• L3
  • Email :
  • Search :

26 Februari 2013

Trilogi Pendidikan, Menguatkan Peran Sainstek

Trilogi Pendidikan dan Pendidikan Lingkungan
Oleh Gede H. Cahyana

Apabila diuraikan, frase Trilogi Pendidikan berasal dari kata trilogi dan kata didik yang diberi imbuhan pe-an. Kalau dianalisis, dapat diartikan sebagai tiga pilar penyangga yang dimaknai sebagai pilar yang menyangga pendidikan. Dalam wujud visualnya, Trilogi Pendidikan dapat digambarkan dengan segitiga sama sisi yang titik sudutnya merupakan representasi pilar sains, teknologi, dan lingkungan. Sains dan teknologi menduduki sudut alas dan lingkungan sebagai puncaknya. Sains diindonesiakan dari kata bahasa Inggris Science yang artinya, meskipun kurang tepat, ilmu; teknologi (technology) yang berkaitan dengan engineering dan disetarakan dengan rekayasa. Adapun lingkungan mengacu pada semua zat yang ada di sekitar manusia, baik berupa tanah (litosfer), air (hidrosfer), dan udara (atmosfer), serta komponen biotiknya.

Pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pendidikan informal (keluarga), pendidikan nonformal (masyarakat) dan formal (sekolah). Ketiga jenis pendidikan di atas bertujuan menanamkan nilai-nilai, etika, moral dan kesadaran terhadap lingkungan yang semuanya saling dukung dalam pelestarian fungsi lingkungan. Pendidikan lingkungan tidak akan berhasil kalau hanya diberikan di sekolah saja sehingga murid dan mahasiswa hanya memperoleh ilmu tanpa diterapkan di rumah dan sekitarnya. Misalnya, di sekolah dan perguruan tinggi diajari membuang (menaruh, meletakkan) sampah di bak sampah tetapi di rumah atau tempat kos murid dan mahasiswa tidak tersedia bak sampah atau lingkungan sekitarnya tidak peduli pada penyediaan bak sampah kolektif. Selain murid dan mahasiswa, pejabat pusat dan daerah, seperti anggota MPR, DPR/DPRD dan lembaga tinggi lainnya, gubernur, bupati, walikota dan keluarganya, polisi, tentara, PNS, pengusaha, guru, dosen, dan semua profesi yang ada hendaklah peduli pada pendidikan lingkungan.

Tiga pilar tersebut saling mempengaruhi, ada umpannya (feed) dan ada pula umpan baliknya (feedback). Sains mendasari pengembangan teknologi kemudian teknologi menjadi perangkat yang dapat mendukung percobaan sains. Perkembangan sains dan teknologi lantas berdampak pada lingkungan, baik langsung maupun tak langsung. Trilogi pendidikan menyelaraskan antara sains (ilmu) dan teknologi dengan lingkungan. Ini tinjauan das sein. Tetapi das sollen-nya belum tentu sesuai antara idealisme dan realisme lantaran sudah dipengaruhi oleh olah pikir dan kesukaan (preferensi) manusia. Ini pun berhulu pada pelibatan nafsu, baik dalam arti positif maupun negatif.

Begitu pula dengan implementasi teknologi, pelibatan sains yang berwawasan lingkungan perlu diutamakan agar tidak tersesat sebab sesal kemudian tak berguna. Memandang sebuah teknologi haruslah diarifi dengan cara melihatnya sebagai bagian dari lingkungan. Dengan kata lain, lingkungan menjadi titik tolak dalam memilah dan memilih teknologi. Artinya pula, teknologi di suatu daerah belum tentu cocok dengan kondisi daerah lain karena lingkungannya memang berbeda. Sederhana saja analoginya. Baju di daerah kutub tidak selalu tepat dikenakan di daerah tropis. Sebaliknya juga, baju tipis di tropis takkan cocok dikenakan di kutub. Keduanya akan menimbulkan masalah bagi manusia. Minimal orang bisa sakit atau malah meninggal. Pakaian adalah produk budaya, sama persis dengan teknologi. Bedanya, teknologi memiliki latar riset dan trial-error berkali-kali dan bahkan ratusan tahun dan dapat dicoba oleh orang lain karena berlaku universal.

Sains atau Ilmu
Mengapa digunakan kata sains, bukannya ilmu untuk salah satu pilar Trilogi Pendidikan? Di dalam artikelnya pada Pandangan Keilmuan UIN, Wahyu Memandu Ilmu (UIN, 2008), Ahmad Tafsir menulis bahwa orang yang belajar bahasa Arab agak bingung ketika menghadapi kata ilmu. Dalam bahasa Arab, kata al-‘ilm berarti pengetahuan (knowledge) sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ilmu merupakan terjemahan dari kata science. Ilmu dalam arti kata science hanya sebagian dari al-‘ilm dalam bahasa Arab. Di buku yang sama, Wardi Bachtiar menulis bahwa ilmu secara bahasa berarti kejelasan, sehingga ilmu diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Untuk selanjutnya buku ini menggunakan kata sains dalam makna pengetahuan sainstifik (scientific knowledge).

Ilmu (sains) menyebabkan manusia unggul dibandingkan dengan makhluk lainnya dan mampu mengembangkan ilmu sampai seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Orang yang berilmu kedudukannya tinggi di sisi Allah. Bahkan ayat pertama surat al ‘Alaq berkaitan dengan ilmu lewat iqra, bacalah! Agar lebih jelas memosisikan sains dalam khasanah ilmu secara universal, di bawah ini dikutipkan sebagian tulisan Nanat Fatah Natsir di dalam Wahyu Memandu Ilmu (UIN, 2008) tentang metafora roda dalam upaya integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum di UIN Sunan Gunung Djati.

Sains dapat dianalogikan dengan akar pohon. Sudah disepakati bahwa sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan kehidupan manusia dan bermanfaat juga bagi kelestarian fungsi lingkungan. Oleh sebab itu, sains harus dikembangkan. Sains berisi teori dan teori adalah pendapat yang beralasan (Ahmad Tafsir, 2008), logis dan dinyatakan secara sistematis (Cik Hasan Bisri, 2008). Karena isi ilmu adalah teori maka mengembangkan ilmu (sains) adalah mengembangkan teorinya. Menurut Ahmad Tafsir (UIN, 2008), ada empat kemungkinan dalam pengembangan teori. Kesatu, menyusun teori baru. Selama ini belum ada teorinya, tetapi seseorang berhasil menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Teorinya sudah ada tetapi tidak mampu lagi menyelesaikan masalah sehingga diganti dengan teori baru. Ketiga, merevisi teori lama. Peneliti tidak membatalkan atau mengganti teori lama dengan teori baru, tetapi hanya merevisi atau menyempurnakannya. Keempat, membatalkan teori lama tetapi tidak memberikan atau memunculkan teori baru. Seseorang yang masuk ke dalam kelompok keempat ini, yakni orang yang menolak teori yang ada tanpa mengajukan teorinya, dapatkah disebut pengembang ilmu (sains)?

Lantas bagaimana caranya sains menyelesaikan masalah? Menurut Ahmad Tafsir (2008), masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan menggunakan ilmu (teori ilmu). Pada zaman dulu atau zaman sekarang di daerah perdesaan, apalagi di pelosok, orang mengambil air di kaki bukit, yaitu mata air. Cara ini tentu menyulitkan dan memakan banyak waktu. Manusia lantas membuat sumur dan airnya diambil dengan cara ditimba. Karena masih capek juga, manusia lantas berpikir dan akhirnya memasang pompa tangan. Tetapi memompa dengan tangan juga menguras tenaga dan waktu sehingga akhirnya ditemukan pompa listrik. Air pun dengan mudah diperoleh. Kemudahan ini, pada satu sisi bermanfaat tetapi di lain sisi, seperti dibahas di bagian selanjutnya pada bab ini, dapat memunculkan dampak negatif. Dampak negatif sebuah teknologi.

Tampaklah betapa ilmu (sains) dapat memudahkan kehidupan manusia. Alinea di atas menyatakan bahwa sains berperan dalam memudahkan kehidupan karena dapat menghasilkan alat-alat yang disebut teknologi. Ilmuwan, yakni orang yang mendalami ilmu (sains) berperan besar dalam mewujudkan teknologi.

Teknologi
Konsep Trilogi Pendidikan ini dapat dianalogikan dengan pohon dan komponennya. Sains adalah pilar dasar dalam pendidikan. Dalam analogi yang merujuk pada Surat al Fath ayat 29, sains adalah akar pohon. Pohon adalah teknologi. Makin dalam akarnya, yakni berupa akar tunggang dalam tumbuhan dikotil, makin kuat juga landasan ilmu yang dimilikinya. Artinya, teknologi dikembangkan atas dasar perkembangan sains. Teknologi pengolahan air minum, air limbah, kepul gas cerobong asap pabrik, semuanya berasal dari sains atau ilmu mekanika fluida. Berbagai rumus dan formulasi dalam hidrolika atau mekanika fluida mendasari sejumlah pengolahan air minum dan air limbah dan pengolahan gas buang dari pabrik.

Ciptaan atau makhluk Allah yang tinggi derajatnya adalah manusia. Allah melengkapi manusia dengan akal sehingga dapat menghasilkan teknologi. Teknologi menjadi bagian yang melekat (inheren) di dalam perkembangan manusia dan peradabannya. Bahkan “manusia” purba (ditulis di dalam tanpa kutip, kalau betul makhluk ini dapat dikatakan sebagai manusia) sudah berteknologi dengan batu yang dijadikan alat berburu, memotong, dan berperang. Pada tingkat yang lebih tinggi, manusia sudah mampu mengolah logam menjadi produk yang makin memudahkan mereka bekerja dan mempertahankan diri dari serangan binatang buas dan dari serbuan musuhnya. Teknologi yang melekat dalam akal dan olah budi manusia akhirnya tak dapat dipisahkan dari hidupnya, tak bisa dihindari. Bahkan teknologi yang merupakan kemampuan terbesar manusia terus berkembang sampai ke dalam ukuran nanoteknologi, misalnya bioteknologi yang memanipulasi enzim (protein) di dalam bakteri untuk mengolah air limbah dan air minum.

Teknologi juga dipahami sebagai pisau bermata dua. Teknologi dapat menghasilkan produk yang dianalogikan dengan buah dalam sebuah pohon. Produk ini melibatkan industri (pabrik) yang juga memiliki dampak positif dan negatif. Seperti halnya buah, ada yang manis dan ada juga yang pahit, bahkan beracun. Artinya, yang satu bernilai positif, satu matanya lagi berdampak negatif. Yang positif sudah jelas dan manusia memperoleh kemudahan dalam kehidupannya. Misalnya, teknologi komputer, telefon seluler, satelit, pengolahan air, insinerator sampah (termasuk Pembangkit Listrik Tanaga Sampah, PLTSa). Namun di balik nilai positif yang dihasilkannya itu, muncul juga dampak buruk terhadap manusia, hewan dan tumbuhan, juga lingkungan abiotik (benda-benda). Jadi masalahnya, bagaimana caranya agar produk atau buah teknologi terus mendukung hidup dan kelangsungan hidup manusia dengan memaksimalkan dampak positifnya dan menghilangkan (kalau bisa) atau meminimalkan dampak negatifnya.

Roseto, Dampak Negatif Teknologi
Teknologi semacam nyawa kedua bagi manusia modern, manusia yang sudah banyak bersentuhan dengan produk teknologi seperti radio, televisi, telefon seluler, komputer, internet, dll. Berikut ini diberikan sebuah fakta yang merupakan dampak buruk dari perkembangan teknologi. Contoh ini diambil dari luar negeri, tidak di Indonesia, karena penelitian ini merupakan salah satu riset yang klasik di bidang psikoteknologi. Riset dilaksanakan oleh  Stewart Wolf dan John G. Bruhn di kota Roseto, Amerika Serikat.

Bruhn menyatakan dalam laporannya pada 1971: “… family and community support is disappearing. Most of the men who have hearth attacks here were living under stress and really had nowhere to relieve that prsseure …. These people have given up something and it’s killing them.”  Sebelum itu, yaitu tahun 1961, Bruhn justru memperoleh hasil yang luar biasa dan menyatakan bahwa masyarakat Roseto terbaik kehidupan sosialnya sehingga disebut sebagai kota ajaib (miracle city).

Mari analisis rumah kita atau rumah teman, tetangga kita. Semua yang disebut berikut ini adalah buah dari perkembangan teknologi. Buah yang berasa manis itu akhirnya dipungkasi oleh dampak buruk. Siapa yang tak tahu televisi? Pada abad ke-21 ini, nyaris tak seorang pun yang tidak tahu kotak “ajaib” ini. Memang kalau dicari-cari ada juga suku seperti disebut di bagian awal buku ini, yakni Suku Badui Dalam di Lebak, Jawa Barat yang masih menolak kehadiran televisi dan produk teknologi yang sejenis. Namun mayoritas manusia di Bumi sudah mengenal televisi, minimal pernah melihatnya kalau tidak memilikinya. Akibat siaran televisi yang berlangsung 24 jam sehari itu, semua orang sekan-akan tersihir dan tidak bisa lepas dari kursinya. Semuanya duduk dan diam di depan acara-acara yang meninabobokan. Begitu juga air ledeng (PDAM) di rumah kita. Hanya dengan membuka kran saja, air minum mengalir. Malah di beberapa kota, PDAM sudah menyediakan air langsung diminum tanpa dididihkan dulu, yakni di Zone Air Minum Prima (ZAMP). Akibat kehadiran teknologi pengolahan air komunal ini maka masyarakat sudah jarang bertemu dengan tetangganya di pancuran atau tempat mandi umum. Semua itu terjadi karena buah teknologi seperti listrik, televisi, kran, instalasi pengolahan air minum, dan lain-lain.

Dampak yang lainnya adalah teknologi transportasi. Sekarang orang makin mudah bepergian ke mana saja. Jarak yang jauhnya ribuan kilometer dapat ditempuh beberapa jam saja. Orang makin senang pergi jauh, baik untuk urusan bisnis, sekolah, kuliah, maupun urusan keluarga. Suami dan istri, juga dengan anak-anaknya dapat berpisah ribuan kilometer sehingga jarang bertemu, bersenda gurau atau melaksanakan kegiatan sosial keagamaan bersama-sama. Ketika ada anggota keluarganya yang meninggal, sering anggota keluarga lainnya tidak dapat pulang dan hanya mampu mengucapkan ikut berduka cita lewat telefon, surat atau sutel (surat elektronik, e-mail).

Mobil dan motor yang makin banyak karena murah harganya dan dapat dibeli dengan dicicil tanpa uang muka, ini terjadi sejak tahun 2005, makin meruwetkan suasana jalan di kota dan desa dan suasana hiruk-pikuk pun terus meningkat. Lontaran kata-kata marah antarsupir sering terdengar hanya karena kendaraannya agak lambat, baik karena di depannya ada mobil yang mogok, orang yang menyeberang atau karena macet. Orang dengan mudah menekan klakson sambil menyumpahserapahi sesama pengendara. Kadang-kadang ada kasus lucu karena yang disumpah-sumpahi ternyata saudaranya, adik-kakaknya, bahkan orang tua, gurunya, dosennya atau orang yang dikenalnya.

Itulah sekelumit dampak buruk teknologi, dari sudut pandang manusia. Dampak buruk teknologi terhadap lingkungan juga tak kalah besar. Sebagai contoh, perkembangan teknologi pengolahan kayu akhirnya menghabiskan jutaan hektar hutan per tahun. Teknologi pengolahan pulp dan kertas berujung pada pencemaran sungai, danau dan laut. Peningkatan taraf hidup yang dinyatakan dalam peningkatan penghasilan (gaji) akhirnya memperbanyak sampah yang ditimbulkan setiap orang dan banyak yang sulit dibusukkan seperti plastik, kain, logam, dan sejenisnya.

Banyak sekali dampak buruk dari teknologi. Semuanya berujung pada degradasi kualitas hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Satu jenis degradasi pada manusia ialah munculnya stres yang dapat berujung pada kelainan jiwa (psikologis), bahkan sakit jiwa atau gila. Penyebab stres ini dapat terjadi lantaran hubungan kekeluargaan yang merenggang karena berjauhan atau dekat tetapi tidak saling bertegur sapa. Pencemaran air, tanah, udara sehingga ruang hidup sehat menyempit dan merusak kelestarian fungsi lingkungan. Sikap individualis yang bertambah pada setiap manusia mengakibatkan orang merasa hidup sendirian sehingga ia hakikatnya sakit. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), sehat adalah state of complete physical, mental, and social well-being, not merely the absence of disease or infirmity. Jadi, sehat adalah keadaan sejahtera sempurna jasmani, rohani, dan sosial, tak hanya tanpa adanya penyakit atau kelemahan saja.

Lingkungan
Tak dapat dibantah, abad ke-21 ini adalah abad yang genting bagi Bumi sebagai tempat hidup manusia. Pencemaran di muka Bumi, di darat dan di air (sungai, waduk, danau, laut) terus meluas secara kuantitas dan kualitas, di desa dan di kota. Citra satelit menggambarkan dengan jelas wajah bopeng Bumi. Jutaan hektar hutan telah musnah. Akibatnya kematian massal mengintai karena terjadi krisis pangan atau lebih tepatnya malnutrisi, terutama kalangan yang lemah ekonominya.

Di bawah ini dituliskan beberapa isu masalah lingkungan. Inventarisasi sebagian isu lingkungan kontemporer ini terjadi dalam skala lokal, regional, nasional, dan global.  
a. Mutasi genetis, disebabkan oleh pemanfaatan energi nuklir dan industri kimia (pestisida, insektisida, herbisida) yang menyebabkan perubahan pada gen makhluk hidup.
b. Pemanasan global oleh gas-gas CO2 dan CH4. Pada paruh abad ke-21 nanti temperatur Bumi meningkat rata-rata  3oC atau 1oC di katulistiwa dan 7oC di kutub. Pencairan lapisan es tak terelakkan lagi sehingga banyak pulau kecil lenyap dan kota-kota pantai, water front city ikut tenggelam.
c. Hujan asam akibat emisi SOx, NOx dan CO2 yang membentuk asam sulfat (H2SO4),  asam nitrat (HNO3) dan asam karbonat (H2CO3). Asam-asam tersebut dapat merusak vegetasi, hutan dan logam (konstruksi gedung, jembatan, rel kereta api).
d. Lubang ozon, menyebabkan sinar ultraviolet dapat masuk ke Bumi  dan dikhawatirkan meningkatkan insidensi kanker kulit, khususnya pada orang yang senang mandi sinar matahari (sunbathing).
e. Penurunan kualitas dan kuantitas air menjadi penyebab epidemi diare, disentri, tifus, kolera pada beberapa kota dan daerah kumuh. WHO menyatakan bahwa sekitar 200 juta orang tidak memiliki sumber air bersih layak minum, 350 juta jiwa tidak mempunyai fasilitas sanitasi dasar yang sangat dibutuhkan dan 1 milyar orang tidak mempunyai sistem pengelolaan sampah. Buruknya sanitasi dan penyediaan air minum meningkatkan kematian bayi dan umur harapan hidup menjadi rendah. Sedangkan dalam skala global, pada saat ini 1,3 milyar orang hidup tanpa air bersih, 2 milyar tanpa sanitasi dasar.
f. Desertifikasi adalah proses penggurunan akibat kekurangan air sehingga sangat sedikit yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Tanah tandus didominasi oleh zat inorganik, berbutir kasar dan berpasir sehingga mudah tererosi jika ada hujan. WHO menyatakan, sekitar 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah ini dengan kerugian sekitar US $42,3 miliar per tahun. Pada tahun 2025 nanti, diperkirakan jumlah orang yang mengalami masalah ini mencapai 1,8 milyar jiwa. Sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan nilai laju kehancuran hutan tropis pada dekade 1970 adalah 11,3 juta ha/tahun yang meningkat menjadi 15,4 juta ha/tahun pada dekade 1980-an dan 17 juta ha/tahun pada dasawarsa 1990-an.

Agar bencana di atas dapat dicegah atau minimal dikurangai, maka perlu diubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Ada beberapa perilaku dan cara pandang yang harus diperbaiki untuk menangani krisis lingkungan dunia modern ini:
a.   Bahwa alam adalah semata-mata diciptakan untuk manusia sehingga boleh sewenang-wenang dalam memanfaatkannya.
b.     Bahwa manusia adalah sumber semua tata nilai yang ada (antroposentris).
c.      Bahwa kesuksesan hanya diukur dari materi.
d.     Bahwa sumber daya materi dan energi tidak terbatas.
e.     Bahwa produksi dan konsumsi barang dapat meningkat terus tanpa batas.
f.       Bahwa tidak perlu beradaptasi dengan lingkungan karena ada sain dan teknologi.
g.     Bahwa fungsi negara adalah membantu (segelintir) manusia dalam mengeksploitasi alam untuk meningkatkan kesejahteraan (sekelompok) rakyat.

Pengisapan sumber daya alam saat ini tanpa menghiraukan fungsi lingkungan yang harus dilestarikan adalah causa prima kemandegan dan kejumudan berpikir untuk dan atas nama kelompok dan golongan. Hubungan manusia dengan alam adalah reversible, saling mempengaruhi yang dapat bernilai positif maupun negatif.  Sikap arif dan bersahabat dengannya dapat mengurangi bencana yang mungkin muncul karena krisis lingkungan adalah manifestasi dari krisis akal dan jiwa. Agar bencana tidak meluas, maka diperlukan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber pemicu dan pemacu reformasi perilaku yaitu religiositas.

Konsepsi pembangunan adalah ibadah dalam dimensi perilaku. Dimensi inilah yang patut dikembangkan karena manusia memikul tanggung jawab spiritual dan material (lingkungan). Hanya manusia (bukan flora dan fauna) yang mendapat amanat dan mampu membina dunia dan isinya walaupun dia dapat menjadi lebih buas dari binatang terbuas, dari the best menjadi the beast. *

Artikel yang berkaitan, bisa download 
Signifikansi Pendidikan Lingkungan di Perguruan Tinggi
Reposisi Pengetahuan ke Pendidikan Lingkungan
Education for Sustainable Development
Pendidikan Lingkungan di Indonesia


1 komentar: