Oleh Gede H. Cahyana
Banyak sekali bermunculan penulis (writer)
dan pengarang (author) sejak booming internet mudah dan (cukup)
murah. Didukung juga oleh sebaran komputer, laptop, netbook, tablet, dan
beragam ponsel cerdas yang nyaman untuk menulis. Tambah lagi munculnya media
sosial seperti Facebook dan Twitter. Kalau semua orang lantas menulis, mulai
dari microblogging di Twitter, milliblogging di Facebook hingga blogging
di blog atau website, lantas siapa yang disebut penulis/pengarang sukses?
Kriteria sukses
seorang penulis atau pengaranng sudah banyak dibincangkan. Sederet pendapat pun muncul.
Ada yang bersetujuan, ada yang berseberangan, ada yang
bertentangan. Masing-masing hadir dengan alasan dan
pengalamannya. Berikut ini dibahas ringkas
penulis sukses dari
tiga sudut pandang.
1. Secara ekonomi.
Orang umumnya memandang sudut ini sebagai
parameter sukses seorang penulis. Karyanya yang laris di pasar membuatnya
bergelimang uang dari penghasilan pasif. Apalagi kalau diterjemahkan ke
berbagai bahasa, kian teballah pundi-pundinya. Royaltinya tak terhitung lagi,
berdatangan setiap tiga atau enam bulan. Bahkan kalau banyak karyanya, royalti
itu bisa diterimanya sebulan sekali atau malah dua kali.
Penerbitnya pun senang dan kian rajin
mempromosikan tulisannya. Beragam temu-muka dengan penggemar dan resensi
bukunya dimuat di banyak media, baik cetak, radio, TV maupun on-line.
Kebanyakan pikiran orang akan tertuju pada kata uang dan royalti ketika
mendengar sebuah buku atau tulisan seseorang laris atau best seller.
Inilah yang paling dinanti-nanti oleh setiap penerbit dan juga penulis.
Hanya saja, buku-buku yang best
seller belum tentu mampu mengubah karakter pembacanya menjadi lebih
baik. Malah sangat mungkin menjadi lebih buruk, menjadi penakut, dicekam dunia
khayal atau bahkan melakukan perbuatan nista yang dilarang agamanya. Ini bergantung pada isi
buku yang laris itu. Sebuah buku yang bernilai positif dan memberikan pandangan optimis pada pendidikan karakter dan akademik di pesantren adalah Negeri 5 Menara yang juga sudah difilmkan dengan judul yang sama.
2. Secara publikasi.
Jumlah terbitan adalah tolokukurnya. Makin
banyak buku yang ditulisnya, makin suskeslah dia. Dari sekian banyak bukunya
itu, boleh jadi semuanya best seller (misalnya laku di atas
10.000 eksemplar dalam tempo enam bulan). Boleh jadi juga semuanya tidak
menembus julukan best seller tetapi terjual biasa-biasa saja. Atau, ada
beberapa yang best seller dan lainnya tidak bahkan ada yang
gagal dalam penjualannya. Jika parameter ini yang digunakan maka yang disebut
penulis sukses adalah yang banyak menulis, baik buku tebal, di atas 500 halaman
kertas A5 atau yang tipis dan sangat tipis, di bawah 150 halaman.
Kelompok ini ada yang tak peduli pada mutu
tulisannya, yang penting banyak menulis dan tetap berharap laris di pasar. Ada
juga yang demikian peduli atas mutunya sehingga berupaya menulis sebaik mungkin
dan tetap berharap laku keras. Baginya, kuantitas dan kualitas adalah saudara
kembar yang harus dirujuki, tak bisa disepelekan. Kelompok lain ada juga yang
terus menulis hingga puluhan, bahkan ratusan karya tanpa berharap mendapat uang
tetapi demi penyebaran ilmu yang dimilikinya. Sejumlah ulama besar menghasilkan
karya-karya berkategori ini.
Pada masa sekarang, ada juga penulis buku dan
artikel yang tak peduli pada imbalan berupa royalti atau honor. Yang penting
baginya, karyanya bisa dibaca banyak orang, baik lewat koran, majalah, jurnal
ilmiah, brosur, buletin maupun internet berupa web atau blog. Kepuasannya terletak
pada berbagi ilmu yang diketahuinya.
3. Secara sosiologi.
Jika instrumen ini yang digunakan maka
penulis sukses ialah penulis yang bukunya mampu mengubah karakter pembacanya.
Tentu saja yang diharapkan adalah perubahan dari karakter buruk menjadi baik,
bukan sebaliknya. Jika terjadi sebaliknya, mengubah orang baik menjadi buruk,
bisa juga dikatakan sukses tetapi bukan ini yang dimaksud di sini. Sebab, ada
sejumlah buku yang memang akhirnya mengubah pandangan pembacanya menjadi
demikian buruk, jahat dan bahkan menjadi tak percaya atas ke-Ada-an, ke-Esa-an Tuhan.
Menjadi atheis misalnya. Yang dampaknya buruk seperti ini
tidak dimasukkan sebagai penulis sukses di sini. Atau, bisa disebut
sukses menyesatkan orang.... boleh-boleh saja.
Penghuni kategori ini ada yang hanya menulis
satu-dua buku seumur hidupnya tetapi berjuta-juta orang mendapatkan
manfaatnya, mengubahnya menjadi manusia baik dan benar. Misalnya, Kartini.
Kumpulan surat-suratnya dijadikan buku dan dijuduli (oleh penerbitnya) Habis
Gelap Terbitlah Terang. Orang menjadi banyak tahu kehidupan masa itu lewat
surat-suratnya. Contoh lain adalah Hasan Al Banna, seorang tokoh Ikhwanul
Muslimin. Spirit ajakannya berefek tajam sampai sekarang dan meletupkan hasrat iman kepada Tuhan
bagi siapa saja yang membacanya.
Menulislah sebelum ditulis (di batu nisan). *
Terima kasih atas sharingnya....
BalasHapusMenarik informasinya. Terima kasih.
BalasHapusMenulis untuk menorehkan sejarah. :p
BalasHapusterima kasih atas penjelasannya, mmebuat saya bersemangat untuk menjadi seorang penulis yang sukses..
BalasHapus