Oleh Gede H. Cahyana
Pikiran Rakyat, 6 Juni 2007
Profesor Tchobanoglous, pakar persampahan di Universitas California, Amerika Serikat menulis: unfortunately, few of the full-scale plants that have been built have proved to be successful. Although economic has been the major reason for their demise, some energy-conversion plants have failed because of technical difficulties.
Yang dimaksud plants oleh periset dan penulis sejumlah buku teks persampahan di atas ialah PLTSa, sebuah unit yang dianggap satu-satunya solusi bagi sampah Bandung. Tak bisa lagi dengan open dumping, sanitary landfill, maupun 3R (reuse, recycle, recovery). Demikian tulis PR, 2/6/07, mengutip pernyataan Walikota Bandung. Betulkah demikian? Betulkah PLTSa tak butuh sanitary landfill (sanfil)? Betulkah konsep 3R tak perlu lagi?
Keliru apabila meyakini PLTSa tak perlu sanfil. Justru sanfilnya lebih berbahaya dan lebih mahal daripada sanfil konvensional sampah mentah. Abunya (bottom ash) dibuang ke mana kalau bukan ke sanfil? Karena abunya kaya zat berbahaya beracun justru kualitas sanfilnya harus lebih bagus dan aman, misalnya menggunakan pelapis-ganda (secure landfill double liner) berbahan geomembran dari HDPE (High Density Polyethylene). Minimal dilapisi lempung berpermeabilitas rendah agar tak merembes. Apalagi abu ini lebih mudah dilindikan daripada sampah mentah sehingga besar polusinya bagi air tanah. Selain meteorologi dan ekologi, aspek hidrogeologi inilah yang dirusak oleh PLTSa.
Belum lagi abu terbangnya (fly ash) yang mudah dihempas angin, bertebaran ke segala arah: vertikal, horisontal, dan horisontal frontal. Kepulannya sarat uap logam berat, dioksin, furan dan jelaganya kaya asam klorida dan fluorida. Abu ini gampang masuk ke sistem pernapasan sehingga 40% yang berukuran 1 – 2 mikron tertahan di bronkioli dan alveoli. Yang ukurannya 0,25 – 1 mikron mudah ke luar masuk lewat udara pernapasan tetapi yang kurang dari 0,25 mikron melekat dan membahayakan paru.
“Tapi kan PLTSa dilengkapi alat penangkap abu!” ujar seseorang dalam sebuah diskusi. Betul, PLTSa memang dilengkapi penyisih abu seperti mekanikal separator, wet scrubber atau fabric filter. Yang ukurannya 15 – 75 mikron efektif disisihkan dengan cyclones tetapi efisiensinya 85%. Yang ukurannya lebih kecil dipisahkan dengan fabric filter/ baghouse filter atau presipitator elektrostatik. Tapi sayang, efisiensinya tak ada yang 100% sehingga yang lolos itulah yang berbahaya bagi kesehatan, riskan bagi manusia, hewan dan tanaman. Bahayanya lagi, abunya berisi timbal, merkuri, kadmium yang berasal dari cat, kaleng, baterei, aluminum, seng, dan garam volatil. Logam tersebut mudah menguap karena rendah titik didihnya: kadmium mendidih pada 765 oC, merkuri 357 oC, arsen 130 oC, PbCl (timbal klorida) 950 oC, HgCl2 302 oC.
Lantas, abunya yang tertangkap itu dibuang ke mana? Tak lain tak bukan: ke sanfil. Air limbah penangkap abunya pun harus diolah dengan IPAL khas limbah B3 atau minimal IPAL yang betul-betul mampu me-removal polutan di dalamnya. Ada satu pertanyaan, bagaimana kondisi IPAL-IPAL yang berserakan di banyak pabrik, di setiap kota dan kecamatan di Indonesia? Masihkah beroperasi setelah lima-enam tahun diresmikan atau sekadar menjadi monumen? Belum lagi problem transportasi abunya dari PLTSa ke sanfil yang riskan tercecer dan/atau terbang lagi, perlu truk-truk khusus abu.
Semua itu bermuara pada degradasi kesehatan kita: neurological atau nervous system (syaraf), hepatic system (hati), renal system (ginjal), hematopoietic atau blood-forming system (darah). Berefek juga pada pernapasan, ginjal, hipertensi, tulang, sistem syaraf pusat, reduksi penglihatan, sensori, pendengaran dan koordinasi tubuh. Timbal pun dapat mendisfungsi sistem hematologik dan syaraf pusat, merusak fungsi gastrointestinal, reproductive, endocrine, cardiovascular, immunologic, menurunkan taraf kecerdasan dan menyebabkan perilaku abnormal pada anak. Polycyclic aromatic compound, dioksin dan furan dapat merusak paru, perut, ginjal, dan liver.
3R
Anggapan bahwa konsep 3R (atau 7R: reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, responsible) tidak tepat, juga keliru. Justru 3R (atau 7R) dapat dijadikan spirit agar warga punya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kotanya. Kepedulian menjadi poin utama konsep ini. Warga diajak ikut mengurus kotanya, pelan tapi pasti, diberikan “indoktrinasi”, misalnya lewat sekolah. Bukankah ini tujuan Mulok Pendidikan Lingkungan Hidup? Hasilnya baru akan tampak setelah satu generasi (bahkan lebih) karena tak bisa instan. Perlu proses. Yang pasti, satu generasi ke depan janganlah Bandung menjadi centang-perenang akibat kekacauan (trouble, failure) PLTSa dan pembuatnya sudah tiada tapi mewariskan petaka ekologi (ecological disaster).
Apalagi konsep 3R (atau 7R) justru mendukung upaya pemerintah (pusat & daerah) agar warganya mandiri, tak bergantung pada pemerintah dan melulu ingin menjadi pegawai (negeri, swasta). Pelaku dan penggerak sektor 3R (7R) ini justru membuat pekerjaan untuk dirinya dan juga orang lain. Lewat sampahlah mereka meraih penghasilan. Tak hanya pemulung, tapi juga kolektornya. Kegiatan sektor UKM pun banyak yang berkaitan dengan sampah seperti bekas botol minuman kemasan yang digunakan lagi. Sektor informal ini terbukti mengurangi pengangguran. Akankah ini “dibasmi” atau diputus mata rantainya dalam kondisi ekonomi sulit ini?
Jangan lupa pula, PLTSa justru mendidik masyarakat untuk terus membuang sampah seenaknya, tak peduli pada volume dan jenis sampahnya, apakah berbahaya-beracun ataukah tidak. Mereka berpikir, besok pasti diambil petugasnya. Malah kalau pasokan sampahnya tak mencukupi suplai PLTSa sehingga target energinya tak tercapai, warga boleh jadi diminta membuang sampah sebanyak-banyaknya atau “mengimpor” sampah dari luar kota, selama-lamanya. Padahal Bandung berada di cekungan raya yang khas karakteristik atmosfernya, tak sama dengan kota-kota pantai. Apalagi kalau meniru dan sekadar copy-paste PLTSa di kota pantai di negeri orang nun jauh di sana.
Selain aspek biaya operasi-rawat dan kesukaran teknis seperti diungkap George Tchobanoglous, Ph. D di atas, kegagalan pun terjadi lantaran kompetensi operatornya, terutama intuisinya terhadap variasi sampah yang berubah setiap detik, tak hanya dalam hitungan jam atau harian. Ini mirip dengan operator instalasi pengolah air minum di PDAM yang sulit menentukan dosis koagulannya padahal sudah dibantu oleh CCS (continuous coagulation system) dan sudah belasan tahun menjadi operator. Di sinilah aspek insting berperan penting. Apatah lagi kalau dilaksanakan secara manual tanpa melibatkan sistem kontrol otomatik, pastilah kematian instalasi berinvestasi miliaran itu (apalagi kalau berasal dari pajak & retribusi) akan mengintai setiap hari.
Kenapa bisa demikian? Satu contoh ialah masalah suplai oksigen (udara), senyawa penting dalam PLTSa dan berkaitan dengan tungkunya. Pasokan oksigen menjadi faktor utama kegagalannya. Grafik pasokan oksigen terhadap temperatur serupa dengan segitiga (bukit). Puncak bukit atau segitiga adalah temperatur optimalnya. Kalau oksigennya berlebih, akan terjadi pendinginan, temperaturnya turun. Berapa banyak oksigen yang harus dipasok agar temperaturnya optimal? Ini memang bisa dihitung secara matematis teoretis oleh anak SMA yang sudah belajar termokimia. Tapi bagaimana riilnya di PLTSa? Sangat sulit. Sebab, ada pelibatan intuisi operator atau katakanlah harus memiliki feeling so good. Apakah operatornya ber-feeling so good?
Oleh sebab itu, sulit sekali membakar sampah dalam kondisi stoikiometrinya karena komposisinya berubah-ubah. Maka, dalam praktiknya, agar terjadi pembakaran sempurna, udaranya dilebihkan (excess-air). Tapi cara ini mempengaruhi temperatur dan komposisi gas hasil pembakarannya (flue gas). Kelebihan oksigen meningkatkan oksigen ke aliran flue gas sehingga temperatur pembakarannya turun. Kalau temperaturnya kurang dari 1.450 oF (788 oC), timbullah bau. Kalau lebih dari 1.800 oF (982 oC), akan diemisikan dioksin, furan, senyawa organik volatil, dll yang sangat toksik. Semua polutan itu mudah tersebar ke segala arah lewat udara, melekat di daun, sayur, buah, air, paru ternak dan paru manusia lalu beredar ke pembuluh darah, meracuni semua organ tubuhnya.
Air dari Bojongsoang?
Yang terakhir, sumber airnya. Seperti dikutip PR (2/6/07), sumber airnya tidak diambil dari Gedebage tapi dari (mungkin efluen) IPAL Bojongsoang. Patut direnungkan, PLTSa perlu air bersih untuk boiler-nya agar terhindar dari kerak (scaling). Air limbah justru banyak mengandung garam-garaman seperti kalsium, magnesium sehingga menjadi problem tersendiri. Perlu dipertimbangkan juga kelangsungan pasokan airnya, apakah IPAL Bojongsoang akan terus beroperasi? Sebab, pengembangan sanitasi di kota-kota besar di dunia justru mengarah ke on-site system dengan mikroolah (microtreatment).
Terlebih lagi PLTSa sangat boros air untuk membersihkan fly-ash dan bottom-ash. Air limbahnya pun mencemari air tanah dan sungai sebab kaya logam berat, garam anorganik, tinggi temperaturnya, asam dan menjadi basa pada saat yang lain. Sumber utamanya ialah pengolahan gas (flue gas), baik dari scrubber flue gas, maupun alkali scrubber untuk gas asam dan kerak sisa pembakaran. Lumpur presipitatnya masih mengandung logam berat sehingga harus ditangani khusus, tak bisa dibuang begitu saja. Artinya, sekali lagi, sanfil (pelapis-ganda) masih saja dibutuhkan.
Last but not least adalah biaya operasi - rawatnya. Biaya ini dan juga kompleksitas fasilitas pengendali pencemar udaranya bisa lebih besar daripada biaya instalasi proses termalnya. Bayangkan, biaya operasi dan pemeliharaannya bisa lebih mahal daripada biaya investasinya karena njelimet, dikejar-kejar waktu, harus on time, tak boleh telat dan harus mengelola satu kota besar berpenduduk tiga juta orang yang sampahnya tercecer di setiap sudut kota.
Akhir kata, bila bersikukuh membuat PLTSa, silakan! The power is on your hand now, but on the others tomorrow or the day after tomorrow. Satu saja permintaan warga: tolong nanti retribusinya jangan naik terlalu tinggi dan jangan dipikulkan kepada warga, jangan pula ke APBD (yang juga uang warga). Tolong buatkan garansi tertulis bahwa biaya kesehatan warga akan ditanggung dan bukan berasal dari pajak & retribusi melainkan dari uang perusahaan pengelola PLTSa dan dari kalangan yang terlibat di dalamnya. *
Gede H. Cahyana
Di bawah ini adalah artikel yang berkaitan:
Prof. Lechner di BPLHD
PLTSa Lebih Cocok di Pantai
(Jangan) Tutup TPA Sarimukti
Mimpi Recycle Center di Kota Bandung
Jangan putus asa Pak! The power is on their hand now, but we have the power of the eye! Tetap kritis! Jangan lengah! Kalau lengah, apa yang dikhawatirkan bisa benar-benar terjadi!!!
BalasHapussalam dari jauh,
pandji
Baru tau ternyata PLTS itu beresiko. mudah-mudahan masyarakat lebih sadar dan peduli sampah.
BalasHapussemangat
BalasHapus