• L3
  • Email :
  • Search :

27 Maret 2013

Inilah Karakteristik Walikota Bandung 2013-2018


Inilah Karakteristik Walikota Bandung 2013-2018
Oleh Gede H. Cahyana

Kata wali sudah demikian dekat dengan tubuh dan pikiran orang Bandung. Sebulan terakhir ini kata itu sudah masuk ke sudut-sudut RT/RW dan menjadi obrolan di pos ronda, warung kopi, terminal, kantor, kampus dan pasar. Spanduk, poster, leaflet, brosur, koran, majalah, tabloid, dan juga internet disarati kata wali(kota). Apa sesungguhnya makna kata wali itu? Bagaimana karakteristik walikota yang dibutuhkan Kota Bandung?

Sudah lama sebetulnya orang Indonesia, khususnya yang tinggal di Jawa, mendengar dan membaca kata wali. Yang paling terkenal adalah kata Walisongo, sembilan ulama yang sohor karena mengabdikan dirinya demi Islam. Yang juga sudah lama dikenal ialah kata walinikah. Perempuan yang menerima pinangan seorang lelaki perlulah berwali kepada orangtua, saudara lelaki, wali muhakam, ataupun walihakim. Relasi perwalian di sini erat kaitannya dengan kasih sayang.

Di buku raport murid SD s.d SMA pun didapati kata wali. Ada walikelas, ada walimurid di rumah. Keduanya adalah wujud dari tanggung jawab terhadap murid yang diasuhnya. Walikelas dan walimurid akan dengan senang hati membubuhkan tandatangannya di raport ketika melihat orang yang diwaliinya berhasil dalam sekolahnya. Rasa bahagia ini adalah cermin dari pengabdian dan tanggung jawab orang tua sebagai walimurid dan guru sebagai walikelas. Tanggung jawab adalah menanggung semua jawaban untuk orang yang diwaliinya dengan kasih sayang. 

Dari deretan kata atau frase yang berisi kata wali tersebut dapat disimpulkan bahwa fungsi utama wali dalam konteks pemerintahan ialah terima tanggung jawab. Seorang walikota adalah orang yang menanggungkan waktunya, tenaganya, pikirannya, bahkan uangnya untuk yang diwaliinya, yaitu masyarakat. Satu orang saja warganya yang sakit, maka secara normatif walikota mesti tahu dan menengoknya. Namun demikian, karena massa komunitas kota sudah besar, mencapai 2,5 juta orang, maka fungsi kepedulian ini ditransformasikan dalam bentuk kemudahan untuk berobat. Jumlah dan sebaran Puskesmas, posyandu, balai pengobatan berbiaya rendah karena disubsidi, dll menjadi tolokukurnya.

Begitu pun kalau ada anak usia sekolah yang belum sekolah karena tidak berbiaya, maka sebagai walinya, seorang walikota wajib menyantuninya, syahdan dengan uangnya sendiri dari hasil sawah-ladangnya, dari gajinya, bahkan dari warisan orang tuanya. Jika ada yang tidak bisa mencari sepiring nasi, menggelandang di perapatan jalan, dan tidur beratapkan langit berselimutkan desir angin malam, seorang walikota wajib memberikan makanan, minuman, selimut, dan perangkat lainnya.  

Haruskah demikian? Wali adalah pengayom, pelindung dan pemeduli orang yang diwaliinya. Dalam konteks pemerintahan, semua uang yang dikumpulkan dari masyarakat lewat instrumen pajak dan retribusi bisa dikerahkan untuk membiayai tugas kewalian seorang walikota. Kalau ada walikota yang bergelimang uang sementara rakyatnya menjelata di jalan, belumlah layak ia diamanahi sebagai wali. Oleh sebab itu, wajiblah walikota meniru Walisongo, misalnya Sunan Kalijogo. Beliau setia menjaga kali (sungai) sebagai simbol kesuburan. Jadi, selayaknyalah walikota terus berjaga (tidak tidur, artinya bekerja serius, tidur sebentar saja, pagi-pagi bangun dan keliling kota untuk incognito) dan menjadi “Kotajogo”.

Tentulah maknanya tidak harfiah. Walikota harus terjaga karena takut ada warganya yang sakit tetapi tidak punya uang untuk berobat, ada yang putus sekolah karena tidak beruang, ada yang kedinginan karena menggelandang tak punya rumah. Sunan Kalijogo rela berdingin-dingin, berpanas-panas sampai tubuhnya menghijau lumut dimakan waktu (ini dongeng lho, tapi bisa diambil hikmahnya). Sifat Kalijogo ini serupa dengan walimurid yang setia mengajari muridnya belajar, membiayai sekolahnya, memberinya makanan, minuman bergizi cukup. Walikota pun wajib demikian. Dengan kekuatan uang dalam APBD, tugas kewalian seorang walikota sebetulnya bisa dengan mudah dilaksanakan. Miliaran uang yang dikumpulkan dari masyarakatnya bisa dikembalikan kepada masyarakat juga dalam bentuk kemudahan sekolah (beasiswa, beamahasiswa), kesehatan, bekerja, dll. Semuanya harus hakiki dan bukan sekedar pemanis bibir (lips service).

Bagaimana di Bandung? Ada seorang wali yang bisa dijadikan rujukan oleh calon wali di Kota Bandung. Namanya Sunan Gunung Djati dan sudah dinisbatkan menjadi nama kampus di Bandung Timur, yaitu UIN Sunan Gunung Djati. Kewalian beliau betul-betul sejati. Cintanya kepada masyarakatnya dengan cinta sejati dan kekuatannya seperti kekuatan kayu jati. Tak pelak lagi, walikota yang layak bagi orang Bandung adalah walikota yang punya fenomena kewalian, senang berbagi kepada masyarakat, bukannya menerima apalagi meminta dari masyarakat.

Akhir kata, tanyailah hati nur‘aini (mata hati) ketika menjatuhkan pilihan atas calon wali di Kota Bandung. Hati akan condong memilih calon wali yang karakter dan fenomenanya mendekati kewalian Walisongo. Hanya saja, nafsu dapat dengan mudah mengalahkan Sang Cahaya Hati dan nasib orang Bandung ke depan ada di hati warganya. Akankah Kota Bandung, Parijs van Java, diemban oleh pemimpin pengabdi, the servant leader? *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar