentah-mentah oleh kawula muda pegiat HV konvensional. Sebab, perubahan drastis di kalangan remaja biasanya tak disukai, malah dijauhi sehingga tujuan mulia ini takkan tercapai.

Bagaimana solusinya? Tak jauh beda dengan HV konvensional. Bedanya, HV “jenis baru” ini menjurus pada perilaku mulia, misalnya dengan cara menolong kaum miskin dan jompo. Semua ikon dan produk HV konvensional dimodifikasi menjadi ikon dan produk HV “baru”. Boleh saja tetap berboneka ria tetapi wujudnya boneka yang mengingatkan kawula muda akan akhlak mulia. Gambar dan kartu juga diisi kalimat yang mendekatkan diri kepada Allah, misalnya sitiran hadis atau Qur’an atau kata-kata mutiara. Makanan coklat masih bisa digunakan, tinggal diperkaya dengan makanan jenis lain seperti beras, roti, mi instan, dll yang diberikan kepada fakir-miskin dan jompo. Obat-obatan juga bisa diberikan.

Begitu pun kaset dan CD pendidikan, motivasi dan kisah perjuangan orang sukses di bisnis dan pemimpin negara. Lagu-lagunya juga lagu yang memotivasi untuk mandiri. Ujud kasih sayang itu pun bisa dimunculkan lewat buku, buku apa saja yang penting bukan buku porno. Buku teks anatomi kedokteran boleh-boleh saja karena itu bukanlah buku porno. Boleh juga buku agama dan buku-buku bisnis. Pemberian buku ini akan meluaskan ilmu masyarakat dan dampaknya positif. Pekan lalu saya menghadiri undangan pernikahan dan diberi cindera mata berupa buku novel yang ditulis oleh mempelai pria.

Mari modifikasi, redefinisi HV agar menjadi kasih sayang positif, bukan sekadar cinta nafsu. Apalagi kasih sayang rahman dan rahim adalah satu di antara basis ajaran Islam. Mudah-mudahan HV baru ini mampu mereduksi pola gaul seks bebas dan mereduksi atau bahkan meniadakan HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus AIDS.*
ReadMore »