Layakkah Dosen Menjadi Pemimpin atau Pejabat Publik?
Oleh Gede H. Cahyana
Pilkada sedang marak di mana-mana. Lantas ada pertanyaan yang ramai dibahas di media online, yaitu: bisakah kampus menjadi sumber pemimpin? Adakah potensi dan peluang unsur sivitas akademika perguruan tinggi menjadi pejabat publik (daerah)? Faktanya, sangat jarang unsur kampus menjadi calon gubernur, bupati, atau walikota. Yang muncul ialah birokrat, politisi, pengusaha, termasuk, katanya, "preman dan mantan preman". Padahal di Indonesia ini ada 2.600-an perguruan tinggi dengan ratusan ribu orang dosen bergelar sarjana, magister, dan doktor. Terbukti pula, ada sejumlah kepala daerah yang sekadar ijazah SMA saja palsu.
Berangkat dari benang merah itu, ada dua hal yang perlu dibincangkan di sini. Yang pertama ialah perihal makna substantif pemimpin dan pejabat; yang kedua ialah soal calon pemimpin dan/atau pejabat dari kalangan dosen.
Salah Kaprah Istilah
Sejak dulu sampai sekarang terjadi salah kaprah istilah pejabat dan pemimpin. Merujuk pada makna dan fungsinya, kedua kata itu sesungguhnya berbeda, sejelas beda siang dan malam. Tidak semua pemimpin adalah pejabat di suatu departemen, dinas, badan, lembaga, negara, perusahaan, dll. Begitu pun, tidak semua pejabat adalah pemimpin.
Ambillah contoh populer, yaitu Bung Karno. Meskipun presiden, strata tertinggi jabatan kenegaraan, beliau jarang disebut pejabat tetapi pemimpin, bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Di Bali misalnya, sampai sekarang beliau diakui sebagai pemimpin padahal sudah lama meninggal (otomatis sudah lama tidak menjadi pejabat). Salah satu the founding fathers NKRI ini sejak muda sudah terpanggil menjadi pemimpin. Terpanggil adalah kata kuncinya. Orang yang terpanggil untuk memimpin masyarakat dan masyarakat pun merasa dan mengakui dialah pemimpinnya adalah pemimpin. Jadi ada pelibatan rasa, yaitu perasaan masyarakat dan pemimpinnya. Tanpa interaksi kedua perasaan itu takkan ada kepemimpinan. Yang terjadi hanyalah bertepuk sebelah tangan.
Bagaimana dengan dosen? Hemat saya, kampus sedang berada di menara gading sehingga tak mampu dianjangsanai oleh masyarakat, bahkan oleh mahasiswanya. Ada sejumlah polling yang membuktikan bahwa dosen yang bergelar sarjana, magister, doktor atau profesor sekalipun belum tentu dianggap cocok menjadi pejabat publik oleh masyarakat. Belum tentu "laku" dijual, susah menang. Tidak serta merta dosen diterima sebagai (calon) "pemimpin" karena kepemimpinan itu tidak berada di wilayah intelektual (Intelligence Quotient, IQ, apalagi sekadar gelar) tetapi berada di ranah perasaan (Emotional Quotient, EQ). Perasaanlah yang menentukan apakah seseorang dijadikan pemimpin atau bukan sehingga tak bisa dipaksakan.
Sejatinya, pemimpin ialah orang yang orientasinya melayani orang yang dipimpinnya. Danah Zohar dan Ian Marshall menamainya servant-leader, pemimpin pengabdi. Hati nuraninya atau EQ-nya selalu menyetir fisiknya untuk mengerjakan tugas demi tanggung jawab kepada masyarakat. Di tingkat yang lebih tinggi, pemimpin selalu berorientasi pada makna transenden-ketuhanan. Dia memimpin demi menghidupkan nilai-nilai (values) kearifan (sapientia). Itu sebabnya kita digolongkan Homo Sapien, manusia berkearifan (Spiritual Quotient, SQ). Apabila dikaitkan dengan agama, maka motivasinya semata-mata ibadah sehingga mustahil berbuat nista, tak mungkinlah MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme). Yang terjadi justru sebagian besar hartanya diinfakkan, termasuk untuk membangun fasilitas umum dan sosial.
Jelaslah, pemimpin berbeda dengan pejabat. Oleh sebab itu, istilah rapim atau rapat pimpinan (yang betul: rapat pemimpin) hendaklah diganti menjadi rabat (rapat pejabat, bukan rapat jabatan). Bagaimana, setujukah?
Menjadi Pejabat?
Bolehkah dosen menjadi pemimpin? Boleh, tentu saja, minimal menjadi pemimpin bagi dirinya. Bolehkah menjadi pejabat publik? Silakan. Yang terpenting dalam jabatan (politis) ialah mengedepankan nilai-nilai moral atau kata hati (seorang pemimpin pasti berhaluan pada kata hatinya). Kata hati ini tak bisa ditipu dengan dalih apapun. Ketika seorang pejabat menerima “sesuatu”, apalagi yang mahal harganya, maka hatinya tak bisa dibohongi bahwa ada “sesuatu” pula yang harus ia imbalkan kepada si pemberi. Sekuat apapun dalih dibalik pemberian "sesuatu" itu, kata hatinya takkan bisa dibohongi.
Bagaimana di lingkup internalnya, di perguruan tinggi? Harus ada dosen yang menjadi pejabat (struktural) agar kampusnya berjalan teratur. Harus ada yang menjadi ketua jurusan, kepala laboratorium, dekan, rektor, dll. Dosen pun boleh menjabat kepala lembaga penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Malah dalam hal penelitian/riset, dosen diwajibkan intensif melaksanakannya, minimal membimbing mahasiswa dan memberikan timbang pendapat atas hasil risetnya. Di sini dosen bisa merangkap sebagai dosen sekaligus menjadi pejabat internal. Syaratnya, harus bisa mengatur waktu, kapan mengajar dan kapan mengerjakan tugas lainnya. Artinya, janganlah mengajar itu dibebankan kepada asisten saja sembari honornya diambil sendiri dan asistennya gigit jari.
Adapun dosen yang menjadi asisten menteri atau tim pakar di kementerian atau di daerah hendaklah sadar bahwa tugasnya itu menyita waktu. Selayaknya ia cuti dulu dan gajinya distop. Sebab, sebagai asisten menteri atau tim ahli di pusat/daerah pasti dibayar juga dan biasanya lebih tinggi. Kecuali bisa tetap mengajar dan membimbing skripsi maka bolehlah gajinya tetap dibayarkan. Jika tidak, maka ini termasuk pemubaziran anggaran negara yang notabene milik rakyat. Sudah rahasia umum, ada dosen yang hanya sesekali saja mengajar tetapi menerima gaji penuh per bulan. Ada juga yang sama sekali tidak mengajar lagi tetapi tetap menerima gaji. Terlepas dari berkah tidaknya gaji mereka, dan itu urusan mereka dengan Tuhannya, hal ini wajib dievaluasi oleh pemerintah.
Bagaimana kalau dosen menjabat sebagai bupati, walikota, gubernur? Karena tugas pejabat publik itu lebih banyak protokoler dan menyita waktu, maka selayaknya ia berhenti dulu menjadi dosen. Gaji-tunjangannya juga dihentikan lantaran fungsinya sebagai dosen sudah berhenti (sementara). Kalau karakternya adalah pemimpin dan tidak sekadar menjadi pejabat maka atas inisiatifnya sendiri status gajinya pasti ia laporkan kepada badan kepegawaian agar dihentikan. Setelah kembali mengajar lantaran tidak terpilih lagi atau habis masa jabatannya maka gajinya bisa dibayarkan lagi.
Tak hanya menjadi pejabat eksekutif, dosen pun (yang non-PNS) boleh menjadi anggota legislatif. Artinya, dia harus menjadi anggota partai. Justru di sini manfaatnya, yaitu semua peraturan perundang-undangan dibuat oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Jangan sampai lembaga legislatif diisi oleh orang-orang yang tak memiliki kapasitas ilmu tertentu tetapi sekadar berhasil mengerahkan massa (termasuk dengan money politics) untuk mencoblosnya ketika pemilu. Apalagi terbukti banyak yang cacat moral sebelum menjadi anggota dewan dan tambah parah lagi perilakunya ketika menjadi anggota legislatif. Tak heranlah banyak yang akhirnya dipenjara, meskipun banyak juga yang (di)lolos(kan).
Oleh karena itu, lembaga eksekutif dan legislatif hendaklah diisi oleh orang-orang yang tak hanya pintar bicara tetapi juga diisi oleh orang-orang ber-EQ dan SQ yang tinggi. Syarat minimal IQ pun tentu harus ada. Salah besar jika dosen antipati dan mencibiri lembaga legislatif. Apalagi apatis. Justru dosen harus memberikan masukan kepada mereka agar tidak salah dalam membuat kebijakan politik, terutama yang menyangkut peraturan daerah. Sangat aneh apabila ada peraturan daerah dibuat oleh eksekutif dan legislatif yang, misalnya, minim kompetensi keilmuannya lalu diberlakukan terhadap dosen yang kapasitas ilmunya lebih mumpuni, minimal strata pendidikannya sudah doktor atau berpredikat profesor dan tersebar di seluruh perguruan tinggi.
Sampailah kita pada pertanyaan besar: bagaimana caranya agar dosen yang doktor dan/atau profesor itu menjadi populis dan tidak "hidup di atas angin"? Berbekal teori yang dimilikinya, kira-kira mampukah mereka memajukan daerahnya? Yang terakhir tapi perlu dicatat dengan tinta tebal: ada dosen dan/atau profesor yang idealis tetapi ketika menjadi pejabat publik akhirnya terjerumus juga ke lembah hitam MKKN (Manipulasi, KKN). Apalagi kalau mereka tidak idealis, pasti lebih dalam lagi terperosok ke lembah nista itu.
Akhir kata, mari nantikan kehadiran the servant-leaders. *
layak, Pak Nuh itu jadi Menteri,, mantan rektor dan dosen ITS :)
BalasHapusYang menentukan layak tidaknya adalah kualitas personil dan masyarakat yang memilih solusi lain praja ipdn lebih layak!
BalasHapussaat ini....saya masih senang jadi dosen daripada pejabat publik...bagi dosen yg jadi pejabat publik semoga membawa berkah bagi bangsa dan negara ini...
BalasHapusLayak atau tidaknya tergantung dengan situasi dan kondisi. Jika memungkinkan untuk jadi pejabat publik, kenapa tidak. Tapi yang harus di ingat jangan hanya mencari popularitas semata.
BalasHapus