Oleh Gede H.
Cahyana
Rambut ikalnya yang pirang masih basah dan dikepang kuda.
Buti-butir air asin menotol-notol di sekujur tubuhnya. Kaki putihnya yang
jenjang diselonjorkan lalu kepalanya direbahkan di atas lipatan handuk tebal.
Mata birunya menerawang ke awan putih di sela-sela sinar matahari jam dua
siang. Ombak dan riak terus bekerja, datang dan pergi, gemuruh suaranya.
Seorang ibu tua berkulit agak gelap terbakar matahari,
kontras dengan kulit bule itu, mulai membalurkan minyak di paha atasnya sampai
ke jari-jari kakinya lalu memijat-mijatnya. Sejurus kemudian ibu berkain batik
yang agak lusuh ini membalikkan tubuh putih itu sehingga tengkurap. Mulai
tengkuknya, lalu ke punggungnya, sampai ke karet bikini bawahnya ia balurkan
minyak lalu menekan-nekankan ujung jarinya, maju, mundur, maju, mundur... Yang
dipijat memejamkan mata, nyaman sekali tampaknya. Mungkin tertidur oleh belaian
desir angin pantai.
Sementara itu, kira-kira 12 meter dari gadis tadi ke arah
bibir pantai berbaringlah dua wanita bule yang juga berbikini, sedang mandi
mentari. Satu orang gemuk, usianya paruh baya dengan lengan dan paha
bergelambir, kulitnya bercak-bercak coklat; satu lagi jauh lebih muda, tampak
singset dan cantik bagi ukuran orang Indonesia, mungkin anaknya, sedang membaca
buku tebal. Sekian meter dari sana, sekian meter lagi dari yang di sana dan
sekian meter lagi dari yang di sebelah sana, juga ada pemandangan serupa di
antara lalu-lalang orang-orang. Banyak sekali, tak terhitung lagi jumlahnya.
Begitulah keseharian di pantai “terpanas” dan terdemam di
Bali, yaitu Kuta. Dulu John Travolta punya Saturday
Night Fever, demam malam minggu, tetapi Kuta malah punya Every Night Fever, demam saban malam.
Kuta, Legian, Sanur dan Tanah Lot hanyalah segelintir dari puluhan objek wisata
yang disukai bule karena “hawa” panasnya. Ada 5S yang akrab di sana: sun, mandi mentari; sand, pasir-jemur; song,
lagu diskotik, cafe; show, musik panggung; dan sex, samen-leven,
seks bebas. Itu semua tentu saja tak lepas dari narkoba dan prostitusi dari
kelas teri sampai kelas elite, mewah dan VIP. Khusus di Kuta ada satu S lagi,
yaitu surfing, baik dalam arti
selancar maupun olahraga voli pantai yang aduh
aduh aduhai…
Kuta, di antara sekian banyak tujuan wisata, adalah nama
yang paling populer karena begitu eksotis. Pantai pasir putihnya akrab sekali
dengan dekapan tubuh-tubuh turis mancanegara dan juga domestik. Dekapan itu
mulai dari yang berkaos pantai bercelana pendek gombrang ala Hawaii, yang hanya berbalut bikini hingga yang hanya mengenakan
“segitiga” alias monokini. Yang
betul-betul bugil tanpa sehelai benang pun ada, bergelimpangan bak putri duyung, terutama di Legian.
Itulah turis kulit putih yang santai-santai saja seolah-olah berada di
negaranya yang serba-boleh atau permisif atas pola hidup nudis.
Kejadian di atas menjadi prosesi rutin harian, layaknya
acara formal yang terjadwal. Setelah membasahi tubuhnya dengan air, letih
berenang, selancar atau sekadar jalan-jalan menyusuri garis air, turis biasanya
minta dipijat di bawah pohon di pantai itu tanpa penghalang. Dengan mudah orang
menontonnya dan tidak perlulah sungkan-sungkan karena sudah biasa. Yang
sehari-hari tinggal di sana sudah maklum adanya, tak kaget lagi. Yang agak
menahan napas tentulah orang yang baru kali pertama datang ke Kuta, Legian dan
sekitarnya. Ini wajar terjadi lantaran yang dilihatnya adalah tubuh bule yang
hanya ditutupi kain di bagian “rahasia” yang sudah tidak rahasia lagi.
Berjam-jam hot show gratis itu
berlangsung di sana, berganti dari satu orang ke orang lainnya dan dari satu
ras ke ras lainnya, dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Lengkap semua dari
seluruh penjuru dunia.
Itulah Bali, potret “surga” dunia, kata orang-orang. Konon katanya,
turis asing lebih kenal Bali ketimbang Indonesia. Indonesia itu di bagian mana
Bali? Begitu joke yang sering saya
dengar. Pamor Bali memang melebihi Indonesia.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar