• L3
  • Email :
  • Search :

2 Maret 2013

Islamic Book Fair, Antara Nasionalisme dan "Asingisme"


Oleh Gede H. Cahyana

Bertempat di Istora Senayan, Jakarta, Islamic Book Fair ke-12 dibuka oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa pada Jumat, 1/3/2013. Bukan pamerannya yang disorot tulisan ini, tetapi istilahnya yang menggunakan bahasa Inggris. Pameran yang akan berlangsung hingga 10 Maret 2013 itu terkesan tidak percaya diri karena menggunakan bahasa asing. Padahal bahasa sangat menentukan rasa nasionalisme sesorang. Gagah-gagahan, supaya dipandang gagah, “asingisme” merajalela di mana-mana, bahkan oleh lembaga resmi negara.

Lihatlah spanduknya yang disebar di sudut-sudut jalan atau lokasi komersial. Yang terbaca adalah Islamic Book Fair. Kenapa tidak berbahasa Indonesia? Mengapa? Apalagi ini adalah pameran buku yang kebanyakan buku berbahasa Indonesia. Bukan pameran mobil Jepang, bukan pameran komputer asal Eropa-Amerika. Andaikata itu pameran buku-buku asing, taruhlah buku berbahasa Inggris atau lainnya, dapatlah dimaklumi. Terserah mau menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, Prancis, atau Arab, boleh-boleh saja.

Sekadar misal, pada tahun baru Imlek yang sudah menjadi libur nasional ini, kita temui banyak tulisan Cina dan bahasa Mandarin. Bahkan hari ini ada karnaval Cap Go Meh di Bandung. Ini bisa dimengerti. Ini memang ekslusif dan erat kaitannya dengan kechinaan atau ketionghoaan. Tetapi kalau jelas-jelas berupa pameran buku produk penerbit lokal, mengapa mesti berbahasa Inggris? Terlebih lagi mayoritas buku yang dipamerkan dan dijual berbahasa Indonesia. Pengunjungnya pun kebanyakan orang Indonesia. Penulis bukunya pun saya yakin penutur bahasa Indonesia. Memang ada penulis asing, tetapi bukunya sudah dindonesiakan bahasanya. Sudah diterjemahkan.

Lalu apa alasannya? Adakah itu mengacu pada brand image? Ini pun istilah bahasa Inggris yang padanannya, lebih-kurang, citra atau pencitraan. Ingin membangun citra yang wah dengan bahasa Inggriskah? Kenapa citra dibangun dengan kosakata asing? Bukankah kosakata Indonesia ada dan tinggal dicari di dalam kamus. Apalagi seharusnya citra itu dibentuk oleh kinerja dan/atau kualitas, bukannya kosakata. Untuk apa dong pelajaran bahasa Indonesia di Kurikulum 2013 yang menuai kontroversi itu dan Mendikbud begitu menggebu-gebu ingin meluncurkan pemberlakuannya tahun ini juga? Untuk apa dong ada Pusat Bahasa kalau arahan dan pedoman yang dirilisnya tidak diindahkan justru oleh kalangan yang berkecimpung di dunia perbukuan? 

Maka, apapun alasannya, khusus pameran buku yang dominan berbahasa Indonesia sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Ini tanggung jawab penerbit yang 99% (kalau tak mau ditulis 100%) menerbitkan buku berbahasa Indonesia. Dalam dugaan saya, jangan-jangan nama pameran itu tak pernah dikomunikasikan dengan penerbit yang turut dalam pameran. Jangan-jangan penerbit pun tak pernah menanyakan kenapa namanya dalam bahasa asing. Jangan-jangan penerbit justru setuju penggunaan kosakata asing itu. Kalau ini terjadi, sungguh menyedihkan karena sudah berlangsung duabelas tahun.

Seharusnya penerbit menjadi ujung tombak dalam pemakaian bahasa Indonesia. Jika tidak bisa atau belum mampu berbahasa sesuai dengan EYD, teruslah berupaya. Apalagi, boleh jadi, tak seorang pun yang luput dari kesalahan berbahasa, termasuk pakar bahasa sekalipun. Itu sebabnya, pameran seperti ini sebetulnya menjadi sarana bagus buat memasyarakatan bahasa Indonesia, agar masyarakat lebih dekat ke bahasanya.

Marilah kita belajar dari pameran buku di Jerman. Istilah yang digunakan adalah Frankfurter Buchmesse. Sebutan dalam bahasa Inggrisnya, Frankfurt Book Fair, memang ada. Tetapi itu di negeri manca, negara orang lain yang semangat nasionalismenya berbeda dengan Indonesia. Terkait dengan spanduk itu, di negara Indonesia ini, adakah yang berbahasa Indonesia? Total berbahasa bahasa kesatuan kita?

Saya yakin, Pameran Buku Islami lebih elok dan mengena di hati dan benak pembaca ketimbang Islamic Book Fair. Orang awam, katakanlah berpendidikan sekolah menengah atau mahasiswa yang belum akrab berbahasa Inggris, tidak sampai mengernyitkan dahi hingga berkerut-kerut. Sebab, kecuali penghargaan atas bahasa persatuan kita, kebanyakan lidah orang Indonesia sulit mengucapkan nama asing itu.

Kalau tidak penerbit dan insan buku yang memulai dan mencintai bahasa Indonesia, lalu siapakah yang memakai bahasa ini? Kita sudah tak bisa lagi berharap pada nama-nama perusahaan seperti kawasan komersial yang sangat-sangat berpedoman pada kosakata asing. Pasar swalayan atau supermarket (ini juga bahasa Inggris) nyaris semuanya Inggris minded (ini juga asing). Tak heran kalau ada istilah bahwa orang yang bahasanya “sakit” akan sakit juga jiwanya.

Itulah penyakit kronis penggerogot otak. Orang bilang, dalam istilah Inggris, terlalu asing minded, sangat asing oriented. Asingisasi” (ini juga salah karena tidak ada imbuhan “isasi” dalam bahasa Indonesia, tetapi sengaja saya buat sebagai penggaet-mata). Selayaknyalah dunia pendidikan menjadi pelopor penggunaan bahasa Indonesia. Jangan karena ingin gagah-gagahan lantas bahasa asing diutamakan. Apalagi embanan pameran ini sarat akan misi dakwah. Dari temanya, terlihat kaitannya dengan pendidikan takwa, tingkat tertinggi dalam khasanah ketaatan muslim kepada penciptanya.

Bisa diduga, pemakaian istilah asing itu karena kita merasa rendah diri di mata hal-hal yang berbau asing. Lihat saja sinetron atau acara di televisi, selalu saja yang berbau bule dielu-elukan. Bahkan ada acara yang judulnya berisi kata bule. Bule inilah, bule itulah. Pokoknya bule. Bule menjadi majikan, sedangkan orang kita, diwakili oleh para pelawak itu, menjadi jongos. Padahal banyak juga hal-hal asing yang buruk. Video porno kebanyakan diperankan oleh bule. Syahdan pemain film porno ini ke Indonesia, anehnya, sangat dihormati oleh sejumlah kalangan di Indonesia, diwawancara dan dijadikan pemain sinetron/film. Di bidang bisnis, tingkat KKN dan kejahatan yang dilakukan perusahan asing tak kalah banyak. Pendeknya, dan ini pasti kita yakini, tidak semua yang beraroma dan bernama asing itu baik buat warga (asli) negara Indonesia.

Namun demikian, mampu berbahasa asing, baik Inggris, Prancis, Jepang, Arab atau yang lainnya, tetap dibutuhkan. Hanya saja, dalam acara khusus perbukuan, hendaklah tetap memakai kosakata bahasa Indonesia. Kalau insan perbukuan saja tidak cinta pada bahasa Indonesia, siapakah lagi yang mengabadikannya? Padahal buku yang diterbitkannya berbahasa Indonesia. Di luar itu semua, marilah kita sambut pameran buku ini dengan antusias. Yuk beli buku dan… baca. Jangan sekadar dikoleksi. *

4 komentar:

  1. Setuju sekali dengan paparan di atas...

    BalasHapus
  2. Strategi marketing aja, lebih menjual dan lebih enak dilafalkan dan didenger, dari jaman dulu juga orang lebih suka bilang book fair, job fair dll ketimbang terjemahan indonesianya.

    BalasHapus
  3. banyak juga buku terjemahan, jadi wajar aja pake bahasa asing.

    BalasHapus
  4. Anda over ribet gan. Susah diajak modern. Thanks..

    BalasHapus