Oleh Gede H.
Cahyana
Waktu itu saya
“diplonco” oleh konsultan tempat saya bekerja. Dunia teoretis di kampus harus
segera dicoba di dunia terapan. Saya ditugasi survei sekaligus merancang
transmisi dan distribusi air bersih untuk proyek PPSAB. Single fighter, begitulah istilahnya. Tak tanggung-tanggung, lokasi
survei tersebar di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah. Setelah urusan melelahkan
di Semarang, lalu ke pemda kabupaten, kecamatan dan desa. Di desa, di lokasi
survei, justru lokasi
inilah yang terberat. Semuanya butuh waktu tiga minggu. Semua desa
yang dikunjungi adalah daerah baru bagi saya. Malah ada daerah yang “tak
bertuan” seperti cerita film-film western,
wild-wild west. Tak bertuan dalam arti sulit berhubungan dengan dunia luar
karena buruknya prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi.
Suatu hari,
setelah berkunjung ke desa-desa lainnya sampailah saya di Bumiayu, sebuah kota yang sekarang diusulkan
menjadi ibukota Kab. Brebes atau bahkan kabupaten mandiri (otonomi). Setelah
mencari-cari penginapan, dapatlah sebuah losmen yang lumayan. Setelah bayar lunas
untuk dua malam dan menaruh barang-barang bawaan, saya mulai bekerja. Hanya
barang yang saya perlukan untuk survei saja yang saya bawa. Dari terminal
Bumiayu saya naik angkutan ke desa tujuan. Cukup jauh, tapi terhibur oleh
pinus-pinus dan tampak para penyadap getah pinus di sepanjang jalan. Jalan
berlika-liku, sempit dan saya terjepit di angkutan desa yang sesak. Orang-orang
ini begitu bersahaja, tampak dari caranya berpakaian dan tutur katanya. Ramah semua.
Waktu di angkot
dan sebelumnya sudah saya tanyakan ke petugas losmen, saya bertanya lagi
tentang Desa Wanoja. Wanoja, katanya, berarti perempuan. Meskipun secara
administratif masuk Kabupaten Brebes, tetapi
secara kultural berbahasa Sunda. Gunung
Sawal menjadi sempadan antara kedua etnis tersebut. Penduduk setempat yang akan
ke Ciamis atau Kuningan tinggal menyusuri jalan setapak di kaki gunung itu
sehingga tak perlu ke Bumiayu yang butuh waktu lama. Demikianlah resume yang saya
peroleh dari “ceramah” singkat orang-orang desa.
Namun sayangnya,
mobil angkutan desa (angdes) itu ternyata tidak sampai ke desa tujuan saya tapi
berhenti di prapatan. Dari sini saya harus naik ojek. Waktu itu ojek masih
sedikit dan saya harus menunggu lama. Ketika satu ojek mendekat, saya hampiri
dan tukang ojeknya langsung menyapa. Saya katakan bahwa saya mau ke Wanoja.
Dengan cepat dia menyambar,” Mau ke dukun?”
Saya kaget dan
sempat bingung. Apa saya tampak
seperti orang yang senang ke dukun? Dia terus saja ngomong,” Bagus dukunnya. Banyak
yang ke sana dan dekat.”
Saya masih diam
tapi mulai merinding. Seumur-umur saya belum pernah ke dukun. Sampai tamat SMA
di Bali pun saya belum pernah melihat leak (makhluk jejadian dari manusia). Tapi
sekarang malah diduga mau ke dukun. “Dunia antah berantah apa lagi yang saya
masuki?” bisik hati saya.
“Bisa saya antar!”
ajaknya.
Hati saya masih
galau. Pergi nggak, ya? Akhirnya saya tanyakan ongkosnya sambil menyuruhnya
agar saya diantar ke kepala desa. Ternyata dekat yang dimaksudnya begitu jauh
bagi saya. Jalannya naik turun, belum diaspal, dan berbatu-batu besar.
Sampai di rumah
kepala desa, saya disuguhi kue-kue khas setempat. Kepala desanya berusia sekitar
50-an tahun. Tapi yang membuat saya kaget, saya diladeni minum dan penganan
oleh seorang perempuan yang umurnya di bawah saya. Kira-kira usia 19 tahun atau
kurang dari 20 tahun. Kulitnya kuning langsat, berhidung bangir, ditambah lagi
berbaju mirip kebaya dan berkain. Cantik juga anaknya, pikir saya.
Tapi saya luar
biasa kaget, perempuan muda yang saya kira anak kepala desa itu ternyata bukan
anaknya. Juga bukan keponakannya. Bukan adiknya. “Gadis” muda itu ternyata
istrinya. Kata pemandu saya waktu survei ke mata air, itu istri ketiganya.
Amboi…., cetus hati saya waktu itu. *
ini daerah sekitar ane gan, akasih dah kesana
BalasHapusmonggo mampir di geholgaul.blogspot.com gan